Laras tak bisa menyembunyikan rasa gugupnya ketika manik mata Sena tepat menatap ke arahnya. Laki laki itu tidak melakukan apa apa, tetapi mampu membuat sekujur tubuhnya merinding. Gadis tersebut menunduk dan saling menggenggam jari-jarinya sekadar menenangkan jantung yang berdegup kencang. Berkali-kali Laras menelan ludah, atsmosfer di dalam ruangan itu benar benar membuatnya sesak, seolah-olah oksigen di sekitarnya semakin menipis setiap detik.
"Kau!" Suara Sena akhirnya terdengar menggema di dalam ruang kerjanya itu, "mendekat padaku."Laras masih diam dengan kepala masih menunduk, meski ingin bergerak tetapi kakinya seakan terpasak ke lantai."Apa kau tuli? Atau kau perlu diseret hingga bisa bergerak?" Lagi, terdengar suara Sena bernada dingin dan datar.Laras kembali menelan salivanya dengan susah payah. Dia memaksakan kaki melangkah menghampiri Sena yang berdiri menjulang membelakangi kaca. Postur laki-laki itu tinggi besar dengan tubuh kekar. Laras merasa seperti kurcaci sekarang, sebab tingginya hanya mencapai dada si lelaki."Angkat kepalamu!" Deep voice Sena kini terdengar, tidak lagi segarang tadi.Laras seperti robot mengikuti semua perintah laki-laki di hadapannya. Aura Sena begitu kuat. Dia terlihat sangat percaya diri dengan sorot mata tajam dan tampak pongah. Wajar saja lelaki kaya dan tampan seperti itu bersikap arogan."Berputar." Lagi Sena memerintah.Laras patuh. Entah apa maksud laki-laki itu menyuruhnya berputar. Dia baru berhenti ketika Sena memintanya berhenti. Gadis itu kembali menunduk ketika Sena menatapnya lekat. Entah apa yang dipikirkan lelaki itu, sorot matanya tidak terbaca oleh Laras."Cium aku."Kelopak mata Laras melebar mendengar perintah yang satu itu."Ap, apa?" Gadis itu menatap Sena dengan sorot bingung."Kau tidak mengerti perkataanku?" Raut Sena berubah sedikit kesal.Laras menggoyangkan kedua tangannya di depan wajahnya. "Bu, bukan. Aku mengerti, tapi ....""Tapi apa?" Satu alis Sena terangkat naik, "jangan katakan kau tidak bisa? Tak mungkin kau tak pernah berciuman sampai sekarang?"Air muka Laras berubah memerah. Dia menggigit bibirnya. Lelaki itu benar, jangankan berciuman, berpegangan tangan dengan laki-laki dewasa saja tak pernah selain ayahnya."Tunggu apa lagi? Apa kau ingin aku yang melakukannya? Tak masalah, sekalian saja aku menidurimu di sini. Bukankah aku sudah membayarmu mahal?" Sena benar-benar tidak sabaran, dia menggeram rendah dengan tatapan ingin menerkam gadis itu. Apa dia membeli seorang biarawati hingga gadis itu tak bisa apa pun?Raut Laras memucat. "Ja, jangan, Tuan. Iya saya lakukan." Dia melangkah perlahan mendekati Sena. Sedikit demi sedikit melipat jarak dengan laki laki tersebut. Kini jarak keduanya hanya satu jengkal saja. Laras menatap Sena takut-takut. Iris cokelat terang si lelaki laksana tombak yang mengunci wajahnya agar tal berpaling. Dengan menahan debar keras di dada kaki gadis itu berjingkat agar bisa mencapai bibir Sena. Laras mengecup bibir laki-laki itu cepat dan sekilas."Lagi!" Perintah Sena.Laras kembali mengulangi gerakannya."Lagi!" Geram Sena pelan.Laras menggigit bibirnya. Dia kembali mengecup bibir laki-laki itu. Akan tetapi, ketika dia hendak melepaskan, tangan Sena menahan pinggangnya sehingga tubuh Keduanya rapat tak berjarak."Tu ... Tuan?!" Laras panik karena tatapan Sena