Rex Milan menyuap Andrew Miller untuk membantunya menangkap Steven Alexander. Andrew yang memang seorang polisi licik, menerima uang tersebut dan menjadikannya barang bukti.“Aku ingin kamu menangkapnya dan memenjarakannya. Dia sudah berani merayu dan menggoda istriku!” ujar Rex Milan menggeram marah. Andrew Miller mengangguk sambil menghitung cepat segepok uang yang diberikan oleh Rex Milan.“Apa uang ini hasil dari merampok atau menjual obat-obatan terlarang?” tanya Andrew iseng.“Tentu saja bukan. Itu uangku! Aku seorang CEO!” pungkas Rex Milan dengan kening mengernyit tak suka. Andrew mengangguk lagi lalu memasukkan uang itu ke dalam amplop semula dan ke dalam jaketnya.“Jika kamu berhasil menangkap dia, aku akan memberikanmu lagi ... lima ribu dolar!” imbuh Rex Milan lagi.“Oke, aku akan mencari keberadaannya.” Andrew menjanjikan. Rex Milan pun mengangguk setuju. Ia keluar dari rumah tersebut tak lama kemudian. Tanpa kecurigaan dari siapa pun, Andrew masuk ke dalam mobilnya lalu
Cindy benar-benar kaget sampai nyaris tidak bernapas kala dipeluk Sebastian dari belakang. Bahkan dengan lembutnya, Sebastian berbisik di telinganya.“Oh, aku kangen banget sama kamu, Sayang.”“Pak─” Cindy serta merta melepaskan diri dari dekapan Sebastian lalu berbalik dengan wajah pucat basi. Sebastian ikut kaget tapi tak lama ia tersenyum.“Kok kamu kaget?” Sebastian balik bertanya.“Ngapain Bapak meluk saya seperti itu?” tukas Cindy dengan sikap penuh kecemasan. Sebastian terdiam sesaat lalu tersenyum lebih lebar.“Karena aku kangen sama kamu. Kamu enggak ya?” Cindy jadi bengong kebingungan. Rasanya ia baru selesai cuti selama beberapa hari dan Sebastian sudah benar-benar berubah.“Pak Seb, ini ....” tangan Sebastian mengambil sebelah tangan Cindy lalu menggenggamnya.“Aku datang ke kampus kamu. Aku juga cari kamu di asrama tapi ternyata kamu uda pindah. Aku kangen ingin ketemu kamu, kangen kopi buatan kamu. Aku kangen sama kamu.” Sebastian kembali mengulang kalimatnya seperti ora
Dion mengerjap-ngerjapkan matanya menyesuaikan mata dengan terangnya sekitar. Hari sudah pagi dan Dion harus segera bangun. Bunyi ponsel tiba-tiba membuat ia mengernyit.“Uh, siapa yang menelepon?” Dion meraih ponselnya lalu mengernyit.“Iya, Dek?”“Mas, tolong aku, Mas!” Cindy terdengar begitu ketakutan seketika membuat Dion langsung panik.“Kamu kenapa, Cindy? Apa yang terjadi?”“Mas, aku gak mau lagi ada di sini. Pak Sebastian ... aku harus bagaimana, Mas?”“Tenang dulu. kamu bernapas pelan-pelan dan jangan panik,” ujar Dion membujuk. Cindy terdengar sesenggukan di ujung telepon dan Dion bergegas bersiap untuk pergi.“Kamu di mana sekarang?” tanya Dion lagi mencari jaketnya.“Di toilet, Mas.”“Ya sudah. Mas ke sana sekarang. Kamu jangan keluar sampai Mas di sana, oke?” imbuh Dion lagi.“Baik, Mas.” Dion menghidupkan pelacak di ponselnya untuk terus bisa mengawasi Cindy. Ia benar-benar cemas dengan keadaan Cindy. Dion pun mengenakan masker di mulutnya dengan jaket palka yang memilik
