"Siapa dia?" Penasarankan yuk baca bab selanjutnya.
Arkan berdiri diam selama beberapa detik, hanya mendengarkan suara ketukan sepatu yang semakin mendekat. "Hai, Rendi. Sudah lama enggak ketemu, kalian datang ke sini juga?" tanya Liona seolah seperti teman dekat. "Kami biasa di undang ke acara tahunan ini. Aku malah baru melihatmu di sini, apa kamu member baru?" Liona menyunggingkan senyum lalu menjawab, "Iya, aku baru bergabung beberapa bulan yang lalu." Sudut mata Liona melirik ke arah Arkan. Namun, pria itu hanya diam bahkan tak membalas sapaannya. "Kita, masuk," ajak Arkan menarik tangan Rendi untuk ikut bersamanya. Liona sesaat terdiam memandangi punggung Arkan yang berjalan masuk ke ballroom. "Apa kamu sudah bertemu dengan dia?" "Hm ... aku sudah bertemu dengan dia," ujar Liona tak menatap wajah sahabatnya itu. Reza melirik kearah Liona yang tak mengalihkan pandangannya dari Arkan. "Sepertinya Arkan semakin susah untuk kamu genggam. Kehidupannya dengan istrinya terbilang cukup harmonis, apa lagi istrinya masih muda." Li
Naura terbangun ketika mendengar suara blender yang begitu nyaring. Perlahan Ia beranjak dari ranjang untuk memastikan jika ia tak salah dengar.Hari masih gelap tapi lampu dapur sudah menyala membuat Naura mulai merasa takut. Perlahan ia berjalan ke dapur dan—"Astaga ... kenapa Om enggak bersuara!" kesal Naura saat Arkan muncul dari bawah meja."Ada apa denganmu, tumben sekali jam segini sudah bangun," cibir Arkan. Mata Naura melihat ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul lima pagi. "Kenapa Om masak pagi-pagi?" tanya Naura. Penasaran ia pun melihat masakan yang sedang Arkan olah. "Bubur, apa Om sakit?"Tangan Naura menyerobot dahi Arkan menyamakan dengan suhu dahinya.Dengan kasar Arkan menepis tangan Naura. "Aku baik-baik saja. Ini bubur untuk Liona.""Liona?" ulang Naura memastikan ia tak salah dengar."Iya, enggak perlu aku ulang lagi kan namanya!" Arkan mengambil kotak makan untuk menyimpan salad di sana."Sepertinya enak." Plak!Arkan memukul tangan Naura dengan kencang s
Masih tersimpan pesan yang di kirim Devan semalam. Helaan napas terdengar dari mulut Naura, ia begitu bingung menjawab pesan yang di kirim oleh cinta pertamanya itu. [Devan : Aku menyukaimu Naura. Jauh saat kita masih duduk di bangku SMA. Aku tahu aku salah menyatakan rasa sukaku saat ini apa lagi aku tahu kamu sudah menikah. Tapi, entah mengapa hati ini enggan memendam rasa ini lagi karena semakin lama aku jadi ingin memilikimu.] Naura menenggelamkan kepalanya di meja. Memikirkannya saja sudah membuat dirinya setres. Harusnya Naura senang karena cintanya tak bertepuk sebelah tangan lagi. Namun, saat dia memikirkan tentang hubungannya dengan Devan, wajah Arkan selalu ikut menghiasi pikirannya. "Kamu kenapa?" Mendengar suara Lala, Naura pun mendongak menatap wajahnya. "Aku lagi galau." "Hah, kenapa. Apa Arkan meminta anak?" Pikiran Naura tiba-tiba saja berputar ke beberapa hari yang lalu saat mendengar kata ANAK. Dia baru ingat jika minggu lalu Sinta membawanya ke dokter dan menyu
