Melihat sekujur tubuhnya begitu banyak bekas merah yang ditinggalkan Edward semalam, Alenta benar-benar keheranan sampai tidak tahu harus berkata apa.
Seperti orang yang tidak merasa bersalah sama sekali, Edward terus saja tersayang saat tatapan mata mereka bertemu.“Aku sudah menghubungi pihak rumah sakit, kita tidak perlu mengantri jadi santailah saja,” ujar Edward.Setelah selesai berpakaian, Alenta bergegas untuk keluar dari kamar bersamaan dengan Edward.Suara ponsel Edward terdengar, segera Edward mengeluarkan ponselnya untuk melihat siapa yang menghubunginya.Menghela nafasnya, itulah yang dilakukan Edward begitu melihat orang yang menghubunginya.“Siapa?” tanya Alenta penasaran.“Julia,” jawab Edward.Alenta terdiam sejenak. “Angkat saja dulu, siapa tahu ada yang penting,” ujar Alenta.Mendengarkan apa yang diucapkan oleh Alenta, pada akhirnya Edward menerima panggilan telepon dari Juli“Bagaimana hasil pemeriksaan mu hari ini?” tanya Edward kepada Julia. Sudah beberapa hari ini, Edward tidak pernah bertemu langsung dengan Dokter Smith. Menghubungi juga belum sempat, dia terlalu banyak hal yang harus di kerjakan. Senang mendengar pertanyaan Edward karena menganggap Edward perhatian, Julia tersenyum senang. “Sudah mulai membaik, tapi masih butuh waktu untuk bisa benar-benar pulih. Beberapa waktu belakangan ini, aku sering sakit kepala jadi lusa aku akan pergi ke rumah sakit bersama dengan Dokter Smith untuk pemeriksaan. Kalau kau tidak sibuk, temani aku ya?” Pinta Julia. Tahu kalau dia tidak mungkin mengatakan tidak, pada akhirnya Edward hanya diam saja. Seolah tahu jawabannya, Julia kembali tersenyum senang. Saat itu, Edward sedang memangku Elea yang belum lama ini tenang. Di tengah mengusap punggung Elea dengan lembut, berharap Elea bisa tidur jadi dia akan datang untuk menemui Alenta. Julia men
Edward mengerutkan dahinya, dia benar-benar bingung kenapa Alenta tidak menerima telepon darinya. Sejak siang tadi, Alenta bahkan tidak memberitahu bagaimana hasil pemeriksaan kehamilannya. Ingin sekali rasanya Edward pergi untuk menemui Alenta, tapi saat ini Elea sedang panas badannya. Coba dia mengirimkan beberapa pesan, Setelah menunggu beberapa saat pun pesan yang dia kirimkan masih tak mendapatkan balasan.“Sebenarnya, apa sih yang sedang kau lakukan, Alenta?” tanya Edward yang lama-kelamaan menjadi kesal sendiri. Edward menghela nafasnya, Elea juga tidak mau turun dari gendongannya. Dia sudah mencobanya beberapa kali sebelumnya, tapi beberapa detik setelah Edward meletakkan Elea di atas tempat tidurnya, Elea pasti akan terbangun dan menangis lebih kencang daripada sebelumnya. Julia juga tidur di kamarnya Elea, entah apa maksudnya Edward sendiri tidak paham. “Hoam.....” Edward mengusap matanya, dia sungguh lel
Edward melepaskan tangan Julia dari tubuhnya, dia memastikan benar dia tidak menyakiti Julia atas gerakannya. “Julia,” Panggil Edward lalu membalikkan tubuhnya agar bisa saling menatap dengan Julia. “Apa kau tahu seberapa menggelikannya setiap kali kau seperti ini? Setelah kau menipu banyak sekali orang, apa kau benar-benar merasa tak kikuk sama sekali?” “Jangan pula ingin melahirkan adiknya Elea, bahkan Elea pun kau tidak tahu cara mengurusnya!”Tak tahu harus bagaimana menanggapi ucapan Edward, Julia hanya bisa menciptakan senyum di bibirnya masih jelas kesan terpaksa begitu nampak. “Cepatlah pulih, Julia. Hanya itu yang aku inginkan darimu saat ini, kau tidak perlu berusaha untuk hal lainnya.”Mendengar apa yang diucapkan oleh Edward barusan, Julia benar-benar tak bisa lagi menahan kekecewaannya. “Aku menipu, karena aku sangat mencintaimu, Edward. Sejak pertama kali kita bertemu, aku benar-benar jatuh cinta di saat itu. Ka
