Ana tidak pernah suka berbohong ataupun dibohongi.
Dulu orang tuanya menanamkan kebiasanan untuk tidak berbohong dengan begitu ketat, tapi saat beranjak dewasa, Ana tah saat-saat tertentu dia harus berbohong berbagai hal, diantaranya adalah pernikahannya yang tak seperti yang orang lihat. Dan sekarang dia harus berbohong pada anaknya untuk menutupi siapa ayah anak itu, Ana merasa belum siap mengatakan pada Romeo tentang semua ini.“Kita bicara nanti ya, Nak, bisik Ana lembut pada putranya yang memeluknya dengan erat.Ana memeluk erat putranya, dia juga bingung akan menjawab apa, Raffael memberi isyarat untuk diam saja tanpa menjawab sepatah kata pun.“Orangku sudah datang kita siap-siap pergi, ingat hanya senyum saja pada wartawan dan jangan menjawab apapun,” bisik Raffael pada Ana, dia langsung mengangkat tubuh Romeo kembali dalam gendongannya dan meminta Sasi untuk membawa barang bawan mereka, untunglah hanya sebuah tas jinjing saja.<“Selamat pagi anak tampan,” sapa Sandra yang pagi ini sudah datang kembali ke villa yang ditempati Ana dan Romeo. Romeo yang sedang bermain dengan kelinci kecil peliharaan penjaga villa menoleh sebentar dan tersenyum menatap Sandra. “Selamat pagi, oma,” katanya lalu kembali asyik bermain dengan kelinci itu lagi, membuat Sandra mengerutkan keningnya dengan heran. Ana yang juga memperhatikan mereka sambil membaca buku hanya bisa menghela napas sedih. “Romeo kenapa, An apa dia tidak suka tinggal di sini,” kata Sandra saat mendekati Ana. Sandra memeluk wanita yang lebih muda itu sebentar sebelum duduk di sampingnya dan mengawasi Ana yang juga membaca buku dengan wajah murung.“Kamu juga terlihat ehm... mendung, ada apa sebenarnya?” tanya Sandra dengan lembut. Ana tahu sangat tidak sopan kalau harus mencerca Sandra juga yang telah memberi mereka tumpangan tinggal, tapi hatinya begitu gelisah. “Apa Raffael belum memberi kabar, Bu?” tanya Ana, yang membuat mata Sandra berbinar dengan b
Bagi Bella tentu saja bukan hal yang sangat sulit untuk mengganti dengan materi semua kerugian yang disebabkan olehnya. Dia berasal dari keluarga kaya, juga selama menjadi istri Raffael dia sudah banyak mengumpulkan uang yang bisa menunjang semua penampilan dan kehidupannya yang memang hedon. Akan tetapi tentu saja, kejadian yang masih ada hubungannya dengan Raffael ini membuatnya memiliki pemikiran lain, dia bertekad harus bisa memanfaatkan momen ini untuk kembali dekat dengan Raffael, dia tahu tanpa Raffael uang yang dia miliki tidak akan berguna. “Bagaimana mungkin kamu bisa mengamuk seperti orang gila seperti itu, mama malu pada teman-teman mama!” baru saja Bella sampai di rumah orang tuanya sudah disambut sang mama dengan ocehan yang membuat telinganya pengang. “Sudah, Ma, kita beri kesempatan Bella untuk masuk dulu dan beristirahat,” kata sang ayah. “Itu yang membuatnya selalu bermasalah, kamu terlalu memanjakannya! Lihat kelakuannya!”
Ternyata memutuskan untuk tidak menjadi pecundang tak semudah yang Raffael bayangkan. Mengakhiri dan melepas secepatnya tentu saja menjadi impian terbesarnya saat ini. semua belenggu yang sudah mengikatnya sejak dia memasuki masa remaja, membuatnya terpenjara dalam rasa yang membuatnya hampir gila, tidak mudah memang melepaskan apa yang telah dia perjuangkan hampir separuh usianya dan itu karena... cinta. Sekarang demi cinta juga dia harus melepas semuanya, dia seorang ayah, meski sang anak bahkan belum pernah memanggilnya dengan sebutan ayah atau papa, tapi tetap saja dia mencintai anak itu lebih dari dirinya sendiri, padahal kalau diapikir secara logika mereka baru saja bertemu tapi rasa cinta yang dia miliki untuk anak itu sangat besar bahkan dia rela mengorbankan apapun untuk tetap melihat sang anak tersenyum. “Aku tahu kalau anak itu anakmu dan Ana, apa kamu ingin dia tahu kalau ibunya adalah wanita yang telah merusak kebahagiaan kita,” kata Bella
