Dalam perjalanan pulang tak ada yang membuka suara, mobil itu seakan berjalan dengan sangat lamban.
Divya menatap suasana malam dari dalam mobil, ia enggan jika harus bersitatap dengan Jo dalam suasana seperti ini.
Tak ada yang tahu, Divya sangat pintar dan bersih dalam menyembunyikan suasana hatinya.
Setelah melewati jalan yang begitu panjang, tibalah mobil di halaman rumah. Namun tak ada pergerakan dari Divya, beberapa kali Jo memanggil namanya namun sama sekali tak ada sahutan.
โHah, ternyata tidur anaknya.โ
Dengan sekali gerak, tubuh Divya sudah ada dalam gendongannya.
Dengan dibantu pelayan, Jo membawa tubuh Divya masuk ke dalam kamar.
โKalau begitu saya tinggal kebawah dulu, tuan Jo.โ Pamit setelah membukakan pintu kamar.
Dengan begitu hati-hati Jo meletakkan tubuh itu, sangat hati-hati seakan ia takut akan menyakitinya.
Menarik selimut panjang, Jo membungkus tubuh Divya disana. Tak lupa ia juga menyesuaikan suhu k
Brian masih fokus dengan laptop di depan nya ketika samar-samar ia mendengar suara keribuatan dari luar.Tak ingin mengurusinya, namun semakin lama suara bising itu semakin nyaring terdengar oleh telinganya.Dengan rasa kesal, Brian keluar dan mencari sumber suara.Keluar dari ruangan, mata Brian memicing saat melihat dua orang wanita tengah berdiri membelakingnya dengan saling berbisik.“Kasian sih.”“Ia, selalu saja di bully begitu. Kasina banget.Brian semakin tak mengerti apa yang tengah mereka tonton sampai-sampai kehadirannya saja diabaikan.Namun semakin ia mendekat semakin terdengar jelas pula suara deru tangis seorang wanita disertai sentakan juga hinaan.Mendengar setiap hinaan itu darah Brian mendidih dibuatnya, bukan tentang siapa yang tengah dihina namun tentang hati manusia yang dirasanya sudah mati rasa.“Beginikah mulut karyawan teladan di perusahaan saya! Benar-benar busuk sekali,
Sekembalinya dari meeting, Jo menjadi lebih pendiam. Raganya mungkin sedang bekerja, namun jika di tanya pikirannya mungkin kini sedang berkelana entah kemana.Brian mengerutkan dahi, bukan hal aneh dengan sikap dingin asistennya itu. Namun ia merasa diamnya sang asisten kali ini berbeda, seakan ada sesuatu yang tengah di sembunyikannya.Namun Brian sama sekali tak berminat untuk menegur atau sekedar bertanya, ia sangat menghargai kehidupan privasi Jo lebih dari apapun. Tak pernah sekalipun ia ikut campur jika tak membahayakan asisten rasa saudara itu.“Asal kerjaannya beres juga tak masalah.”Jo sendiri sejak tadi tak bisa konsen dengan ketikan di laptopnya.Bayangan saat Divya meninggalkannya di jalan terus berputar seperti potongan film di bioskop. Tatapan mata kecewa, marah bahkan terkesan bosan.Jo merasa Divya berubah, tak seperti dulu sebelum. Setelah tragedi penolakan itu, memang Jo mengakui mengurangi komunikasi dan teru
Karena ucapan dari Jo, Brian melarang adiknya pergi ke café jika tanpa dampingan dari dirinya atau Jo. Sebab kedua orang tuanya jelas tak akan bisa mendampinginya karena urusan bisnis.Dan karena hal itu, wajah cantik Divya terus saja di tekuk sepanjang jalan. Tak ada celoteh atau sekedar senyum seperti setiap harinya.Katakanlah jika Brian posesif, namun hal itu juga bukan keinginannya semata. Bagi laki-laki dingin itu, keselamatan jauh lebih penting dari apapun itu.“Dek, nanti ikut sama abang dulu ketemu client baru kita pergi ke café. Ok?”“Hm.”Brian tahu adiknya merajuk, dan ia sama sekali tak berniat merayu. Beda hal dengan Jo yang tersenyum penuh kemenangan di hatinya.Tak kan ada yang tahu jika saat ini laki-laki itu tengah bergembira, sebab apapun perasaannya selalu dibungkus dengan wajah dinginnya.Tiba di tempat tujuan, Brian keluar lebih dulu lalu membukakan pintu untuk sang adik. Den