Suara kicauan burung begitu nyaring terdengar seiring dengan lantunan musik yang mengalun indah. "Pemandangan di sini sangat bagus," ucap Naura. "Benarkah, kamu suka?" Naura mengangguk menikmati hembusan angin yang menerpa tubuhnya. Ini pertama kalinya Naura ke tempat yang begitu indah menurutnya. Nuansa alam yang begitu dingin tapi sangat romantis baginya. "Coklat panasnya juga enak," sambung Naura mengangkat gelasnya.Devan tersenyum lalu menggeser kentang goreng yang ada di depannya. "Mau pesan apa lagi, yang hangat-hangat sepertinya enak." "Coba aku liat lagi menunya." Nuara melihat menu yang ada di sana. "Aku mau roti panggang, mie goreng dan pisang goreng." "Oke, aku pesankan. Minumannya mau tambah?" "Air mineral boleh. Argh ... aku sangat lapar." Naura menatap punggung Devan yang berjalan menuruni anak tangga. Dia sengaja memesan banyak makanan untuk melihat reaksi Devan. Biasanya pria tak suka dengan wanita yang doyan makan, pikirnya. Ponsel Naura bergetar terlihat na
Brak! Suara dentuman pintu begitu nyaring saat Naura dengan entengnya melempar pintu kamarnya. "Naura kita harus bicara," ucap Arkan menerobos masuk ke dalam kamar Naura. Dengan tenang Naura menghadapi suami palsunya itu. "Ada apa?" "Bisa kamu ulangi lagi ucapan kamu tadi?" Naura memutar bola matanya berpura-pura tidak ingat dengan apa yang dia katakan pada Arkan. "Ucapan yang mana?" "Yang tadi saat kamu di bawah." "Om mau ke mana?" "Bukan, coba ingat lagi." "Ketemu teman yang sakit?" ujar Naura yang langsung mendapat tepuk tangan dari Arkan. "Itu, dari mana kamu tahu kalau temanku sakit?" selidik Arkan. Naura menghela napasnya— melangkah mendekati Arkan. "Apa Om lupa kemarin membuat bubur. Kalau bukan untuk teman Om, berarti buat selingkuhan dong!" "A-apa?" "Jujur saja sebenarnya Om juga selingkuh di belakangku kan?" selidik Naura. Dia tak ingin menjadi orang yang selalu di salahkan. Apa lagi orang yang menuduhnya juga melakukan hal yang sama. "Selingkuh, sama siapa. M
Arkan menatap langit-langit di kamarnya. Kepalanya terlalu bising memikirkan ucapan mantan mertuanya itu.Ya, meski pernikahan palsu seharusya Arkan bisa menjaga perasaan istrinya. Namun, ia malah menghampiri wanita yang sudah menjadi mantan istrinya itu. "Argh ... kenapa ucapan Tante Ami terus terngiang-ngiang di kepalaku," ucap Arkan. Dia merapihkan rambutnya lalu keluar dari kamar. Matanya langsung tertuju pada Naura yang sedang makan di meja makan. "Mana sarapanku?" tanya Arkan melihat Naura sedang memakan nasi goreng. Perlahan Naura menelan nasi yang ada di mulutnya kemudian berucap, "Bukannya Om mau bikin bubur. Sudah dua hari ini Om sarapan di luar, aku pikir Om akan makan di luar seterusnya." "Apa ...!" Naura mencoba tetap tenang meski ia tahu pria yang ada di hadapannya itu sedang kesal kepadanya. "Buatkan aku nasi goreng yang sama seperti yang kamu makan!" perintahnya. Yang benar saja, dia masak buat orang lain dan sekarang dia minta Naura memasak untuknya. "Maaf aku
"Om Arkan," ucap Naura tak bisa mengalihkan pandangannya dari pria yang berjalan ke arahnya. Dengan emosi yang menggebu-gebu, Arkan berjalan mendekati mereka hendak menyerang Devan. Namun, takingin masalahnya semakin panjang apa lagi di area kampusnya Naura pun berdiri tepat di depan Arkan. "Beraninya kamu menyentuh istriku!" hardik Arkan. "Om please jangan bikin aku malu di kampus," desis Naura memohon agar Arkan berhenti berulah. "Diam kamu, beraninya kamu bermain dengan pria lain. Aku juga harus memberinya pelajaran karena sudah berani mengganggu istri orang!" Langkah Arkan tertahan ketika Naura memeluk tubuhnya dengan erat. "Aku mohon Om, jangan membuat masalah di kampusku." Bukannya menghindar, Devan malah melangkah mendekati Arkan. "Memang apa salahnya kalau kita berteman baik?""Apa kau bilang! Yah, Naura itu sudah punya suami, ka—"Seketika Arkan diam saat bibir Naura menyumpal mulutnya. Bahkan kali ini tak hanya sebuah kecupan biasa, Naura sudah mulai menggerakkan bibi
