Setelah perjalanan panjang, pesawat yang ditumpangi Sena dan Laras mendarat dengan selamat di Bandara Schiphol Amsterdam yang terletak di bagian selatan Kota Amsterdam. Hawa dingin menyambut kedatangan gadis tersebut saat keluar dari pesawat. Sialnya, dia hanya mengenakan gaun tipis yang membuat hawa dingin seakan menusuk nusuk kulitnya. Bahkan, gadis itu harus memeluk tubuhnya erat erat agar tidak kedinginan. Akan tetapi, sia sia saja. Udara di Belanda di musim panas saja hanya berkisar tujuh belas sampai dua puluh derajat celcius. Apalagi di musim dingin, biasanya berkisar antara satu sampai enam derajat celcius. Pantas saja bibir Laras bergetar dan mulai memucat.Sena yang lebih dahulu berjalan di depan menghentikan langkahnya. Dia menoleh ke belakang karena Laras tidak berada di sampingnya. Dia menghela napas keras melihat gadis tersebut tertinggal di belakang, berdiri tidak bergerak di tempatnya. "Kau kenapa?" Laki laki itu mengerutkan dahi melihat tubuh si gadis gemetar."Dingin
Laras bergerak-gerak gelisah di atas tempat tidur. Dia terbangun ketika merasakan sesak di dada. Meski sudah mematikan pendingin udara, napasnya masih saja terasa tersendat. Waktu terasa sangat lama untuk gadis itu. Kalau hanya menahan lapar dia masih sanggup, tetapi sakit di kepala semakin membuatnya nelangsa. Rasa geli yang menggelitik hidungnya membuat Laras bersin tak hitungan kali. Dia meringkuk di atas tempat tidur dengan selimut membungkus seluruh tubuh. Napasnya memburu karena panas yang berasal dari dalam, tetapi telapak kaki terasa dingin.Untuk tidur pun Laras tidak bisa. Sinusitis yang dia idap membuatnya semakin tersiksa. Parahnya, gadis tersebut lupa membawa inhaler yang biasanya selalu siaga di dalam dompetnya. Dia bangun lalu berjalan ke luar kamar berharap Sena sudah pulang. Namun, dia harus kecewa karena tidak melihat laki laki tersebut. Laras kembali masuk ke kamar dan memilih duduk di dekat jendela. Gadis itu duduk di kursi menghadap keluar sambil merapatkan selimu
Bulu mata lentik yang membingkai mata bulat Laras perlahan-lahan terbuka. Tempat tidur dari busa terbaik membuatnya nyaman, hingga memilih diam di sana. Tubuh gadis itu terasa hangat bergelung di dalam selimut. berbanding terbalik dengan udara di luar hotel. Dia bisa melihat salju jatuh melalui jendela kamar. Laras tersenyum melihat butir-butir putih itu adalah pemandangan yang sangat indah baginya. Ingin rasanya melompat turun dari ranjang, lalu berlari keluar hotel untuk merasakan kelembutan salju.'Salju rasanya kayak es krim, ya? Kalau dikasih sirup pasti segar.' Laras senyum senyum sendiri.""Kau kenapa?" Teguran Sena menyadarkan Laras kalau dia tidak sendirian di dalam kamar. Gadis itu duduk dan menatap ke arah si laki laki yang sedang berdiri di depan pintu toilet.Wajah Laras memerah melihat tubuh Sena hanya berbalut handuk sebatas pinggang, sehingga perut kotak-kotak yang terbentuk karena latihan fitness tampak menggoda untuk disentuh. Mata gadis itu enggan berpaling. Seolah-
