“Kita perlu bicara,” kata Raffael tanpa menghiraukan Sasi yang hanya melongo memandang tamu yang langsung nyelonong masuk ke dalam, mengabaikan dirinya, bahkan ibu laki-laki itu juga ada di sana, ikut mengerutkan kening melihat tingkah anak laki-lakinya.
Sedangkan Ana yang diajak bicara hanya bisa mengatakan “Hah!” karena terlalu kaget.“Raff, apa-apaan kamu di mana sopan santunmu,” tegur sang ibu.Raffael seolah baru tersadar dengan kehadiran sang ibu di sini, dia melangkah cepat pada sang ibu dan mencium punggung tangannya dengan takzim, lalu dengan tatapan mata yang dalam memandang mata sang ibu.Sandra hanya bisa menghela napas pelan, dia tahu tidak ada jalan yang lebih baik selain mereka berdua harus bicara.“Bersikap baiklah, ibu tak ingin kehilangan mereka, ibu percaya kamu anak ibu yang baik,” kata Sandra yang langsung berjalan ke pintu keluar. “Ibu akan membeli cemilan sebentar, kalian harus bicara,” sang ibu memandang Ana.“Om Raffael kenapa setiap hari mengantar jemputku, aku ada sopir yang bisa melakukan itu,” kata Romeo ketika lagi-lagi Raffael menjemputnya dari sekolah. Raffael menoleh pada anak itu masih dnegan senyum di bibir dia berkata, “Kamu keberatan jika om mengantar jemputmu tiap hari?” Sejenak Raffael menatap putranya itu, dia teringat obrolannya kemarin dengan Ana. “Aku ingin menjadi ayah yang sesungguhnya untuk Romoe bukan hanya orang yang memiliki DNA yang sama, tapi juga bisa setiap hari bersamanya, dan selalu ada saat dia butuhkan.” “Maksudmu kamu ingin mengambil Romeo dariku?” tanya Ana makin gelisah. Raffael berdecak sebal, dia sangat sadar selain mendekati Romeo dia juga harus mendekati Ana, ibu dari anaknya itu memiliki luka yang sangat dalam dan sangat sulit untuk disembuhkan dan sialnya lagi luka itu Raffaellah penyebabnya. “Bukan seperti itu, aku mau kita kembali bersama sebagai keluarga, maksudku aku sudah pernah bi
Ana tak pernah berharap akan kembali lagi ke rumah ini, yah... meski dia hanya berkunjung sebagai tamu untuk menjemput anaknya. Rumah ini masih sama, bahkan bunga mawar yang dulu dia tanam juga masih ada, bahkan sudah tumbuh subur dan berbunga, sejenak Ana terpaku menatap bunga-bunga berwarna merah itu, pasti di pagi hari akan terlihat sangat indah. “Mbak Ana!” seruan itu membuat Ana yang ingin menekan bel pintu harus memundurkan langkah, dan tubuhnya harus berusaha keras menahan tubuh tambun yang menabrak tubuhnya dengan sangat keras. “Bi, sa...saya nggak bisa napas,” kata Ana dengan terengah berusaha mengingatkan sosok yang baru saja memeluknya kelewat erat. “Saya sudah mendengar kabar mbak Ana, saya sangat ingin bertemu dan juga ... anak itu, tapi saya takut mbak Ana tidak akan mau bertemu dengan saya,” kata bibi sambil memeluk Ana dengan erat, Ana bisa merasakan bahu wanita itu yang bergetar dan isak lirih terdengar. Wanita tua ini sudah sa
Ana berkeras ingin pulang kembali ke apartemennya. Raffael tentu saja sudah menduga semuanya tidak akan semudah itu, luka yang dia berikan pada Ana terlalu dalam untuk bisa disembuhkan dengan kata maaf dan iming-iming berbagai fasilitas yang dia berikan, Ana bukan orang yang gila harta, Raffael sangat tahu hal itu. Karena itu dia menggunakan Romeo untuk membawa wanita itu kembali dalam hidupnya, dia ingin menebus kesalahan yang dulu pernah da lakukan, dan Raffael sama sekali tak percaya dengan kata-kata melepaskan akan memberi kebebasan pada Ana untuk memilih akan membuat wanita itu lebh bahagia. bagi Raffael dialah yang bisa menyembuhkan trauma yang Ana alami, dan dia siap bekerja keras untuk itu, dia bersumpah pada dirinya sendiri untuk membahagiakan Ana.Rasa takut kehilanggan dan ditinggalkan itu sangat kuat terasa saar dia memandang punggung Ana yang berlalu pergi bersama putra mereka. Raffael bukan orang yang lugu, dia tahu hanya dengan mem
Dari sekian banyak kemungkinan yang ada, Ana tidak pernah menduga kalau dia akan bertemu dengan orang tua Bella di sini di dalam mala, dengan disaksikan oleh puluhan pasang mata, meskipun Ana tahu sebagian besar dari mereka tidak peduli,karena dia bukan lagi artis tenar yang membntangi sinetron yang digemari ibu-ibu, tapi tetap saja banyak penggemar Romoe yang diam-diam memperhatikan mereka, apalagi dengan berbagai gosip yang baru saja reda. Ana tahu sebagai publik figure dia tidak akan pernah sepi dari pemberitaan media, entah itu yang baik atau yang buruk, hal yang sama juga harusnya disadari oleh pasangan itu, meski mereka memang bukan publik figure tapi anak mereka adalah seorang artis dan butuh banyak ciitra posistif untuk mengembalikan imagenya yang telah terlanjur rusak oleh perbuatannya sendiri.“Romeo mau robot-robotan?” tanya Raffael yang entah kapan datangnya sudah berdiri di belakang Ana, sepertinya Romeo juga terkejut dengan kehadiaran laki-laki itu.