Tubuh Naura mematung ketika melihat Arkan sedang duduk bersama wanita yang membelakanginya. Matanya hanya menatap punggung Sinta yang berjalan ke arah suaminya itu. "Apa yang kamu lakukan di sini!" "Mamah." Wanita itu berdiri mencoba menenangkan Sinta. Hanya mendelik, Sinta pun menoleh ke arah putranya lagi. "Kenapa kamu bisa berduaan sama mantan istrimu ini!" "Mah, aku sama Liona hanya makan," jawab Arkan yang membuat Sinta semakin marah melihat kelakukan putranya. "Hanya makan. Enak ya kamu makan di sini sama perempuan lain sedangkan istrimu di rumah hanya makan mie padahal dia harus menjaga kandungannya." "Hah, kandungan!" ucap Naura dan Arkan kompak. Keduanya saling melempar pandangan. Jelas terlihat raut wajah syok dari keduanya mendengar ucapan Sinta yang menyembut soal kandungan. "Apa kamu enggak sadar kalau istrimu itu sedang hamil dan kamu malah berduaan sama mantan istrimu. Apa Naura tahu kalian keluar bersama?" hening sesaat sebelum akhirnya Sinta kembali berkata. "D
Satu bulan berlalu hubungan Naura dan Arkan semakin erat. Meski harus menjalani hubungan long distance relationship, tak menghalangi rasa cinta Arkan untuk anak dan istrinya."Pagi, Sayang."Perlahan Naura membuka mata saat mendengar suara bariton berbisik di telinganya."Kapan kamu datang?""Lima menit yang lalu. Aku rindu memeluk tubuhmu, Sayang."Seketika Naura membuka matanya. "Axel, di mana dia?"Arkan mengeratkan pelukannya. "Dia di bawah sama Papah dan Bu Dila.""Oh." Naura hanya ber-oh-ria lalu menyibak selimut yang menutupi tubuhnya. "Kamu mau ke mana?""Mau buat sarapan," jawab Naura mengikat rambutnya. Namun, Arkan menarik tubuh Naura hingga tergeletak di atas kasurnya. "Aku masih kangen, diam di sini sebentar saja."Naura lalu membiarkan Arkan untuk memeluknya beberapa saat sampai dia puas meluapkan rasa rindunya."PAPA ...." teriak Axel."Tuh anaknya manggil, sana samperin."Arkan menghela napasnya lalu mencium bibir Naura dengan lembut. "Ku menginginkanmu Sayang." Tanga
Suara gemercik air membangunkan Naura dari tidurnya. Dia lalu mengibas selimut yang menutupi tubuhnya dan— "Argh." Naura berteriak histeris saat melihat tubuhnya yang polos tanpa sehelai benang pun. "Apa yang terjadi, di mana bajuku?" gerutu Naura. Tak lama dia mendengar suara seseorang membuka pintu. Naura pun segera menutup tubuhnya dengan selimut berpura-pura tidur untuk melihat siapa orang yang keluar dari kamar mandi. Sedikit demi sedikit Naura membuka matanya dan mendapati Arkan yang sedang memakai pakaiannya setelah mandi. "Arkan, jadi aku tidur dengan dia. Tunggu, kenapa aku bisa bersama Arkan?" batinnya. Naura mencoba mengingat kembali apa yang terjadi di klub semalam. Ingatannya mulai berputar seperti sebuah rekaman dan berakhir saat dia mencium Arkan. Naura begitu menikmati ciuman itu hingga membuatnya tak ingin melepaskan sedetik pun kesempatan itu. "Aku mencintaimu, Naura." "Aku juga mencintaimu, Arkan," ucap Naura dengan sadar hingga membuat wajahnya bers
