Jahat banget ya si Adelia ini. Kira-kira apa yang akan di lakukan sama kakak tak berotak ini ya. Penasaran kelanjutannya, yuk baca bab selanjutnya.
Semua mata memandang melihat apa yang di lakukan oleh Adelia. Beberapa orang yang kenal akan mereka mencoba memisahkan, tapi sayangnya mata Adelia dipenuhi kebencian dan rasa iri kepada adiknya membuatnya gelap mata dan memperlakukan adiknya seperti binatang."Adelia, lepasin Naura, kasian dia."Beberapa pria yang sedang berada di dekat mereka pun berusaha untuk melerai. Bahkan diantara mereka mencoba menarik tangan Adelia dari rambut Naura.Setelah di paksa, akhirnya Adelia melepaskan tangannya dari rambut Adelia. Terlihat jelas kepuasan yang tercetak dari wajahnya saat melihat adiknya menderita."Kamu enggak apa-apa kan?" Bohong jika Naura menjawab tidak apa-apa sementara rambutnya sudah acak-acakan dan di permalukan di depan umum oleh kakaknya sendiri. Naura meraphkan ambutnya dan memilih pergi dari sana. "Aku benar-benar enggak mau lihat wajahmu lagi Adelia. Aku bersumpah hidupmu akan menderita selamanya, Adelia!" teriak Naura histeris di dalam mobilnya. Tak terasa mobil yang di
Suara video masak begitu terdengar mengiringi Naura yang sedang belajar memasak. Perlahan tapi pasti, Naura berusaha membuat makanan untuk Arkan. Hal itu Naura lakukan karena hanya dialah yang saat ini menjadi keluarga Naura. Meski entah kapan sebuah ikatan ini akan berakhir, yang pasti hanya Arkan yang saat ini Naura miliki. Ceklek Naura mendengar suara pintu ruang tamu terbuka. Ia bergegas menuangkan makanannya ke atas piring lalu menyajikannya di meja makan. "Om sudah pulang?" "Hm ... wah, apa yang sedang kamu lakukan? Ah, apa karena pujian Papah, kamu jadi rajin masak!" Naura memutar bola matanya jengah mendengar sindiran yang sering di lakukan oleh Arkan. Menyebalkan memang, tapi Naura sudah terbiasa dengan celetukan Arkan yang sering membuatnya ingin menghajar wajahnya. "Om mau makan dulu?" tanya Naura masih bersikap baik. Arkan mendekat dan melihat masakkan yang Naura buat. "Sepertinya enak. Aku ganti pakaian dulu." Sementara Arkan mengganti pakaian, Naura pun mengambil
'Aku hanya membutuhkan seseorang yang bisa menjagaku, melindungiku dari orang-orang yang merundungku.' Naura terbangun dari tidurnya saat mendengar dentuman pintu yang terdengar jelas di telinganya. Ia pun menyibak selimutnya- berjalan ke kamar mandi. "Apa ini," gumam Naura saat melihat plester di pipinya. Perlahan Naura mendekat untuk melihat plester yang menempel di pipinya. Ia merasa tidak pernah menempelkan benda itu bahkan sebeleum tidur pun Naura tak pernah melihat plester itu. "Apa Om Arkan yang menempelkan ini?" Sudut bibir Naura terangkat, ia merasa bahagia karena Arkan perhatian kepadanya ya meski kadang menyebalkan. Naura keluar dari kamar melhat ke sisi kiri dan kanan, tidak ada penampakan Arkan padahal sudah jam delapan pagi. Ia lanjut berjalan ke dapur dan melihat makanan yang ada di atas meja serta secarik kertas yang tertinggal di sana. 'Makanlah lalu istirahat, enggak perlu ke kampus hari ini karena aku sudah meminta ijin ke kampusmu.' "Aku baik-baik saja kena
Hening, Sinta dan Naura terlalu terkesima dengan kehadiran Liona yang tiba-tiba saja muncul di depan mereka."Wah, enggak nyangka ya bisa ketemu di sini," ucapnya.Naura memalingkan wajahnya seolah tak melihatnya agar tak perlu berbasa-basi."Li-Liona, kenapa kamu ada di sini?" tanya Sinta gugup melihat mantan menantunya.Liona tersenyum lalu menjawab, "Kebetulan restoran ini milikku. Aku sangat senang melihat Mamah datang ke restoran aku, ini sebuah kehormatan untukku."Sinta memaksakan tersenyum meski ia begitu tak enak hati pada menantu barunya. Ia yakin Naura akan berpikir jika dirinya sengaja mengajak datang ke restoran yang ia sendiri baru tahu milik Liona."Hai, Naura. Senang bertemu denganmu.""Hm ... aku juga senang ketemu sama kamu, Tante. Eh, Liona."Ucapan Naura sedikit menjatuhkan harga diri Liona. Ia pun bersikap biasa saja agar tidak terlihat oleh mantan mertuanya. "Permisi ini pesanannya," ucap waiter menghentikan pembicaraan mereka."Tolong bil meja ini kasih ke saya.
