Ciuman pertama setelah menikah. Makin gemes ya sama Arkan yang malu-malu kucing. Gimana kelanjutannya, yuk baca cerita selanjutnya.
Wajah Naura merah padam saat mengingat bibirnya menyatu dengan bibir Arkan. Itu ciuman pertamanya yang di rebut paksa oleh Arkan. "Arrgh ... menyebalkan. Kenapa kepalaku di penuhi dia?" gumam Naura. Hatinya bergetar ketika mengingat Arkan menyatukan bibir mereka. Bahkan sebuah kecupan terdengar saat Arkan melepaskan pagutannya. "Gimana kalau aku ketemu sama dia, pasti sangat canggung. Tunggu, bukannya dia yang harus minta maaf kan dia yang sudah mencium bibirku!" Seketika Naura menyibak selimut yang menutupi seluruh tubuhnya, lalu beranjak dari ranjang. Ceklek Naura menyembulkan kepalanya, meneliti setiap ruangan— memastikan jika tidak ada Arkan di sana. Merasa aman Naura keluar dari kamar di ikuti Arkan yang juga bersamaan keluar dari kamar. "Astaga," tutur Naura mendengar suara pintu terbuka. "Ehm ... Buatkan aku sarapan." "I-iya." Naura berjalan ke dapur tak berani mengangkat kepalanya. Ia merasa malu saat mata mereka saling beradu pandang. Ia pun tak bisa mengendalikan t
Hati Arkan bergetar saat melihat Naura yang terus menyunggingkan senyum kepadanya. "Om sini," tutur Naura mengajak Arkan untuk melakukaan foto box. "Kamu saja, aku enggak suka di foto." Naura menarik tangan Arkan membawanya masuk ke dalam box tersebut. "Ayo, Om. Siap ya." Dari empat foto yang keluar, hampir semua wajah Arkan tak menunjukkkan ekpresinya. Ia malah terlihat kaku, sedangkan Naura begitu bersemangat dengan berbagai ekspersi. "Arrrgh ... kaku sekali wajahnya. Harusnya Om itu banyak tersenyum biar enggak cepat tua!" "Maksud kamu?" Naura menunjukkan foto yang baru mereka ambil. "Tuh lihat, Om terlihat seperti Papahku." "Maksud kamu?" "Tua," ucap Naura sambil tertawa terbahak-bahak. Saat Naura akan melangkah keluar, Arkan menarik tangannya dan mengajaknya untuk kembali berfoto. Benar saja kali ini Arkan menunjukkan barisan giginya yang rapi, menatap ke arah lensa. "Satu, dua, tiga ...." Arkan dan Naura menunjukkan pose yang begitu manis seperti sepasang kekasih. set
Hanya sebuah pesan tapi cukup mengalihkan perhatian Arkan. Ia terus memandangi pesan yang dikirim seseorang tanpa ingin membalas pesan tersebut."Liona, hanya dia yang sampai dengan saat ini memanggilku Sayang," gumamnya.Tok ... tok"Om, boleh aku masuk?"Dengan cepat Arkan membenarkan duduknya. "Masuklah.""Selamat ulang tahun, selamat ulang tahun, selamat ulang tahun Om Arkan, semoga panjang umur. Yeeee ...."Naura benar-benar bersemangat memberikan kejutan untuk Arkan meski tadi sudah memberikan donat untuknya. "43 tahun?" Arkan begitu terkejut melihat lilin membentuk angka 43.Naura tersenyum karena sukses membuat Arkan protes akan kejahilannya. "Wah, sepertinya aku salah pasang lilinnya. Tapi, bukannya usia Om sebentar lagi menuju ke sana?" "Kau-" "Maaf, ayo kita tiup lilinnya di luar. Mamah nyuruh aku kirim foto acara ulang tahun Om." Dahi Arkan mengernyit mendengar ucapan Naura seolah tak percaya. "Mamah?" "Hm, tadi Mamah telepon. Bahkan Mamah bilang mau ngerayain ulang t
Suara ketukan jemari di atas meja terus mengalun seolah sedang mengikuti irama isi kepala sang pemilik. Ya, Arkan hanya diam memandangi sebuah kotak dengan kartu nama yang bertuliskan nama seseorang yang enggan ia sebut. "Dari banyaknya hari spesial kenapa dia memberikan kado untukmu setelah tiga tahun berpisah," ucap Rendi yang tak henti mondar-mandir di depan Arkan. "Apa dia ingin balikan sama kamu?" Arkan berdecak mendengar penuturan sahabatnya itu. "Yang benar saja, untuk apa dia mengajakku balikan setelah dia sendiri yang memutuskan hubungan kita dan mempermalukan aku di depan orang banyak. "Mungkin dia baru menyesal," sela Rendi. Ucapan Rendi sedikit menyentil hati Arkan. Penyesalan, mungkin saja setiap orang pati akan menyesal jika dia masih belum move on dari masa lalu dan tak mendapat pasangan yang sebanding dengan sebelumnya. "Singkirkan kado ini, aku enggak mau ngeliatnya di ruanganku lagi." "Siap, Bos! Oh iya, nanti malama ada acara makan malam dengan para pebisnis d