Menurut Raffael rasa trauma hanya bisa disembuhkan oleh penyebab trauma itu sendiri. “Mungkin kamu merasa terlalu egois dan pemaksa, tapi aku ingin Romeo hidup normal seperti anak-anak lainnya dengan ayah dan ibu yang setiap hari bertemu, bukan hanya yang mengantarkannya ke sekolah lalu menjemputnya.” “Aku tak ingin lagi menajdi benalu dalam hubunganmu dengan Bella, aku tidak mau Romeo nantinya akan mendapat imbasnya,” kata Ana dengan tak yakin, perasaan takut itu masih kuat mencengkeram dirinya luka fisik dan batin yang dia daoatkan dulu tak begitu saja bisa dia sembuhkan, dan Romeo ...oh astaga dia tak akan tahan kalau Romeo di perlakukan seperti itu. “Omong kosong, aku tidak akan kembali pada Bella, dia hanya masa laluku, aku memang tidak bisa berbohong kalau tidak lagi mempunyai rasa dengannya, tapi jika kita bersama aku optimis bisa mengalihkan perasaanku padamu,” kata Raffael dengan yakin. “Bagaimana kalau ternyata kamu tidak bisa?” tanya Ana. “Kamu bi
Ana kira perkataan Raffael yang ingin membantunya sembuh bukan isapan jempol semata, terbukti siang ini setelah mengantar Romeo ke sekolah Raffael malah kembali ke apartemen Ana dan sambil menghabiskan secangkir kopi yang dibuatkan Sasi. “Apa yang kamu lakukan di sini, Raff, seharusnya kamu pergi bekerja,” kata Ana. “Perusahan itu tak akan kolaps meski aku tidak ada di kantor.” Memang benar, sih jaman sekarang dengan adanya internet semua bisa dilakukan di mana saja, tapi kok Ana kesal ya dengan kemudahan itu. “Tapi tetap saja kamu harus ada di sana setidaknya untuk membuat anak buahmu mudah menemuimu.” “Mereka bukan anak-anak lagi dan aku menggaji mahal mereka untuk bekerja dengan benar dengan atau tanpa aku di sana, lagi pula aku ada urusan penting yang tak boleh aku lewatkan.” Terserahlah, Ana sebenarnya tidak peduli tapi karena Raffael ada di rumahnya membuatnya engan untuk sekedar beredar di ruangan yang sama. “Kamu sudah siap, kita berangkat sekarang,”
Raffael tersenyum sinis saat sebuah pemikiran terlintas di kepalanya. Tidak ada lagi untuk Bella, atau setidaknya dia tak merasakan sebesar dulu, dan tentu saja hal itu harus dirayakan, jangankan berfoto mesra seperti ini, Bella di dekati laki-laki lain saja Raffael sudah seperti kebakaran jengkot, dulu, tapi sekarang hatinya sama sekali tak maslaah dia bahkan bisa tersenyum senang melihat itu semua. Fix dia berhasil move on. Dan ini waktunya untuk cinta yang baru. Sejenak Raffael berpikir untuk menerobos masuk ke dalam ruangan itu dan mengatakan semuanya pada Ana, tapi tentu saja yang ada di ruangan itu akan menganggapnya gila. Raffael menatap ke arah pintu yang tertutup berharap Ana segera keluar dari sana, ini awal yang baik untuk memulai suatu hubungan, yah... memang dia akui begitu konyol tak dapat meraba hatinya sendiri, tapi ya sudahlah dia hanya harus mempertahankan perasaan ini, dan waktunya meraih kembali anak dan istrinya, miliknya yang berharga
Raffael memang tak pernah main-main dengan ucapannya. Rabu malam saat Ana masih sibuk mengetik naskah, laki-laki itu malah muncul di depan pintu apartemennya membuat Ana langsung berkata. “Kok sudah ke sini deadlinenya samapai hari Jum’at.” Sejak Adam menikah dengan sahabat baiknya, Ana memang membatasi pertemuan mereka hanya pada masalah pekerjaan jika berdua saja, meski kadang-kadang Adam amsih sangat cerewet mengatur kehidupan pribadinya seperti saat laki-laki itu masih menjadi managernya, untunglah Resti tidak berpikir macam-macam, setidaknya itulah yang ditampilkan sahabatnya itu di depannya dan Ana harap memang benar-benar begitu, karena dia tidak mau dianggap menghancurkan pernilahan orang lain untuk yang kedua kalianya. “Memangnya aku tidak boleh ke sini kalau tidak ada urusan pekerjaan,” kata Adam tak terima. Ana tahu dia sudah menyinggung Adam, bagaimanapun juga laki-laki itu sudah sangat baik padanya, Adamlah yang membantunya untuk