"Non Viona, nyonya Sarah, Lucy ada di mana ya?" tanya Bi Lisa ketika melihat Sarah dan Viona yang sedang bersantai di ruang tamu.
"Nggak tau, mungkin masih di kamar mandi," jawab Viona acuh tak acuh, sembari memakan camilan yang ada di tangannya."Iya bi, cari aja di sana." Sahut Sarah sembari memainkan ponselnya.Bi Lisa yang mendengarnya tentu saja langsung membulatkan mata. Ia berlari menuju ke kamar mandi, karena takut terjadi hal buruk kepada Lucy. Jika sampai hal itu terjadi, maka dirinya akan merasa bersalah sudah tidak bisa menjaga amanah yang diberikan oleh Sena."Kucing kayak gitu aja dicariin," cetus Sarah seraya menaruh ponselnya ke atas meja."Padahal juga jelek gitu kucingnya, mending buang aja sih." Imbuh Viona yang juga meletakkan setoples camilan yang ada di tangannya.Mereka berdua yang sama sekali tidak merasa bersalah pun memutuskan untuk pergi ke kamar masing-masing, dan memilih untuk beristirahat saja..Di dalam kamar mandi yang berada di dapur, Bi Lisa terlihat sedih ketika mengangkat jasad Lucy dari dalam bak mandi."Nanti kalo non Sena marah gimana?" gumam Bi Lisa seraya meletakkan jasad Lucy ke lantai.Bi Lisa terus memandangi tubuh Lucy yang mulai kaku, bahkan dirinya sampai meneteskan air mata."Maafin saya non, saya tidak bisa menjaga amanah dari non Sena. Maafkan saya juga Lucy, saya tidak bisa menjaga kamu dengan benar."Karena tidak mau terus terlarut dalam kesedihan, akhirnya Bi Lisa memilih untuk menguburkan Lucy di halaman belakang seorang diri. Entah bagaimana nanti respon dari Sena, dirinya sudah siap jika disalahkan dan dimarahi oleh wanita itu. Lagi pula itu memang salahnya yang tidak bisa menjaga amanah dari orang lain..Pada pukul lima sore, akhirnya butik Sena sudah tutup seperti biasanya. Alin dan Keisha juga sudah selesai merapikan butik yang sempat berantakan karena ulah dari para pelanggan yang datang."Bu, kami berdua pulang dulu ya?" pamit Alin kepada Sena yang saat ini sedang duduk di meja kasir bersama dengan Dara."Iya Lin, Kei. Kalian berdua hati-hati ya," jawab Sena dengan senyuman ramahnya."Iya bu." Jawab Alin dan Keisha secara bersamaan, lalu mereka berdua bergegas pergi dari sana.Kini tinggal Sena dan Dara yang sedang merapikan beberapa kertas gambar desain pakaian yang mereka buat. Setelah menyimpannya di laci, mereka berdua pun segera keluar dari butik tersebut.Tak berapa lama kemudian, pacar Dara yang bernama Kenan sudah datang menjemputnya. Dia adalah seorang dosen muda di sebuah kampus ternama di kota itu. Dan mereka sudah menjalin hubungan cukup lama."Ayo kita pulang," ajak Kenan tanpa turun dari mobilnya."Sen gue duluan ya?" pamit Dara kepada sang sahabat."Iya Ra," jawab Sena."Lo nggak papa kan kalo gue tinggal sendirian?" lontar Dara yang tidak tega membiarkan sahabatnya itu berada di sana seorang diri."Hahaha, lo kira gue anak kecil apa? Nggak papa lah kalo lo mau pulang, gue nggak akan larang lo,""Atau lo mau pulang bareng kita aja Sen? Biar gue anterin lo sampe rumah suami lo," tawar Kenan yang sama sekali tidak merasa keberatan.Sena yang mendengarnya pun tersenyum, "Nggak usah, kalian berdua duluan aja,""Beneran nih lo gapapa sendirian?" tanya Kenan lagi."Iya Ken, gue juga nggak mau jadi obat nyamuk kalian berdua,"Dara menghembuskan napasnya kasar, "Yaudah deh kalo gitu gue pulang duluan,""Iya Ra."Akhirnya Dara pun bergegas masuk ke dalam mobil sang kekasih, dan meninggalkan Sena seorang diri di sana."Gue duluan Sen, kalo berubah pikiran lo bisa hubungi Dara," pamit Kenan dari dalam mobil."Hahaha, iya nanti gue hubungi dia kalo gue capek di sini,""Oke Sen."Mobil Kenan pun melaju meninggalkan Sena