"Baiklah, ini hitungan teakhir." Si wanita sampai di hitungan ke tujuh. Dia lanjut menghitung. " delapan, sembilan, sepu ...."
"Lima ratus juta." Suara keras terdengar menyela hitungan wanita berambut pirang tersebut."Wow! Penawaran yang sangat fantastis," ujar si wanita dengan wajah ceria. Bukan di saja yang terkejut. Indah malah sangat bersemangat mendengar penawaran sangat tinggi tersebut, sejak dia mulai melelang gadis gadis perawan baru kali ini dia mendapatkan harga setinggi itu. Tidak terkecuali semua orang yang ada di sana, mereka menoleh ke belakang ke tempat arah suara terdengar.Tampak seorang laki laki sedang duduk menikmati minumannya. Dia sama sekali tidak terusik dengan tatapan semua orang padanya, terbukti dia kembali menuangkan sampanye ke dalam gelasnya. Sementara di sebelahnya berdiri seorang pemuda berpakaian necis. Suara tadi berasal darinya."Anda yakin Tuan?" tanya si wanita tadi, dia melihat laki laki itu mengangguk. "Coba Anda ulangi agar semua yang ada di sini biasa mendengar kembali."Pemuda itu menoleh ke sebelahnya. sepertinya dia adalah asisten pribadi laki laki yang masih asyik dengan minumannya. Pemuda tersebut kembali menoleh ke arah si wanita berambut pirang. "Saya yakin, lima ratus juta untuk Nona bergaun putih itu." Dia kembali menegaskan.Si wanita tersenyum. "Baiklah, saya akan menghitung barangkali masih ada yang mau menawar." Dia menghitung sampai sepuluh. Akan tetapi, tidak ada lagi yang bersuara. "Baiklah, terjual di lima ratus juta rupiah."Tampak laki laki yang menawar Laras pertama marah. Dia meneguk minumannya dengan cepat lalu pergi begitu saja. Sementara Laras membuka matanya ingin melihat siapa yang telah menawarnya. Namun, dia tidak sempat melihat siapa orangnya karena dia sudah ditarik turun dari panggung. Gadis itu dibawa kembali ke kamarnya, sayup-sayup dia mendengar acara pelelangan perawan itu terus berlanjut.Laras mencoba membuka pintu kamarnya. Akan tetapi, papan kayu itu begitu kokoh dan terkunci dari luar. Gadis itu lalu terduduk lemah di lantai dengan mata berembun. Hari ini, apa yang sudah dia jaga selama delapan belas tahun harus diberikan kepada seseorang yang dia tidak kenal. Mirisnya, bukan melalui sebuah pernikahan, tetapi sebuah transaksi jual beli yang dipaksakan padanya."Ampun, sakit, Tuan ...."Laras tersentak. Dia menempelkan telinganya ketika mendengar lenguhan dari balik dinding kamarnya."Dasar pela-cur! Aku sudah membayarmu mahal, ke sini kau!"Lagi terdengar suara keras seorang laki laki. Yang terdengar selanjutnya adalah jeritan tangis seorang perempuan, juga maki-an laki-laki. Namun, suara maki-an itu juga bercampur dengan desa-han juga tangisan."Ck, pera-wan itu sangat nikmat. Aku akan mengajarimu bagaimana bercin-ta pela-cur kecil!" Lagi, terdengar suara laki laki tadi di antara desa-hannya. Laki laki itu sepertinya tidak peduli jerit kesakitan si perempuan.Tubuh Laras merinding membayang bagaimana laki-laki itu memperlakukan perempuan di sebelah kamarnya. Dia bisa memastikan perempuan itu adalah salah satu gadis yang dilelang tadi. Laras memeluk tubuhnya sendiri, membayangkan apa yang akan terjadi padanya. Tubuh gadis itu menegang dengan tatapan terpasak ke pintu yang gagangnya bergerak. Waktu seolah-olah berjalan lambat baginya ketika sosok Indah muncul bersama para pengawalnya."Laras, selamat kau mendapatkan penawaran yang luar biasa." Indah tersenyum lebar menatap Laras yang perlahan berdiri."Buk, aku .... aku.""Sudahlah