Tidak ada yang tahu seperti apa pekerjaan suami Naura. Bahkan hanya segelintir orang yang tahu wajah Arkan saat mengantar Naura ke kampusnya. Terlihat jelas teman-teman Naura begitu terkejut melihat wajah Arkan lebih dekat. Apa lagi ia sudah memotong rambutnya dan berpenampilan berbeda dari biasanya. "Hai, aku Leni teman Naura," sapa Leni memperkenalkan diri pada Arkan dan di balas jabatan tangannya. Jengah dengan apa yang di lakukan Leni, Naura pun menarik tangan Arkan dengan kasar agar ia melepaskan tangan rivalnya itu."Kalau gitu kita duluan ya. Ayo, Sayang." Tangan Naura melingkar indah di lengan Arkan. Lalu membawanya menjauh dari teman-teman toxic yang sering mengumbar gosip buruk tentangnya. "Jangan terlalu erat, aku enggak akan kabur kok!" goda Arkan saat tubuh mereka begitu menempel. Sadar akan apa yang sudah ia lakukan Naura pun bergegas menarik tangannya dari lengan Arkan. "Maaf." Bukannya marah, Arkan malah menarik kembali tangan Naura. Berjalan beriringan seperti s
Arkan berdiri diam selama beberapa detik, hanya mendengarkan suara ketukan sepatu yang semakin mendekat. "Hai, Rendi. Sudah lama enggak ketemu, kalian datang ke sini juga?" tanya Liona seolah seperti teman dekat. "Kami biasa di undang ke acara tahunan ini. Aku malah baru melihatmu di sini, apa kamu member baru?" Liona menyunggingkan senyum lalu menjawab, "Iya, aku baru bergabung beberapa bulan yang lalu." Sudut mata Liona melirik ke arah Arkan. Namun, pria itu hanya diam bahkan tak membalas sapaannya. "Kita, masuk," ajak Arkan menarik tangan Rendi untuk ikut bersamanya. Liona sesaat terdiam memandangi punggung Arkan yang berjalan masuk ke ballroom. "Apa kamu sudah bertemu dengan dia?" "Hm ... aku sudah bertemu dengan dia," ujar Liona tak menatap wajah sahabatnya itu. Reza melirik kearah Liona yang tak mengalihkan pandangannya dari Arkan. "Sepertinya Arkan semakin susah untuk kamu genggam. Kehidupannya dengan istrinya terbilang cukup harmonis, apa lagi istrinya masih muda." Li
Naura terbangun ketika mendengar suara blender yang begitu nyaring. Perlahan Ia beranjak dari ranjang untuk memastikan jika ia tak salah dengar.Hari masih gelap tapi lampu dapur sudah menyala membuat Naura mulai merasa takut. Perlahan ia berjalan ke dapur dan—"Astaga ... kenapa Om enggak bersuara!" kesal Naura saat Arkan muncul dari bawah meja."Ada apa denganmu, tumben sekali jam segini sudah bangun," cibir Arkan. Mata Naura melihat ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul lima pagi. "Kenapa Om masak pagi-pagi?" tanya Naura. Penasaran ia pun melihat masakan yang sedang Arkan olah. "Bubur, apa Om sakit?"Tangan Naura menyerobot dahi Arkan menyamakan dengan suhu dahinya.Dengan kasar Arkan menepis tangan Naura. "Aku baik-baik saja. Ini bubur untuk Liona.""Liona?" ulang Naura memastikan ia tak salah dengar."Iya, enggak perlu aku ulang lagi kan namanya!" Arkan mengambil kotak makan untuk menyimpan salad di sana."Sepertinya enak." Plak!Arkan memukul tangan Naura dengan kencang s
Masih tersimpan pesan yang di kirim Devan semalam. Helaan napas terdengar dari mulut Naura, ia begitu bingung menjawab pesan yang di kirim oleh cinta pertamanya itu. [Devan : Aku menyukaimu Naura. Jauh saat kita masih duduk di bangku SMA. Aku tahu aku salah menyatakan rasa sukaku saat ini apa lagi aku tahu kamu sudah menikah. Tapi, entah mengapa hati ini enggan memendam rasa ini lagi karena semakin lama aku jadi ingin memilikimu.] Naura menenggelamkan kepalanya di meja. Memikirkannya saja sudah membuat dirinya setres. Harusnya Naura senang karena cintanya tak bertepuk sebelah tangan lagi. Namun, saat dia memikirkan tentang hubungannya dengan Devan, wajah Arkan selalu ikut menghiasi pikirannya. "Kamu kenapa?" Mendengar suara Lala, Naura pun mendongak menatap wajahnya. "Aku lagi galau." "Hah, kenapa. Apa Arkan meminta anak?" Pikiran Naura tiba-tiba saja berputar ke beberapa hari yang lalu saat mendengar kata ANAK. Dia baru ingat jika minggu lalu Sinta membawanya ke dokter dan menyu