BASKARA’s POVSetelah aku melucuti semua pakaian luarnya, sosok bertubuh sintal yang awalnya menghindar sekarang sudah berada dalam kendaliku. Sonia telah menyerah.Awalnya dia memang jual mahal dan pura-pura membela diri. Lagu lama, sok suci!Makin ke sini, dia makin menunjukkan sisi aslinya. Tanpa ragu lagi dia mendekatiku. Sepertinya dia sudah terbiasa menghadapi laki-laki sepertiku.“Pak Baskara…” Dia melangkah mendekatiku tanpa ragu lagi. Di luar dugaanku, Sonia rupanya memiliki kemampuan membaca pikiran laki-laki dan tahu apa yang laki-laki mau.“Panggil aku Tuan Baskara…” aku masih duduk di kursi di kamar Andini dulu.Ada sensasi lain ketika Sonia yang berada di sini. Tubuhnya tanpa malu menempel kepadaku.“Oh, Tuan Baskara… baiklah…” kedua tangannya mulai menunjukkan keahliannya. Melepas dasiku dan kancing bajuku satu per satu.Aku memandangi wajahnya lekat-lekat. Di balik wajahnya yang terlihat innocent, tersimpan jiwa penuh misteri yang… menantang.Sial. Di saat aku memulai
ANDINI’s POV Bagas tidak lagi suka menangis saat malam hari. Jadwal tidurnya mulai rutin. Aku bisa mulai bernafas lega dan beristirahat cukup di saat malam.Siangnya, aku bisa menjaga Bagas dan sekarang… aku memandikannya dengan kedua tanganku. Usianya sudah hampir satu bulan. Perubahan cukup drastis. Aku bersyukur namun ada hal yang semakin mengganjal di benakku. Ya, perpisahan dengannya berarti tidak akan lama lagi.Empat puluh hari. Berarti seminggu lebih dari sekarang.“Andini…” Prasetia yang baru datang dari luar, membawakanku buah-buahan dan susu.“Terima kasih, Pras…” Aku mengelus kedua tangannya yang sedari tadi lelah bekerja lalu masih mau aku repotkan membawakan buah dan susu saat pulang.“Sama-sama…” Tangannya mengelus pipiku sekarang. “Aku mandi dulu. Badanku bau keringat karena tadi aku ikut mengecek ke lapangan bibit-bibit yang mau diantar. Oh ya, sekarang aku juga sudah memulai usaha bunga potongnya. Akhirnya usaha yang aku rintis dengan rekanku kini sudah mulai bisa d
ANDINI's POV “Andini, Bibi mau bicara sebentar…” Bibi Nur bergabung denganku dan Bagas di belakang. Aku masih memandikan Bagas. Semalam rencana Prasetia untuk bertemu keluargaku dibatalkan. Sementara aku harus mencari cara bagaimana agar Bagas bisa tetap bersamaku. “Andini…” Bibi kembali memanggilku. “Ah, iya Bi? Ada yang bisa aku bantu?” Biasanya Bibi Nur akan memintaku untuk mengerjakan pekerjaan rumah yang ringan atau sekedar memasukkan benang ke jarum yang akan dia gunakan untuk menjahit. “Sepertinya ini bukan urusanku, tapi… karena kita tinggal serumah, ada baiknya Bibi mengingatkan.” Bibi Nur duduk di kursi dekat dengan bak mandi yang aku gunakan untuk memandikan Bagas. “Ya? Silakan Bi… Jika ada yang mau disampaikan.” Perasaanku sudah tidak enak. Bibi tak pernah menegurku ataupun mengatakan hal yang selama ini membuatku tidak nyaman. “Kamu dan Prasetia sudah sama-sama dewasa.” Kalimat awal yang disampaikan Bibi Nur sudah jelas menyiratkan ke mana pembicaraan ini akan ber