Laras menoleh saat seorang laki laki bicara kepada pelayan di depannya. Seketika dia mengembuskan napas lega. Keajaiban itu ada.Sang pelayan mengangguk dan tersenyum ramah. Seperti laki laki itu sudah familiar di hotel ini."Kau tidak apa apa?" tanya Laki laki itu menghampiri Laras.Gadis itu mengangguk. Dahinya berkerut ketika mengingat pernah melihat si laki laki."Anda ....""Namaku, Randy." Laki laki itu mengulurkan tangan, "kita pernah bertemu di pesta sekitar beberapa hari yang lalu."Senyum Laras mengembang. Dia tidak salah mengingat. Gadis itu menyambut uluran tangan Bastian. "Aku Laras.""Nama yang sangat cantik. Secantik orangnya." Puji Randy lagi, membuat pipi Laras terasa panas.*"Makasih." Laras kembali tersenyum canggung ketika Rendy membayar tagihan makanannya, ditambah minuman yang dipesan selagi mereka mengobrol."Anggap aja aku traktir kamu, tapi enggak gratis," balas Randy sambil tersenyum jenaka."Maksudnya." Lengkung di bibir Laras tertahan. Gadis itu sudah meng
Laras terduduk di atas ranjang setelah tubuh Sena menghilang di balik pintu. Laki-laki itu pergi begitu saja tanpa bicara sepatah kata pun padanya. Entah mengapa malam ini gadis tersebut memiliki keberanian untuk membalas tudingan lelaki itu. Laras tidak tahu bagaimana menghadapi sikap Sena yang berubah ubah. Laki laki itu membuatnya bingung. Terkadang Sena terlihat sangat manis, begitu peduli, dan seolah-olah suka berada di dekatnya. Namun, di satu waktu yang berbeda laki laki itu akan bersikap angkuh dan kasar seperti malam ini.Laras menghembuskan nafas dengan keras untuk sekedar melonggarkan sesak yang mencengkram dadanya. Mata gadis itu tertumbuk ke atas meja di depannya. Dia tertegun melihat kantong belanjaaan yang berisi dua kotak pizza. Laras menelan saliva ketika mengecek ponsel yang tersimpan di dalam laci. Ada tiga puluh panggilan tak terjawab dari Sena sejak dua jam yang lalu. Embusan napa Laras terasa berat. Laki-laki itu tidak bohong. Sena benar benar mengkhawatirnya.B
"Buka baju Anda." Suara Laras membuat Sena yang sedang menonton menoleh dan menatap gadis itu dengan dahi berkerut."Kok, malah bengong. Anda mau sembuh enggak?" Lagi, Laras berujar.Anehnya Sena menurut, tapi ketika laki laki itu sudah bertelanjang dada giliran Laras yang terdiam. Mata gadis terhipnotis melihat roti sobek milik Sena. Dia menelan ludah berkali kali membayangkan memegang otot kejang itu dengan tangan."Katanya mau obatin aku, malah diam. Pasti mikir yang tidak tidak."Laras tergagap. Rona merah tampak menjalari wajahnya. Gadis berdeham mendekat, begitu pun Sena. Entah mengapa jantung laki laki itu berdetak lebih kencang ketika jaraknya dengan Laras semakin dekat."Tengkurap!" Laras berkata.Dahi Sena berkerut. "Kenapa tengkurap? Apa tidak susah?""Memang harus tengkurap biar gampang."Laki laki itu berbalik, menuruti perintah Laras. Dia merasakan kasur melesak ke dalam karena gadis itu mulai naik ke atas ranjang. Sena berjengit ketika tangan gadis tersebut mengusap p
Sena terbangun di tengah malam. Aroma lavender yang berasal dari rambut Laras menyadarkan siapa yang kini tidur memeluk tubuhnya. Tangannya juga memeluk tubuh wanita itu posesif. Bibir laki laki itu mengulas senyum saat menyadari mereka telah melewati malam panas yang sangat indah. Masih terbayang wajah merona Laras saat dia mencumbu gadis itu penuh gairah. Sena menyentuh selembut mungkin. Meski bukan pertama kali, Sena tak mau sentuhannya menyakiti wanita tersebut. Dia merasa beruntung mendapat Laras yang tidak pernah disentuh laki laki lain. Berbeda dengannya yang sangat mahir membawa wanita ke surga dunia.Meski bukan yang pertama, Sena merasakan hal yang berbeda saat menyentuh Laras. Kepolosan, keluguan, dan kecanggungan wanita itu melayani membuatnya merasa sangat superior sebagai seorang laki laki. Lagipula, hanya Laras satu-satunya wanita yang dia sentuh dalam kondisi masih perawan. Berbeda dengan Eva yang sangat mahir bermain di atas ranjang.Ingatan tentang Eva embali mengac