Sepetinya ketenangan dalam rumah tangga tak bisa di rasakan Naura dan juga Arkan. Setiap hari ada saja pertengkaran kecil yang semakin melebar ketika keegoisan menguasai keduanya. "Mana sarapanku?" tanya Arkan sembari menurunkan bokongnya di kursi. Naura membawa dua piring nasi goreng- menyajikannya di atas meja. "Aku hanya masak nasi goreng." "Hanya ini?" "Maaf aku enggak ada waktu buat masak banyak. Hari ini aku harus ke kampus karena ada tugas lapangan." Mata Naura melihat jam tangannya yang menunjukkan pukul tujuh pagi. naura ke dapur untuk mengambil kotak makan, memasukkan nasi goreng ke kotak makanannya. "Kenapa kamu enggak makan di sini?" "Aku telat. Aku berangkat duluan." "Hei, tunggu!" Naura menggendong tasnya lalu keluar dari apartemen, mengabaikan ocehan Arkan yang memintanya untuk menunggunya terlebih dahulu. Drrrttt ....Ponsel Naura bergetar terlihat nama Lala di sana. Naura yakin jika temannya sudah menunggunya di bawah dan benar saja saat pintu lift terbuka La
Entah apa yang di rencanakan Arkan tapi kehadirannya menyambut kedatangan Naura serta teman-temannya membuat Naura sedikit takut. "Selamat pagi, Pak. Kami dari Universitas Buana. Kedatangan kami ke sini hanya ingin mewawancarai atasan atau mungkin bagian penanggung jawab perusahaan ini untuk menjelaskan perusahaan bergerak dalam bidang apa serta proses perputaran uang di perusahaan ini," ungkap Mega dengan lantang. Namun, mata Arkan tak lepas dari Devan. Keduanya saling berpandangan seolah sedang menyalurkan emosi mereka melalui mata yang tersirat. "Bagiamana Pak?" sela Mega. "Perusahaan kami memiliki kebijakan untuk tidak memberikan informasi apa pun ke pada orang lain. Tapi, kalau kalian hanya ingin mengetahui garis besarnya saja mungkin aku akan menjelaskan. Sebelumnya perkenalkan namaku Arkan Syahreza CEO perusahaan ini." Dengan pongahnya Arkan memberikan kartu nama ke rekan Naura, tanpa terkecuali. "Wah, CEO sendiri yang menjelaskan!" seru Dani. "Mohon maaf kalau kehadira
'Ternyata selama ini cintaku tersampaikan. Hanya saja aku terlalu bodoh untuk memahaminya.'Naura memalingkan wajahnya. Jantungnya berdetak dengan kencang, untungnya hanya Naura yang bisa mendengar dan merasakan hal itu.Drrttt ....Dengan cepat Naura mengambil ponselnya, menggeser tombol hijau untuk mengangkat panggilan Arkan."Ha—""Di mana kamu. Jangan bilang kamu lagi berduaan sama Devan."Seketika Naura menatap mata Devan, ia takut pria yang ada di hadapannya itu mendengar percakapannya dengan Arkan."Hm ... aku langsung pulang kalau udah selesai.""Pulang seka—" Belum selesai bicara Naura menutup panggilan Arkan. "Kenapa, apa suami kamu sudah menyuruhmu untuk pulang?"Naura mengangguk lalu meminum air putihnya hingga tandas. "Setelah ini tugas kita selesai kan?"Devan mengambil sesuatu di tasnya. "Sepertinya tugasku kurang satu lagi. Aku harus beli buku dulu, kamu mau ikut?"Tak ingin menyia-nyiakan waktu berdua dengan Devan, Naura pun mengiyakan ajakannya dan melupakan perinta