Beberapa saat sebelumnya ...“Peter!” Jasman memanggil Peter dengan suara tertahan. Peter sedang sangat sibuk melayani pembeli dan nyaris tidak mendengar panggilan Jasman. Peter lalu berjalan keluar dari kafe tempat Jasman menunggu.“Ngapain lo di sini?” tanya Peter dengan kening mengernyit.“Ganti pakaian lo. Kita ke atas, ke ruangannya Dek Cindy.” Peter langsung curiga dan cemas.“Mau ngapain?” pekiknya tertahan.“Buat ngebersihin barang bukti. Cepetan!” Jasman mendorong Peter untuk mengganti pakaiannya segera. Peter tidak sempat bertanya apa-apa. Peter pun berlari ke ruang ganti di dalam kafe dan mengganti pakaiannya. Sebuah seragam petugas kebersihan sama seperti yang dikenakan oleh Jasman juga dikenakan oleh Peter. Ia bergegas keluar dari jalur darurat dan bertemu Jasman di pintu samping.Keduanya memakai topi dan mendorong kereta berisi alat-alat kebersihan. Tidak lupa Jasman dan Peter memakai tanda pengenal palsu. Mereka masuk ke dalam lift dan keluar di lantai atas.“Kita puny
“Kenapa dia belum kembali, Em?” cecar Venus dengan rasa cemas mencari Dion. Emerson hanya bisa menyengir aneh lalu terkekeh.“Maaf, Nyonya. Steven tidak mengatakan apa pun soal tujuannya. Dia hanya bilang jika dia harus mengerjakan sesuatu di luar dan aku diminta datang kemari,” jawab Emerson lagi.“Tapi ini sudah hampir sore!” Venus separuh merengek. Emerson hanya bisa meringis saja tanpa bisa berbuat apa pun. Venus yang mengambek kemudian masuk ke kamarnya. Sedangkan Emerson hanya bisa manyun. Ia tidak tahu harus berbuat apa.“Ah, semua jadi serba salah. Mereka seperti orang sedang jatuh cinta dan aku adalah nyamuknya,” gerutu Emerson lalu cemberut. Ia duduk di salah satu sofa dan mulai melihat ke sekitarnya.“Sebenarnya Nyonya Venus itu kaya raya, lalu untuk apa dia bertahan dengan Rex Milan Wilson jika ia bisa punya rumah sendiri?” ujar Emerson bermonolog.Tak lama kemudian, pintu depan terbuka dan Steven pun masuk. Ia membawa sebuah paper bag bersamanya.“Oh Steve. Dari mana saja
Steven membeku kala melihat tangan Venus menarik ujung kulit sintetis dari topeng yang dikenakan olehnya. Sebelum ia menarik lebih jauh, Steven langsung memegang tangan Venus.“Ah, apa yang kamu lakukan?”“Ini ...”“Jangan. Itu kulit bekas operasi. Itu ...” Steven mengelak.“Apa sakit? maaf, aku tidak tahu. Habis kelihatan seperti karet atau ...”“Tidak apa-apa. Habiskan saja makanannya.” Steven langsung mengelak. Ia tersenyum pada Venus disertai degup jantung yang nyaris meledak. Venus pun tersenyum lalu menghabiskan kembali makanannya.Venus sedikit melirik pada Steven. Ia merasa jika yang ditariknya tadi bukanlah kulit melainkan memang karet. Namun, Venus tidak mau mempermasalahkannya dulu.Selesai makan, Venus mengajak Steven berbicara berdua di kamar. Ia ingin membicarakan soal perceraiannya dan Rex Milan. Steven menanggapinya dengan baik terutama saat ia diminta mencarikan pengacara.“Aku punya kenalan teman seorang pengacara. Mungkin kamu juga mengenalnya?” ujar Steven menawark
Cindy beberapa kali terus memperhatikan ponselnya yang bergetar. Sebastian menghubunginya tanpa henti selesai ia pergi begitu saja dari Moulson Enterprise. Dengan wajah murung, Cindy kembali mematikan ponselnya. Ibunya Dewi kemudian masuk ke kamar Cindy menghampiri putrinya. Cindy sudah tidak keluar kamar semenjak ia pulang.“Kamu kenapa toh, Nduk? Apa ada masalah?” tanya Budhe Dewi menegur Cindy. Cindy mengangkat pandangannya lalu menggeleng.“Gak ada, Ma. Aku ndak apa-apa.” Cindy menjawab dengan nada pelan.“Sedari pulang tadi, kamu ndak keluar kamar. Apa ada masalah sama kantor kamu? Kamu beneran sudah berhenti?” Cindy mengangguk pelan dan menunduk lagi.“Ada apa kok kamu malah berhenti?” Budhe Dewi bertanya dengan nada lembut.“Aku mau fokus kuliah saja, Ma.” Cindy beralasan. Budhe Dewi mengangguk lalu meluruskan pandangan.“Memang sebaiknya begitu. Kamu kan datang kemari untuk kuliah. Bukan Mama gak setuju kamu bekerja, tapi nanti kalau kuliahmu keteteran bagaimana? Mama sudah da