Lius memilih taman kota untuk melepas stress dan penat dalam kepalanya. Seorang diri duduk di depan taman, menatap lalu lalang orang-orang yang tengah sibuk dengan kegiatannya.“Andai aku bisa menikmati hariku seperti mereka,” desahnya.Ingin sekali Lius mengajak serta keluarganya menikmati indahnya taman kota di negaranya, namun sang istri selalu menolak dengan berbagai alasan.Lius duduk seorang diri, menikmati hangatnya terik mentari yang menusuk kulit putihnya.“Tuan Adelius?”“Stella? Kebetulan sekali kita bertemu disini,” ucap Lius.Wanita bernama Stella itu tersenyum menatap mantan bos besarnya itu. Wajah cantik nan teduh itu selalu mampu membuat Lius damai dalam hitungan menit.“Duduklah, kau dari mana? Kenapa bisa sampai disini?” sekali lagi bertanya.“Saya baru saja mengantarkan pesanan, tidak jauh dari sini tempatnya.” Jelas Stella.Dulu bekerja sebag
Film terus menampakan adegan demi adegan yang sangat menegangkan, namun tiba-tiba saja adegan menyeramkan itu berubah romantis ketika sepasang kekasih berdua didalam ruangan.Tubuh Jo menengang, begitu juga dengan Divya. Keduanya sama-sama diam dengan mata menatap lurus kedepan.Divya merasakan tangannya di genggam, ia pun memutar kepala dan menatap pemilik tangan tersebut.Tidak di duga, Divya tiba-tiba saja menyerang Jo kecupan bibir.Melihat reaksi diam Jo membuat Divya menyeringai, walau dalam hatinya ia begitu cemas.“Kau yang memulainya, baby.”Dengan sekali tarik tubuh keduanya saling merapat, Jo segera menempelkan kembali bibirnya dengan bibir ranum Divya.Suasana bioskop benar-benar mendukung apa yang saat ini tengah dilakukan dua sejoli tanpa hubungan itu. Jo bahkan sudah tidak perduli lagi dengan konsekuensi yang akan di terimanya nanti jika Brian tahu perbuatannya.Terus melumat bibir ranum Divya dengan
Sony terus mencari berita tentang Brian, semakin hari rasa iri di hatinya semakin besar. Terlebih saat ia melihat satu berita tentang pencapaian yang telah Brian dapatkan, bahkan di negaranya sendiri pun semua orang tahu siapa Brian Dameer itu.“Sialan! Aku harus bisa mengalahkannya, dengan begitu kasih sayang daddy hanya akan menjadi milikku.”Sejak kecil, Sony sangat terobsesi dengan kasih sayang ayahnya. Ia selalu tak suka jika ayahnya membanggakan prestasi kakak tirinya.Hanya boleh ada dirinya dalam pikiran ayahnya, hanya Sony dan bukan Brian.“Atau aku kesana saja, sekalian aku bisa melihat seperti apa rupa asli kakak tiriku itu.”Sony memang hanya anak tunggal di antara Lius juga Juli, namun hal itu tak membuat Lius mempercayakan perusahaannya pada putranya itu.Lius tahu betul bagaimana putranya, hingga membuat ia enggan menyerahkan posisi penting itu pada sang putra.Dan hal itu selalu menjadi pemicu p