berubah, tidak lagi sedatar tadi. Seperti batu yang dilemparkan ke dalam kolam, beriak dan bergelombang. Ada hasrat di sana yang membuat tubuh gadis itu merinding.Sena tidak peduli dengan keterkejutan gadis berkulit putih pucat itu. Dia meraup bibir ranum Laras, mengulum, dan menghisap dengan kuat, membuat gadis tersebut kelabakan."Balas ciumanku!" Geram Laras tanpa membiarkan bibir gadis itu menjauh darinya.Sena kembali melumat bibir Laras dengan lahap. Seakan dua benda kenyal yang berwarna merah alami itu adalah permen favoritnya. Bukan! Bibir Laras membuatnya candu ingin menyesap lagi dan lagi. Laras mengaduh ketika bibirnya digigit si laki laki."Sekali lagi kau tidak mendengarkan perintahku, maka aku akan menggigit bibirmu sampai putus." Lagi Sena mengimtimidasi.Tubuh Laras gemetar. Dia mulai menggerakkan bibirnya mengikuti permainan Sena. Pelan, tetapi pasti gadis itu mulai mendapatkan ritmenya, membuat Sena tersenyum. Gadis yang sedang dia dekap erat cepat sekali belajar. Dia semakin yakin untuk menjadikan Laras simpanannya, setidaknya sampai dia puas.Lenguhan terdengar dari bibir Laras ketika tangan Sena kini sudah merayap bokongnya, sementara tangan yang lain semakin menekankan pinggul gadis itu kepadanya. Laras semakin ketakutan. Dia berusaha mendorong tubuh Sena menjauh darinya.Sena melepaskan tangannya dari pinggul Laras. Dia menatap gadis itu lekat. "Kenapa, kau tidak suka?"Laras menunduk, matanya terasa panas menahan air mata yang hendak menetes di pipi. "Maaf, Tuan, tapi saya tidak seperti yang Anda kira, saya bukan pelacur. Saya ....""Aku tahu!" Sena menyela. "Mulai hari ini kau tinggal di sini. Hubunganmu dengan pemilik rumah bunga juga telah aku putuskan karena aku telah membelimu darinya."Sena menjelaskan sambil berdiri. Dia berjalan menuju meja kerjanya dan mengabaikan Laras menatapnya tak percaya. Gadis itu menghampiri laki laki tersebut, tanpa sadar dia menggenggam tangan Senaa erat-erat."Apa benar yang Anda katakan Tuan?:" tanya Laras ingin meyakinkan kembali dirinya kalau laki-laki asing itu tidak berbohong."Sena mengangguk, tangannya yang tadi sibuk membuka buka dokumen penting, seketika berhenti. Dia menatap ke arah Laras dengan tatapan dingin. Tak ada riak di manik matanya, membuat Laras sadar dengan sikapnya Dia segera melepaskan pegangan tangannya."Sebagai balasannya kau tinggal di sini melayani semua kebutuhanku." Lanjut Dominic dengan nada datar. Namun, mampu membuat Laras surut ke belakang."Mak, masud Tuan?" Laras sama sekali tidak mengerti arti kata melayani."Biar kupejelas maksudku." Sena kembali bersuara. "Aku adalah pemilikmu yang baru. Apa pun yang aku katakan adalah perintah untukmu dan kau sama sekali tidak punya hak untuk bersuara atau pun menolak. Kau. tidak ingin orang-orang tersayangmu mati. Oh, maksudku Ayahmu."Kabut segera hadir di kedua pelupuk mata Laras mendengar ucapan Sena. Dia pikir setelah mendengar laki laki itu membebaskannya dari Indah masih ada kebaikan dunia ini, ternyata dia gadis yang sangat naif. Mana mungkin ada yang tulus seperti itu? Apalagi bagi orang-orang kaya, pasti mereka menginginkan sesuatu atas perbuatan baik mereka."Jangan libatkan Ayah saya ...," lirih Laras dengan suara serak menahan tangis."Kalau begitu turuti semua perkataanku. Kau akan tetap tinggal di rumah ini sebagai simpananku. Kau tak boleh hamil dan jatuh cinta padaku."Seluruh tubuh Laras melunglai. Rasanya semua daya di tubuhnya tersedot keluar mendengar kata kata Sena. Dia tak pernah membayangkan menjadi simpanan laki-laki mana pun. Belum apa-apa hidupnya hancur berantakan. Dia tidak tahu bagaimana harus berhadapan dengan ayahnya. Demi laki-laki cinta pertamanya itu, dia akan korbankan apa saja agar sang ayah tetap selamat.