“Bagaimana kalau kuantar kamu pulang? Menaiki kendaraan itu lagi dalam kondisi seperti ini pasti tidak nyaman.” Christian menatap Samantha sambil mengayunkan dagunya ke arah kendaraan tradisional yang gadis itu naiki sebelumnya. Ya! Samantha setuju dengan gagasan yang diberikan Christian. Pinggang beserta bokongnya terasa sangat sakit dan duduk di kendaraan itu bukanlah pilihan yang bagus. Tapi, lagi-lagi keraguan memenuhi pikiran Samantha. Meski Christian Brantley hanya berniat baik untuk mengantarnya pulang, namun Samantha tahu persis bahwa ia tidak bisa sembarangan menerima tawaran tersebut. Samantha hanya tidak ingin menimbulkan kesalahpahaman. Istri Christian sudah pasti tidak akan suka jika ada seorang gadis asing menaiki mobil suaminya. Tidak ada satu pun wanita di dunia ini yang senang akan hal itu. “Jangan bilang kamu akan menolakku lagi.” Christian bersuara. Samantha meluruskan kakinya kemudian bersandar pada pintu. “Aku harus melakukannya, Tuan Brantley. Istrimu pasti t
Samantha menutup pintu kamar dan berlari keluar setelah bertengkar dengan Dante. Penghinaan yang diberikan oleh pria itu benar-benar membuat hatinya terasa nyeri. Dante mungkin menganggap Samantha sebagai bonekanya, namun bukan berarti pria itu bisa menghinanya sesuka hati. Sebenarnya ini bukan pertama kalinya seseorang menghina Samantha seperti yang dilakukan oleh Dante tadi. Tapi entah mengapa Samantha merasa sangat terluka saat pria itu yang menghinanya. Dante tidak mendengarkan penjelasannya sama sekali. Dante bahkan memaksanya untuk mengakui sesuatu yang jelas-jelas tidak ia lakukan. Dan sebagai pelengkap untuk rasa sakit yang sempurna, Dante menuduhnya seolah ia adalah gadis yang tidak punya harga diri. Well. Samantha mungkin sudah menggadaikan harga dirinya dengan menjadi istri kontrak pria itu. Namun tujuannya jelas bukan karena ingin hidup mewah, melainkan untuk menyelamatkan hidup adiknya. Sementara di kamar utama, Dante terus mendesah sambil mengacak rambutnya sendiri. P
Samantha menyelam ke dalam air kemudian berenang ke sisi lain kolam. Mengabaikan Dante yang bersikeras menyuruhnya segera naik ke atas dan memakai kembali pakaiannya. “Samantha! Apa kamu sengaja mengabaikanku?! Hey! Kamu tahu apa hukumannya jika membantah!” Samar-samar Samantha dapat mendengar teriakan Dante di atas sana. Gadis itu sengaja menyelam untuk menghindari Dante yang terus merengek memberikan perintah. Dante memang tidak masuk akal karena menyuruh Samantha berenang dengan gaun panjang itu. Samantha berniat naik ke permukaan untuk mengambil napas. Namun Dante mengejutkannya dengan melompat ke dalam air dan menghampirinya. “Cepat pakai bajumu sebelum ada yang melihat!” Dante memang pria dengan kepala batu. Ia bahkan rela melompat ke dalam air untuk membuat Samantha melakukan perintahnya. Samantha sampai tercengang. “Ya Tuhan! Apakah kamu serius, Dante? Kamu menyuruhku berenang dengan gaun panjang ini?” Dante menatap Samantha dengan serius. “Apa menurutmu aku bercanda?” k