Laras, berhenti menentangku." Indah memberi isyarat kepada dua pengawalnya untuk membawa gadis itu keluar. "Malam ini kau harus menemani orang yang telah membeli keperawananmu. Bersikap baiklah jika kau ingin Ayahmu selamat.""A, apa maksud, Ibuk?" tanya Laras menahan tangis."Aku baru saja mendapat telepon dari dokter. Ayahmu mendapat serangan jantung kembali dan harus dioperasi secepatnya. Kalau tidak ...." Indah menempelkan tangannya di leher dan membuat gerakan melintang. "Hidup Ayahmu tergantung sikapmu malam ini. Jika aku mendapat telepon tidak menyenangkan darimu maka aku tidak akan pernah mengeluarkan uang untuk operasinya."Mata Laras membeliak, dia menghampiri Indah dengan cepat dan memegang tangan wanita tersebut. "Jangan, Buk, aku mohon. Aku akan melakukan yang terbaik, tapi selamatkan Ayahku." Dia memohon dengan air mata sudah menetes di pipinya.Indah tersenyum penuh kemenangan. "Kalau begitu jaga sikapmu, maka semua akan baik baik saja."Laras mengangguk pasrah. Dia memang tidak bisa lagi melakukan apa-apa selain patuh. Gadis itu mengikuti langkah para pengawal Indah yang mengantarnya menuju mobil. Setelah gadis itu masuk, mobil perlahan lahan bergerak meninggalkan pekarangan rumah Indah. Sepanjang jalan mata Laras menatap kosong ke arah jalanan melalui kaca mobil. Mungkin ini adalah hari terakhirnya menjadi manusia yang memilki kebesasan dan harga diri, karena besok Indah-lah yang berkuasa atas dirinya.Tanpa terasa mobil yang membawa Laras sampai di depan sebuah rumah besar. Pagarnya yang tinggi terbuka dari dalam. Laras terpana melihat bangunan di depannya berbentuk kastil yang ditumbuhi banyak pepohonan, membuat suasana terlihat mengerikan. Ditambah lagi angin yang berhembus menggoyangkan dahan pohon, seolah olah banyak pasang mata yang mengawasi dari sana."Silakan lewat sini." Laki laki yang menyupiri Laras mengarahkan gadis tersebut masuk ke dalam rumah. Lagi lagi Laras menelan ludahnya karena bangunan itu sangat luas. Dia mendongak ke atas dan melihat tangga melingkar seperti ular sampai ke lantai empat. Lampu kristal besar tergantung di tengah tengah ruangan. Laras belum sempat sepenuhnya mengagumi keindahan arsitektur interior dan furniture yang ada dalam bangunan tersebut, sebab laki laki tadi memintanya untuk terus mengikutinya.Di depan sebuah ruangan yang berada di lantai dua, Laras disuruh masuk karena sang tuan yang telah membelinya berada di dalam sana. Sebelum masuk gadis itu menghela napas dalam dalam, yang terjadi terjadilah. Mungkin ini adalah jalan hidup yang telah ditentukan untuknya. Laras menekan gagang pintu ke bawah lalu masuk. Dia melihat seorang laki laki berpunggung lebar berdiri membelakanginya dan menatap keluar jendela."Tuan, gadisnya sudah datang.""Kau boleh pergi."Mendengar suara si laki laki yang terdengar berat, Laras menunduk. Dia mendengar suara pintu tertutup, lalu langkah kaki mendekat. Laras bisa melihat ujung sepatu pantofel si laki laki beradu dengan sepatu hak tingginya. Gadis itu memberanikan mengangkat pandangannya. Dia tertegun melihat sepasang mata bermanik hitam pekat yang menatapnya lekat, seolah olah memancang iris matanya tetap terpasak di sana."Siapa namamu?" tanya Laki-laki itu."La, Laras, Tuan," jawabnya dengan gugup. Laki-laki di hadapannya sangat tampan. Dengan alis tebal membingkai manik mata berwarna lebih gelap dari jelaga, tulang hidung yang tinggi, rahang tegas, dan bibir tipis berwarna merah. Laras yakin laki