Butuh waktu satu jam bagi Romeo untuk bersiap-siap, bahkan dia lebih memilih untuk hanya memimun susunya saja dan tidak menyentuh sama sekali makanan yang dibuatkan oleh ibunya.
Ana yang terlalu antusias untuk segera ‘pergi’ dari rumah ini memutuskan untuk saat ini tidak akan mempermasalahkan hal itu, dia langsung membawa makanan nasi goreng yang dia buat dalam wadah, mungkin di rumah Adam nanti dia bisa sekalian menyuapi putranya.Masa kecil yang jarang sekali bertemu makanan yang layak untuk di makan membuatnya tidak ingin membuang-buang makanan, hidupnya memang sudah lebih baik, dia mempunyai tabungan yang cukup banyak dari hasil kerja kerasnya selama ini ditambah lagi tanpa sepengetahuan Ana ternyata Raffael masih rutin mengirimkan uang dalam jumlah yang banyak ke dalam rekening pribadinya sebagai uang nafkah.Ana memang sudah menolaknya, tapi Raffael selalu berkata kalau itu adalah kewajibannya, meski Ana tak tahu apa tujuan laki-laki itu sebenarnya dengan melak“Ada perlu apa kamu kemari?” tanya Adam yang kebetulan membuka pintu rumahnya untuk tamu yang datang. Raffael mengangkat alisnya, sedikit tersinggung dengan smbutan Adam, dia terbiasa dihormati kemanapun dia berada. “Ini rumahku dan kita tidak ada janji bertemu.” “Aku hanya ingin bertemu Ana dan Romeo.” “Kenapa kamu mencarinya di sini, bukankah seharusnya kamu yang palijng tahu.” Rasanya Raffael ingin sekali memukul laki-laki di depannya ini, kata-kata Adam seolah sindiran untuknya yang sama sekali tak mampu menjaga istri dan anaknya, sama seperti tujuh tahun yang lalu saat Ana menghilang. “Apa begini caramu memperlakukan tamu?” “Aku hanya meniru caramu dulu.” Raffel teringat kala tidak mengijinkan Adam masuk ke dalam rumahnya saat menjemput Ana, ternyata laki-laki ini masih dendam padanya. Akan tetapi tentu saja Raffael tidak akan menyerah dia sudah jauh-jauh datang ke mari.Tidak ter
Bagi Ana perjalanan yang dia lalui kali ini terasa sangat lama dan melelahkan, bagaimana tidak dia harus terjebak dalam kecanggungan bersama Raffael, setalah mobil melaju, laki-laki itu sama sekali tidak berbicara sepatah kata pun padanya, pandangannya juga lurus menatap ke depan. Ana berkali-kali melirik Romeo dari kaca spion tengah, berharap anak laki-lakinya itu berbicara apa saja, supaya suasana kaku ini bisa mencair, tapi Romeo malah asyik dengan puzzle pemberian Raffael yang tadi dia bawa. Dia seperti terjebak dalam penjara dengan sipir ganteng tapi mennyeramkan seperti Raffael, belum lagi kemacetan yang membuat perjalanan mereka semakin terasa lamaaa.“Ana bangun kita sudah sampai.” Ana langsung mengerjapkan matanya saat merasakan pipinya di tepuk seseorang, ada sorot geli saat matanya bertemu pandang dengan mata Raffael, dia mengedarkan pandangannya dan baru menyadari mereka sudah sampai di depan rumah orang tua Raffael. “Ehm
Romeo menangis memeluk mamanya yang jatuh pingsan, dia begitu takut sang mama akan meninggalkannya, Raffael juga ikut panik dia segera menggendong tubuh Ana dan membawanya ke atas ranjangnya. Sang ibu langsung berusaha membantu dengan memberikan minyak kayu putih di depan hidungnya tapi tetap saja Ana tak mau bangun. “Mama...,” rengekan Romeo kembali terdengar dia bahkan memberontak dari gendongan kakeknya dan mengampiri mamanya yang masih tetap diam. “Tubuhnya dingin sekali apa dia sakt tadi, Raff?” tanya sang ibu. Raffael menggeleng karena di benar-benar tidak tahu. “Tadi dia masih baik-baik saj asaat aku jemput di rumah Adam.” “Bawa ke rumah sakit saja, dan hubungi Adam,” kata Robert dengan tegas. “Kenapa harus Adam, dia bukan dokter dan dia bukan siapa-siapa Ana.” “Dia managernya dan orang yang paling tahu riwayat kesehatan Ana, apa kamu mau membiarkan Ana minum obat yang tidak sesuai dengan sakitnya.” Kali ini Raffel tidak bisa membantah lagi, dia langsung mengeluarkan po