sendirian di depan butik miliknya.Bukannya Sena menolak niat baik dari kedua sahabatnya itu, namun dirinya tidak mau mengecewakan Bima. Takutnya nanti saat dirinya baru saja pergi, Bima malah sampai di sana. Pasti laki-laki tersebut akan marah besar telah dipermainkan olehnya.Sena pun memilih untuk duduk di kursi yang berada di depan butik, sembari menunggu kedatangan sang suami. Jarak antara perusahaan Bima dengan butiknya cukup jauh, jadi dia memperkirakan sang suami akan sampai di sana sekitar setengah jam lagi..Sudah tiga puluh menit lebih, dan Sena masih setia menunggu kedatangan sang suami. Ia coba mengirimkan pesan lagi kepada suaminya itu.Bima.Bim, kamu masih di jalan ya? Aku sudah nungguin kamu dari tadi.Tak ada balasan dari laki-laki tersebut, bahkan saat Sena mencoba meneleponnya ponselnya tidak aktif. Ia terus mengulang menghubungi sang suami, namun hasilnya masih tetap sama, tidak ada jawaban.Sena menghembuskan napasnya kasar, "Gue tunggu lagi aja deh, siapa tau sebentar lagi dia sampai."Sembari menunggu kedatangan sang suami, Sena lebih memilih untuk mengecek beberapa desain gaun pernikahan, pesanan dari beberapa pelanggannya..Sedangkan di kota lain kini Bima baru saja selesai meeting dengan salah satu rekan kerjanya, di salah satu restoran. Ia memang sengaja mematikan ponselnya agar bisa fokus dalam bekerja.Ketika melihat Bima ingin mengaktifkan ponselnya, Hena langsung bertingkah agar laki-laki tersebut tidak membuka benda pipih tersebut."Pak Bima, bagaimana kalau kita makan malam dulu setelah itu baru pulang?" lontar Hena dengan senyumannya.Bima pun mengurungkan niatnya untuk menyentuh ponselnya, "Oke, kebetulan saya juga lapar,""Baik pak, kalau begitu biar saya pesankan makan malam untuk kita,""Hmm..."Hena pun akhirnya pergi karena saat ini mereka sedang berada di ruangan privat. Dia harus bergegas, agar Bima tidak bisa menghubungi Sena, atau mungkin dia akan membuatnya lebih lama agar mereka sampai rumah lebih larut malam lagi.Setelah kepergian Hena, Bima pun langsung mengaktifkan kembali ponselnya. Ada beberapa panggilan dan pesan masuk dari sang istri.Sena.Gue sibuk, lo naik taksi aja.Bima hanya membalasnya begitu saja, lalu kembali menonaktifkan ponselnya. Dia sangat kelelahan hari ini, dan malas jika harus berinteraksi dengan orang lain..Kembali lagi kepada Sena yang masih setia di tempatnya. Setelah membaca balasan pesan dari sang suami tiba-tiba wajahnya berubah menjadi kesal."Ck! Kenapa lo nggak bilang dari tadi aja sih?! Tau gini mending tadi gue terima tawaran Dara sama Kenan."Karena tidak mau menunggu lebih lama lagi, Sena pun berdiri lalu berjalan menuju ke pinggir jalan untuk menghentikan taksi.Namun bukan taksi yang berhenti, melainkan sebuah mobil berwarna putih yang berhenti tepat di hadapan Sena. Pemiliknya pun segera turun untuk menemui Sena yang baru saja sampai di pinggir jalan."Belum pulang Sen?""Belum pulang Sen?" sapa laki-laki dengan perawakan tubuh yang tinggi dan gagah, kulit kuning langsat, potongan rambut yang rapi, beralis hitam tebal, dan pandangan mata coklatnya yang tajam.Sena tersenyum menatap ke arah laki-laki tersebut, "Kak Raka."Ya laki-laki tersebut bernama Raka. Dia adalah anak dari salah satu pelanggan tetap butik Sena, bahkan sang ibu juga yang menjadi pelanggan pertama Sena dulu.Hubungan Sena dengan ibu Raka juga cukup dekat, bahkan ia merasa memiliki seorang ibu lagi, sedangkan ia menganggap Raka sebagai kakaknya sendiri. Raka sendiri berprofesi sebagai seorang dokter.Raka menatap tajam ke arah Sena, dengan tangan yang bersedekap, "Hebat banget lo ya, udah nikah nggak bilang-bilang sama kami,"Sena tersenyum kikuk, lalu menggaruk kepalanya yang tidak gatal, "Hehehe, maaf kak. Acaranya mendadak, gue nggak punya waktu untuk kabarin lo sama mama,""Cepat masuk, gue anterin lo pulang." Titah Raka seraya kembali masuk ke dalam mobilnya.Tanpa menunggu peri