laki itu tidak pernah merokok, yang membuat gadis itu semakin terpana saat laki laki tersebut tersenyum tipis memperlihatkan satu cekungan di pipi sebelah kanan."Nama yang bagus." Laki laki itu memegang dagu Laras dan mendekatkan wajahnya, hingga napas si lelaki yang beraroma alkohol bisa terhidu hidung gadis tersebut.Aku mengerjap beberapa kali ketika terbangun. Tanganku memijit dahi sedikit ditekan karena rasa penggar di kepala. Sial! Terlalu banyak minum semalam sampai mabuk berat. Semua gara gara wanita itu. Mengapa dia sangat keras kepala dan selalu menentangku? Parahnya aku tidak bisa bersikap tegas padanya sehingga dia leluasa dalam bersikap. Semua karena perjanjian sialan itu. Harusnya aku masih melajang sampai sekarang, tetapi demi Ayah aku terpaksa menerima pernikahan dengan putri sahabatnya.Andai orang-orang tahu aku sekacau ini karena wanita itu, pasti mereka akan menertawakanku. Namaku Rakasena, seorang laki laki bertubuh tegap dengan otot-otot keras terbentuk di beberapa bagian berkat latihan rutin di gym. Parasku tampan. Aku bukan seorang narsistik juga tak pandai meninggikan diri sendiri. Apa yang aku katakan benar adanya. Aku memiliki Ibu asli Prancis dan Ayah berdarah Sunda tulen. Bahkan, aku memiliki dua kewarganegaraan. Masa kecil dan remaja aku habiskan di negara Paman Sam, s
Lama Rakasena terdiam menatap keluar melalui jendela ruang kerjanya. Kata kata Okta terus terngiang-ngiang di tempurung kepalanya, bahwa gadis yang dia tiduri masih perawan. Harusnya dia tidak memerlukan masalah itu terlalu dalam, bukankah gadis itu tidak rugi apa pun? Dia tak menyentuh tidak pula meminta uangnya kembali.Sena, begitu dia dipanggil bisa mendengar pintu ruang kerjanya dibuka dari luar, tetapi dia abai karena tahu siapa yang masuk ke dalam ruangannya. Dia memerintahkan asistennya memanggil mucikari pemilik rumah bordir tempat gadis itu dilelang. Dia ingin melakukan satu penawaran dengan wanita bernama Indah itu."Tuan, Nyonya Indah sudah di sini." Okta memberitahu kedatangan wanita itu. Dia segera meninggalkan ruang kerja Sena setelah melihat isyarat laki laki tersebut, lalu menutup pintu rapat.Indah tersenyum. Dia tidak mengira seorang Rakasena mau bertemu dengannya. Siapa yang tidak mengenal laki laki itu. Sena sangat terkenal di antara pada pengusaha dan termasuk mi
Laras tak bisa menyembunyikan rasa gugupnya ketika manik mata Sena tepat menatap ke arahnya. Laki laki itu tidak melakukan apa apa, tetapi mampu membuat sekujur tubuhnya merinding. Gadis tersebut menunduk dan saling menggenggam jari-jarinya sekadar menenangkan jantung yang berdegup kencang. Berkali-kali Laras menelan ludah, atsmosfer di dalam ruangan itu benar benar membuatnya sesak, seolah-olah oksigen di sekitarnya semakin menipis setiap detik."Kau!" Suara Sena akhirnya terdengar menggema di dalam ruang kerjanya itu, "mendekat padaku."Laras masih diam dengan kepala masih menunduk, meski ingin bergerak tetapi kakinya seakan terpasak ke lantai."Apa kau tuli? Atau kau perlu diseret hingga bisa bergerak?" Lagi, terdengar suara Sena bernada dingin dan datar.Laras kembali menelan salivanya dengan susah payah. Dia memaksakan kaki melangkah menghampiri Sena yang berdiri menjulang membelakangi kaca. Postur laki-laki itu tinggi besar dengan tubuh kekar. Laras merasa seperti kurcaci sekara