Dentuman musik mengalun begitu kencang hingga memekikkan telinga. Namun, hal itu malah menarik atmosfer di sekitar membuat orang-orang yang berada di dalam klub ikut terhanyut dengan irama musik yang dibawakan oleh seorang DJ. "Naura, ayo turun!" ajak Sela saat mereka memasuki klub malam. "Kamu aja aku tunggu di bar ya." "Jangan di bar kita cari meja saja," ujar Sela. Matanya melihat ke sekeliling mencari tempat yang kosong. Namun, sayang tidak ada tempat kosong. Hampir semua meja terisi penuh oleh orang-orang yang sedang menikmati malam panjang mereka. "Tunggu, bukankah itu Arkan. Kita ikut di meja dia saja." Naura mencekal tangan Sela, tapi wanita itu terus berjalan meninggalkannya begitu saja. Mau tidak mau Naura pun mengikuti Sela hingga berhenti tepat di depan meja Arkan. "Hai, Arkan. Sendiri aja nih, boleh gabung?" Arkan mendelik, tanpa bicara dia bergeser tanda jika dia mempersilahkan mereka untuk duduk bersama dengannya. "Terima kasih, aku titip Naura dulu ya. B
Deburan ombak mengalihkan perhatian Naura dari Roni dan Sela yang sedang berbincang. Padahal meeting sudah berakhir dan mereka berdua masih asik bersama."Ini." Naura menoleh ke samping saat Raka memberikan kopi untuknya. "Makasih.""Sama-sama."Naura kembali menoleh ke arah Sela dan Roni, tapi mereka sudah tidak ada di sana. "Ke mana mereka pergi?""Siapa? Oh Pak Roni dan Bu Sela, paling ke hotel.""Hah, kok bisa secepat itu?"Raka tertawa terbahak-bahak melihat ekspresi terkejut Naura. "Kamu tenang saja mereka sedang melihat lokasi untuk penempatan barang-barang.""Oh," ujar Naura bernapas lega. Naura pun memilih berteduh di bawah pohon yang rindang lalu menurunkan bokongnya di atas pasir. "Menurutmu bagaimana Bu Sela dan Pak Roni?""Maksudnya?"Raka tersenyum lalu menjawab, "Aku sudah lama ikut kerja dengan Pak Roni, aku tau dia tertarik pada Bosmu.""Oh, aku pikir Pak Roni bukan tipe pria idaman Bu Sela. Apa lagi usia mereka terpaut jauh, aku nggak yakin hubungan mereka akan b
Setelah pertemuan Sela dan Arkan, wanita itu terus mendiamkan Naura seolah kesal kepada.Naura pun tidak tahu harus melakukan apa karena Sela terus memalingkan wajahnya."Sebentar lagi kita sampai, apa kamu akan terus bersikap seperti itu?"Sela mendelik dan hanya menggerakkan tubuhnya seolah tak memperdulikan Naura. Kesal, Naura pun menginjak rem hingga tubuh Sela terhuyung ke depan. "Argh ... Kamu gila, apa kamu ingin aku mati?""Lihat kamu masih hidup dan berteriak dengan kencang."Sela mendelik, dengan anggunnya dia merapihkan rambutnya. "Aku kesal karena kamu nggak ngasih tahu aku kalau Arkan ada di sini.""Aku juga nggak tahu kalau dia datang ke sini. Lagi pula baru tadi pagi aku ketemu sama dia. Tunggu, kenapa kamu sekesal ini sama aku. Apa kamu masih mengharapkan dia?""Hah, yang benar saja. Mana mungkin aku mau sama duda apa lagi bekas karyawanku," cibirnya.Naura berdecak kembali mengendarai mobilnya. "Berhenti berbohong buktinya kamu kesal saat melihat aku dan Arkan bersa
Deburan ombak mengalun indah menemani Naura yang sedang menikmati kopi di pagi buta. Dia sama sekali tak bisa tidur nyenyak saat berada jauh dari putra semata wayangnya.Tok,tok."Permisi, room service."Naura menoleh ke arah pintu lalu beranjak dari kursinya.CeklekNaura terkejut melihat staf hotel membawakan sarapan ke kamarnya. "Maaf aku nggak pesan, mungkin salah kamar."Staf tersebut melihat kartu untuk memastikan jika mereka tidak salah kamar. "Dengan Ibu Naura kamar 210""Iya aku Naura, tapi aku nggak pesan," tutur Naura mencoba menjelaskan. Tak lama ponsel Naura berdering terlihat nama Arkan di sana. "Halo."[Selamat menikmati sarapannya.]"Apa, jadi kamu yang kirim makanan ini. Dari mana kamu tahu aku ada di hotel ini?"[Selamat menikmati, Sayang.]Arkan mematikan panggilannya sepihak. Mau tidak mau Naura pun mempersilahkan staf untuk masuk dan menyajikan makanan pesanan Arkan.Sudut bibir Naura terangkat saat melihat makanan pesanan Arkan. Tak lupa dia mengabadikan momen