Niat hati ingin menolong Nindya, namun sayangnya Brian juga sama tak imbangnya. Tubuh keduanya terpental kebelakang, dan bersamaan dengan itu Jo masuk ke dalam ruangan.“Permisi, Tuan-“Oh, maaf mengganggu.”Jo yang melihat keadaan segera undur diri dan kembali menutup pintu, ia pun memilih kembali ke dalam ruangannya.Nindya segera menyingkir dari tubuh Brian, berkali-kali ia membungkuk maaf atas kecerobohannya itu.“Sudah-sudah, kamu bisa kembali ke pantry.”Nindya pun segera keluar dan kembali ke pekerjaannya.Namun sepanjang hari hatinya merasa gelisah, Nindya melihat sendiri bagaimana wajah terkejut Jo saat itu.“Pasti dia salah paham, aku harus menjelaskannya.”Sejak kejadian itu, ia merasa sikap Jo berubah. Walah tak pernah tersenyum namun Jo selalu membalas sapaan semua orang, namun tidak dengan hari ini.Pria itu jauh lebih dingin dari sebelumnya, terkesan memenda
Nindya hanya bisa menatap tubuh tegap itu perlahan menghilang dari pandangannya, matanya memanas mengingat penolakan itu.“Ternyata tuan Jo marah, apa tadi bertengkar dengan tuan Brian gara-gara masalah itu?” menatap nanar darah Jo yang membekas di tembok.Dengan langkah lesu ia pun keluar dari ruangan Brian dan menutup nya, niat hati ingin membersihkan area sana namun ia urungkan karena sesak di hatinya.“Aku bersihkan nanti sepulang kerja saja, aku tidak ingin semakin sakit melihat tuan Jo yang masih dingin terhadapku.”Di dalam perjalanan, Brian berusaha tenang dan mengalihkan pikiran buruknya.Dalam sekejap mobil yang di kendarainya itu sudah tiba di pelataran rumah sakit yang disebutkan oleh ibunya.“Di mana IGD nya?”“Bapak bisa lurus saja, nanti belok kiri. Ada di sudut sebelah kanan.”Brian berlari sesuai dengan apa yang diarahkan, matanya menangkap sosok ibunya yang tenga
Sony geram dengan wajah berani Jo terhadapnya, ia pun marah dan terjadilah pertarungan disana.Dengan menahan sakit, Jo terus melawan. Juli tak terima melihat putranya hampir kalah, ia pun segera mendekati Divya dan mengancam Jo disana.โBerani kau memukul putraku, maka gadis ini akan aku pukul balik.โDivya hanya bisa menangis, menjerit bahkan memohon saat melihat Jo habis babak belur di tangan Sony. Belum lagi luka di perutnya kembali terbuka dan mengeluarkan banyak darah.Jo sudah tak sanggup, ia jatuh dan hilang kesadaran.Divya yang panik mendorong Juli dan berlari kepada JO.โKalian biadab, binatang kalian semua.โ Makinya.Divya memeluk tubuh Jo kedalam pelukannya, gadis itu menangis tersedu-sedu memohon pada Jo untuk kembali membuka mata.Sony sangat puas, ia pun meninggalkan ruangan dengan tawa senang diikuti Juli di belakang.Tak ada ranjang yang layak, semua tempat nampak kumuh tak terawat. Hanya ada ranjang usang yang kemarin digunakannya.Dengan susah payah Divya menarik tu
Namun tekat bulat Jo membuat laki-laki itu segera kabur dan mengabaikan teriakan Brian.Brian panik, kondisi Jo masih belum pulih. Belum lagi lukanya baru saja kembali dijahit, Brian benar-benar dibuat sangat panik.“Kamu coba kejar dia, papa akan kembali ke atas dan memberitahu semuanya.”Mengangguk, Brian segera menyusul dengan menggunakan mobilnya.Di dalam taxi, Jo mencoba melacak keberadaan Divya dari ponsel pintarnya. Namun sayang sejak tadi tak kunjung dia menemukan titik lokasi keberadaan Divya.“Permisi, Tuan. Tujuan kita kemana ya?” tanya supir taxi.“Jalan XX depan bangunan kosong.”Taxi melaju dengan kencang membelah kemacetan, namun fokus Jo masih dengan ponsel di tangannya.Setibanya disana, Jo berjalan menyusuri jalan sepi tanpa penghuni.“Kenapa titik lokasinya ada disini? daerah ini bukankah sudah tidak berpenghuni?” gumam Jo.Sepanjang jalan kakinya