BASKARA’s POVSuasana rumah terasa sepi. Laura sudah tidak banyak di rumah karena sibuk mengurusi rencana studinya. Tak ada ruang untuk diskusi lagi karena keputusannya sudah bulat. Perilaku Mama yang semakin hari memojokkannya, membuat Laura tak mau berlama-lama lagi di sini.Sehari dua hari aku masih percaya dia sibuk mengurus dokumen, tapi itu tak berlangsung lama.Bayu mendapati Laura melakukan hal yang seharusnya dia bisa hentikan. Kebiasaan lamanya untuk party dan menikmati dunia malamnya kambuh lagi.“Dia bersama beberapa temannya… semuanya perempuan!” desisnya saat bertemu denganku di kantor.Saat aku berangkat tadi, Laura memang masih ketiduran. Dia tentu tidak bisa bangun karena selalu pulang pagi.“Kalau kamu tidak percaya padaku, nanti malam cobalah untuk mengikutnya. Mereka selalu di West Club setiap malam. Aku pikir itu semuanya dilakukan dengan sepengetahuanmu.” Jelas Bayu lagi.Aku mengedikkan bahu. Tak tahu menahu dan tak pernah mencurigainya.“Dia hanya sering mengel
ANDINI’s POV Setelah aku menimbang keputusan berkali-kali, rasanya memang menitipkan Bagas ke panti asuhan adalah keputusan yang terbaik. Setidaknya untuk saat ini. Karena takut tidak tega saat meninggalkannya, aku minta Prasetia yang meletakkan Bagas di tempat kamar bayi. Para pengurus panti rupanya orang yang ramah-ramah, setidaknya ini akan membuatku tenang dan nyaman. “Kamu tidak bisa tidur?” Prasetia yang sedang duduk di ruang tamu menanyaiku. Dia masih sibuk dengan ponselnya dan sepertinya sedang berkomunikasi dengan seseorang via chat. “Belum, Pras. Aku…” nada bicaraku tidak bisa kututup-tutupi. Aku memang sangat sedih saat ini. “Sudah, jangan diingat-ingat lagi. Bagas tidak seorang diri di sana. Ada banyak teman-temannya di sana yang akan menemaninya.” Prasetia mengatakannya tanpa memakai perasaan sedikitpun. Enteng sekali. “Iya, kamu benar.” Jawabku setelah merasa tak ada gunanya beradu argumen dengannya. Prasetia akan selalu menemukan celah untuk mematahkan alasanku.
Baskara’POV “Andini, anak siapa itu?” Aku menunjuk pada bayi mungil yang sudah ada dalam dekapannya. Mak Ijah ikut histeris melihat Andini pulang, lebih tepatnya kembali ke villa. Tanpa merasa berdosa dan bersalah sedikitpun. Meski diriku merasa lelah hari ini, aku sudah menyiapkan sanggahan atau balasan jika Andini mengajakku berperang sewaktu-waktu. Kakinya melangkah maju. Di luar dugaan, tidak ada tanda-tanda dia akan menyerangku. “Tuan Baskara, aku minta maaf… ijinkan aku untuk tinggal sementara di sini. Aku mohon…” pintanya dengan sungguh-sungguh. Tak biasanya Andini melakukannya padaku. Saat dia sedang berada dalam nikah kontrak denganku, Andini kerap kali menyindir dan berkata-kata tidak menyenangkan. “Apa? Memangnya kamu siapa bisa datang dan pergi sesukamu? Villa ini bukan milik nenek moyangmu!” Emosiku naik seketika. Bayi itu menangis. Awalnya pelan-pelan namun dia mengeraskan suaranya. Mak Ijah meraihnya dari tangan Andini dan menenangkannya. “Aku sudah minta maaf…
ANDINI’s POVSiapa yang tak terkejut saat melihat anaknya digendong oleh ayah kandungnya, tapi ayahnya tidak tahu menahu soal keberadaan anak itu!Jantungku serasa mau lepas menyaksikan sendiri Baskara membawa Bagas di dekapan tangannya. Kenapa bisa dia menyentuh anak itu? Apakah Mak Ijah tidak ada di tempat?Cepat-cepat aku meraihnya dan membawanya ke pelukanku. Tak perlu berkata-kata lagi, aku membawa Bagas kembali ke kamar belakang. Baskara sedikit terkejut aku mengambil anak itu darinya. Aku tidak ingin anakku dekat apalagi memiliki bonding dengannya. Itu hal yang aku hindari.“Mbak Andini, maaf tadi saya keluar sebentar mengirimkan makanan ke kuli-kuli di proyek. Karena kemalaman, tadi Bagas tak tinggal sendiri. Tak pikir mumpung tidur pules…” Mak Ijah sepertinya kaget melihatku yang berlarian dari luar tadi.“Iya, nggak apa-apa Mak.” Jawabku sambil menyusui Bagas.Di tangannya sudah ada sebuah kresek yang berisi sesuatu.“Mbak, ini ada daun katu. Nanti Mak buatkan sup dengan dau