Sena berdeham untuk menghilangkan rasa canggungnya. Dia mengalihkan pandangan sekadar menghalau rasa kagum yang mencoba masuk ke dalam dadanya. Dia tidak boleh menggunakan hati ketika bersama gadis itu. Berkali kali Sena mengingatkan dirinya sendiri kalau Laras hanyalah alat baginya untuk membuktikan dominasinya dan untuk membuat seseorang menyadari kalau dia bisa melakukan apa yang dia mau. Namun, setiap kali bersama Laras selalu saja ada geleyar asing yang merambat pelan masuk ke dalam dadanya. Apalagi setiap kali manik mata mereka bertemu. Ada rasa nyaman yang membuat laki laki tersebut tak ingin menjauh."Tuan." Sapaan dari Laras membuat fokus Sena kembali kepada gadis tersebut. Dia mengangkat dagu memperlihatkan wajah pongah."Ikut aku." Sena berbalik setelah memberi perintah.Laras dengan patuh mengekori Sena. Mau tidak mau matanya terpasak pada bahu lebar dan punggung tegak si laki laki. Tanpa sadar bibir gadis tersebut tersenyum, pasti menyenangkan bila bersandar di sana. Lara
Kaki Laras terseok-seok mengikuti langkah lebar Sena. Laki-laki itu menarik tangan gadis tersebut setelah keduanya sampai di kediamannya kembali. Entah apa yang membuat Sena kesal, yang pasti sejak pulang dari pesta rahang lelaki itu mengeras hingga Laras tak berani untuk menatap saja."Malam ini kau tidur di sini!" Sena menarik gadis itu masuk ke dalam kamarnya lalu menghempas gadis itu ke atas tempat tidur.Laras mengaduh karena keningnya terbentur kepala ranjang. Alih-alih merasa bersalah, Sena malah mencengkeram dagu gadis tersebut, memaksa wajah Laras mendongak menatapnya."Kau harus ingat kalau kau adalah milikku. Setiap gerakanmu, apa yang kau lakukan, dengan siapa kau bicara, bahkan apa yang harus dipikirkan otakmu akulah yang mengatur. Kau mengerti?!" geram Sena dengan sorot mata menajam.Laras mengangguk pelan. Tubuh gadis itu gemetar karena gentar melihat kemarahan Sena. Ketakukan dengan cepat menyergap dadanya membuat buliran bening seketika tergenang di pelupuk matanya. D
Udara sejuk dari pendingin ruangan menerpa kulit Laras membuat gadis itu menarik selimut lebih tinggi menutupi tubuhnya. Namun, percintaan tadi malam dengan Sena kembali hadir ke dalam ruang ingatannya. Gadis itu membuka kelopak matanya pelan-pelan, dia meraba seprai halus yang menjadi alas tidurnya, aroma khas Sena masih menempel di dalam ruangan tersebut. Gadis itu mendudukkan diri dan menatap sekeliling kamar yang didominasi warna putih untuk cat dindingnya serta warna hitam untuk beberapa perabotannya, tampak sepi. Tidak ada tanda tanda laki laki itu di sana. Laras tersenyum getir. Apa yang dia harapkan? Bercinta di saat malam lalu bangun dengan Sena ada di sampingnya? Tidak mungkin dan sangat mustahil. Mereka bukan sepasang kekasih yang saling mencintai. Jadi, setelah menyalurkan hasratnya laki-laki itu pergi begitu saja.Laras menyudahi lamunannya. Dia turun dari tempat tidur lalu melilitkan selimut ke tubuhnya. Gadis itu bermaksud untuk membersihkan diri karena rasa lengket di
"Seandainya makanan ini dibagikan kepada orang orang, apa Tuan tahu berapa perut yang bisa kita selamatkan?" Laras menjeda sejenak kata katanya, dia ingin melihat reaksi Sena. Akan tetapi, laki laki itu hanya diam menatapnya dengan alis terangkat. "Kita bisa mengganjal perut orang orang yang kelaparan sekitar sepuluh atau lima belas orang. Bukankah itu lebih baik dari pada kita membuang makanan ini sia sia?"--------------Kata kata Laras barusan terus terngiang-ngiang di tempurung kepala Sena. Laki-laki itu menopang dagunya dengan tangan yang diletakkan di jendela kaca mobil. tatapan Sena berlabuh menatap pohon pohon yang bergerak, seolah-olah sedang berlari berlawanan arah dengan mobil yang dikendarai oleh sopirnya. Ada rasa kagum menginap ke dalam hatinya mendengar cara gadis itu memandang sesuatu, meski terdengar sederhana tetapi isi pikiran Laras benar adanya. Dia bisa menilai kalau gadis tersebut memiliki hati yang sangat baik dan juga lembut. Malang sekali nasib Laras harus me