Laras menggeliat ketika cahaya menerpa wajahnya. Wanita itu mengerjap beberapa kali sembari mengumpulkan kesadaran. Bibirnya mengelus senyum ketika merasakan tangan Sena memeluk pinggangnya posesif. Ketika bayangan kedekatan mereka melintas di benak, senyum wanita tersebut semakin lebar. Wajahnya juga terasa panas kala mengingat mereka bercinta lagi beberapa kali dalam semalam. Wanita itu menoleh ke arah Sena. Jemari lentiknya menyentuh wajah si laki laki perlahan. Gerakan jarinya menyusuri dahi, hidung, dan pipi. Laras tersenyum merasakan lembut bibir Sena ketika jemarinya menyentuh bagian tersebut. Bibir yang menjadi biang keladi membawanya terbang ke awang awang."Jangan lakukan itu." Suara serak Sena membuat Laras menarik jarinya. Dia membuang wajah, tetapi laki laki itu menahan dagunya. "Apa kau ingin menggodaku?" Kelopak mata Sena terbuka dan menatap lurus ke arah Laras.Mata Laras melebar dengan bibir sedikit terbuka, membuat Sena menggeram pelan. Sebuah kecupan kilat dilabuhk
Setelah mengetahui siapa dirinya yang sebenarnya dan dari mana dia berasal, keinginan untuk menjauh dari Sena semakin kuat. Jika dulu dia ragu untuk pergi karena tidak mau membawa anaknya dalam kesengsaraan, tetapi kini dia justru bisa memberikan kehidupan yang baik untuk anaknya. Apakah pikiran Sena akan berubah kalau mengetahui bahwa mereka memiliki hubungan keluarga? Laras mengusir harapan-harapan semu itu, dia rasa percuma mengharapkan Sena. Bahkan, sampai sekarang laki-laki itu tidak pernah mengabarinya. Apakah Sena tidak tahu kalau dia mengalami musibah? Apakah tidak terbetik keinginan di dada laki-laki itu untuk bertanya kabarnya saja? Atau setidaknya keadaan anaknya. Namun, sepertinya berlibur bersama sang istri adalah prioritas si lelaki sekarang, membuat Laras semakin tahu diri di mana posisinya di hati laki-laki tersebut. "Sekarang apa keputusanmu?" Pertanyaan Randy beberapa waktu yang lalu membuat Laras berpikir lebih dalam. "Kini kau punya segalanya. Kau tidak perlu lagi
Laras meraba perutnya dengan pikiran menerawang. Nyaris saja dia kehilangan calon bayi karena kecerobohan sendiri. Beruntung janinnya sangat kuat sehingga bisa bertahan meski terjatuh dan berguling lalu terhempas ke lantai. Helaan napas gadis itu terdengar berat. Pandangannya pun berlabuh ke luar jendela. Langit tampak mendung pagi ini, serupa dengan hatinya yang digelayuti sendu. Kesepian juga rindu berdesakan memenuhi setiap sendi rongga dadanya, menuntut mencari jalan keluar. Sebaris nama terus saja hadir menggoda benaknya, meski gadis itu telah berusaha melupa, tetapi tetap saja sulit menggerus dari ceruk kepala."Laras ...."Laras menoleh ketika mendengar pintu kamar terbuka dan seseorang memanggil namanya. Da tersenyum dengan mata berembun melihat sang ayah berjalan menghampiri. Air mata gadis itu jatuh begitu saja. Saat ini dia memang sangat membutuhkan sosok sang ayah yang kerap ada setiap kali dia merasa sedih. Laki-laki itu akan selalu memeluknya dan mengatakan kalau semua b