*Tiga hari setelah Sena mengatakan telah membelinya, laki-laki itu pergi begitu saja. Sementara Laras menghabiskan hari dengan menanam bunga di pekarangan belakang rumah Sena. Gadis tersebut berusaha melupakan rasa getir yang terus menghantui dadanya. Setidaknya masih ada hal baik dari keadaannya sekarang. Dia tidak perlu melayani banyak laki-laki berbeda yang dipaksakan Indah padanya."Nona, Tuan Sena mengirimkan sesuatu untuk Anda." Seorang pelayan menghampiri Laras yang sedang asyik bercengkrama dengan bunga, tanah, dan pupuk. Tumben sekali laki laki arogan itu mengirimkan hadiah untuknya."Apa itu?" tanya Laras sambil mencuci tangannya."Tuan Sena mengirimkan gaun untuk Anda. Tuan juga berpesan agar Anda mengenakannya malam ini." Sang pelayan menunduk hormat.Laras melengos mendengar penjelasan sang pelayan. Setelah menghilang begitu saja selama tiga, hari ini laki laki itu mengirimkan sebuah gaun malam untuknya. Dia tidak tahu apa maksud dari benda tersebut. Apakah ini sebagai ucapan permintaan maaf? Akan tetapi, dia tidak yakin karena Sena hanya menganggapnya sebagai alat, alat untuk melayani hasratnya. Kalau dia menolak maka detik itu juga akan ditendang."Silakan Nona. Kurang dari satu jam lagi Tuan datang." Suara sang pelayan mengembalikan kesadaran Laras. Gadis itu terpaksa mengikuti langkah pelayan tadi menuju kamar untuk membersihkan diri. Hidupnya kini tak ubahnya hanya menjalani perintah sang tuan dan mengambil haknya untuk berkata-kata.Setelah membersihkan diri, pelayan tadi memakaikan gaun tadi. Sehelai gaun tanpa lengan dengan bahan sutra terbaik yang panjangnya hanya sebatas lutut dan berwarna hitam tampak pas di tubuh Laras. Apalagi dengan aksen potongan di dada berbentuk Baby Doll membuat gadis itu tampak sangat manis. Sang pelayan juga merias wajah Laras.dengan make up tipis. Rambut panjangnya dibiarkan terurai dan hanya diberi jepitan di sebelah kiri.Ketika sang pelayan selesai mengoleskan lipstik berwarna merah muda bibir tipisnya, pintu kamar terbuka dari luar, menampilkan sosok Sena melangkah masuk. Melihat tuannya sang pelayan menunduk hormat lalu segera keluar setelah mendapat isyarat. Laras bangkit lalu berbalik menatap Sena. Laras bisa melihat pendar di mata laki-laki ketika menatapnya, tetapi hanya sesaat."Kau ikut denganku, hari ini kita menikah." "Me-nikah?" Laras membeo. Dia tak mengira Sena berniat menikahinya."Hanya nikah siri, jangan besar kepala. Statusmu tetap simpananku."Bunga-bunga di hati Laras layu seketika.Sena berdeham untuk menghilangkan rasa canggungnya. Dia mengalihkan pandangan sekadar menghalau rasa kagum yang mencoba masuk ke dalam dadanya. Dia tidak boleh menggunakan hati ketika bersama gadis itu. Berkali kali Sena mengingatkan dirinya sendiri kalau Laras hanyalah alat baginya untuk membuktikan dominasinya dan untuk membuat seseorang menyadari kalau dia bisa melakukan apa yang dia mau. Namun, setiap