Semua orang yang berada di dapur tersentak kaget mendengar teriakan Dante yang cukup menggelegar. Tidak terkecuali Samantha, gadis itu langsung melepaskan pengocok telur yang ia pegang sambil dalam hati berkata, ‘Sial! Mengapa dia pulang lebih awal? Bukankah dia bilang akan pulang terlambat?’ Dante membuka langkah sementara pandangannya tak lepas dari Samantha yang berdiri di balik meja. Rora yang mulanya berdiri di samping Samantha lantas memundurkan langkah ketika Dante mendekati istrinya itu. “Apa yang kamu lakukan di dapur? Apa kamu menyuruhku pulang lebih awal agar aku bisa melihatmu di sini?” Dante menipiskan jarak, suaranya terdengar sangat berat. “Jangan bilang, ibuku yang menyuruhmu?” “Tidak, Honey! Aku sendiri yang berinisiatif ingin membantu,” sahut Samantha berbohong. Mustahil membenarkan ucapan Dante bahwa memang Margareth lah yang menyuruhnya membantu menyiapkan makan malam. Dante menatap satu per satu ART yang berada di dapur tersebut. “Mengapa kalian membiarkan istr
“Kakak ipar, apa yang sedang kamu lakukan?” Samantha hampir terlonjak dari tempatnya berdiri saat suara Jennifer Adams mengejutkannya dari belakang. Gadis itu segera berbalik sambil mengusap dadanya dengan pelan. “Astaga, Jen. Kamu mengejutkanku,” ucap Samantha diiringi suara desahan pelan. Jennifer terkekeh sambil menggaruk tengkuknya yang tidak benar-benar gatal. “Maaf, aku tidak bermaksud membuatmu terkejut,” katanya lalu melangkah untuk berdiri di samping Samantha. “Tidak, ayolah. Kamu tidak perlu meminta maaf. Aku hanya terlalu fokus pada pie ini sampai tidak menyadari keberadaanmu.” Samantha meletakkan pie yang sudah dipotong ke atas piring, “Kamu ingin mencobanya?” Jennifer tersenyum hangat. Sedetik kemudian wanita berambut pirang itu menggelengkan kepala. Sekarang sudah tengah malam, Jennifer tidak menginginkan pie itu. “Apa kamu membuatnya sendiri?” “Aku hampir membuatnya sendiri sampai kakak laki-lakimu datang dan mengacaukan semuanya.” Kening Jennifer sedikit berkeru
Dua hari kemudian, ketika Dante sudah berangkat melakukan perjalanan bisnis, Samantha berpapasan dengan Margareth saat ia akan berangkat bekerja. Wanita paruh baya itu memandangi Samantha dengan sinis. Persis seperti yang dilakukannya selama ini. “Pastikan untuk pulang sebelum pukul lima sore.” “Tapi, Bu, aku … baiklah. Akan kupastikan untuk pulang sebelum pukul lima sore,” sahut Samantha lemah. Lagi-lagi gadis itu memutuskan untuk mengalah. Margareth melangkah masuk ke dalam setelah membuat Samantha tidak punya pilihan. Dalam hatinya merasa sangat muak. Entah mengapa ia tidak bisa menahan kebenciannya saat melihat gadis itu. Bagi Margareth, Samantha tidak lebih dari sekedar pengacau yang merusak semua rencananya. Jika saja gadis itu tidak muncul, tentu saja sekarang ia sudah menjadi besan keluarga Johnson. Entah di mana Dante menemukan gadis itu, Margareth sangat menyayangkan keputusan putranya menikahi gadis seperti Samantha Rayne. Mungkin tidak masalah jika Dante hanya bermain-
“Bukankah dia gadis yang bersamamu di video viral waktu itu? Dia orangnya, bukan? Yang menyerangmu sampai wajahmu terluka.” Nicole menanyai Samantha setelah tak sengaja melihat Clara Johnson sedang berbincang dengan Emily Kiehl. Samantha bergumam sambil menganggukkan kepalanya. Pandangannya masih tak lepas dari sosok Clara Johnson yang berdiri di kejauhan. “Ya, kamu benar. Dia orangnya.” “Apa yang dia lakukan di sini? Bukankah menurutmu Emily bertingkah sedikit aneh?” ucap Nicole keheranan. Sebagai seseorang yang selalu memandang rendah orang lain dan juga galak. Melihat Emily begitu menghormati Clara tentu mengundang kecurigaan bagi siapa saja yang melihat. Tak terkecuali Samantha sendiri, gadis itu merasa ada sesuatu yang tidak beres sedang terjadi saat melihat kedua orang itu saling berbincang. Samantha tidak tahu apa yang sedang Clara rencanakan. Ia benar-benar tidak bisa menebak. Namun satu hal yang Samantha yakini, gadis itu pasti akan membuat kekacauan. “Nona Rayne! Kamu y