"Tuan, apa Anda mendengar kabar tentang Tuan Sena?" Maria menghampiri Randy yang berdiri di dekat brankar tempat Larslas terbaring. Gadis itu baik-baik saja, pun bayi yang usianya baru hitungan minggu. Laras hanya mengalami shock yang membuatnya harus beristirahat. "Pelankan suaramu ....," desis Randy melirik ke arah Laras. Dia tidak ingin gadis itu mendengar kabar apa pun tentang Sena. Maria mengatupkan bibirnya rapat. Dia mengikuti Randy ketika laki-laki memberi isyarat padanya keluar dari kamar tempat Laras di rawat. "Mulai hari ini jangan pernah ada nama Sena lagi. Kesepakatan antara Laras dan dia sudah berakhir, ingat itu!" Randy memperingatkan Maria. Wanita itu mengangguk. Dia masih ingat ketika Randy menyuruhnya memberi kabar kepada Sena bahwa Laras keguguran. Dia menyetujuinya karena hanya itu satu-satunya cara untuk membawa gadis tersebut pergi dari rumah orang tua Sena. Maria tidak ingin Laras mengalami nasib sepertinya. Lagi pula dia sangat yakin gadis itu adalah darah
"Maaf, Nyonya, Anda tidak boleh masuk!"Okta membentangkan tangannya ketika Eva memaksa masuk ke dalam ruangan steril, di mana Sena ditempatkan setelah mendapat tindakan operasi. Kecelakaan tunggal yang dialami laki-laki tersebut menyebabkan dia mengalami patah tulang tangan dan kaki. Tidak itu saja, kepalanya mengalami luka parah karena air bag di mobilnya tidak berfungsi dengan baik saat terjadi benturan."Kau tidak berhak melarangku! Aku istrinya!" Eva memelotot memarahi Okta. Dia menepis tangan asisten Sena itu agar bisa masuk.Namun, Okta jauh lebih tegas. Dia memberi isyarat agar dua orang bodyguard yang berjaga di depan pintu untuk menarik Eva menjauh."Lepaskan!" Eva berseru dan menepis keras tangan dua bodyguard yang memegang lengannya. "Jauhkan tangan kotor kalian dariku.""Nyonya, ini rumah sakit. Saya harap Anda tidak membuat keributan." Lagi Okta memberi peringatan dengan raut datar."Kau memang tidak tahu diri!" Eva menuding ke arah Okta dengan jari menunjuk runcing, mat
Sena membiarkan Eva berkonsultasi dengan dokter di dalam ruangannya, sebabd dia menyerahkan semua urusan kepada para ahli yang tentu lebih mengetahui seluk-beluk dari proses bayi tabung. Lagi pula Sena tidak terlalu kuat mencium aroma obat-obatan di dalam ruangan dokter tersebut, jadi dia memilih untuk menghirup udara segar dengan berjalan menyusuri selasar rumah sakit. Mata Sena melihat seorang laki-laki sedang mendorong kursi roda yang diduduki wanita hamil membuat ingatannya melayang kepada Laras. Dia tersenyum membayangkan seperti apa wajah anaknya kelak. Imajinasinya terjeda ketika ponselnya berbunyi penanda pesan masuk dari aplikasi WhatsApp. Dahi Sena berkerut ketika melihat nomor pengirim tidak tersimpan di kontaknya. Dia segera membuka pesan yang dikirimkan oleh nomor yang tidak dikenal tersebut. Seketika rahang laki-laki itu mengeras, Sena meremas ponselnya dengan sangat erat melihat foto-foto Laras bersama Randy terlihat sangat akrab. Di mana sepupunya itu sedang menggeng
"Randy, ini air esnya!"Randy menoleh ketika mendengar suara Laras, membuat Maria bernapas lega, wanita itu segera undur diri dengan jantung berdebar."Makasih, ya." Randy menerima air yang disodorkan Laras, dia duduk kembali ke sofa di sisi gadis itu."Aku masih belum mengerti hubunganmu dengan Sena. Kalau kalian bersaudara tiri apa dia tahu?" Laras kembali bertanya, karena otaknya ruwet memikirkan silsilah keluarga kedua lelaki itu.Randy menggeleng. "Aku yakin tidak tahu, karena sejak lahir dia tinggal di luar negeri bersama keluarganya. Ayahku juga tidak berminat menceritakan hal-hal pribadi dengan saudaranya itu." Dia menjeda kata-katanya, "eeem ... sebenarnya hubungan Ayah angkatku dan Ayah Sena tidak baik. Keduanya baru dekat setelah Kakek meninggal."Laras mulai mengerti. Ternyata runutan keluarga Sena tidak sesulit yang dia pikirkan. Mengingat laki-laki itu kembali kesedihan hadir di dada gadis tersebut. Sekuat apa pun gadis itu mencoba tetap saja dia tidak bisa mengenyahkan