kali bersama Laras selalu saja ada geleyar asing yang merambat pelan masuk ke dalam dadanya. Apalagi setiap kali manik mata mereka bertemu. Ada rasa nyaman yang membuat laki laki tersebut tak ingin menjauh."Tuan." Sapaan dari Laras membuat fokus Sena kembali kepada gadis tersebut. Dia mengangkat dagu memperlihatkan wajah pongah."Ikut aku." Sena berbalik setelah memberi perintah.Laras dengan patuh mengekori Sena. Mau tidak mau matanya terpasak pada bahu lebar dan punggung tegak si laki laki. Tanpa sadar bibir gadis tersebut tersenyum, pasti menyenangkan bila bersandar di sana. Lara
Kaki Laras terseok-seok mengikuti langkah lebar Sena. Laki-laki itu menarik tangan gadis tersebut setelah keduanya sampai di kediamannya kembali. Entah apa yang membuat Sena kesal, yang pasti sejak pulang dari pesta rahang lelaki itu mengeras hingga Laras tak berani untuk menatap saja."Malam ini kau tidur di sini!" Sena menarik gadis itu masuk ke dalam kamarnya lalu menghempas gadis itu ke atas tempat tidur.Laras mengaduh karena keningnya terbentur kepala ranjang. Alih-alih merasa bersalah, Sena malah mencengkeram dagu gadis tersebut, memaksa wajah Laras mendongak menatapnya."Kau harus ingat kalau kau adalah milikku. Setiap gerakanmu, apa yang kau lakukan, dengan siapa kau bicara, bahkan apa yang harus dipikirkan otakmu akulah yang mengatur. Kau mengerti?!" geram Sena dengan sorot mata menajam.Laras mengangguk pelan. Tubuh gadis itu gemetar karena gentar melihat kemarahan Sena. Ketakukan dengan cepat menyergap dadanya membuat buliran bening seketika tergenang di pelupuk matanya. D
Udara sejuk dari pendingin ruangan menerpa kulit Laras membuat gadis itu menarik selimut lebih tinggi menutupi tubuhnya. Namun, percintaan tadi malam dengan Sena kembali hadir ke dalam ruang ingatannya. Gadis itu membuka kelopak matanya pelan-pelan, dia meraba seprai halus yang menjadi alas tidurnya, aroma khas Sena masih menempel di dalam ruangan tersebut. Gadis itu mendudukkan diri dan menatap sekeliling kamar yang didominasi warna putih untuk cat dindingnya serta warna hitam untuk beberapa perabotannya, tampak sepi. Tidak ada tanda tanda laki laki itu di sana. Laras tersenyum getir. Apa yang dia harapkan? Bercinta di saat malam lalu bangun dengan Sena ada di sampingnya? Tidak mungkin dan sangat mustahil. Mereka bukan sepasang kekasih yang saling mencintai. Jadi, setelah menyalurkan hasratnya laki-laki itu pergi begitu saja.Laras menyudahi lamunannya. Dia turun dari tempat tidur lalu melilitkan selimut ke tubuhnya. Gadis itu bermaksud untuk membersihkan diri karena rasa lengket di
"Seandainya makanan ini dibagikan kepada orang orang, apa Tuan tahu berapa perut yang bisa kita selamatkan?" Laras menjeda sejenak kata katanya, dia ingin melihat reaksi Sena. Akan tetapi, laki laki itu hanya diam menatapnya dengan alis terangkat. "Kita bisa mengganjal perut orang orang yang kelaparan sekitar sepuluh atau lima belas orang. Bukankah itu lebih baik dari pada kita membuang makanan ini sia sia?"--------------Kata kata Laras barusan terus terngiang-ngiang di tempurung kepala Sena. Laki-laki itu menopang dagunya dengan tangan yang diletakkan di jendela kaca mobil. tatapan Sena berlabuh menatap pohon pohon yang bergerak, seolah-olah sedang berlari berlawanan arah dengan mobil yang dikendarai oleh sopirnya. Ada rasa kagum menginap ke dalam hatinya mendengar cara gadis itu memandang sesuatu, meski terdengar sederhana tetapi isi pikiran Laras benar adanya. Dia bisa menilai kalau gadis tersebut memiliki hati yang sangat baik dan juga lembut. Malang sekali nasib Laras harus me