“Apa kamu takut bertemu denganku?” tanya Raffael dengan sedih. Sudah dua hari ini Ana di rawat di rumah sakit, hari pertama saat Ana belum sadarkan diri Raffaellah yang menungguinya meski Istri Adam menatapnya dengan wajah suram, tapi laki-laki itu tak peduli dia terus saja menggengam tangan Ana sampai Romeo berkata. “Kenapa Om Raffael menggenggam tangan mama?” yang dijawab sang kakek dengan karena tangan mamanya sakit dan perlu untuk dipegangi, meski bingung tapi Romeo diam saja kerena memang di tangan mamanya dipasang semacam selang. Sedangkan Raffael sendiri yang menjadi bahan pembicaraan kedua laki-laki beda generasi itu seakan tuli, dia masih saja sibuk memegang tangan Ana sambil termenung. Luka bekas pukulan Adam memang masih sakit meski sang ibu yang terkejut melihat wajahnya yang lebam dan bajunya yang kotor langsung menyeretnya ke IGD untuk mendapat penanganan, dia juga masih bisa mendengar saat dengan suara lirik istri Adam bertanya, “Kenapa pak Raffael bisa seperti mal
“Kamu yakin tidak mau menunggu kami saja?” tanya Adam saat menjenguk Ana. “Kalian belum tentu akan pulang cepat, lagi pula aku sudah baik-baik saja tidak ada yang perlu dikhawatirkan.” “Kamu yakin akan baik-baik saja saat bertemu dengan ... Raffael?” tanya Adam menegaskan, kalau saja hari ini dia dan istrinya tidak ada pekerjaan penting tentu mereka akan dengan suka rela menjemput Ana.Kondisi Ana memang bisa dikatakan sudah baik-baik saja, wajahnya sudah memiliki rona lagi, tidak pucat seperti kemarin, tapi tentu saja itu masih membuat Adam khawatir, mana ada pasien yang baru saja keluar dari rumah sakit pulang sendiri, kalau pun ada, pasti hatinya sangat sedih karena merasa tak ada yang memperhatikannya di saat dia jatuh. “Aku... akan bertahan, kemarin dia mengunjungiku meski aku masih cemas, tapi seperti kata dokter aku harus bertekad melawan kenangan buruk itu, bagaimanapun Raffael adalah ayah Romeo aku tak mau putraku yang akan menjadi korban nantinya.” Adam sangat memahami
Ana tidak pernah suka berbohong ataupun dibohongi. Dulu orang tuanya menanamkan kebiasanan untuk tidak berbohong dengan begitu ketat, tapi saat beranjak dewasa, Ana tah saat-saat tertentu dia harus berbohong berbagai hal, diantaranya adalah pernikahannya yang tak seperti yang orang lihat. Dan sekarang dia harus berbohong pada anaknya untuk menutupi siapa ayah anak itu, Ana merasa belum siap mengatakan pada Romeo tentang semua ini. “Kita bicara nanti ya, Nak, bisik Ana lembut pada putranya yang memeluknya dengan erat. Ana memeluk erat putranya, dia juga bingung akan menjawab apa, Raffael memberi isyarat untuk diam saja tanpa menjawab sepatah kata pun. “Orangku sudah datang kita siap-siap pergi, ingat hanya senyum saja pada wartawan dan jangan menjawab apapun,” bisik Raffael pada Ana, dia langsung mengangkat tubuh Romeo kembali dalam gendongannya dan meminta Sasi untuk membawa barang bawan mereka, untunglah hanya sebuah tas jinjing saja.