Tanpa terasa pesawat yang ditumpangi oleh Sena dan Eva mendarat di bandar udara Changi Singapura, setelah menempuh perjalanan sekitar satu jam lima puluh menit. Bandara internasional Changi adalah bandara sipil utama di Singapura. Pemerintah negara yang terkenal dengan patung kepala singa itu terus memperbaiki fasilitas salah satu bandara terbesar di Asia Tenggara tersebut. Sena membiarkan Eva bergelayut manja di lengannya saat mereka keluar dari gerbang kedatangan yang tidak terlalu ramai, karena pesawat mendarat saat matahari baru saja naik ke cakrawala. Ditambah lagi karpet yang sengaja di pasang untuk meredam suara sehingga suasana bandara tidak terlalu bising. Di sepanjang jalan gerbang kedatangan yang dilewati, mata dimanjakan oleh pemandangan hijau dari tanaman yang sengaja ditanam oleh pengelola.Di pintu keluar mereka sudah ditunggu oleh seorang sopir yang memang sudah dipersiapkan oleh Okta untuk mengantar jemput selama keduanya di sana. Sang asisten juga sudah menyiapkan ho
"Sen, mau ke mana?" Eva bersuara lembut memanggil laki-laki itu ketika hendak beranjak dari kursi. Mereka baru saja selesai makan malam yang khusus di masak oleh wanita tersebut Steak daging terderloin dengan tingkat kematangan medium rare yang diberi olesan saus barbeque, rebusan kentang, wortel, dan buncis menjadi menu makan malam favorit Sena."Aku mau ke ruang kerja, ada yang harus kukerjakan," jawab laki-laki itu singkat sambil meletakkan serbet yang digunakan mengelap bibirnya."Sayang ...." Eva menghampiri Rakasena yang berdiri di sebelah kursi yang baru dia duduki. "Apa kau lupa kalau aku ingin bicara sesuatu denganmu?" Wanita itu menatap suaminya dengan sorot memohon."Maaf, aku lupa. Apa yang ingin kau bicarakan?"Eva menggamit lengan Sena dan menuntun laki-laki itu berjalan pelan-pelan menuju tangga. "Aku sudah memikirkan tentang rencana kita mengusahakan bayi tabung. Aku juga sudah berkonsultasi dengan dokter dan mempercepat waktunya." Eva tersenyum dan menoleh ke arah Se
"Makasih banyak, Sen."Laras menunduk sembari melihat barang-barang belanjaan yang ada di dalam kantong belanjaan kertas. Andai saja tidak dicegah, mungkin saja laki-laki itu sudah memborong semua isi toko, belum apa-apa Sena sudah menghabiskan uang sepuluh juta rupiah. Orang kaya memang tidak pernah memikirkan berapa jumlah uang yang dibelanjakan karena mereka seolah-olah memiliki kekayaan yang tidak habis-habis."Tidak perlu, aku membelikan untuk anakku." Sena menjawab sambil merogoh saku celana bahannya. Dia menyerahkan sebuah kotak kecil ke hadapan Laras. "Aku punya hadiah untukmu."Mata Laras berkedip-kedip ketika Sena membuka kotak dari bahan beludru berwarna hitam. Seuntai kalung dari emas putih tampak berkilauan."I ... ini untuk aku?"Sena mengangguk. Dia menuntun Laras menuju meja rias, lalu mendudukkan gadis itu di sana. Dia kemudian mengambil kalung setelah meletakkan kotaknya di atas meja rias yang terbuat dari kaca.Laras menyampirkan rambutnya ketika Sena memakaikan kal