Setelah meletakkan gagang telepon ke tempatnya, sang pelayan wanita tadi kembali menghampiri Laras yang masih berada di dapur. Maria, nama kepala pelayan itu. Dia salut karena tidak biasanya sang Tuan membawa wanita lain ke rumah, meski ini bukan hunian satu satunya sang jutawan, tapi wanita yang dibawa pernah dibawa Tuan Sena adalah Nyonya Eva, istrinya sekarang. Jadi, kalau gadis bernama Laras itu dibawa ke rumah, artinya gadis tersebut memang spesial bagi sang tuan.Pertama melihat Laras, Maria bisa melihat gadis itu memiliki hati yang baik, terpancar dari wajahnya. Gadis tersebut juga masih belia tampak dari sikap dan cara bicaranya yang apa adanya. Prediksi Maria tidak salah karena Laras memang berbeda, jauh bila dibandingkan dengan sang nyonya yang angkuh dan suka merendahkan para pelayan. Mungkin karena wanita tersebut berasal dari kalangan atas, jadi menganggap pekerja rendah seperti mereka tidak berharga sama sekali.Seperti jauhnya jarak antara bumi dan langit, Laras justru
Setelah perjalanan panjang, pesawat yang ditumpangi Sena dan Laras mendarat dengan selamat di Bandara Schiphol Amsterdam yang terletak di bagian selatan Kota Amsterdam. Hawa dingin menyambut kedatangan gadis tersebut saat keluar dari pesawat. Sialnya, dia hanya mengenakan gaun tipis yang membuat hawa dingin seakan menusuk nusuk kulitnya. Bahkan, gadis itu harus memeluk tubuhnya erat erat agar tidak kedinginan. Akan tetapi, sia sia saja. Udara di Belanda di musim panas saja hanya berkisar tujuh belas sampai dua puluh derajat celcius. Apalagi di musim dingin, biasanya berkisar antara satu sampai enam derajat celcius. Pantas saja bibir Laras bergetar dan mulai memucat.Sena yang lebih dahulu berjalan di depan menghentikan langkahnya. Dia menoleh ke belakang karena Laras tidak berada di sampingnya. Dia menghela napas keras melihat gadis tersebut tertinggal di belakang, berdiri tidak bergerak di tempatnya. "Kau kenapa?" Laki laki itu mengerutkan dahi melihat tubuh si gadis gemetar."Dingin
Laras bergerak-gerak gelisah di atas tempat tidur. Dia terbangun ketika merasakan sesak di dada. Meski sudah mematikan pendingin udara, napasnya masih saja terasa tersendat. Waktu terasa sangat lama untuk gadis itu. Kalau hanya menahan lapar dia masih sanggup, tetapi sakit di kepala semakin membuatnya nelangsa. Rasa geli yang menggelitik hidungnya membuat Laras bersin tak hitungan kali. Dia meringkuk di atas tempat tidur dengan selimut membungkus seluruh tubuh. Napasnya memburu karena panas yang berasal dari dalam, tetapi telapak kaki terasa dingin.Untuk tidur pun Laras tidak bisa. Sinusitis yang dia idap membuatnya semakin tersiksa. Parahnya, gadis tersebut lupa membawa inhaler yang biasanya selalu siaga di dalam dompetnya. Dia bangun lalu berjalan ke luar kamar berharap Sena sudah pulang. Namun, dia harus kecewa karena tidak melihat laki laki tersebut. Laras kembali masuk ke kamar dan memilih duduk di dekat jendela. Gadis itu duduk di kursi menghadap keluar sambil merapatkan selimu