Sena yang dipanggil pun bergegas menghampiri Sarah, Viona dan Andra yang sedang berdiri di depan rumah.Ketika Sena sudah berdiri sedikit jauh dari Sarah, wanita paruh baya tersebut malah menarik Sena lalu merangkulnya dengan tersenyum manis ke arah sang keponakan."Ini Sena, istrinya Bima," ucap Sarah memperkenalkan Sena kepada Andra, lalu ia beralih menatap ke arah Sena, "Sena, ini Andra keponakan mama. Kamu harus bersikap baik kepada dia,""Iya ma," jawab Sena dengan tersenyum."Kenalin gue Andra Virendra, lo bisa panggil gue Andra." Laki-laki tinggi dan tampan tersebut mengulurkan tangannya ke hadapan Sena dengan tersenyum manis.Sena yang ingin menerima uluran tangan tersebut pun masih berpikir. Ia terlihat ragu untuk menerimanya, namun tidak akan sopan jika dia menolaknya.Sarah yang mengetahuinya pun langsung mencubit pinggang Sena, lalu membisikkan sesuatu tepat di telinga gadis itu, "Mentang-mentang istri CEO bukan berarti kamu bisa bersikap sombong! Cepat balas uluran tangan
Bi Lisa begitu terkejut ketika mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh Sena. Bahkan dia yang sedang mencuci piring sampai menjatuhkan piring tersebut.Sena yang juga terkejut pun segera berlari menuju ke samping Bi Lisa. Ia khawatir jika wanita paruh baya itu sedang tidak enak badan."Bibi nggak papa kan?" tanya Sena yang melihat raut wajah Bi Lisa menjadi sedikit pucat."Ehhh... Anu non, saya nggak papa kok," jawab Bi Lisa yang seperti kebingungan."Yakin bibi nggak sakit? Terus kenapa wajah bibi pucat gitu?""Ini itu non... Tadi saya terkejut mendengar suara non Sena," Bi Lisa mencoba membuat pernyataan yang masuk akal.Sena menganggukan kepalanya sebagai jawaban, "Oh iya bi, Lucy mana? Tadi bibi belum jawab pertanyaan aku,"Bi Lisa yang merasa bersalah langsung bersimpuh di kaki Sena sembari menangis, "Maafkan saya non, maafkan saya,"Sena yang kebingungan pun jongkok, lalu mencoba untuk membangunkan Bi Lisa, "Bibi kenapa? Coba katakan yang jelas, jangan seperti ini,""Maafkan s
Pukul lima pagi Bima terbangun terlebih dahulu daripada Sena. Ia menatap tubuhnya sendiri yang terbalut selimut, lalu menatap ke arah sang istri.Setelah cukup puas memandangi Sena yang masih tertidur pulas dari kejauhan, Bima pun menyingkirkan selimut tersebut, lalu segera bangun dan duduk terlebih dahulu di sofa itu."Lo emang wanita yang baik. Tapi sorry kalo gue belum bisa terima lo."Bima berdiri, lalu berjalan menuju ke samping ranjangnya. Setelah sampai di sana ia langsung mengambil gelas berisikan air di atas nakas, lalu memercikkan air tersebut pada wajah cantik sang istri."Bangun! Jangan sampai mama marah lagi!"Sena yang merasa ada yang mengganggu tidurnya pun langsung membuka matanya. Lalu ia mengusap wajahnya yang terkena percikan air tadi.Sedangkan Bima sendiri sudah berjalan ke depan lemari untuk mencari pakaian ganti."Kamu udah bangun dari tadi?" lontar Sena seraya menatap ke arah sang suami."Hmm...""Mau aku masakin apa?""Nggak usah, lo bantuin bibi aja biar mama