Samantha tersenyum puas saat menatap pantulan dirinya sendiri di depan cermin. Gadis itu mengenakan gaun sutera bergaya vintage ala bangsawan dengan warna hijau emerald. Dipadu dengan sepatu hak tinggi berwarna hitam yang membuatnya terlihat begitu menawan. Tidak perlu riasan tebal agar membuat Samantha terlihat cantik. Hanya dengan riasan sederhana serta rambut yang digerai rapi, Samantha mungkin akan menjadi bintang utamanya malam ini. Sebenarnya Samantha ingin mengenakan gaun slip berwarna cokelat, namun ia urungkan karena yakin Dante tidak akan setuju. “Apa kamu sudah selesai?” Suara Dante terdengar dari belakang. Samantha nyaris terlonjak dari tempatnya berdiri. Gadis itu segera berbalik. Menatap Dante yang begitu menawan di balik setelan formal berwarna hitam. Samantha membuka langkah mendatangi Dante dan berhenti tepat di depan pria itu. Kedua tangan Dante penuh dengan bawaan. Sebotol anggur di tangan kanan dan sekotak cokelat di tangan kirinya. “Apa kamu ingin aku membawa
Samantha berbincang dengan Nyonya James di tepi kolam renang begitu makan malam selesai. Beberapa tetangga memilih untuk segera pulang dan sebagian lainnya masih betah berbincang satu sama lain. Sementara Dante, pria itu sedang membicarakan beberapa hal yang berkaitan dengan bisnis bersama Tuan James di ruang tengah. Nyonya James sangat ramah. Samantha sangat menyukai wanita paruh baya itu. Semua kalimat yang keluar dari mulutnya terdengar sangat bijak, ia menasihati Samantha tanpa terkesan menggurui. Perasaan Samantha terasa hangat. Sudah lama sekali ia tidak bersantai menikmati malam yang indah seperti sekarang. Selama ini Samantha hanya sibuk bekerja untuk menghidupi dirinya dan Elnathan. “Dulu saat aku masih muda, aku juga secantik dirimu.” Nyonya James menatap Samantha, sedetik kemudian wanita paruh baya itupun tertawa. “Aku percaya itu, Nyonya James. Sekarang pun Anda terlihat sangat cantik!” puji Samantha. Nyonya James terkekeh mendengar pujian tersebut. Salah satu tanganny
Hal pertama yang Samantha lihat ketika membuka matanya di pagi hari adalah Dante sedang duduk di sofa sambil memperhatikannya. Gadis itu sedikit tersentak. Namun tidak sampai membuatnya refleks untuk segera duduk. “Aku sangat marah padamu, Samantha. Menurutmu kenapa aku melarangmu minum alkohol, huh?” Suara Dante terdengar berat. Pria itu mengaku sedang marah, namun raut wajahnya terlihat begitu tenang. Apakah ini cara baru Dante untuk menunjukkan kemarahan? Samantha hanya diam menatap Dante. Gadis itu mengakui kesalahannya karena tidak patuh hingga membuat dirinya celaka. Dante benar, Samantha seharusnya tidak menyentuh alkohol meski hanya sedikit. Dante meletakkan majalah harian ke meja, kemudian berdiri dari duduk untuk menghampiri Samantha. “Aku tidak percaya kamu hampir membunuh dirimu sendiri tadi malam. Kelak, jangan coba-coba minum alkohol lagi kecuali kamu sungguh ingin mati. Sekarang bagaimana perasaanmu?” Samantha berusaha bangun dan duduk. Lalu menyingkirkan selimut y
Pulang. Satu-satunya hal yang ingin sekali Samantha hindari saat ini. Bukan karena ia merasa sangat betah berada di pulau ini. Namun saat memikirkan bahwa ia harus ikut bersama Dante ke kediaman keluarga Adams, Samantha kehilangan semangatnya. Tidak ada satupun dari kedua orang tua Dante yang menyukainya. Samantha sudah bisa membayangkan bagaimana mereka akan bereaksi nanti. Meski Anthony Adams—ayah Dante—tidak terlalu banyak berbicara, namun Samantha sangat paham jika pria tua itu adalah orang nomor satu yang menentang pernikahan mereka. Sebenarnya pria tua itu pernah menemui Samantha tepat sebelum hari pernikahan. Samantha sengaja tidak memberi tahu Dante karena tidak ingin merusak hubungannya bersama orang tuanya. Sama seperti Margareth Adams, Anthony Adams juga meminta hal serupa pada Samantha agar meninggalkan putra mereka. “Apa yang kamu pikirkan?” Dante menahan suapan saat menyadari Samantha hanya memainkan makanan di piringnya. Samantha tidak benar-benar mencerna pertanyaa
