Samantha berbincang dengan Nyonya James di tepi kolam renang begitu makan malam selesai. Beberapa tetangga memilih untuk segera pulang dan sebagian lainnya masih betah berbincang satu sama lain. Sementara Dante, pria itu sedang membicarakan beberapa hal yang berkaitan dengan bisnis bersama Tuan James di ruang tengah. Nyonya James sangat ramah. Samantha sangat menyukai wanita paruh baya itu. Semua kalimat yang keluar dari mulutnya terdengar sangat bijak, ia menasihati Samantha tanpa terkesan menggurui. Perasaan Samantha terasa hangat. Sudah lama sekali ia tidak bersantai menikmati malam yang indah seperti sekarang. Selama ini Samantha hanya sibuk bekerja untuk menghidupi dirinya dan Elnathan. “Dulu saat aku masih muda, aku juga secantik dirimu.” Nyonya James menatap Samantha, sedetik kemudian wanita paruh baya itupun tertawa. “Aku percaya itu, Nyonya James. Sekarang pun Anda terlihat sangat cantik!” puji Samantha. Nyonya James terkekeh mendengar pujian tersebut. Salah satu tanganny
Hal pertama yang Samantha lihat ketika membuka matanya di pagi hari adalah Dante sedang duduk di sofa sambil memperhatikannya. Gadis itu sedikit tersentak. Namun tidak sampai membuatnya refleks untuk segera duduk. “Aku sangat marah padamu, Samantha. Menurutmu kenapa aku melarangmu minum alkohol, huh?” Suara Dante terdengar berat. Pria itu mengaku sedang marah, namun raut wajahnya terlihat begitu tenang. Apakah ini cara baru Dante untuk menunjukkan kemarahan? Samantha hanya diam menatap Dante. Gadis itu mengakui kesalahannya karena tidak patuh hingga membuat dirinya celaka. Dante benar, Samantha seharusnya tidak menyentuh alkohol meski hanya sedikit. Dante meletakkan majalah harian ke meja, kemudian berdiri dari duduk untuk menghampiri Samantha. “Aku tidak percaya kamu hampir membunuh dirimu sendiri tadi malam. Kelak, jangan coba-coba minum alkohol lagi kecuali kamu sungguh ingin mati. Sekarang bagaimana perasaanmu?” Samantha berusaha bangun dan duduk. Lalu menyingkirkan selimut y
Pulang. Satu-satunya hal yang ingin sekali Samantha hindari saat ini. Bukan karena ia merasa sangat betah berada di pulau ini. Namun saat memikirkan bahwa ia harus ikut bersama Dante ke kediaman keluarga Adams, Samantha kehilangan semangatnya. Tidak ada satupun dari kedua orang tua Dante yang menyukainya. Samantha sudah bisa membayangkan bagaimana mereka akan bereaksi nanti. Meski Anthony Adams—ayah Dante—tidak terlalu banyak berbicara, namun Samantha sangat paham jika pria tua itu adalah orang nomor satu yang menentang pernikahan mereka. Sebenarnya pria tua itu pernah menemui Samantha tepat sebelum hari pernikahan. Samantha sengaja tidak memberi tahu Dante karena tidak ingin merusak hubungannya bersama orang tuanya. Sama seperti Margareth Adams, Anthony Adams juga meminta hal serupa pada Samantha agar meninggalkan putra mereka. “Apa yang kamu pikirkan?” Dante menahan suapan saat menyadari Samantha hanya memainkan makanan di piringnya. Samantha tidak benar-benar mencerna pertanyaa
Satu hari kemudian …. Saat ini Samantha dan Dante tengah duduk di dalam mobil setelah melalui penerbangan yang panjang dari Karibia. Sekitar dua puluh menit yang lalu Jasper datang menjemput mereka di bandara dan sekarang pria itu akan mengantar mereka pulang. Yah, pulang. Samantha memandang ke luar jendela. Menyaksikan banyaknya kendaraan yang berlalu lalang di jalanan. Sungguh suasana yang benar-benar berbeda dengan di pulau. “Bagaimana bulan madu kalian? Kuharap sangat menyenangkan.” Jasper melirik melalui spion tengah. Dante masih tidak melepaskan pandangannya dari layar ponsel untuk membaca beberapa surel. Namun demikian pria itu tetap menjawab, “Bagaimana dengan hal yang aku minta padamu? Apa kamu sudah melakukannya?” Jasper memutar bola mata saat Dante berusaha mengalihkan topik pembicaraan. “Tentu saja sudah kulakukan. Kamu tidak perlu khawatir. Jadi, Nyonya, bagaimana dengan Karibia? Apa kamu menyukainya?” tanyanya pada Samantha. Jasper yakin wanita itu pasti akan menangg