Bulu mata lentik yang membingkai mata bulat Laras perlahan-lahan terbuka. Tempat tidur dari busa terbaik membuatnya nyaman, hingga memilih diam di sana. Tubuh gadis itu terasa hangat bergelung di dalam selimut. berbanding terbalik dengan udara di luar hotel. Dia bisa melihat salju jatuh melalui jendela kamar. Laras tersenyum melihat butir-butir putih itu adalah pemandangan yang sangat indah baginya. Ingin rasanya melompat turun dari ranjang, lalu berlari keluar hotel untuk merasakan kelembutan salju.'Salju rasanya kayak es krim, ya? Kalau dikasih sirup pasti segar.' Laras senyum senyum sendiri.""Kau kenapa?" Teguran Sena menyadarkan Laras kalau dia tidak sendirian di dalam kamar. Gadis itu duduk dan menatap ke arah si laki laki yang sedang berdiri di depan pintu toilet.Wajah Laras memerah melihat tubuh Sena hanya berbalut handuk sebatas pinggang, sehingga perut kotak-kotak yang terbentuk karena latihan fitness tampak menggoda untuk disentuh. Mata gadis itu enggan berpaling. Seolah-
Setelah mengetahui siapa dirinya yang sebenarnya dan dari mana dia berasal, keinginan untuk menjauh dari Sena semakin kuat. Jika dulu dia ragu untuk pergi karena tidak mau membawa anaknya dalam kesengsaraan, tetapi kini dia justru bisa memberikan kehidupan yang baik untuk anaknya. Apakah pikiran Sena akan berubah kalau mengetahui bahwa mereka memiliki hubungan keluarga? Laras mengusir harapan-harapan semu itu, dia rasa percuma mengharapkan Sena. Bahkan, sampai sekarang laki-laki itu tidak pernah mengabarinya. Apakah Sena tidak tahu kalau dia mengalami musibah? Apakah tidak terbetik keinginan di dada laki-laki itu untuk bertanya kabarnya saja? Atau setidaknya keadaan anaknya. Namun, sepertinya berlibur bersama sang istri adalah prioritas si lelaki sekarang, membuat Laras semakin tahu diri di mana posisinya di hati laki-laki tersebut. "Sekarang apa keputusanmu?" Pertanyaan Randy beberapa waktu yang lalu membuat Laras berpikir lebih dalam. "Kini kau punya segalanya. Kau tidak perlu lagi
Laras meraba perutnya dengan pikiran menerawang. Nyaris saja dia kehilangan calon bayi karena kecerobohan sendiri. Beruntung janinnya sangat kuat sehingga bisa bertahan meski terjatuh dan berguling lalu terhempas ke lantai. Helaan napas gadis itu terdengar berat. Pandangannya pun berlabuh ke luar jendela. Langit tampak mendung pagi ini, serupa dengan hatinya yang digelayuti sendu. Kesepian juga rindu berdesakan memenuhi setiap sendi rongga dadanya, menuntut mencari jalan keluar. Sebaris nama terus saja hadir menggoda benaknya, meski gadis itu telah berusaha melupa, tetapi tetap saja sulit menggerus dari ceruk kepala."Laras ...."Laras menoleh ketika mendengar pintu kamar terbuka dan seseorang memanggil namanya. Da tersenyum dengan mata berembun melihat sang ayah berjalan menghampiri. Air mata gadis itu jatuh begitu saja. Saat ini dia memang sangat membutuhkan sosok sang ayah yang kerap ada setiap kali dia merasa sedih. Laki-laki itu akan selalu memeluknya dan mengatakan kalau semua b