Mereka mengaku hanya sahabat, pengakuan yang sama seperti di masa lalu. Ana merasa dejavu dengan konferensi pers hari itu, dia memang hanya melihat sekilas saja, karena sang bu mertua buru-buru mematikan televisi, entah apa maksudnya, beliau hanya berkata. “Jangan terlalu dipikirkan, ini hanya cara untuk menyelesaikan masalah semua akan baik-baik saja.” Akan tetapi Ana tahu semuanya tidak akan baik-baik saja, dulu hal seperti ini juga sering terjadi Bella yang membuat ulah, Raffael yang mengatasi masalah itu dan Ana yang dikorbankan, dulu dia terlalu buta dan berharap semua itu akan segera berakhir, bahkan dia dengan sangat percaya diri menerima bantuan Raffael dan keluarganya. Setelah tujuh tahun lamanya Ana sangat berharap kalau semua itu akan berubah, paling tidak Romeo tak akan pernah menghadapi hal yang sama seperti dirinya dulu, tapi harapan hanya tinggal harapan. “Kami akan kembali sekarang juga, ada hal yang harus saya kerjakan,” kata Ana pada sang ibu. “Tapi di sana ma
“Kita perlu bicara,” kata Raffael tanpa menghiraukan Sasi yang hanya melongo memandang tamu yang langsung nyelonong masuk ke dalam, mengabaikan dirinya, bahkan ibu laki-laki itu juga ada di sana, ikut mengerutkan kening melihat tingkah anak laki-lakinya. Sedangkan Ana yang diajak bicara hanya bisa mengatakan “Hah!” karena terlalu kaget. “Raff, apa-apaan kamu di mana sopan santunmu,” tegur sang ibu. Raffael seolah baru tersadar dengan kehadiran sang ibu di sini, dia melangkah cepat pada sang ibu dan mencium punggung tangannya dengan takzim, lalu dengan tatapan mata yang dalam memandang mata sang ibu. Sandra hanya bisa menghela napas pelan, dia tahu tidak ada jalan yang lebih baik selain mereka berdua harus bicara. “Bersikap baiklah, ibu tak ingin kehilangan mereka, ibu percaya kamu anak ibu yang baik,” kata Sandra yang langsung berjalan ke pintu keluar. “Ibu akan membeli cemilan sebentar, kalian harus bicara,” sang ibu memandang Ana.
“Om Raffael kenapa setiap hari mengantar jemputku, aku ada sopir yang bisa melakukan itu,” kata Romeo ketika lagi-lagi Raffael menjemputnya dari sekolah. Raffael menoleh pada anak itu masih dnegan senyum di bibir dia berkata, “Kamu keberatan jika om mengantar jemputmu tiap hari?” Sejenak Raffael menatap putranya itu, dia teringat obrolannya kemarin dengan Ana. “Aku ingin menjadi ayah yang sesungguhnya untuk Romoe bukan hanya orang yang memiliki DNA yang sama, tapi juga bisa setiap hari bersamanya, dan selalu ada saat dia butuhkan.” “Maksudmu kamu ingin mengambil Romeo dariku?” tanya Ana makin gelisah. Raffael berdecak sebal, dia sangat sadar selain mendekati Romeo dia juga harus mendekati Ana, ibu dari anaknya itu memiliki luka yang sangat dalam dan sangat sulit untuk disembuhkan dan sialnya lagi luka itu Raffaellah penyebabnya. “Bukan seperti itu, aku mau kita kembali bersama sebagai keluarga, maksudku aku sudah pernah bi
Ana tak pernah berharap akan kembali lagi ke rumah ini, yah... meski dia hanya berkunjung sebagai tamu untuk menjemput anaknya. Rumah ini masih sama, bahkan bunga mawar yang dulu dia tanam juga masih ada, bahkan sudah tumbuh subur dan berbunga, sejenak Ana terpaku menatap bunga-bunga berwarna merah itu, pasti di pagi hari akan terlihat sangat indah. “Mbak Ana!” seruan itu membuat Ana yang ingin menekan bel pintu harus memundurkan langkah, dan tubuhnya harus berusaha keras menahan tubuh tambun yang menabrak tubuhnya dengan sangat keras. “Bi, sa...saya nggak bisa napas,” kata Ana dengan terengah berusaha mengingatkan sosok yang baru saja memeluknya kelewat erat. “Saya sudah mendengar kabar mbak Ana, saya sangat ingin bertemu dan juga ... anak itu, tapi saya takut mbak Ana tidak akan mau bertemu dengan saya,” kata bibi sambil memeluk Ana dengan erat, Ana bisa merasakan bahu wanita itu yang bergetar dan isak lirih terdengar. Wanita tua ini sudah sa
Ana berkeras ingin pulang kembali ke apartemennya. Raffael tentu saja sudah menduga semuanya tidak akan semudah itu, luka yang dia berikan pada Ana terlalu dalam untuk bisa disembuhkan dengan kata maaf dan iming-iming berbagai fasilitas yang dia berikan, Ana bukan orang yang gila harta, Raffael sangat tahu hal itu. Karena itu dia menggunakan Romeo untuk membawa wanita itu kembali dalam hidupnya, dia ingin menebus kesalahan yang dulu pernah da lakukan, dan Raffael sama sekali tak percaya dengan kata-kata melepaskan akan memberi kebebasan pada Ana untuk memilih akan membuat wanita itu lebh bahagia. bagi Raffael dialah yang bisa menyembuhkan trauma yang Ana alami, dan dia siap bekerja keras untuk itu, dia bersumpah pada dirinya sendiri untuk membahagiakan Ana.Rasa takut kehilanggan dan ditinggalkan itu sangat kuat terasa saar dia memandang punggung Ana yang berlalu pergi bersama putra mereka. Raffael bukan orang yang lugu, dia tahu hanya dengan mem