Wajah Naura merah padam saat mengingat bibirnya menyatu dengan bibir Arkan. Itu ciuman pertamanya yang di rebut paksa oleh Arkan. "Arrgh ... menyebalkan. Kenapa kepalaku di penuhi dia?" gumam Naura. Hatinya bergetar ketika mengingat Arkan menyatukan bibir mereka. Bahkan sebuah kecupan terdengar saat Arkan melepaskan pagutannya. "Gimana kalau aku ketemu sama dia, pasti sangat canggung. Tunggu, bukannya dia yang harus minta maaf kan dia yang sudah mencium bibirku!" Seketika Naura menyibak selimut yang menutupi seluruh tubuhnya, lalu beranjak dari ranjang. Ceklek Naura menyembulkan kepalanya, meneliti setiap ruangan— memastikan jika tidak ada Arkan di sana. Merasa aman Naura keluar dari kamar di ikuti Arkan yang juga bersamaan keluar dari kamar. "Astaga," tutur Naura mendengar suara pintu terbuka. "Ehm ... Buatkan aku sarapan." "I-iya." Naura berjalan ke dapur tak berani mengangkat kepalanya. Ia merasa malu saat mata mereka saling beradu pandang. Ia pun tak bisa mengendalikan t
Satu bulan berlalu hubungan Naura dan Arkan semakin erat. Meski harus menjalani hubungan long distance relationship, tak menghalangi rasa cinta Arkan untuk anak dan istrinya."Pagi, Sayang."Perlahan Naura membuka mata saat mendengar suara bariton berbisik di telinganya."Kapan kamu datang?""Lima menit yang lalu. Aku rindu memeluk tubuhmu, Sayang."Seketika Naura membuka matanya. "Axel, di mana dia?"Arkan mengeratkan pelukannya. "Dia di bawah sama Papah dan Bu Dila.""Oh." Naura hanya ber-oh-ria lalu menyibak selimut yang menutupi tubuhnya. "Kamu mau ke mana?""Mau buat sarapan," jawab Naura mengikat rambutnya. Namun, Arkan menarik tubuh Naura hingga tergeletak di atas kasurnya. "Aku masih kangen, diam di sini sebentar saja."Naura lalu membiarkan Arkan untuk memeluknya beberapa saat sampai dia puas meluapkan rasa rindunya."PAPA ...." teriak Axel."Tuh anaknya manggil, sana samperin."Arkan menghela napasnya lalu mencium bibir Naura dengan lembut. "Ku menginginkanmu Sayang." Tanga
Suara gemercik air membangunkan Naura dari tidurnya. Dia lalu mengibas selimut yang menutupi tubuhnya dan— "Argh." Naura berteriak histeris saat melihat tubuhnya yang polos tanpa sehelai benang pun. "Apa yang terjadi, di mana bajuku?" gerutu Naura. Tak lama dia mendengar suara seseorang membuka pintu. Naura pun segera menutup tubuhnya dengan selimut berpura-pura tidur untuk melihat siapa orang yang keluar dari kamar mandi. Sedikit demi sedikit Naura membuka matanya dan mendapati Arkan yang sedang memakai pakaiannya setelah mandi. "Arkan, jadi aku tidur dengan dia. Tunggu, kenapa aku bisa bersama Arkan?" batinnya. Naura mencoba mengingat kembali apa yang terjadi di klub semalam. Ingatannya mulai berputar seperti sebuah rekaman dan berakhir saat dia mencium Arkan. Naura begitu menikmati ciuman itu hingga membuatnya tak ingin melepaskan sedetik pun kesempatan itu. "Aku mencintaimu, Naura." "Aku juga mencintaimu, Arkan," ucap Naura dengan sadar hingga membuat wajahnya bers
Dentuman musik mengalun begitu kencang hingga memekikkan telinga. Namun, hal itu malah menarik atmosfer di sekitar membuat orang-orang yang berada di dalam klub ikut terhanyut dengan irama musik yang dibawakan oleh seorang DJ. "Naura, ayo turun!" ajak Sela saat mereka memasuki klub malam. "Kamu aja aku tunggu di bar ya." "Jangan di bar kita cari meja saja," ujar Sela. Matanya melihat ke sekeliling mencari tempat yang kosong. Namun, sayang tidak ada tempat kosong. Hampir semua meja terisi