Naura terbangun ketika mendengar suara blender yang begitu nyaring. Perlahan Ia beranjak dari ranjang untuk memastikan jika ia tak salah dengar.Hari masih gelap tapi lampu dapur sudah menyala membuat Naura mulai merasa takut. Perlahan ia berjalan ke dapur dan—"Astaga ... kenapa Om enggak bersuara!" kesal Naura saat Arkan muncul dari bawah meja."Ada apa denganmu, tumben sekali jam segini sudah bangun," cibir Arkan. Mata Naura melihat ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul lima pagi. "Kenapa Om masak pagi-pagi?" tanya Naura. Penasaran ia pun melihat masakan yang sedang Arkan olah. "Bubur, apa Om sakit?"Tangan Naura menyerobot dahi Arkan menyamakan dengan suhu dahinya.Dengan kasar Arkan menepis tangan Naura. "Aku baik-baik saja. Ini bubur untuk Liona.""Liona?" ulang Naura memastikan ia tak salah dengar."Iya, enggak perlu aku ulang lagi kan namanya!" Arkan mengambil kotak makan untuk menyimpan salad di sana."Sepertinya enak." Plak!Arkan memukul tangan Naura dengan kencang s
Masih tersimpan pesan yang di kirim Devan semalam. Helaan napas terdengar dari mulut Naura, ia begitu bingung menjawab pesan yang di kirim oleh cinta pertamanya itu. [Devan : Aku menyukaimu Naura. Jauh saat kita masih duduk di bangku SMA. Aku tahu aku salah menyatakan rasa sukaku saat ini apa lagi aku tahu kamu sudah menikah. Tapi, entah mengapa hati ini enggan memendam rasa ini lagi karena semakin lama aku jadi ingin memilikimu.] Naura menenggelamkan kepalanya di meja. Memikirkannya saja sudah membuat dirinya setres. Harusnya Naura senang karena cintanya tak bertepuk sebelah tangan lagi. Namun, saat dia memikirkan tentang hubungannya dengan Devan, wajah Arkan selalu ikut menghiasi pikirannya. "Kamu kenapa?" Mendengar suara Lala, Naura pun mendongak menatap wajahnya. "Aku lagi galau." "Hah, kenapa. Apa Arkan meminta anak?" Pikiran Naura tiba-tiba saja berputar ke beberapa hari yang lalu saat mendengar kata ANAK. Dia baru ingat jika minggu lalu Sinta membawanya ke dokter dan menyu
Suara kicauan burung begitu nyaring terdengar seiring dengan lantunan musik yang mengalun indah. "Pemandangan di sini sangat bagus," ucap Naura. "Benarkah, kamu suka?" Naura mengangguk menikmati hembusan angin yang menerpa tubuhnya. Ini pertama kalinya Naura ke tempat yang begitu indah menurutnya. Nuansa alam yang begitu dingin tapi sangat romantis baginya. "Coklat panasnya juga enak," sambung Naura mengangkat gelasnya.Devan tersenyum lalu menggeser kentang goreng yang ada di depannya. "Mau pesan apa lagi, yang hangat-hangat sepertinya enak." "Coba aku liat lagi menunya." Nuara melihat menu yang ada di sana. "Aku mau roti panggang, mie goreng dan pisang goreng." "Oke, aku pesankan. Minumannya mau tambah?" "Air mineral boleh. Argh ... aku sangat lapar." Naura menatap punggung Devan yang berjalan menuruni anak tangga. Dia sengaja memesan banyak makanan untuk melihat reaksi Devan. Biasanya pria tak suka dengan wanita yang doyan makan, pikirnya. Ponsel Naura bergetar terlihat na
Brak! Suara dentuman pintu begitu nyaring saat Naura dengan entengnya melempar pintu kamarnya. "Naura kita harus bicara," ucap Arkan menerobos masuk ke dalam kamar Naura. Dengan tenang Naura menghadapi suami palsunya itu. "Ada apa?" "Bisa kamu ulangi lagi ucapan kamu tadi?" Naura memutar bola matanya berpura-pura tidak ingat dengan apa yang dia katakan pada Arkan. "Ucapan yang mana?" "Yang tadi saat kamu di bawah." "Om mau ke mana?" "Bukan, coba ingat lagi." "Ketemu teman yang sakit?" ujar Naura yang langsung mendapat tepuk tangan dari Arkan. "Itu, dari mana kamu tahu kalau temanku sakit?" selidik Arkan. Naura menghela napasnya— melangkah mendekati Arkan. "Apa Om lupa kemarin membuat bubur. Kalau bukan untuk teman Om, berarti buat selingkuhan dong!" "A-apa?" "Jujur saja sebenarnya Om juga selingkuh di belakangku kan?" selidik Naura. Dia tak ingin menjadi orang yang selalu di salahkan. Apa lagi orang yang menuduhnya juga melakukan hal yang sama. "Selingkuh, sama siapa. M