Saat ini Samantha dan Frankie menaiki jet pribadi untuk menuju ke pelabuhan tempat di mana yacht milik keluarga Johnson berlabuh. Samantha duduk tepat di seberang Frankie yang terlihat antusias. Lelaki berusia dua puluh tiga tahun itu mengakui jika ini adalah kali pertamanya menaiki jet pribadi. “Luar biasa! Aku tidak mengira kita akan menaiki jet pribadi untuk ke pelabuhan,” seru Frankie penuh kekaguman. Samantha terkekeh pelan melihat tingkah Frankie. Kemudian ia mendadak memikirkan bagaimana tingkahnya saat pertama kali menaiki jet pribadi bersama Dante. Apa dia juga senorak itu? “Hey, Nona Rayne. Aku takjub padamu karena bisa sesantai itu. Aku benar-benar tidak bisa menahan diriku sejak tadi. Kamu bahkan tidak tertarik untuk melakukan selfie!” Rasa takjub menyelimuti Frankie saat melihat Samantha begitu santai di kursinya. Seolah berada di sini bukan yang pertama kalinya untuk gadis itu, Samantha terlihat tenang menikmati penerbangan mereka. Samantha merespon dengan mengulas s
Clara yang sedari tadi menonton lantas tertawa puas. Seolah yang terjadi di depan matanya itu adalah sebuah pertunjukan yang luar biasa. Ia merasa sangat senang melihat Samantha nampak menderita dan putus asa. Samantha memandangi Clara dengan penuh air mata. “Mengapa kamu sangat jahat?” tanyanya dengan suara bergetar. Clara menghentikan tawanya, kemudian mengulas senyum miring sambil memandangi Samantha dengan tajam. “Aku tidak jahat, Samantha. Aku hanya ingin mengingatkanmu di mana posisimu seharusnya. Selama ini kamu seperti melupakan tempatmu dan terus-terusan membuatku kesal.” Usai mengatakan hal itu, Clara bangkit berdiri. Gadis itu melangkah mendatangi Samantha yang tidak berdaya karena Frankie menyekapnya dengan kedua tangan. Masih dengan mata berkaca-kaca, Samantha membalas tatapan Clara yang membara penuh kebencian. Sekeras apapun Samantha memikirkan, ia masih tidak bisa memahami mengapa Clara selalu menargetkannya. Jika semua ini Clara lakukan demi mendapatkan Dante, buk
Samantha berlari menuju pintu setelah mendengar suara ketukan lalu membukanya. “Dante …?” kata gadis itu dengan ekspresi terkejut. Beberapa jam yang lalu Samantha menghubungi Jeremiah dan memintanya datang ke mari. Jadi, ketika mendengar suara ketukan di pintu, Samantha berpikir sahabatnya itulah yang datang. Namun ia dikejutkan dengan keberadaan Dante yang datang secara tidak terduga. “Mengapa kamu sangat terkejut? Apa kamu menunggu orang lain?” tanya Dante kemudian melenggang masuk ke dalam kamar. Samantha bergumam pelan. Gadis itu mengekori Dante kemudian ikut duduk di sofa yang sama dengan pria itu. “Tidak, uhm, sebenarnya aku pikir kamu adalah Jere.” Dante memandangi Samantha dengan tatapan dingin. “Oh, aku tidak tahu kamu sedang menunggu pria lain. Jadi, apakah aku mengganggu?” sindirnya dengan nada tidak suka. Samantha segera menggelengkan kepala saat Dante mengatakan hal tersebut. “Tentu tidak. Aku hanya terkejut dan tidak menyangka kamu bisa tahu aku di sini."Tangan kana
Setelah melalui sedikit perdebatan dengan Dante, Samantha akhirnya setuju mengikuti pria itu kembali ke Boston. Dante bersikeras meminta Samantha untuk ikut bersamanya. Bagaimanapun Dante merasa khawatir pada gadis itu. Tepat satu jam yang lalu mereka tiba di kamar hotel tempat Dante menginap sebelumnya. Sebuah kamar dengan tipe presidential suite yang begitu mewah dan luas. Samantha berdiri di depan jendela sambil menikmati cokelat panas dan pemandangan malam kota Boston. Samantha tersenyum puas setelah menyesap cokelat panas terakhirnya. “Pemandangan di sini sungguh indah,” gumamnya dengan mata berbinar. Ponsel Samantha berdering. Namun gadis itu terlalu tenggelam dalam pemandangan indah kota Boston hingga membuatnya tidak menyadarinya. “Apa kamu tidak mendengar? Ponselmu berdering.” Dante mengulurkan lengannya untuk memberikan ponsel Samantha. “Oh, benarkah? Aku tidak mendengarnya … terima kasih."Sebuah panggilan telepon dari Jeremiah terpampang di layar ponselnya. Samantha me