Keesokan paginya, Samantha memperhatikan Dante yang sibuk memasang dasi di lehernya melalui cermin. Ia tahu Dante luar biasa memesona. Hanya saja ketika ia melihat pria itu dalam situasi ini, ada sedikit getaran yang muncul di hatinya. ‘Sial! Apa yang kupikirkan?’ Samantha berusaha mengusir pemikiran konyol dan tidak masuk akal dari dalam kepalanya. Semua orang boleh saja terpesona pada pria bernama Dante Adams itu. Namun tidak dengan Samantha! Sejak awal Samantha sudah bertekad tidak akan jatuh hati pada Dante. Seberapa memesonanya pria itu, Samantha akan menutup mata dan hatinya. Samantha tidak ingin terlibat lebih jauh dari sekedar pernikahan kontrak bersama Dante. Samantha meyakini bahwa ia akan aman jika tetap berada di dalam batasan. Dante adalah pria yang berada di luar jangkauannya. Jatuh cinta pada pria itu hanya akan mempersulit segalanya. “Apa rencanamu hari ini?” tanya Dante begitu selesai memasang dasi. Samantha meletakkan lipstiknya ke meja rias. Lalu berbalik untuk
Samantha tiba di rumah satu jam lebih lama dari yang ia perkirakan tadi pagi. Gadis itu pulang terlambat karena ada beberapa kendala yang terjadi saat pemotretan. Ketika ia berada di ruang tengah untuk menuju ke kamar Dante, seorang Asisten Rumah Tangga menghampirinya. “Maaf, Nyonya Muda. Saya ingin memberi tahu Anda bahwa Nyonya Besar menyuruh Anda untuk menemuinya di perpustakaan.” Samantha memandangi Asisten Rumah Tangga tersebut untuk melihat nama yang tertera di dadanya. “Benarkah? Kalau begitu bisakah kamu mengantarku ke perpustakaan, Rora? Aku belum mengenal area di rumah ini dengan baik,” katanya begitu sopan. Asisten Rumah Tangga bernama Rora itu mengangguk pelan. Tidak ada alasan baginya untuk menolak mengantar Samantha ke perpustakaan. “Dengan senang hati, Nyonya Muda. Mari ikuti saya.” Samantha mengikuti Rora menuju perpustakaan. Ketika mereka tiba di depan pintu, Rora menundukkan kepala lalu pamit undur diri. Tok! Tok! Tok! Samantha mengetuk pintu perpustakaan sebelu
Semua orang yang berada di dapur tersentak kaget mendengar teriakan Dante yang cukup menggelegar. Tidak terkecuali Samantha, gadis itu langsung melepaskan pengocok telur yang ia pegang sambil dalam hati berkata, ‘Sial! Mengapa dia pulang lebih awal? Bukankah dia bilang akan pulang terlambat?’ Dante membuka langkah sementara pandangannya tak lepas dari Samantha yang berdiri di balik meja. Rora yang mulanya berdiri di samping Samantha lantas memundurkan langkah ketika Dante mendekati istrinya itu. “Apa yang kamu lakukan di dapur? Apa kamu menyuruhku pulang lebih awal agar aku bisa melihatmu di sini?” Dante menipiskan jarak, suaranya terdengar sangat berat. “Jangan bilang, ibuku yang menyuruhmu?” “Tidak, Honey! Aku sendiri yang berinisiatif ingin membantu,” sahut Samantha berbohong. Mustahil membenarkan ucapan Dante bahwa memang Margareth lah yang menyuruhnya membantu menyiapkan makan malam. Dante menatap satu per satu ART yang berada di dapur tersebut. “Mengapa kalian membiarkan istr
“Kakak ipar, apa yang sedang kamu lakukan?” Samantha hampir terlonjak dari tempatnya berdiri saat suara Jennifer Adams mengejutkannya dari belakang. Gadis itu segera berbalik sambil mengusap dadanya dengan pelan. “Astaga, Jen. Kamu mengejutkanku,” ucap Samantha diiringi suara desahan pelan. Jennifer terkekeh sambil menggaruk tengkuknya yang tidak benar-benar gatal. “Maaf, aku tidak bermaksud membuatmu terkejut,” katanya lalu melangkah untuk berdiri di samping Samantha. “Tidak, ayolah. Kamu tidak perlu meminta maaf. Aku hanya terlalu fokus pada pie ini sampai tidak menyadari keberadaanmu.” Samantha meletakkan pie yang sudah dipotong ke atas piring, “Kamu ingin mencobanya?” Jennifer tersenyum hangat. Sedetik kemudian wanita berambut pirang itu menggelengkan kepala. Sekarang sudah tengah malam, Jennifer tidak menginginkan pie itu. “Apa kamu membuatnya sendiri?” “Aku hampir membuatnya sendiri sampai kakak laki-lakimu datang dan mengacaukan semuanya.” Kening Jennifer sedikit berkeru