Arkan menatap langit-langit di kamarnya. Kepalanya terlalu bising memikirkan ucapan mantan mertuanya itu.Ya, meski pernikahan palsu seharusya Arkan bisa menjaga perasaan istrinya. Namun, ia malah menghampiri wanita yang sudah menjadi mantan istrinya itu. "Argh ... kenapa ucapan Tante Ami terus terngiang-ngiang di kepalaku," ucap Arkan. Dia merapihkan rambutnya lalu keluar dari kamar. Matanya langsung tertuju pada Naura yang sedang makan di meja makan. "Mana sarapanku?" tanya Arkan melihat Naura sedang memakan nasi goreng. Perlahan Naura menelan nasi yang ada di mulutnya kemudian berucap, "Bukannya Om mau bikin bubur. Sudah dua hari ini Om sarapan di luar, aku pikir Om akan makan di luar seterusnya." "Apa ...!" Naura mencoba tetap tenang meski ia tahu pria yang ada di hadapannya itu sedang kesal kepadanya. "Buatkan aku nasi goreng yang sama seperti yang kamu makan!" perintahnya. Yang benar saja, dia masak buat orang lain dan sekarang dia minta Naura memasak untuknya. "Maaf aku
"Om Arkan," ucap Naura tak bisa mengalihkan pandangannya dari pria yang berjalan ke arahnya. Dengan emosi yang menggebu-gebu, Arkan berjalan mendekati mereka hendak menyerang Devan. Namun, takingin masalahnya semakin panjang apa lagi di area kampusnya Naura pun berdiri tepat di depan Arkan. "Beraninya kamu menyentuh istriku!" hardik Arkan. "Om please jangan bikin aku malu di kampus," desis Naura memohon agar Arkan berhenti berulah. "Diam kamu, beraninya kamu bermain dengan pria lain. Aku juga harus memberinya pelajaran karena sudah berani mengganggu istri orang!" Langkah Arkan tertahan ketika Naura memeluk tubuhnya dengan erat. "Aku mohon Om, jangan membuat masalah di kampusku." Bukannya menghindar, Devan malah melangkah mendekati Arkan. "Memang apa salahnya kalau kita berteman baik?""Apa kau bilang! Yah, Naura itu sudah punya suami, ka—"Seketika Arkan diam saat bibir Naura menyumpal mulutnya. Bahkan kali ini tak hanya sebuah kecupan biasa, Naura sudah mulai menggerakkan bibi
Tubuh Naura mematung ketika melihat Arkan sedang duduk bersama wanita yang membelakanginya. Matanya hanya menatap punggung Sinta yang berjalan ke arah suaminya itu. "Apa yang kamu lakukan di sini!" "Mamah." Wanita itu berdiri mencoba menenangkan Sinta. Hanya mendelik, Sinta pun menoleh ke arah putranya lagi. "Kenapa kamu bisa berduaan sama mantan istrimu ini!" "Mah, aku sama Liona hanya makan," jawab Arkan yang membuat Sinta semakin marah melihat kelakukan putranya. "Hanya makan. Enak ya kamu makan di sini sama perempuan lain sedangkan istrimu di rumah hanya makan mie padahal dia harus menjaga kandungannya." "Hah, kandungan!" ucap Naura dan Arkan kompak. Keduanya saling melempar pandangan. Jelas terlihat raut wajah syok dari keduanya mendengar ucapan Sinta yang menyembut soal kandungan. "Apa kamu enggak sadar kalau istrimu itu sedang hamil dan kamu malah berduaan sama mantan istrimu. Apa Naura tahu kalian keluar bersama?" hening sesaat sebelum akhirnya Sinta kembali berkata. "D
Getaran ponsel terus terasa, Naura hanya diam memperhatikan layar ponselnya hingga getaran itu berhenti dan bergetar kembali menunjukkan nama Arkan di sana.Dengan sengaja Naura mengabaikan panggilan Arkan karena ia malas mengangkatnya."Sudah jam satu, dia masih belum tidur?" gumam Naura.Ya, seperti dirinya yang tidak bisa tidur ketika berada di tempat asing. Naura menyibak selimutnya— berjalan ke meja belajar Arkan.Dilihatnya buku yang tersusun rapih serta foto-foto saat Arkan masih kuliah. Mata Naura tertuju pada satu foto yang membuatnya penasaran."Liona, ternyata mereka satu kampus. Bahkan Om masih menyimpan foto mereka dengan baik," monolognya.Penasaran Naura pun membuka laci yang ada di mejanya. Ada banyak sekali surat yang masih lengkap dengan amplopnya."Wah, setua itu mereka," gumam Naura.Hingga akhirnya Naura melihat barang yang unik menurutnya. Sebuah kalung dengan dengan liontin yang sedikit besar seperti menyimpan sesuatu dan benar saja saat Naura membukanya ternyat