Satu hari kemudian …. Saat ini Samantha dan Dante tengah duduk di dalam mobil setelah melalui penerbangan yang panjang dari Karibia. Sekitar dua puluh menit yang lalu Jasper datang menjemput mereka di bandara dan sekarang pria itu akan mengantar mereka pulang. Yah, pulang. Samantha memandang ke luar jendela. Menyaksikan banyaknya kendaraan yang berlalu lalang di jalanan. Sungguh suasana yang benar-benar berbeda dengan di pulau. “Bagaimana bulan madu kalian? Kuharap sangat menyenangkan.” Jasper melirik melalui spion tengah. Dante masih tidak melepaskan pandangannya dari layar ponsel untuk membaca beberapa surel. Namun demikian pria itu tetap menjawab, “Bagaimana dengan hal yang aku minta padamu? Apa kamu sudah melakukannya?” Jasper memutar bola mata saat Dante berusaha mengalihkan topik pembicaraan. “Tentu saja sudah kulakukan. Kamu tidak perlu khawatir. Jadi, Nyonya, bagaimana dengan Karibia? Apa kamu menyukainya?” tanyanya pada Samantha. Jasper yakin wanita itu pasti akan menangg
Malam harinya, Dante dan Samantha datang ke kediaman keluarga Adams untuk memenuhi undangan makan malam Margareth. Meski sebenarnya Dante merasa tidak berminat—Dante masih curiga pada sikap ibunya yang berubah secara mendadak. Namun pria itu tidak bisa menolak keinginan Samantha yang tampak antusias ingin datang. "Ayolah, Honey. Jangan pasang wajah seperti itu. Tersenyumlah.” Samantha merengek ketika melihat ekspresi Dante yang terlihat kaku. Dante menghela napas pelan, kemudian berusaha menyunggingkan kedua sudut bibirnya ke atas. Meski jelas sekali Dante tampak terpaksa, tetapi Samantha tidak ingin berargumen. Setidaknya Dante masih bersedia datang dan saat ini pria itu sedang tersenyum. Orang pertama yang menyambut kedatangan mereka tentu saja Jennifer Adams. Wanita berambut pirang itu terlihat antusias dengan menghamburkan diri memeluk Samantha. “Rasanya sepi tidak ada kalian di rumah ini. Bagaimana kehidupan pernikahan di kediaman sendiri? Pasti sangat menyenangkan, bukan? Kal
Setelah sepakat untuk memulai kembali hubungan mereka, satu minggu kemudian Dante lantas mengajak Samantha untuk keluar dari kediaman keluarga Adams. Keduanya pindah ke griya tawang yang Dante beli beberapa bulan lalu. Tidak ada yang ingin Dante lakukan selain ingin terus bersama dan menghabiskan waktunya dengan istrinya yang cantik itu. Sebenarnya Dante ingin langsung mengajak Samantha pindah ke griya tawang setelah ia membelinya. Namun ada beberapa ketidakyakinan tersirat di dalam hatinya kala itu. Tetapi kali ini Dante sangat yakin untuk melakukannya dan ia bersumpah tidak akan melepaskan Samantha dari hidupnya. Saat ini Dante masih terlelap di atas tempat tidur mereka yang berukuran king size itu. Dan ketika sinar mentari yang memaksa masuk di celah jendela tak sengaja mengenai kelopak matanya, Dante menggeliat sebentar lalu membuka mata. Ditengoknya ke samping kiri dan ia tidak menemukan Samantha di sana. “Honey …,” seru Dante dengan suara parau. “Hey, di mana kamu?” Karena ti