Flashback.Di dalam ruangan ICU di sebuah rumah sakit, terdapat seorang laki-laki paruh baya yang terbaring lemah, dengan beberapa alat medis yang menempel pada tubuhnya.Ya dialah Mirza Alister, ayah kadung Bima dan Viona. Kondisinya cukup mengkhawatirkan, dan kini Bima sedang menemani sang ayah."Bim, papa ingin mengatakan sesuatu kepada kamu," ucap Alister dengan lemah.Bima memegang tangan sang ayah kuat-kuat, "Katakan saja pa,""Tapi kamu harus janji, jangan pernah menolak permintaan papa ini,"Dengan cepat Bima menganggukkan kepalanya, "Katakan pa, Bima akan menuruti semua keinginan papa,"Alister tersenyum kecil, "Papa ingin kamu menikah dengan gadis pilihan papa,"Bima yang mendengarnya tentu saja terkejut, bahkan ia sampai melepaskan tangan sang ayah, "Papa ingin jodohin Bima? Pa, Bima bisa cari calon istri sendiri,""Tadi kamu sudah bilang mau menuruti semua keinginan papa Bim, dan yang papa inginkan hanya itu,""Tapi pa-,"Alister yang tidak mau mendengar penolakan sang put
"Wihh! Makanannya enak banget!" seru Andra setelah memakan sesuap nasi bersama sayur sop buatan Sena."Iya lah, orang yang masak kak Sena!" seru Viona."Hmm... Jadi istri emang harus pandai memasak, kalo nggak suaminya bisa mati kelaparan." Imbuh Sarah.Sepertinya mereka bertiga sudah bersekongkol terlebih dahulu sebelum Sena dan Bima masuk ke ruangan itu."Sudah diam!" seru Bima yang memang membenci ketika ada orang yang berbicara saat sedang makan seperti ini.Sarah, Viona dan Andra yang tidak mau membuat masalah dengan Bima pun lebih memilih untuk diam, dan menikmati saja makanan yang sudah tersaji.Sedangkan Sena sejak tadi diam saja, karena ia tidak ingin membuat sang suami tambah marah..Selepas sarapan bersama, tanpa banyak berkata-kata Bima segera pergi menuju ke luar rumah, diikuti oleh Sena yang berjalan di belakangnya.Kali ini Sarah dan Viona tidak langsung pergi ke ruang keluarga, melainkan mereka berdua ikut pergi ke luar rumah. Begitu pula dengan Andra yang selalu ikut
"Kalo kamu sibuk, aku ambil mobilku sendiri aja yang ada di rumah," Sena memberanikan diri untuk memulai pembicaraan."Nggak usah!" Bima menjawabnya dengan singkat.Sena menghela napasnya dalam, "Yaudah, kalo gitu aku turun dulu. Nanti aku hubungi kamu kalo udah pulang,""Hmm..."Karena sikap sang suami yang masih dingin, Sena segera keluar dari dalam mobil. Kini dirinya langsung pergi menuju ke butiknya, tidak lagi menunggu mobil sang suami pergi dari sana.Sedang Bima sendiri juga langsung melajukan mobilnya menuju ke perusahaannya. Bahkan saat Sena sudah keluar dari dalam mobil, pandangannya masih tetap lurus ke depan, ia benar-benar tidak ingin melirik istrinya itu."Pagi bu Sena!" seru Alin dan Keisha begitu Sena membuka pintu masuk ke butiknya."Pagi Sen," sapa Dara yang sudah duduk manis di belakang meja kasir.Sena yang melihat semuanya datang tepat waktu tersenyum manis, "Pagi,""Tumben banget nih kalian terlihat ceria hari ini, ada apa?" lontar Sena yang sedikit penasaran."
Hena dibuat terkejut dengan perkataan yang keluar dari mulut Andra, "Bagaimana dia bisa tau perasaan gue?" batinnya."Hahaha, nggak usah terkejut gitu. Gue tau kalo lo suka sama dia," celetuk Andra seraya menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi tempat ia duduk."Benar begitu Hena?" lontar Sarah yang penasaran setelah mendengar perkataan sang keponakan.Hena yang tidak bisa mengelak hanya bisa menundukkan kepalanya saja. Di bawah sana ia meremas jari jemarinya sendiri, dengan keringat dingin yang mulai keluar dari tubuhnya."Sial! Gue harus gimana? Pasti bu Sarah marah besar dan pecat gue," batin Hena yang ketakutan."Kalo ditanya itu jawab dong! Jangan diam aja!" seru Viona yang kesal melihat kediaman dari Hena."I-iya bu, maafkan saya," akhirnya Hena menjawabnya, namun masih dengan pandangan melantai.Sarah menyeringai, "Ohh, jadi benar kamu menyukai anak saya?""Maafkan saya bu Sarah, saya sudah lancang. Tapi saya nggak bisa untuk bohongin hati saya sendiri," jelas Hena."Oke ngga