Naura merapihkan beberapa pakaian ke dalam koper. Tak lupa dia pun memasukkan beberapa berkas ke dalam tasnya."Sudah di masukkan semua? Awas nanti ada yang ketinggalan!" ucap Dila sambil mengajak Axel bermain."Sepertinya sudah beres semua. Bu, aku titip Axel beberapa hari ya.""Iya, kamu tenang saja. Ibu akan menjaga Axel dengan baik, lagi pula Pak Teddi juga ada pasti dia membantu Ibu menjaga Axel."Naura tersenyum lalu beranjak dari lantai. "Aku siap-siap dulu."Seolah mengerti, Dila mengajak Axel untuk keluar dari kamar Naura.Tok, tok."Permisi."Dila menuruni anak tangga lalu menghampiri tamu yang baru saja datang."Siapa Bi?" tanya Dila saat dia berjalan ke arahnya."Itu Bu, temennya Bu Naura," jawabnya."Oh Sela. Tolong buatkan minuman buat Sela ya." Dila pun menghampiri Sela yang sedang duduk di sofa. "Eh, Sela.""Tante, hai Axel," sapa Sela saat melihat Axel tersenyum menatapnya.Mereka pun duduk bersampingan sambil bermain dengan Axel. "Acaranya mendadak ya?" selidik Dila.
Suara bising di sekitar tak mengalihkan perhatian Naura dari berkas yang ada di hadapannya. Brak!Hening seketika, semua yang ada di ruang meeting diam menatap ke arah Naura. "Ini kenapa bisa beda?"Naura menggeser berkas yang ada di depannya. "Laporan keuangan ganti, salah tuh! Teliti dulu sebelum di kirim. Ini lagi, bukannya klien kita minta ganti kursi, kenapa masih ditulis kursi dengan merek yang sama?""Ma-maaf Bu, tapi Bu Sela sudah setuju dengan merek itu," jelas Kevin.Seketika Naura menoleh ke arah Sela. "Apa, aku nggak tau ya. Kevin, kamu benar-benar ya, harusnya kamu bilang kalau barangnya di ganti, aku kan nggak tahu."Sela langsung menggeser kursinya mendekati Naura seolah menyerang Kevin."Ta-tapi Bu Se—"Mata Sela hampir saja keluar memelototi Kevin bahkan mulutnya berkomat-kamit seolah menyuruhnya tutup mulut."Bereskan semuanya, kerjakan dengan baik dan teliti. Baiklah, meeting kita tutup, selamat siang."Naura keluar dari ruang meeting di ikuti Sela di belakang. Wan
Hening, seketika Naura tak mendengar suara apapun kecuali detak jantungnya yang begitu cepat.Mata Naura terpaku pada wajah pria yang selalu membuat hatinya berdesir. "Papa," teriak Axel berjalan ke arah mereka.Refleks Arkan melepaskan tangannya dari pinggang Naura. "Sayang." Axel berlari memeluk Arkan dengan erat. "Ayo, kita cari makan," sambung Arkan meninggalkan Naura yang masih mematung. Sorak dari para tamu undangan pun kembali riuh saat Adelia bersiap melempar buket bunga yang dia pegang. "Naura, sini!" panggil Adelia. Dengan enggan Naura pun ikut ke kerumunan yang bersiap menerima buket bunga. Semua bersiap hanya Naura yang diam dan ikut berdiri dengan kerumunan."Satu, dua, tiga."Buket itu pun melayang ke arah Naura, tapi seketika tubuhnya terhuyung ke depan saat seseorang mendorongnya dari belakang. "Argh," ucap Naura terkejut. Namun, dengan cepat pria itu menarik tangan Naura hingga menyentuh tubuhnya. "Woa, selamat Bro!" teriak Reza mengalihkan perhatian semua yang