Dante memutuskan untuk mengantar Samantha pulang ke kediamannya alih-alih mengajak gadis itu ke kediaman keluarga Adams. Satu alasan yang Dante pikirkan adalah karena ingin Samantha menenangkan diri dan beristirahat dengan nyaman tanpa ada yang menganggu. Hingga saat ini gadis itu masih tampak syok dan begitu sedih karena insiden penculikan yang didalangi oleh sahabatnya sendiri.Samantha tak banyak berbicara. Dante juga tak banyak melontarkan pertanyaan pada gadis itu. Sekarang keduanya sedang berpelukan di atas ranjang dengan berbalutkan keheningan.“Aku tidak mengerti mengapa Jere melakukan hal semacam itu. Untuk apa dia menculikku?” Samantha keheranan. Keheningan yang semula membalut ruangan tersebut langsung pecah ketika pertanyaan tersebut terlontar dari mulut gadis itu.Dante meneguk saliva dengan sedikit payah. Sejujurnya Dante sudah mengetahui jika keluarga Sinclair telah jatuh bangkrut. Dan alasan Jeremiah menculik Samantha adalah karena pria itu memerlukan banyak uang.Dant
Dante tiba di Panti Asuhan Mida empat jam setelah menerima informasi lokasi dari Jeremiah. Seperti yang pria itu inginkan, Dante datang seorang diri dengan membawa dua buah tas berukuran besar. Dante berjalan sambil mengamati area sekitar, kewaspadaan memenuhi diri pria itu.“Cih! Dasar berengsek. Dia pasti memilih tempat ini setelah menyurvei berkali-kali,” geram Dante.Lokasi yang dipilih Jeremiah sangat jauh dari keramaian. Dante bahkan harus menyetir selama berjam-jam agar tiba di tempat ini. Panti asuhan ini seperti bangunan terbengkalai yang sudah lama ditinggalkan, tidak akan ada yang datang menolong meski seseorang berteriak dengan lantang di tempat ini.Dante terus berjalan hingga akhirnya ia tiba di depan sebuah bangunan tempat Samantha disandera. Dengan kemarahan yang berkobar di dalam dirinya, Dante menendang pintu di depannya itu dan bergegas masuk ke dalam.“Samantha!” teriak pria itu ketika melihat wanita pujaannya tepat di depan mata.Tepat di depannya, Samantha duduk
Keesokan malamnya, Dante kembali mampir ke area kediaman Samantha seperti yang biasa ia lakukan. Namun ada yang aneh kali ini, kediaman gadis itu tampak gelap gulita. Dante sudah berada di sana selama sepuluh menit dan tak ada tanda-tanda keberadaan Samantha di sana. “Apa mungkin dia belum pulang?” gumam Dante curiga. Dante ingat Jennifer memberi tahunya bahwa hari ini Samantha pulang lebih awal. Sekarang jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. Lalu, ke mana perginya gadis itu? Setelah bergulat dengan beberapa macam dugaan, Dante memutuskan untuk turun dari mobil dan memeriksa langsung gadis itu di kediamannya. Dante mengetuk pintu hingga beberapa kali sambil memanggil nama Samantha. Namun tidak ada jawaban sama sekali dari gadis itu. Dante semakin gelisah. Dengan cekatan salah satu tangannya meraih ponsel dan menghubungi seseorang dari daftar kontak. Tapi lagi-lagi Dante harus melontarkan sumpah serapah sebab panggilannya tidak berhasil tersambung. “Sial!” umpat Dante kesal. S
Masa kini …. Setelah semua kekacauan yang terjadi, Dante memutuskan untuk mengembalikan rumah yang sempat ia rampas dari Samantha dulu dan memberikan hak milik pada gadis itu. Setiap hari sebelum dan setelah pulang bekerja Dante selalu menyempatkan diri untuk mampir. Tentu saja ia hanya bisa berdiri dari kejauhan dan mengawasi gadis itu sambil berharap keajaiban. Samantha masih tidak bersedia—atau bahkan sudah tidak sudi—untuk bertemu dengannya. Dante sadar tidak ada yang bisa ia lakukan untuk membela diri sekarang. Ia jelas salah dan sekarang ia harus menerima hukumannya. Memikirkan perjanjian mereka akan berakhir dalam beberapa bulan jelas menambah ketakutan di hati Dante. Sebelumnya ia dengan percaya diri dapat mempertahankan Samantha di sisinya. Namun keadaan menjadi terbalik dalam sehari, sekarang Dante tidak yakin ia akan berhasil melakukannya. “Samantha, maafkan aku,” gumam Dante pelan. Tatapan matanya sama sekali tak lepas dari jendela kamar Samantha yang lampunya masih men