“Selamat pagi anak tampan,” sapa Sandra yang pagi ini sudah datang kembali ke villa yang ditempati Ana dan Romeo. Romeo yang sedang bermain dengan kelinci kecil peliharaan penjaga villa menoleh sebentar dan tersenyum menatap Sandra. “Selamat pagi, oma,” katanya lalu kembali asyik bermain dengan kelinci itu lagi, membuat Sandra mengerutkan keningnya dengan heran. Ana yang juga memperhatikan mereka sambil membaca buku hanya bisa menghela napas sedih. “Romeo kenapa, An apa dia tidak suka tinggal di sini,” kata Sandra saat mendekati Ana. Sandra memeluk wanita yang lebih muda itu sebentar sebelum duduk di sampingnya dan mengawasi Ana yang juga membaca buku dengan wajah murung.“Kamu juga terlihat ehm... mendung, ada apa sebenarnya?” tanya Sandra dengan lembut. Ana tahu sangat tidak sopan kalau harus mencerca Sandra juga yang telah memberi mereka tumpangan tinggal, tapi hatinya begitu gelisah. “Apa Raffael belum memberi kabar, Bu?” tanya Ana, yang membuat mata Sandra berbinar dengan b
Bagi Bella tentu saja bukan hal yang sangat sulit untuk mengganti dengan materi semua kerugian yang disebabkan olehnya. Dia berasal dari keluarga kaya, juga selama menjadi istri Raffael dia sudah banyak mengumpulkan uang yang bisa menunjang semua penampilan dan kehidupannya yang memang hedon. Akan tetapi tentu saja, kejadian yang masih ada hubungannya dengan Raffael ini membuatnya memiliki pemikiran lain, dia bertekad harus bisa memanfaatkan momen ini untuk kembali dekat dengan Raffael, dia tahu tanpa Raffael uang yang dia miliki tidak akan berguna. “Bagaimana mungkin kamu bisa mengamuk seperti orang gila seperti itu, mama malu pada teman-teman mama!” baru saja Bella sampai di rumah orang tuanya sudah disambut sang mama dengan ocehan yang membuat telinganya pengang. “Sudah, Ma, kita beri kesempatan Bella untuk masuk dulu dan beristirahat,” kata sang ayah. “Itu yang membuatnya selalu bermasalah, kamu terlalu memanjakannya! Lihat kelakuannya!”
“Jangan cepat-cepat jalannya, asistenku sudah mengurus semuanya.” Sofi tidak pernah membayangkan akan berada di posisi ini, jika ada orang yang mengatakan hal ini satu tahun yang lalu Sofi pasti langsung mengatakan orang itu sedang mabuk. Operasi tangannya emang berhasil dengan baik, dia bisa bermain biola lagi dengan baik, beberapa event baik di dalam dan di luar negeri telah dia ikuti, seperti impiannya. Dan bagi Sofi itu sudah cukup, bahkan tidak ada penyesalan di hatinya saat tiga bulan yang lalu dia memutuskan pansiun dini dan hanya akan menerima permintaan bermain biola saat event itu tak jauh dari kediaman mereka. Dia memang memutuskan memberi kesempatan pada dirinya dan Romeo untuk bisa bersama. Laki-laki itu memang telah membuktikan ucapannya, perhatian yang Sofi inginkaan dari sang suami sekarang bukan hanya impian, bahkan Romeo sangat protektif padanya, apalagi sejak sebulan yang lalu Sofi dinyatakan hamil. Laki-laki itu bahkan mekad menyetir dari Bandung setelah syuti
“Kamu apa kabar?” Deg. Rasanya seperti mimpi mereka jalan berdua melintasi pematang sawah dan Romeo berbicara lembut padanya. Ingat ya lembut bukan kasar seperti biasanya dan tanpa senyum sinis yang menghiasi bibirnya. Ah mungkin karena Ara sudah menjelaskan semuanya dan hubungan mereka toh akan berakhir setelah dia menandatangani surat cerai itu. “Ehm ba.. baik.” Sofi merutuki dirinya sendiri kenapa harus gagap sih. Mereka kembali diam menyusuri pematang sawah sambil sesekali Sofi membantu Romeo yang hampir jatuh karena tak biasa berjalan di sawah, sebelum sampai ke rumah orang tua Sofi Romeo mencekap tangan sang istri lalu berkata. “Kita harus bicara.” Inilah saatnya. Sofi mengangguk. “Iya, tapi ibu sudah memanggil, makanlah dulu meski menunya mungkin tak sesuai seleramu.” Sejujurnya Sofi belum siap mendengar kata cerai dari mulut Romeo, dia sudah berusaha menguatkan hati sejak kembali ke rumah orang tuanya tapi saat berhadapan dengan Romeo langsung nyalinya menjadi ciut.