Semua tengah bersantai, berkumpul bersama walau di rumah sakit tempatnya.Lio sengaja meluangkan waktu demi memberi perhatian lebih pada Jo yang sedang terluka. Bagi Lio, Jo sudah seperti anak juga baginya.Lio memesan banyak makanan juga cemilan, ia tak ingin keluarganya kelaparan atau kekurangan makanan.“Adek, jangan diisengin dong Jo nya.” Dengan lembut menegur sang putri.Divya hanya cengengesan saat mendengar sang ayah menegur tingkahnya. Ia pun kembali menyuapi Jo dengan buah anggur di tangannya.Brian fokus dengan laptopnya, sedang Daniel sibuk bermesraan dengan Luna tanpa melihat tempat mereka berada.“Bucin terus, nggak lihat-lihat tempat.”“Dih, sirik aja. Makanya punya pacar,” ejek Daniel.Tiba-tiba saja Divya bangkit dari tempat, berjalan keluar meninggalkan ruang rawat.“Adek, mau kemana?”“Sebentar, Pah. Nggak lama,” serunya sebelum benar-b
Pagi yang begitu cerah, semua orang tengah bersiap untuk menjengur Jo di rumah sakit.Tak lupa Lea juga membawa banyak masakan untuk anak-anak yang sejak semalam menginap disana.“Pakaian untuk mereka sudah siap?”“Sudah, Mom.”Sekar sudah tak sabar mengunjungi Jo disana, ia juga merindukan cucu-cucunya yang sejak semalam tak pulang.Mengendarai dua mobil, mereka melesat menuju rumah sakit.Tiba disana, semua orang dibuat tercengang dengan keadaan di dalam.“Astaga, ini kenapa begini?” seru Rania melihat putra juga keponakannya tengah berlutut dengan memegang kedua telinganya.“Bangun, “ titah Lio pada keduanya.Luna hanya diam, gadis itu tersenyum sembari meletakkan buah yang sedari tadi dipangkunya.“Ada apa? Kenapa panas sekali suasananya?” tanya Sekar pada Luna.“Mereka berdua bikin lukanya Jo kembali terbuka dan harus kembali di jahit, O
Lea berhasil menenangkan suaminya, di dalam pelukan wanita itu Lio terlelap dengan begitu damai.Lea terus membelai rambut Lio, dengan penuh kasih dan sayang ia mengecup kening laki-lakinya.“Maaf jika diamku membuatmu hancur dan seakan dibohongi. Aku sama sekali tidak bermaksud begitu, ayah yang mengingikan semua ini dan bukan aku.” Gumamnya dengan berlinang air mata.Kembali mengingat kejadian lampau itu membuat luka yang masih belum kering kembali basah.Menatap jam dinding, Lea tersadar jika ini hampir tengah malam.Sejak tadi ia tak mendengar suara anak-anak, ia pun juga belum turun untuk melihat mereka semua.“Kemana lagi anak-anak?”Deg, ia pun ingat tentang keadaan Jo saat ini. Dengan cepat ia berusaha menghubungi Brian sang putra.Tak menunggu lama, Brian segera menerima panggilan ibunya.Dengan nada yang sangat cemas, Lea menanyakan tentang keadaan Jo saat ini. Wanita itu benar-benar men