Beberapa hari setelah acara peragaan busana ....Dante membaca dengan serius laporan pemeriksaan latar belakang yang ia terima dari Jasper. Tidak ada satu baris kalimat pun yang lolos dari kedua mata Dante. Pria itu membaca semuanya tanpa terkecuali.“Jadi namanya Samantha Rayne,” ucap Dante seraya mengetuk-ngetuk meja dengan jari tangannya.“Nama yang indah. Tidak salah orang tuanya memberi nama Samantha, selaras dengan wajahnya yang juga indah.” Jasper menjawab dengan santai.Dante hanya tersenyum tipis saat mendengar jawaban Jasper. Kedua matanya masih sibuk memindai baris kata yang tertuang di dalam laporan hingga sebuah kalimat berhasil membuatnya tersenyum lega. Sebuah kalimat yang menyatakan jika Samantha Rayne adalah seorang gadis lajang.“Oke, kurasa mudah untukmu membuatnya terlibat denganku. Kamu bisa menjadikan adiknya sebagai umpan.” Dante menutup laporan latar belakang Samantha kemudian memasukkannya ke dalam laci meja kerjanya.“Aku sudah memikirkannya. Ini akan menjadi
Acara peragaan busana Jennifer Adams. Beberapa bulan yang lalu ….“Aku sudah menemukan calon pengantinku.” Kalimat itu meluncur dengan mudah dari mulut Dante.“Benarkah? Apa aku mengenalnya?” Jasper hampir tidak percaya saat mendengar kalimat itu dari Dante.“Tidak, kamu tidak mengenalnya. Bahkan aku pun tidak,” Dante menjawab tanpa menatap Jasper yang duduk menganga di sampingnya, “tapi kita akan segera mengenalnya,” lanjutnya kemudian menunjuk seorang gadis yang berdiri di depan mereka dengan dagunya.Jasper sontak mengarahkan matanya ke arah di mana dagu Dante menunjuk. Meski tidak terlalu yakin apakah gadis dengan balutan gaun pengantin itu adalah yang Dante maksud, Jasper hanya mengeluarkan satu kalimat. “Mengapa dia?” tanyanya.“Entahlah. Aku hanya merasa dia akan mudah dihadapi.” Bahkan Dante sendiri tidak terlalu yakin mengapa ia memilih gadis itu sebagai calon pengantinnya. Hanya saja instingnya mengatakan jika semuanya akan berjalan dengan mudah jika memilih gadis itu.Dante
Dante tidak dapat mempertahankan Samantha meski ia telah memohon pada gadis itu berkali-kali. Sekarang Dante harus menerima kenyataan jika Samantha telah membencinya. Gadis itu tidak ingin melihatnya lagi.“Aku tahu ini adalah hukuman. Tapi rasanya sangat menyakitkan untuk menerima kenyataan bahwa Samantha telah membenciku. Dia tidak ingin melihatku lagi, Jasper.” Dante memijat pelipisnya kemudian mendesah kasar.Di seberangnya, Jasper yang sedari tadi hanya diam menyimak ikut mendesah. “Aku minta maaf karena situasinya menjadi kacau seperti ini, Dante,” kata pria itu terdengar menyesal. Seolah kekacauan ini terjadi karena ulahnya.Dante menggelengkan kepala. “Ini bukan salahmu. Jelas sekali bukan salahmu, kawan,” sahutnya dengan suara lemah.Tidak ada alasan bagi Dante untuk menyalahkan Jasper. Dante bukan seorang pemuda berusia enam belas tahun lagi. Usianya sebentar lagi akan menginjak angka tiga puluh tujuh, tentu saja Dante tidak akan bersikap kekanakan untuk menjadikan Jasper se