Steven mengindahkan semuanya. Kini ia adalah Dion yang merasa masih memiliki Venus sebagai istrinya. Sekalipun topeng yang membuat bekas gurat luka di separuh wajahnya masih tertempel, ia tak peduli.“Apa yang sudah kamu lakukan padaku, Venus?” gumam Steven alias Dion melenguh pelan. Venus tersenyum dan menggelengkan kepalanya. Sikap manja Venus keluar begitu saja seakan ia menikmati sentuhan Dion padanya.“Aku gak bersalah ...” kedua alis Steven naik bersamaan.“Oh ya?” Steven menyindir lembut lalu menaikkan pipi Venus dan mencumbu lembut bibirnya. Senyuman Venus perlahan memudar saat Steven makin mendesah lembut saat mencumbu. Lidah Steven perlahan masuk untuk membelai lidah hangat Venus yang meremas kaos di depan dada Steven. Tubuhnya pun makin menekan Venus yang semakin memasrahkan dirinya.Lama kelamaan, Steven menarik lalu mengaitkan jemarinya pada Venus yang diletakkan di sebelah tanpa melepaskan ciumannya sama sekali. Ranjang hangat itu pernah menghiasi cinta mereka dulunya.
Di belakang Dion menyerahkan tas milik Venus pada Jasman yang akan mengawal mereka. Dua pengawal lainnya ditempatkan oleh Dion di jalan depan saat keluar dari rumah sakit. Sedangkan sudah ada lima orang pengawal yang berdiri di dekat mobil yang akan membawa Venus pulang. Kali ini, Dion tidak ingin mengambil lagi risiko demi keselamatan Venus.Limosin yang membawa Dion, Venus, Arjoona dan Claire meluncur dengan baik saat keluar dari area rumah sakit. Mereka akan bersama-sama pulang ke rumah Dion karena anak-anak mereka sudah menunggu.“Bagaimana dengan masalah hukum kemarin, Dad? Apa kamu perlu bantuanku?” tanya Dion pada Arjoona yang duduk berhadapan dengannya. Venus menoleh cepat pada Dion dengan mata membesar. Ia tidak mengetahui jika ayahnya terlibat konsekuensi hukum.“Apa yang terjadi, Dad?” tanya Venus dengan raut cemas.“Gak ada. Daddy cuma harus membayar denda tilang saja kok. Namanya juga orang tua. Bisa ceroboh kala
Tidak seperti yang diharapkan oleh Steven alias Dion, Venus tidak ingin menoleh padanya saat ia masuk. Venus membuang muka tak mau menyapa.“Venus─” Dion baru bicara dan Venus langsung memotong.“Pembohong! Siapa kamu sebenarnya?” tukas Venus tanpa basa-basi langsung mendelik pada Dion. Dion terdiam di sisi tempat tidur Venus dan belum bergerak. Ia sedikit menundukkan kepala dan terlihat menyesal.“Aku bisa menjelaskan semuanya─”“Jawab saja pertanyaanku!” Venus langsung menyela dengan tajam.Meskipun Venus masih cedera setelah tercekik oleh belitan kain, tapi ia masih bisa memarahi Dion yang baru datang.“Aku ... aku adalah ....”“Kamu bukan Steven kan?” Venus menebak lagi dengan ketus. Dion menarik napas panjang dan sedikit menunduk.“Aku adalah Dion Juliandra. Aku sedang menyamar menjadi Steven.” Dion akhirnya mengaku. Venus tak bergerak menatap tajam pada Dion. Kali ini, Dion sudah sangat keterlaluan membohonginya. Dion yang menyadari kesalahannya lantas melepaskan topeng karet ya