"Tuan, apa Anda mendengar kabar tentang Tuan Sena?" Maria menghampiri Randy yang berdiri di dekat brankar tempat Larslas terbaring. Gadis itu baik-baik saja, pun bayi yang usianya baru hitungan minggu. Laras hanya mengalami shock yang membuatnya harus beristirahat. "Pelankan suaramu ....," desis Randy melirik ke arah Laras. Dia tidak ingin gadis itu mendengar kabar apa pun tentang Sena. Maria mengatupkan bibirnya rapat. Dia mengikuti Randy ketika laki-laki memberi isyarat padanya keluar dari kamar tempat Laras di rawat. "Mulai hari ini jangan pernah ada nama Sena lagi. Kesepakatan antara Laras dan dia sudah berakhir, ingat itu!" Randy memperingatkan Maria. Wanita itu mengangguk. Dia masih ingat ketika Randy menyuruhnya memberi kabar kepada Sena bahwa Laras keguguran. Dia menyetujuinya karena hanya itu satu-satunya cara untuk membawa gadis tersebut pergi dari rumah orang tua Sena. Maria tidak ingin Laras mengalami nasib sepertinya. Lagi pula dia sangat yakin gadis itu adalah darah
"Maaf, Nyonya, Anda tidak boleh masuk!"Okta membentangkan tangannya ketika Eva memaksa masuk ke dalam ruangan steril, di mana Sena ditempatkan setelah mendapat tindakan operasi. Kecelakaan tunggal yang dialami laki-laki tersebut menyebabkan dia mengalami patah tulang tangan dan kaki. Tidak itu saja, kepalanya mengalami luka parah karena air bag di mobilnya tidak berfungsi dengan baik saat terjadi benturan."Kau tidak berhak melarangku! Aku istrinya!" Eva memelotot memarahi Okta. Dia menepis tangan asisten Sena itu agar bisa masuk.Namun, Okta jauh lebih tegas. Dia memberi isyarat agar dua orang bodyguard yang berjaga di depan pintu untuk menarik Eva menjauh."Lepaskan!" Eva berseru dan menepis keras tangan dua bodyguard yang memegang lengannya. "Jauhkan tangan kotor kalian dariku.""Nyonya, ini rumah sakit. Saya harap Anda tidak membuat keributan." Lagi Okta memberi peringatan dengan raut datar."Kau memang tidak tahu diri!" Eva menuding ke arah Okta dengan jari menunjuk runcing, mat
Sena membiarkan Eva berkonsultasi dengan dokter di dalam ruangannya, sebabd dia menyerahkan semua urusan kepada para ahli yang tentu lebih mengetahui seluk-beluk dari proses bayi tabung. Lagi pula Sena tidak terlalu kuat mencium aroma obat-obatan di dalam ruangan dokter tersebut, jadi dia memilih untuk menghirup udara segar dengan berjalan menyusuri selasar rumah sakit. Mata Sena melihat seorang laki-laki sedang mendorong kursi roda yang diduduki wanita hamil membuat ingatannya melayang kepada Laras. Dia tersenyum membayangkan seperti apa wajah anaknya kelak. Imajinasinya terjeda ketika ponselnya berbunyi penanda pesan masuk dari aplikasi WhatsApp. Dahi Sena berkerut ketika melihat nomor pengirim tidak tersimpan di kontaknya. Dia segera membuka pesan yang dikirimkan oleh nomor yang tidak dikenal tersebut. Seketika rahang laki-laki itu mengeras, Sena meremas ponselnya dengan sangat erat melihat foto-foto Laras bersama Randy terlihat sangat akrab. Di mana sepupunya itu sedang menggeng
"Randy, ini air esnya!"Randy menoleh ketika mendengar suara Laras, membuat Maria bernapas lega, wanita itu segera undur diri dengan jantung berdebar."Makasih, ya." Randy menerima air yang disodorkan Laras, dia duduk kembali ke sofa di sisi gadis itu."Aku masih belum mengerti hubunganmu dengan Sena. Kalau kalian bersaudara tiri apa dia tahu?" Laras kembali bertanya, karena otaknya ruwet memikirkan silsilah keluarga kedua lelaki itu.Randy menggeleng. "Aku yakin tidak tahu, karena sejak lahir dia tinggal di luar negeri bersama keluarganya. Ayahku juga tidak berminat menceritakan hal-hal pribadi dengan saudaranya itu." Dia menjeda kata-katanya, "eeem ... sebenarnya hubungan Ayah angkatku dan Ayah Sena tidak baik. Keduanya baru dekat setelah Kakek meninggal."Laras mulai mengerti. Ternyata runutan keluarga Sena tidak sesulit yang dia pikirkan. Mengingat laki-laki itu kembali kesedihan hadir di dada gadis tersebut. Sekuat apa pun gadis itu mencoba tetap saja dia tidak bisa mengenyahkan