Divya sama sekali tak meninggalkan kekasihnya barang sedikitpun, semenjak tahu kejadian sebenarnya ia menolak meninggalkan sang kekasih lama-lama.Bagi Divya, ia harus memastikan sendiri keselamatan laki-lakinya.Memang belum secara resmi mereka bersama, namun keadaan saat ini sudah membuat kebahagiaan tersendiri bagi dua anak manusia itu.“Sayang, kamu istirahat ya. Dari tadi kamu udah ngurusin aku,” ucap Jo.“Aku akan istirahat, tapi tidak sekarang. Masih ada yang harus aku kerjakan.”“Apa?”Namun Divya tak menjawab, ia terlihat sibuk dengan gawai pipih yang tengah di genggamnya.Jo sebenarnya tahu apa yang saat ini tengah di lakukan kekasih kecilnya, ia tahu apa yang menjadi tujuan dari perbuatan Divya saat ini.Ia tak ingin melarangnya, ia tak ingin kemarahan Divya tak tersalurkan. Namun dibalik itu semua, ia tetap memantau dan mengendalikan perbuatan dari kekasihnya.“Aku ti
Divya berusaha melangkahkan kakinya, namun rasanya begitu berat. Belum lagi air matanya yang tak berhenti mengalir deras di pipi, membuat dirinya bingung sendiri.“Nggak mungkin, semuanya hanya salah paham.” Gumamnya sembari melangkah perlahan.Brian tak sanggup melihat adiknya terluka, namun ia juga tak sanggup jika harus masuk dan melihat semuanya.Begitu juga dengan Daniel, laki-laki itu hanya diam menyesali semua yang sudah terjadi.“Seharusnya dari awal kita memberitahunya, kalau begini kita sama saja menusuknya.”Brian hanya diam, menundukkan kepala tanpa tahu apa yang dikatakan.Divya semakin dekat dengan pintu, jantungnya semakin berdetak dengan begitu tak menentu. Begitu sakit, seakan ada sesuatu yang menghantam dadanya.Suasana begitu berbeda, kini di depannya banyak berbaring jasad yang sudah tak bernyawa.Tubuh Divya luruh ke bawah, air matanya semakin deras mengalir membasahi pipinya. Isakan
Rahasia yang selama ini coba di lupakan pada akhirnya terbongkar dengan cara yang tak terduga. Sekar yang sudah lama memendam rasa bersalah membongkar semua kejahatan putra keduanya di depan semua orang.Lio tak tahu apapun tentang itu semua, ia sama terkejutnya dengan Brian yang masih bersitegang dengan Lius.“Maksud oma?” tanya Brian.“Ayah kandungmu lah penyebab kakek Wilson meninggal.” Seru Sekar tanpa ingin menutup-nutupinya lagi.“Mom,” teriak Lius.Lio terduduk lemas, ia tak percaya dengan apa yang sudah di dengarnya ini. Selama ini ia tak tahu apapuun tentang kesakitan dan fakta yang dirasakan oleh istrinya.“Bagaimana bisa, bukankah ayah Wilson meninggal karena jatuh dari tangga?”“Ayah mertuamu tidak jatuh dari tangga, tapi jatuh dari lantai dua rumah lama kita.” Sahut Antonio.Lebih lanjut Antonio juga menjelaskan bagaimana hal itu bisa terjadi, dan kemaraha
Nindya kembali ke rumah, ia segera mengemas semua pakaian dan berniat meninggalkan semuanya.Ia merasa puas terakhir kali melihat keadaan Jo yang mengenaskan, ada rasa bahagia dan terluka dalam satu waktu bersamaan.Nindya menangis, ia menatap kedua tangan yang sudah dengan tega melukai Jo hingga seperti tadi. Menyesal?Tidak, sama sekali Nindya tak merasa menyesal dengan apa yang sudah diperbuatnya. Hanya saja hatinya ikut terluka saat melihat air mata yang mengalir keluar dari mata indah pujaan hatinya.“Andai bapak menerima cinta saya, andai bapak tidak terpengaruh dengan wanita licik itu maka semuanya tidak akan jadi seperti ini.”Cepat-cepat Nindya mengemas barang bawaannya, juga beberap obat yang diperlukannya saat ini.Membuka pintu lemari, Nindya mengambil semua uang yang ada disana.“Dengan uang ini aku bisa mengembalikan wajahku seperti semula, maafkan Nindya nek karena menjual rumah itu.”Deng