Rex Milan berhasil dikeluarkan dari mobilnya yang ringsek akibat tabrakan dari jeep monster yang dikendarai oleh Arjoona Harristian. Ia segera dibawa ke rumah sakit dalam keadaan tak sadarkan diri dan luka-luka. Sama dengan Venus Harristian, keduanya dibawa ke rumah sakit yang sama dan ditempatkan di bangunan yang berbeda.“Uncle, aku terpaksa harus menahanmu dulu sementara. Sampai aku selesai menemukan buktinya,” ujar Andrew menjelaskan pada Arjoona yang baru saja keluar dari kamar perawatan Venus. Arjoona meninggikan kedua alisnya mendelik pada Andrew yang hanya bisa menyengir.Dion datang menghampiri setelah membuka topengnya. Ia menarik napas panjang melihat Arjoona dan Andrew.“Sepertinya Venus tidak mau bertemu denganku,” ujarnya dengan raut sedikit meringis. Kening Andrew mengernyit memandang Dion dengan raut bertanya.“Tadi dia tidak mau kupegangi,” sambung Dion lesu. Andrew kemudian menoleh pada Arjoona yang masih diam saja.“Sebastian Arson sudah ditangkap. Rex Milan akan me
“Venus, Venus. Oh, sayang. Apa kamu bisa bernapas?” Dion segera menggendong Venus ke dalam kamar dan meletakkannya di atas tempat tidur. Venus begitu kesulitan bernapas dan ia masih terengah kesulitan menarik atau mengeluarkan udara. “Cari tabung oksigen!” perintah Dion pada Arion. Arion pun masuk ke dalam walk in closet milik Venus untuk mencari tabung oksigen darurat. “Bernapaslah pelan-pelan, Sayang.” Dion menuntun Venus untuk bernapas satu-satu usai tercekik. Ia sudah tak peduli jika Rex Milan kabur. “Aku akan panggil Dokter,” ujar Divers pada Dion yang langsung mengangguk. Venus masih setengah semaput memandang Dion yang masih memakai topeng Steven. Ia merasa ada yang aneh tapi tak bisa bicara. Arion datang membawakan tabung oksigen darurat untuk Venus. Ia ikut membantu Venus mengenakan penutup untuk oksigen. Sementara itu, Rex Milan kabur lewat jalan samping dan langsung masuk ke mobilnya. Tidak ada yang sempat mengejar Rex Milan karena Dion dan teman-temannya sedang sibuk d
“Aku tidak membunuh Brema Mahendra. Aku bahkan tidak kenal siapa dia!” tegas Rex Milan masih bersikeras. Venus diam menatap Rex Milan yang tidak mau mengaku. Sambil menahan rasa berat di hatinya, Venus perlahan seperti melihat seperti apa Rex Milan yang sesungguhnya. Pria yang mengaku sebagai suaminya itu adalah seorang pembohong. Sekalipun Rex Milan tidak mengakui, tetapi Venus bisa merasakan kebohongan tersebut.“Terserah jika kamu tidak mau mengaku. Jika aku bisa melepaskanmu, aku rasa Ayah dan Kakakku tidak.” Venus mengancam dengan nada sinis. Rex Milan makin mendekat dengan deru napas yang terdengar kasar. Sedangkan Venus sekalipun cemas, tidak mundur sama sekali. Tangannya meremas tas tangannya cukup keras dan siap mengayunkannya pada Rex Milan jika ada yang terjadi.“Jangan mengancamku!” Rex Milan menggeram pelan.“Aku tidak akan seperti ini jika kamu tidak mengaku dan sepertinya kamu memang pantas untuk mendekam di penjara selamanya, Rex,” ujar Venus tak mengindahkan ancaman R
Sebastian diborgol di depan Cindy yang terpaku melihatnya. Ia sempat protes tapi FBI membeberkan semua bukti. Sebastian masih mengira jika Cindy tak tahu apa pun. Ia berbalik dan mencoba menjelaskan.“Cindy, ini gak bener. Jangan percaya mereka!” ucapnya menatap Cindy yang diam saja. Peter lalu masuk dan hendak membawa Cindy pergi. Di sanalah, Sebastian mengetahui jika Cindy terlibat dalam penangkapannya.“Sebentar. Kamu bekerja sama dengan Polisi? Kamu yang melakukan semua ini?” ujar Sebastian dengan raut tak percaya. Cindy masih diam saja menatapnya dengan mata berkaca-kaca.“Jangan dengarkan dia. Ayo!” ujar Peter dengan bahasa Indonesia. Mata Sebastian membesar. Ternyata yang sudah mengatur dan merencanakan semuanya adalah Cindy dan pria yang merupakan kekasihnya. Cindy menelan ludah dan berjalan melewati Sebastian. Ia akan keluar dari ruangan tersebut meninggalkan penangkapan tersebut di belakang.“Tunggu!” seru Sebastian menghentikan langkah Cindy. Cindy berbalik dan Sebastian me