BASKARA's POVRencanaku untuk stay di villa rupanya tak sesuai yang sudah aku perkirakan. Seharusnya aku hanya di villa sekitar lima hari. Nyatanya, hari Minggu pagi aku masih saja berkutat dengan pekerjaan di sini.Awalnya tangis anak Andini adalah hal yang memekakkan telinga, kini aku sudah menjadi terbiasa. Memang untuk manusia sekecil dia, itu satu-satunya hal yang dia bisa. Kadang aku berpikir, bagaimana jika bayi itu diambil oleh ayahnya. Mungkin Andini bisa mati karena gila.Ah, sudahlah. Aku masih berpikir keras bagaimana menekan anggaran biaya. Pak Ali sejak selepas jogging pagi di sini bersamaku dan kami masih berdiskusi panjang di meja makan.“Pak, sepertinya material yang kita beli dari supplier lama, kita ganti saja order ke toko baru. Selisihnya sudah saya cek, harganya lumayan bersaing.” Pak Ali memang terkenal super jeli kalau soal urusan harga dan pengeluaran.“Hm, boleh juga sih Pak. Tapi ini kualitasnya bagaimana?” Aku salah satu orang yang tak mudah percaya dengan
Seorang anak kecil memakai seragam taman kanak-kanak sedang menunggu jemputan pulang. Senyum manis menghiasi wajahnya."Belum dijemput?" Gurunya bertanya padanya. Hampir semua teman-temannya telah dijemput oleh orang tua, pembantu atau sopir.Anak itu menggeleng."Hmmm... ini sudah hampir satu jam dari jam pulang. Apa perlu Ibu antar ke rumahmu?" Guru itu merasa tidak tenang karena satu muridnya saja yang belum menunjukkan tanda-tanda akan segera dijemput."Tidak perlu, Bu. Ayah akan menjemputku sekalian membeli kue ulang tahun untukku." Jelas si kecil itu penuh semangat."Siapa yang berulang tahun? Bukankah kamu ulang tahun bulan depan?" "Ibuku maksudnya, tapi kata Ayahku, kue itu nanti aku yang akan memakannya...""Ohhh... jadi Ibumu yang berulang tahun hari ini. Selamat ulang tahun untuk Ibumu ya... Semoga Ibumu sehat, panjang umur dan bahagia selalu." Seru Guru itu sambil menemaninya duduk.
ANDINI's POVSuasana pemakaman jenazah Tuan Hadi dan Bayu diiringi isak tangis yang tak berkesudahan. Beberapa memilih untuk menundukkan kepala. Barangkali, mereka saling mengingat memori yang pernah terjadi di masa hidup mereka.Aku sadari, dalam kehidupan manusia yang panjang... kita bisa saja lupa atau alpa. Tak ubahnya seperti sebuah tulisan yang terkadang banyak yang harus dihapus atau diabaikan."Ma, sudah... Ma..." Baskara membisikkan kata itu di telinga Mamanya.Mamanya sejak tadi menangis tersedu dan tak kuasa menahan air mata yang terus membanjiri wajahnya yang cantik."Ma..." Baskara mengelus-elus lengan Mamanya dan membawanya dalam pelukan.Aku yakin, meski Baskara baru menyadari kalau Tuan Hadi adalah ayah kandungnya, pasti dia merasa kehilangan juga sekarang. Baskara belum sempat memperbaiki keadaan sebelum dia ditinggalkan.Mungkin, mungkin saja dia juga punya rencana untuk memanggilnya 'ayah' atau 'papa' semasa h