Sudah satu bulan Sofi tinggal di rumah orang tuanya. Kota kecil yang sebagian penduduknya bermata pencaharian sebagai petani dan pedagang. Dan Sofi merasa hidupnya lebih tentram dan damai meski rasa rindu pada sosok sang suami yang tak pernah mengharapkannya kian meninggi. Romeo sudah sadar dan sudah kembali beraktifitas. Dari mana Sofi tahu tentu saja mama mertunya yang setiap hari menghubunginya, dan mengatakan kabar Romeo pada Sofi, beliau bukannya tidak meminta Sofi untuk kembali tapi dengan halus Sofi menolak apalagi saat infoteiment mengabarkan kalau Ara sudah ditemukan dan beberapa kali Ara juga terlihat bersama Romeo. Sofi ikut bahagia jika mereka bersama, bukankah itu yang seharusnya terjadi, sejak awal dia hanya orang luar yang sama sekali tidak diharapkan kehadirannya, meski tak bisa dipungkiri hatinya begitu sakit. Dia hanya harus lebih menguatkan hati jika sewaktu-waktu menerima kiriman surat cerai dari Romeo. “Bagaimana persiapan penampilan anak-anak bu Sofi... b
Hal pertama yang dilihat Sofi saat membuka mata adalah semua putih dan bau tajam obat-obatan menusuk hidungnya. “Kamu sudah sadar, Nak?” Sofi menoleh dan mendapati mama Ara ada di sana, Sofi berusaha bangun tapi saat tak sengaja dia bertumpu pada tangannya dia mengernyit kesakitan. “Hati-hati tanganmu terluka parah.” Sofi ingat tusukan itu dan darah yang merembes keluar, begitu deras bercampur dengan ... darah Romeo. “Romeo bagaimana dia tante?” tanya Sofi begitu ingat kejadian malam itu, Romeo yang tak bergerak meski dia berteriak memanggil namanya. “Dia baik-baik saja kan?” “Tenanglah, dia sudah ditangani dokter, sekarang operasinya masih berlangsung,” kata wanita itu dengan senyum menenangkan. “Dimana?” Mama Ara langsung menggeleng dan menatap luka di tangan Sofi. Sofi mengikuti pandangan itu dan tangannya berdenyut begitu sakit sampai dia menyadari sesuatu... tapi sebelum dia bertanya pintu ruangan terbuka dan beberapa orang berpakaian dokter melangkah masuk. “Apa yang terj
Ternyata ke pesta bersama Romeo tak sehoror yang Sofi bayangkan. Paling tidak laki-laki itu memperlakukannya dengan baik meski Sofi tahu kalau itu hanya pencitraan saja. Yup tentu saja Romeo sang bintang yang tengah bersinar tidak akan sudi kalau nama baiknya akan tercemar lagi, apalagi perusahaan papanya juga pasti terkena dampaknya. “Jangan salah paham aku hanya tidak ingin nama baikku dan keluargaku hancur.” Tuhkan benar dugaan Sofi. Saat ini mereka memang sudah kembali berkendara meninggalkan pesta, dengan Romeo sendiri yang menyetir mobilnya, tanpa didampingi asisten atau bodyguard seperti b iasanya. Hal yang tadi sempat menjadi perdebatan dengan orang tua laki-laki itu di telepon. Sofi baru menyadari kalau menjadi orang kaya itu tidak selalu menyenangkan, bayangkan saja kalau hanya ingin pergi sebentar harus dikawal beberapa orang. Hah! “Aku tahu,” jawab Sofi sambil menunduk menatap kuku jarinya yang entah kenapa jadi lebih menarik. Tak dipungkiri ada sedikit rasa bahag