Setelah meletakkan gagang telepon ke tempatnya, sang pelayan wanita tadi kembali menghampiri Laras yang masih berada di dapur. Maria, nama kepala pelayan itu. Dia salut karena tidak biasanya sang Tuan membawa wanita lain ke rumah, meski ini bukan hunian satu satunya sang jutawan, tapi wanita yang dibawa pernah dibawa Tuan Sena adalah Nyonya Eva, istrinya sekarang. Jadi, kalau gadis bernama Laras itu dibawa ke rumah, artinya gadis tersebut memang spesial bagi sang tuan.Pertama melihat Laras, Maria bisa melihat gadis itu memiliki hati yang baik, terpancar dari wajahnya. Gadis tersebut juga masih belia tampak dari sikap dan cara bicaranya yang apa adanya. Prediksi Maria tidak salah karena Laras memang berbeda, jauh bila dibandingkan dengan sang nyonya yang angkuh dan suka merendahkan para pelayan. Mungkin karena wanita tersebut berasal dari kalangan atas, jadi menganggap pekerja rendah seperti mereka tidak berharga sama sekali.Seperti jauhnya jarak antara bumi dan langit, Laras justru
Setelah mengetahui siapa dirinya yang sebenarnya dan dari mana dia berasal, keinginan untuk menjauh dari Sena semakin kuat. Jika dulu dia ragu untuk pergi karena tidak mau membawa anaknya dalam kesengsaraan, tetapi kini dia justru bisa memberikan kehidupan yang baik untuk anaknya. Apakah pikiran Sena akan berubah kalau mengetahui bahwa mereka memiliki hubungan keluarga? Laras mengusir harapan-harapan semu itu, dia rasa percuma mengharapkan Sena. Bahkan, sampai sekarang laki-laki itu tidak pernah mengabarinya. Apakah Sena tidak tahu kalau dia mengalami musibah? Apakah tidak terbetik keinginan di dada laki-laki itu untuk bertanya kabarnya saja? Atau setidaknya keadaan anaknya. Namun, sepertinya berlibur bersama sang istri adalah prioritas si lelaki sekarang, membuat Laras semakin tahu diri di mana posisinya di hati laki-laki tersebut. "Sekarang apa keputusanmu?" Pertanyaan Randy beberapa waktu yang lalu membuat Laras berpikir lebih dalam. "Kini kau punya segalanya. Kau tidak perlu lagi
Laras meraba perutnya dengan pikiran menerawang. Nyaris saja dia kehilangan calon bayi karena kecerobohan sendiri. Beruntung janinnya sangat kuat sehingga bisa bertahan meski terjatuh dan berguling lalu terhempas ke lantai. Helaan napas gadis itu terdengar berat. Pandangannya pun berlabuh ke luar jendela. Langit tampak mendung pagi ini, serupa dengan hatinya yang digelayuti sendu. Kesepian juga rindu berdesakan memenuhi setiap sendi rongga dadanya, menuntut mencari jalan keluar. Sebaris nama terus saja hadir menggoda benaknya, meski gadis itu telah berusaha melupa, tetapi tetap saja sulit menggerus dari ceruk kepala."Laras ...."Laras menoleh ketika mendengar pintu kamar terbuka dan seseorang memanggil namanya. Da tersenyum dengan mata berembun melihat sang ayah berjalan menghampiri. Air mata gadis itu jatuh begitu saja. Saat ini dia memang sangat membutuhkan sosok sang ayah yang kerap ada setiap kali dia merasa sedih. Laki-laki itu akan selalu memeluknya dan mengatakan kalau semua b