“Alenta baik-baik saja, tidak perlu khawatir,” jawab Edward. Jawaban Edward barusan benar-benar membuat Herin kecewa. Bagaimanapun, dia merasa perlu sekali untuk bertemu dengan Alenta agar bisa bicara dengannya. Tapi, Edward seolah menyiratkan bahwa tidak ada izin untuk bertemu dengan Alenta tanpa persetujuan darinya. Julia terdiam menahan kesal, cara Edward melindungi Alenta sangat ia benci. Padahal, tidak seharusnya Edward bersikap tidak adil seperti itu. Herin tidak lagi memiliki keinginan untuk bicara, begitu juga dengan Julia. Pada akhirnya, mereka benar-benar kompak menikmati sarapan meski tidak bisa senyaman yang mereka inginkan. Edward sebentar menghabiskan waktu untuk bersama Elea, dia harus bekerja nanti, tidak lupa juga akan melihat keadaan Alenta lebih dulu. “Bibi ana?” tanya Elea mencari Alenta. Mendengar pertanyaan yang sama setiap hari dari putrinya tentang keberadaan Alenta, Edward benar-benar mera
Hari terus berganti, Edward juga masih sibuk mondar-mandir ke sana kemari. Dia memenuhi tanggung jawabnya sebagai seorang ayah untuk Elea, namun masih tidak mampu untuk menjadi suami yang baik bagi Julia. Perasaannya terhadap Julia tak bisa tumbuh barang sedikit, dia juga sudah lelah mencobanya. Kehamilan Alenta yang sudah dibuktikan kebenarannya, membuat semua anggota keluarga menolak hal itu mentah-mentah. Karina, Dia adalah orang yang paling menolak kehamilannya Alenta. “Ibunya yang cacat dan tidak cerdas itu, akan sangat mempengaruhi keturunannya! Aku tidak mau memiliki cucu yang bodoh, juga tidak ada hal yang bisa dibanggakan!” Seperti itulah ucapan Karina yang terus saja membuat Edward kesel. Masa bodoh saja, Edward tidak ingin memperdulikan semua orang yang menentang kehamilannya Alenta. Pikirannya terlalu penuh dengan Alenta, setiap waktu dia hanya mengkhawatirkan Alenta saja. Anehnya, Edward justru merasa
“Kondisi berbahaya yang menimpa bayi, di mana ia dilahirkan tanpa beberapa bagian otak dan tulang tengkorak. Risiko bayi untuk terlahir dengan kondisi ini akan meningkat jika ibunya kekurangan asam folat selama hamil. Anensefali adalah salah satu kelainan pembentukan tabung saraf.”Terkejut luar biasa hingga dia tidak bisa berkedip, mulutnya sedikit terbuka, dan bahkan Alenta lupa untuk bernafas beberapa detik. Air matanya tiba-tiba saja terjatuh, dia benar-benar heran kenapa Tuhan selalu saja memberikan cobaan hidup yang seperti tak bisa dia jalani. “Tidak, tidak mungkin....”Alenta menggelengkan kepalanya, sungguh dia tidak bisa menerima kenyataan itu. Dokter tersebut hanya bisa menatap Alenta, dia juga akan menjelaskan lebih detail lagi tentang kondisi janin yang ada di dalam perut Alenta. “Bohong, dokter sedang berbohong, kan?!” tanya Alenta dengan ekspresi wajahnya yang menuntut karena dia benar-benar tidak bisa menerima
Edward berjalan cepat, menuju ke ruang tengah di mana semua keluarga sudah berkumpul di sana. Sebelum sampai di rumahnya Edward, Karina sudah menghubungi Herin, Wilhem, Horrison, dan juga Edward untuk berkumpul di rumah karena ada hal yang sangat penting harus dibahas. Edward awalnya menolak karena dia banyak pekerjaan di luar, tapi saat Ibunya membahas tentang Alenta yang juga sedang dalam perjalanan menuju ke rumah, tanpa berpikir panjang Edward meninggalkan semua pekerjaannya. Begitu sampai di ruang tengah, Edward benar-benar hanya mengarahkan pandangannya untuk memperhatikan Alenta yang sembab. Bahkan, dia juga masih menangis. Edward menatap Ibunya, menjelaskan melalui sorot matanya bahwa dia merasa kesal. “Apa yang Ibu lakukan?” tanya Edward.Jelas saja, ekspresi yang ditunjukkan oleh Edward adalah ekspresi kemarahan. Dia tidak akan memberikan toleransi kepada ibunya jika ibunya membuat ulah sampai Alenta menangis seper