penuh oleh orang-orang yang sedang menikmati malam panjang mereka. "Tunggu, bukankah itu Arkan. Kita ikut di meja dia saja." Naura mencekal tangan Sela, tapi wanita itu terus berjalan meninggalkannya begitu saja. Mau tidak mau Naura pun mengikuti Sela hingga berhenti tepat di depan meja Arkan. "Hai, Arkan. Sendiri aja nih, boleh gabung?" Arkan mendelik, tanpa bicara dia bergeser tanda jika dia mempersilahkan mereka untuk duduk bersama dengannya. "Terima kasih, aku titip Naura dulu ya. B
Deburan ombak mengalihkan perhatian Naura dari Roni dan Sela yang sedang berbincang. Padahal meeting sudah berakhir dan mereka berdua masih asik bersama."Ini." Naura menoleh ke samping saat Raka memberikan kopi untuknya. "Makasih.""Sama-sama."Naura kembali menoleh ke arah Sela dan Roni, tapi mereka sudah tidak ada di sana. "Ke mana mereka pergi?""Siapa? Oh Pak Roni dan Bu Sela, paling ke hotel.""Hah, kok bisa secepat itu?"Raka tertawa terbahak-bahak melihat ekspresi terkejut Naura. "Kamu tenang saja mereka sedang melihat lokasi untuk penempatan barang-barang.""Oh," ujar Naura bernapas lega. Naura pun memilih berteduh di bawah pohon yang rindang lalu menurunkan bokongnya di atas pasir. "Menurutmu bagaimana Bu Sela dan Pak Roni?""Maksudnya?"Raka tersenyum lalu menjawab, "Aku sudah lama ikut kerja dengan Pak Roni, aku tau dia tertarik pada Bosmu.""Oh, aku pikir Pak Roni bukan tipe pria idaman Bu Sela. Apa lagi usia mereka terpaut jauh, aku nggak yakin hubungan mereka akan b
Setelah pertemuan Sela dan Arkan, wanita itu terus mendiamkan Naura seolah kesal kepada.Naura pun tidak tahu harus melakukan apa karena Sela terus memalingkan wajahnya."Sebentar lagi kita sampai, apa kamu akan terus bersikap seperti itu?"Sela mendelik dan hanya menggerakkan tubuhnya seolah tak memperdulikan Naura. Kesal, Naura pun menginjak rem hingga tubuh Sela terhuyung ke depan. "Argh ... Kamu gila, apa kamu ingin aku mati?""Lihat kamu masih hidup dan berteriak dengan kencang."Sela mendelik, dengan anggunnya dia merapihkan rambutnya. "Aku kesal karena kamu nggak ngasih tahu aku kalau Arkan ada di sini.""Aku juga nggak tahu kalau dia datang ke sini. Lagi pula baru tadi pagi aku ketemu sama dia. Tunggu, kenapa kamu sekesal ini sama aku. Apa kamu masih mengharapkan dia?""Hah, yang benar saja. Mana mungkin aku mau sama duda apa lagi bekas karyawanku," cibirnya.Naura berdecak kembali mengendarai mobilnya. "Berhenti berbohong buktinya kamu kesal saat melihat aku dan Arkan bersa
Deburan ombak mengalun indah menemani Naura yang sedang menikmati kopi di pagi buta. Dia sama sekali tak bisa tidur nyenyak saat berada jauh dari putra semata wayangnya.Tok,tok."Permisi, room service."Naura menoleh ke arah pintu lalu beranjak dari kursinya.CeklekNaura terkejut melihat staf hotel membawakan sarapan ke kamarnya. "Maaf aku nggak pesan, mungkin salah kamar."Staf tersebut melihat kartu untuk memastikan jika mereka tidak salah kamar. "Dengan Ibu Naura kamar 210""Iya aku Naura, tapi aku nggak pesan," tutur Naura mencoba menjelaskan. Tak lama ponsel Naura berdering terlihat nama Arkan di sana. "Halo."[Selamat menikmati sarapannya.]"Apa, jadi kamu yang kirim makanan ini. Dari mana kamu tahu aku ada di hotel ini?"[Selamat menikmati, Sayang.]Arkan mematikan panggilannya sepihak. Mau tidak mau Naura pun mempersilahkan staf untuk masuk dan menyajikan makanan pesanan Arkan.Sudut bibir Naura terangkat saat melihat makanan pesanan Arkan. Tak lupa dia mengabadikan momen