"Tuan, apa Anda mendengar kabar tentang Tuan Sena?" Maria menghampiri Randy yang berdiri di dekat brankar tempat Larslas terbaring. Gadis itu baik-baik saja, pun bayi yang usianya baru hitungan minggu. Laras hanya mengalami shock yang membuatnya harus beristirahat. "Pelankan suaramu ....," desis Randy melirik ke arah Laras. Dia tidak ingin gadis itu mendengar kabar apa pun tentang Sena. Maria mengatupkan bibirnya rapat. Dia mengikuti Randy ketika laki-laki memberi isyarat padanya keluar dari kamar tempat Laras di rawat. "Mulai hari ini jangan pernah ada nama Sena lagi. Kesepakatan antara Laras dan dia sudah berakhir, ingat itu!" Randy memperingatkan Maria. Wanita itu mengangguk. Dia masih ingat ketika Randy menyuruhnya memberi kabar kepada Sena bahwa Laras keguguran. Dia menyetujuinya karena hanya itu satu-satunya cara untuk membawa gadis tersebut pergi dari rumah orang tua Sena. Maria tidak ingin Laras mengalami nasib sepertinya. Lagi pula dia sangat yakin gadis itu adalah darah
"Maaf, Nyonya, Anda tidak boleh masuk!"Okta membentangkan tangannya ketika Eva memaksa masuk ke dalam ruangan steril, di mana Sena ditempatkan setelah mendapat tindakan operasi. Kecelakaan tunggal yang dialami laki-laki tersebut menyebabkan dia mengalami patah tulang tangan dan kaki. Tidak itu saja, kepalanya mengalami luka parah karena air bag di mobilnya tidak berfungsi dengan baik saat terjadi benturan."Kau tidak berhak melarangku! Aku istrinya!" Eva memelotot memarahi Okta. Dia menepis tangan asisten Sena itu agar bisa masuk.Namun, Okta jauh lebih tegas. Dia memberi isyarat agar dua orang bodyguard yang berjaga di depan pintu untuk menarik Eva menjauh."Lepaskan!" Eva berseru dan menepis keras tangan dua bodyguard yang memegang lengannya. "Jauhkan tangan kotor kalian dariku.""Nyonya, ini rumah sakit. Saya harap Anda tidak membuat keributan." Lagi Okta memberi peringatan dengan raut datar."Kau memang tidak tahu diri!" Eva menuding ke arah Okta dengan jari menunjuk runcing, mat
Sena membiarkan Eva berkonsultasi dengan dokter di dalam ruangannya, sebabd dia menyerahkan semua urusan kepada para ahli yang tentu lebih mengetahui seluk-beluk dari proses bayi tabung. Lagi pula Sena tidak terlalu kuat mencium aroma obat-obatan di dalam ruangan dokter tersebut, jadi dia memilih untuk menghirup udara segar dengan berjalan menyusuri selasar rumah sakit. Mata Sena melihat seorang laki-laki sedang mendorong kursi roda yang diduduki wanita hamil membuat ingatannya melayang kepada Laras. Dia tersenyum membayangkan seperti apa wajah anaknya kelak. Imajinasinya terjeda ketika ponselnya berbunyi penanda pesan masuk dari aplikasi WhatsApp. Dahi Sena berkerut ketika melihat nomor pengirim tidak tersimpan di kontaknya. Dia segera membuka pesan yang dikirimkan oleh nomor yang tidak dikenal tersebut. Seketika rahang laki-laki itu mengeras, Sena meremas ponselnya dengan sangat erat melihat foto-foto Laras bersama Randy terlihat sangat akrab. Di mana sepupunya itu sedang menggeng
"Randy, ini air esnya!"Randy menoleh ketika mendengar suara Laras, membuat Maria bernapas lega, wanita itu segera undur diri dengan jantung berdebar."Makasih, ya." Randy menerima air yang disodorkan Laras, dia duduk kembali ke sofa di sisi gadis itu."Aku masih belum mengerti hubunganmu dengan Sena. Kalau kalian bersaudara tiri apa dia tahu?" Laras kembali bertanya, karena otaknya ruwet memikirkan silsilah keluarga kedua lelaki itu.Randy menggeleng. "Aku yakin tidak tahu, karena sejak lahir dia tinggal di luar negeri bersama keluarganya. Ayahku juga tidak berminat menceritakan hal-hal pribadi dengan saudaranya itu." Dia menjeda kata-katanya, "eeem ... sebenarnya hubungan Ayah angkatku dan Ayah Sena tidak baik. Keduanya baru dekat setelah Kakek meninggal."Laras mulai mengerti. Ternyata runutan keluarga Sena tidak sesulit yang dia pikirkan. Mengingat laki-laki itu kembali kesedihan hadir di dada gadis tersebut. Sekuat apa pun gadis itu mencoba tetap saja dia tidak bisa mengenyahkan