“Siapkan dirimu untuk menghadiri undangan ini besok.” Sofi menatap kertas undangan mewah yang dilemparkan Romeo padanya, dia baru saja mandi dan akan naik ke tempat tidur saat tiba-tiba pintu kamarnya terbuka dan sosok Romeo masuk tanpa perlu repot-repot mengetuk pintu atau mengucap salam. Untung saja aku tidak sedang ganti baju, batin Sofi. Status mereka memang suami istri tapi Sofi seperti masih berada di kamar kosnya yang dulu, serba tak peduli. “Apa aku harus ikut?” tanya Sofi nekad saar Romeo sudah membalikkan badannya, bukan apa-apa sih dia sangat mau memang untuk mendampingi laki-laki itu ke sebuah pesta, tapi masalahnya Romeo terlihat sangat membencinya, dan terlihat tak sudi bercakap-cakap dengannya bisa mati gaya dia datang terus dicuekin semua orang. “Mama yang minta,” kata Romeo seolah menjelaskan segalanya. “Apa beliau juga datang?” Mata Romeo langsung menyipit curiga membuat Sofi kesal. Segitunya dia hanya memastikan nanti ada orang yang dia kenal. “Aku tidak tah
“Kemasi semua barang-barangmu.” Mata Sofi langsung melebar saat mendengar perintah Romeo, dia hanya menatap laki-laki itu dengan pias. Apa lagi salahnya sekarang? Apa Romeo akan menceraikannya sekarang? Padahal baru saja dia berniat mengikuti saran mama mertuanya. “Kenapa? Apa Ara sudah kamu temukan?” tanya Sofi dengan dada bergemuruh kencang. “Bukan urusanmu.” Dan laki-laki itu langsung keluar kamar, Sofi terdiam ditempat benarkah ini akhir dari pernikahan mereka, dan sebentar lagi dia akan menyandang predikat janda. Sofi sudah memegang handle pintu, apa dia harus bercerita pada mama mertuanya? Tapi... Sofi menggeleng pelan, apa enaknya memiliki orang yang jelas-jelas tak mau kita miliki apalagi alasan pernikahan mereka sudah tidak ada lagi jika Ara sudah kembali. Dia bukan Ana yang mau saja menjadi istri kedua meski bukan keinginannya. Sofi menghela napas panjang dan membuka lemari pakaian, mengambil baju-bajunya yang beberapa hari lalu baru saja menjadi penghuni lemari ini d
“Dimana?” Mata Sofi membulat saar mendengar suara di ujung sana, tentu saja dia mengenali suara Romeo dengan baik, dia tadi sempat tak percaya nomer Romeo yang sudah lama dia simpan tiba-tiba menghubunginya. “Ehm.... ini siapa?” rasa marah membuat Sofi tidak ingin langsung menjawab. “Kamu tahu siapa aku,” kata orang diujung sana. Sofi menghela napas. “Baiklah aku matikan jika bukan hal penting.” Sofi menatap ponselnya, ada godaan untuk menonaktifkan ponselnya, tapi ada juga rasa penasaran kenapa laki-laki itu tiba-tiba mencarinya, apakah dia sedang ada masalah? Ah sial kenapa dia masih peduli padanya? Bukankah Romeo sama sekali tidak menginginkannya, bahkan laki-laki itu juga menghinanya padahal dia hanya berniat membantu. Tak lama ponselnya kembali berdering dan nomer yang sama kembali menghubungi, Sofi hanya menatap layar ponselnya, hatinya masih bimbang lalu meletakkan ponsel itu lagi, tak lama panggilan itu berhenti. Sofi menghela napas panjang dan merebahkan tubuhnya di r
Air mata Sofi menetes membasahi pipinya. Bukan hanya karena dagunya yang dicengkeram erat oleh Romeo tapi juga kata-kata kasar penuh hinaan dari laki-laki itu. Sampai kapan dia harus seperti ini. “Sudah aku bilang bukan jangan pedulikan aku, jangan pernah berharap menjadi istriku yang sebenarnya.” Setelah berkata begitu Romeo menyambar kemeja yang tadi malam dia pakai dan memakainya dengan cepat sebelum pergi dari kamar itu tak lupa membanting pintu kamar. Sofi langsung tersenyum begitu pintu kamar dibanting, meski air matanya menetes dengan deras. “Memangnya apa yang kamu harapkan, Sof. Menoleh padamu saja dia tidak sudi,” gumam Sofi.Dengan kasar Sofi mengusap air matanya, dia lalu beranjak dari atas ranjang. Sudah tak ada gunanya di sini. Orang yang ingin dia lindungi malah menuduhnya dengan keji. Sejenak Sofi menatap bayangan wajahnya di dalam cermin dan yang menatap balik di sana hanya wanita menyediihkan dengan mata bengkak dan dagu memerah juga rambut yang awut-awutan