ANDINI's POV"Ayah mau ke mana?" Tanyaku menyaksikan Tuan Agus tampak terburu-buru. Di tangan kanannya sudah tertempel ponsel."Bentar, Andini. Kamu di rumah saja dulu." Dia berlari dan menggandeng tangan Mama yang sebetulnya sedang asyik bermain dengan Askara."Ada apa, Pa?" Tanya Mama sembari akhirnya menitipkan Askara padaku."Hadi dan Bayu kecelakaan." Itu saja kalimat yang bisa keluar dari mulutnya. Selanjutnya dia tetap melanjutkan pembicaraan di ponselnya."APA?" Mama Baskarapun pingsan seketika. Beberapa asisten rumah tangga dengan cepat membopongnya untuk ditidurkan di sofa panjang."Nyonya... Bangun Nyonya..." Mereka tampak cemas.Suasana semakin tidak karuan. Aku sampai lupa kalau sekarang ini diriku masih masa pemulihan pasca keguguran."Huhuhu..." Mama bangun lalu pingsan lagi. Air matanya tumpah."Nyonya, minum air dulu. Ini minum dulu..." Bibi Siti tergopoh-gopoh membawa segelas air untuk
BASKARA's POV Andini terlalu larut dalam lamunannya. Sekitar dua bulan ini tak banyak berkata pada siapapun. Dia lebih sering termenung. Papa dan Mama menyarankanku untuk pindah kembali ke rumah. Begitu pula dengan Hans, dia menyuruhku untuk segera pulang. "Percayalah padaku! Aku tahu bagaimana rasa sakitnya bercerai. Aku tahu. Aku bahkan sampai sekarang masih merasakan itu adalah siksaaan terberat dalam hidup." Hans yang selama ini jarang membuka suara soal apa yang dia rasakan, mulai bercerita. "Tapi selama ini juga kamu terlihat baik-baik saja. Kamu bahkan sudah punya pacar ponakan Bibi Siti, bukan? Waktu kita ke Australia saat itu." Aku sampaikan penilaianku terhadapnya. Hans tertawa terbahak-bahak. "Mungkin aku memang punya bakat akting yang terpendam. Kamu tak tahu berapa dalamnya luka itu di dalam hatiku." "Ah, kamu jangan sok puitis..." Komentarku pada Hans yang mulai tertawa. "Sungguh, aku bahkan tiga bulan setelah bercerai tidak bisa tidur kalau belum jam dua pagi.
ANDINI's POVBagiku ini adalah akhir. Tak bisa lagi aku mencari alasan untuk meyakinkanku tinggal. Rasanya lebih baik aku pergi sejauh-jauhnya.Baskara tak lagi mengenaliku. Bahkan dia sudah lupa dengan sentuhanku."Mbak, makan dulu." Alika, adikku menyediakan bubur ayam yang biasanya aku sangat lahap memakannya.Aku mengangguk tanpa suara. Batinku terlalu sibuk untuk berdialog dengan akalku."Mbak, jangan diem terus. Makanlah..." Sekali lagi Alika membujukku. Namun apa daya, makanan yang seharusnya nikmat disantap kini tak lagi menggugah seleraku."Andini, makanlah." Ibu menyuruhku. Kalau sudah Ibu yang menyuruh, aku tak bisa mengelak."Iya..." Aku patuh memaksa mulutku untuk menerima suapan demi suapan dari Alika."Nah, gitu. Kasihan bayi di perutmu, dia pasti butuh nutrisi." Ucap Ibuku. Saking terbelenggunya pikiranku pada kebencian dan sakit hati, aku lupa kalau tubuhku ini tak hanya milikku sendiri. "Habisin Mbak." Alika menyemangatiku untuk memakan beberapa suap terakhir. Mes