Tanpa terasa pesawat yang ditumpangi oleh Sena dan Eva mendarat di bandar udara Changi Singapura, setelah menempuh perjalanan sekitar satu jam lima puluh menit. Bandara internasional Changi adalah bandara sipil utama di Singapura. Pemerintah negara yang terkenal dengan patung kepala singa itu terus memperbaiki fasilitas salah satu bandara terbesar di Asia Tenggara tersebut. Sena membiarkan Eva bergelayut manja di lengannya saat mereka keluar dari gerbang kedatangan yang tidak terlalu ramai, karena pesawat mendarat saat matahari baru saja naik ke cakrawala. Ditambah lagi karpet yang sengaja di pasang untuk meredam suara sehingga suasana bandara tidak terlalu bising. Di sepanjang jalan gerbang kedatangan yang dilewati, mata dimanjakan oleh pemandangan hijau dari tanaman yang sengaja ditanam oleh pengelola.Di pintu keluar mereka sudah ditunggu oleh seorang sopir yang memang sudah dipersiapkan oleh Okta untuk mengantar jemput selama keduanya di sana. Sang asisten juga sudah menyiapkan ho
"Sen, mau ke mana?" Eva bersuara lembut memanggil laki-laki itu ketika hendak beranjak dari kursi. Mereka baru saja selesai makan malam yang khusus di masak oleh wanita tersebut Steak daging terderloin dengan tingkat kematangan medium rare yang diberi olesan saus barbeque, rebusan kentang, wortel, dan buncis menjadi menu makan malam favorit Sena."Aku mau ke ruang kerja, ada yang harus kukerjakan," jawab laki-laki itu singkat sambil meletakkan serbet yang digunakan mengelap bibirnya."Sayang ...." Eva menghampiri Rakasena yang berdiri di sebelah kursi yang baru dia duduki. "Apa kau lupa kalau aku ingin bicara sesuatu denganmu?" Wanita itu menatap suaminya dengan sorot memohon."Maaf, aku lupa. Apa yang ingin kau bicarakan?"Eva menggamit lengan Sena dan menuntun laki-laki itu berjalan pelan-pelan menuju tangga. "Aku sudah memikirkan tentang rencana kita mengusahakan bayi tabung. Aku juga sudah berkonsultasi dengan dokter dan mempercepat waktunya." Eva tersenyum dan menoleh ke arah Se
"Makasih banyak, Sen."Laras menunduk sembari melihat barang-barang belanjaan yang ada di dalam kantong belanjaan kertas. Andai saja tidak dicegah, mungkin saja laki-laki itu sudah memborong semua isi toko, belum apa-apa Sena sudah menghabiskan uang sepuluh juta rupiah. Orang kaya memang tidak pernah memikirkan berapa jumlah uang yang dibelanjakan karena mereka seolah-olah memiliki kekayaan yang tidak habis-habis."Tidak perlu, aku membelikan untuk anakku." Sena menjawab sambil merogoh saku celana bahannya. Dia menyerahkan sebuah kotak kecil ke hadapan Laras. "Aku punya hadiah untukmu."Mata Laras berkedip-kedip ketika Sena membuka kotak dari bahan beludru berwarna hitam. Seuntai kalung dari emas putih tampak berkilauan."I ... ini untuk aku?"Sena mengangguk. Dia menuntun Laras menuju meja rias, lalu mendudukkan gadis itu di sana. Dia kemudian mengambil kalung setelah meletakkan kotaknya di atas meja rias yang terbuat dari kaca.Laras menyampirkan rambutnya ketika Sena memakaikan kal