Tanpa terasa pesawat yang ditumpangi oleh Sena dan Eva mendarat di bandar udara Changi Singapura, setelah menempuh perjalanan sekitar satu jam lima puluh menit. Bandara internasional Changi adalah bandara sipil utama di Singapura. Pemerintah negara yang terkenal dengan patung kepala singa itu terus memperbaiki fasilitas salah satu bandara terbesar di Asia Tenggara tersebut. Sena membiarkan Eva bergelayut manja di lengannya saat mereka keluar dari gerbang kedatangan yang tidak terlalu ramai, karena pesawat mendarat saat matahari baru saja naik ke cakrawala. Ditambah lagi karpet yang sengaja di pasang untuk meredam suara sehingga suasana bandara tidak terlalu bising. Di sepanjang jalan gerbang kedatangan yang dilewati, mata dimanjakan oleh pemandangan hijau dari tanaman yang sengaja ditanam oleh pengelola.Di pintu keluar mereka sudah ditunggu oleh seorang sopir yang memang sudah dipersiapkan oleh Okta untuk mengantar jemput selama keduanya di sana. Sang asisten juga sudah menyiapkan ho
"Sen, mau ke mana?" Eva bersuara lembut memanggil laki-laki itu ketika hendak beranjak dari kursi. Mereka baru saja selesai makan malam yang khusus di masak oleh wanita tersebut Steak daging terderloin dengan tingkat kematangan medium rare yang diberi olesan saus barbeque, rebusan kentang, wortel, dan buncis menjadi menu makan malam favorit Sena."Aku mau ke ruang kerja, ada yang harus kukerjakan," jawab laki-laki itu singkat sambil meletakkan serbet yang digunakan mengelap bibirnya."Sayang ...." Eva menghampiri Rakasena yang berdiri di sebelah kursi yang baru dia duduki. "Apa kau lupa kalau aku ingin bicara sesuatu denganmu?" Wanita itu menatap suaminya dengan sorot memohon."Maaf, aku lupa. Apa yang ingin kau bicarakan?"Eva menggamit lengan Sena dan menuntun laki-laki itu berjalan pelan-pelan menuju tangga. "Aku sudah memikirkan tentang rencana kita mengusahakan bayi tabung. Aku juga sudah berkonsultasi dengan dokter dan mempercepat waktunya." Eva tersenyum dan menoleh ke arah Se
"Makasih banyak, Sen."Laras menunduk sembari melihat barang-barang belanjaan yang ada di dalam kantong belanjaan kertas. Andai saja tidak dicegah, mungkin saja laki-laki itu sudah memborong semua isi toko, belum apa-apa Sena sudah menghabiskan uang sepuluh juta rupiah. Orang kaya memang tidak pernah memikirkan berapa jumlah uang yang dibelanjakan karena mereka seolah-olah memiliki kekayaan yang tidak habis-habis."Tidak perlu, aku membelikan untuk anakku." Sena menjawab sambil merogoh saku celana bahannya. Dia menyerahkan sebuah kotak kecil ke hadapan Laras. "Aku punya hadiah untukmu."Mata Laras berkedip-kedip ketika Sena membuka kotak dari bahan beludru berwarna hitam. Seuntai kalung dari emas putih tampak berkilauan."I ... ini untuk aku?"Sena mengangguk. Dia menuntun Laras menuju meja rias, lalu mendudukkan gadis itu di sana. Dia kemudian mengambil kalung setelah meletakkan kotaknya di atas meja rias yang terbuat dari kaca.Laras menyampirkan rambutnya ketika Sena memakaikan kal