BASKARA's POV Beginikah rasanya ditinggalkan oleh orang yang kita cintai? Aku merasa diriku memang tak layak untuk menjadi suami Andini. Selama mengenalnya, dia tak pernah melakukan hal yang membuatku terpuruk atau tersakiti. Justru sebaliknya, aku yang selama ini menyiksanya. "Sudah... tenangkan saja dirimu, Tuan..." Maya masih setia menemaniku meski aku telah terjatuh dan dijauhi oleh anak dan istriku. Berkali-kali aku sudah menyuruhnya pergi, tapi dia bersikukuh untuk membantuku menyelesaikan masalah. Karena dia juga terlibat dalam skandal ini. "Maya, apa yang harus aku lakukan?" Keluhku padanya. Tak seorangpun mau bicara padaku. Bahkan Papa yang biasanya selalu ada, kini sudah menganggapku tak lebih baik dari seorang pengecut. Pak Gun juga tak menunjukkan batang hidungnya. Pak Ali juga lebih memilih untuk angkat tangan pura-pura tidak mau tahu. Ke mana semua orang yang selama ini baik padaku? Bukankah aku juga begitu baik dan memberikan semua kemudahan pada mereka? Hans sej
BASKARA's POV"Kamu terlihat cantik, Maya..." Mataku tak bisa lepas darinya.Sosok yang dulunya masih remaja dan datang ke keluargaku dalam keadaan lusuh, kini sudah berubah menjadi seorang bidadari yang menawan."Ini karena make up, Tuan..." Bisiknya.Kami harus menjaga jarak karena sedang berada di tempat umum. Kupastikan agar Maya berjalan di belakangku. Rasanya jemariku tak sanggup lagi jika harus menunggu dua atau tiga jam tanpa menyentuh kulit putih yang lembut itu."Baskara! Akhirnya kamu datang..." Papa menyambutku.Mama sejak kedatanganku seperti curiga padaku. Tapi aku pura-pura untuk tidak terjadi apa-apa. Keduanya sibuk dengan menggendong Askara dan Bagas. Bibi Siti juga tampak membersamai mereka."Mana Andini?" Tanyaku pada Mama.Bibirnya mengucapkan sesuatu sebelum akhirnya berkata-kata,"bukankah dia seharusnya berangkat bersamamu?"Pertanyaan Mama seperti menohokku sekarang. Je
ANDINI's POV Bertemu dengan Askara dan Bagas membuatku tersenyum seketika. Keduanya menyambutku dengan senyuman, Bagas bahkan berlari ke arahku saat pintu mobil dibuka. "Maa..." Ucapnya. Dia memelukku dengan sangat erat. "Rindu sama Mama?" Tanyaku. Perutnya terlihat semakin gembul. Pipinya juga terlihat semakin berisi. Sepertinya dia kerasan dan betah berada di rumah lagi. "Mama... Mama tu..." Bagas menunjuk-nunjuk pada beberapa pohon mangga di samping rumah yang sedang berbuah. Aku paham apa yang dia maksudkan. Dia ingin memetiknya. "Ah, kamu mau mangga itu?" Bagas mengangguk tanda setuju. "Mama masuk ke rumah dulu ya. Mau meletakkan barang-barang. Nanti menyusul kamu di sini lagi . Kamu sama Bibi Siti dulu..." Rupanya Bagas mendengarkan apa yang aku sampaikan padanya. Dengan sigap, Bibi Siti membopong tubuhnya untuk menjauh dariku. Karena aku masih membawa beberapa koper yan
BASKARA's POVTangan Maya masih berpegang pada tanganku. Perjalanan ke tukang kayu yang disarankan oleh kontraktor villa akhirnya membuahkan hasil. Maya tahu betul seluk-beluk wilayah villa dan sekitarnya."Untunglah kamu tahu betul wilayah sini, Maya." Pujiku sembari mengemudi mobil kami. Jalanan sedikit licin setelah hujan."Ahh... Aku tidak terlalu tahu sebenarnya. Hanya mengira-ngira saja tadi." Maya menyandarkan kepalanya di bahuku. Kami melanjutkan perjalanan sampai keluar perbatasan. Kondisi jalan memang sangat curam dan berhadapan langsung dengan tebing."Tuan... hati-hati menyetirnya. Jangan sampai jatuh ke jurang." Pesannya. Dia sedikit mengencangkan pegangannya ke tangan kiriku.Aku menghela nafas dan menenangkannya. "Iya. Aku hati-hati kok. Jalanannya memang seperti ini, tapi aku masih bisa melaluinya."Rupanya memang tak mudah melalui jalur satu-satunya ini. Jalanan cukup licin dan banyak akar tan