Naura merapihkan beberapa pakaian ke dalam koper. Tak lupa dia pun memasukkan beberapa berkas ke dalam tasnya."Sudah di masukkan semua? Awas nanti ada yang ketinggalan!" ucap Dila sambil mengajak Axel bermain."Sepertinya sudah beres semua. Bu, aku titip Axel beberapa hari ya.""Iya, kamu tenang saja. Ibu akan menjaga Axel dengan baik, lagi pula Pak Teddi juga ada pasti dia membantu Ibu menjaga Axel."Naura tersenyum lalu beranjak dari lantai. "Aku siap-siap dulu."Seolah mengerti, Dila mengajak Axel untuk keluar dari kamar Naura.Tok, tok."Permisi."Dila menuruni anak tangga lalu menghampiri tamu yang baru saja datang."Siapa Bi?" tanya Dila saat dia berjalan ke arahnya."Itu Bu, temennya Bu Naura," jawabnya."Oh Sela. Tolong buatkan minuman buat Sela ya." Dila pun menghampiri Sela yang sedang duduk di sofa. "Eh, Sela.""Tante, hai Axel," sapa Sela saat melihat Axel tersenyum menatapnya.Mereka pun duduk bersampingan sambil bermain dengan Axel. "Acaranya mendadak ya?" selidik Dila.
Suara bising di sekitar tak mengalihkan perhatian Naura dari berkas yang ada di hadapannya. Brak!Hening seketika, semua yang ada di ruang meeting diam menatap ke arah Naura. "Ini kenapa bisa beda?"Naura menggeser berkas yang ada di depannya. "Laporan keuangan ganti, salah tuh! Teliti dulu sebelum di kirim. Ini lagi, bukannya klien kita minta ganti kursi, kenapa masih ditulis kursi dengan merek yang sama?""Ma-maaf Bu, tapi Bu Sela sudah setuju dengan merek itu," jelas Kevin.Seketika Naura menoleh ke arah Sela. "Apa, aku nggak tau ya. Kevin, kamu benar-benar ya, harusnya kamu bilang kalau barangnya di ganti, aku kan nggak tahu."Sela langsung menggeser kursinya mendekati Naura seolah menyerang Kevin."Ta-tapi Bu Se—"Mata Sela hampir saja keluar memelototi Kevin bahkan mulutnya berkomat-kamit seolah menyuruhnya tutup mulut."Bereskan semuanya, kerjakan dengan baik dan teliti. Baiklah, meeting kita tutup, selamat siang."Naura keluar dari ruang meeting di ikuti Sela di belakang. Wan
Hening, seketika Naura tak mendengar suara apapun kecuali detak jantungnya yang begitu cepat.Mata Naura terpaku pada wajah pria yang selalu membuat hatinya berdesir. "Papa," teriak Axel berjalan ke arah mereka.Refleks Arkan melepaskan tangannya dari pinggang Naura. "Sayang." Axel berlari memeluk Arkan dengan erat. "Ayo, kita cari makan," sambung Arkan meninggalkan Naura yang masih mematung. Sorak dari para tamu undangan pun kembali riuh saat Adelia bersiap melempar buket bunga yang dia pegang. "Naura, sini!" panggil Adelia. Dengan enggan Naura pun ikut ke kerumunan yang bersiap menerima buket bunga. Semua bersiap hanya Naura yang diam dan ikut berdiri dengan kerumunan."Satu, dua, tiga."Buket itu pun melayang ke arah Naura, tapi seketika tubuhnya terhuyung ke depan saat seseorang mendorongnya dari belakang. "Argh," ucap Naura terkejut. Namun, dengan cepat pria itu menarik tangan Naura hingga menyentuh tubuhnya. "Woa, selamat Bro!" teriak Reza mengalihkan perhatian semua yang