Cindy melangkahkan kakinya masuk ke ruangan CEO sesuai janjinya dengan Sebastian. Cindy masih diam saja dan cenderung sedikit mengendap masuk. Ia melihat Sebastian sedang sibuk dengan beberapa pria yang ternyata adalah anggota direksi dan pemegang saham. Mata Sebastian tak lama menangkap sosok Cindy yang masuk tanpa pemberitahuan.“Cindy?” sebut Sebastian lalu tersenyum. Para pemegang saham itu lantas ikut menoleh ke belakang. Sebastian lalu meminta waktu sesaat.“Sebentar.” Sebastian menghampiri Cindy. Sebastian lantas menarik lengan Cindy ke salah satu sudut ruangan lalu separuh berbisik padanya.“Akhirnya kamu datang. Kamu duduk dulu ya, nanti kita bicara, Aku sedang menyelesaikan masalah sedikit.” Sebastian berujar masih dengan sikap lembut pada Cindy.“Masalah apa, Pak?” balas Cindy balik bertanya.“Uh, Oddysey menarik proyeknya dan menyerahkannya pada King Enterprise. Kita kalah.” Cindy hanya diam saja dan sedikit menundukkan wajahnya.“Jangan sedih, aku pasti bisa mengatasi ini
Venus Harristian masuk ke rumah yang sudah ia tinggalkan demi bisa menjebak Rex Milan Wilson. Begitu mendengar dari salah satu pelayan jika Venus sudah pulang, Rex Milan langsung keluar. Ia tersenyum datang menghampiri. Venus langsung menyusutkan langkahnya ke belakang. Rex Milan pun berhenti.“Venus,” sebutnya pelan.“Aku pulang karena Rei yang memintaku. Sekarang kita harus bicara,” ujar Venus menegaskan. Raut wajahnya tidak menyiratkan emosi sama sekali. Ia tidak mau lagi terenyuh pada apa yang akan dikatakan oleh Rex Milan.Jasman terlihat masih berada di salah satu ruangan bersama staf pembersih lainnya. Rex Milan melirik lalu memerintahkan agar semua keluar.“Kalian sudah selesai hari ini. Aku akan memanggil kalian lagi. Sekarang keluar,” ujar Rex Milan memberikan perintah. Venus sedikit memutar bola matanya melihat satu persatu staf keluar dari ruang tengah termasuk Jasman. Jasman telah memasang beberapa kamera di tempat yang lebih aman untuk memantau Venus.Dion masih terus me
“Kamu kenapa? Kamu dari mana?” Peter langsung bertanya banyak pada Cindy yang sedang menangis memeluknya. Cindy belum berani menjawab dan hanya bernapas satu-satu. Peter yang cemas sedikit melepaskan pelukannya pada Cindy untuk melihat keadaannya.“Kita bicara dulu.” Peter membujuk dan Cindy pun mengangguk. Mereka masuk ke halaman tanpa masuk ke rumah.“Sekarang kamu harus cerita sama aku apa yang terjadi. Jangan berbohong. Siapa tadi yang nganterin kamu?” Peter kembali mencecar Cindy dengan pertanyaan.“Mas Peter lihat?” Cindy sedikit mengangkat wajahnya.“Iya. Aku di belakang mobil itu dan melihat kamu keluar dari sana. Itu siapa, Cindy?”Cindy menarik napas yang masih sesak seraya menatap wajah Peter yang tampak dari bias lampu depan di atas teras.“Sebastian Arson.” Cindy menjawab dengan suara kecil. Wajah Peter langsung berubah tegang.“Apa?” sahutnya meninggikan suara. Peter langsung melihat ke arah pintu khawatir jika terbuka dan Budhe Dewi tiba-tiba muncul.“Lalu, apa dia meny