“Kak, janin yang sedang dibicarakan ini adalah anakku!” Bentak Alenta tak terima. Air matanya sejak tadi tak berhenti mengalir, bibirnya kini sudah tidak bisa menahan lagi untuk menyampaikan apa yang sebenarnya sedang dia rasakan saat itu. Hari ini juga mengangkat janin yang artinya, membunuh anaknya sendiri? Tidak, kalimat itu sangat mudah untuk diucapkan tapi juga sangat mudah membuat Alenta merasa marah. Masih mencoba untuk menahan diri, padahal sebenarnya Edward sendiri bisa memberikan reaksi yang jauh lebih dari pada itu. “Kalau memang pada akhirnya aku dan janin ini mati, itu sama sekali bukan akhir yang buruk. Aku tidak akan-”Ucapan Alenta terhenti begitu saja saat Edward menunjukkan tatapan yang sangat menyeramkan. Tajam, dingin, dan menyiratkan kemarahan yang begitu luar biasa. “Siapa yang akan mengizinkanmu mati?” tanya Edward, tangannya mengepal kuat. “Kau pikir kau siapa bicara seperti itu? Jangan kony
“Pendonoran sumsum tulang belakang 7 bulan yang lalu dinyatakan sukses, Tuan dan Nyonya.” ucap dokter yang selama ini menjadi dokter yang merawat Johnson. Aruna menangis haru, segera Ron memeluk bahagia istrinya itu. Edward juga langsung memeluk Alenta yang menangis haru, begitu juga dengan kedua orang tua Aruna yang ada di sana. Violet menyeka air matanya, Reiner mengusap kepalanya dengan lembut, lalu merangkulnya. Ada Arabella di gendongan Reiner yang tertidur pulas sejak tadi. “Tapi, untuk mengantisipasi kemungkinan dan bahkan selalu ada, di saat kelahiran bayi kedua anda nanti, pastikan untuk menyimpan darah tali pusat di rumah sakit, Nyonya dan Tuan.” saran dari Dokter itu. Aruna dan Ron menganggukkan kepalanya, dan akhirnya anggota keluarga besar saling berpelukan erat. Walaupun memang benar kemungkinan terburuk selalu ada, s
Anara menutup mulutnya menggunakan telapak tangan, matanya menatap benda mungil yang menjadi bagian dari kebahagiaannya. Alat penguji kehamilan yang menyatakan bahwa Aruna tengah hamil. “Ini benar-benar nyata, kan?” tanya Aruna, air matanya sudah mulai mengembung di pelupuk matanya. Padahal, 3 Minggu bersama Ron artinya pun dia sudah melewati 1 Minggu masa datang bulannya. Hanya saja, Aruna cukup stres dengan apa yang terjadi sekarang. Fokusnya benar-benar tertuju kepada Johnson, sampai dia tidak ada waktu untuk memikirkan yang lainnya. Tes! Jatuh sudah air mata Aruna, dia merasa bahagia karena bisa mengantisipasi hal buruk yang mungkin akan terjadi kepada Johnson. Mengenai donor sum-sum tulang belakang yang dijalani Ron dan Johnson beberapa waktu sebelumnya jelas
Ron merasakan denyut jantungnya yang berpacu kencang saat ruangan operasi dihiasi dengan suara bip mesin monitor yang terus menerus. Tangan Johnson yang lemah terkulai di samping tubuhnya, pucat dan tidak berdaya. Mata Ron berkaca-kaca saat dia menatap putranya yang terbaring tak sadarkan diri, berharap dan berdoa dalam diam bahwa semua ini akan membawa keajaiban untuk kesembuhan Johnson. “Johnson, sembuh lah....” Harap Ron di dalam hati, “jika menunggu adikmu terlalu lama, maka sembuhlah dengan cara ini, Ayah mohon. Ibumu pasti akan sangat menderita jika terjadi sesuatu padamu, berjuanglah terus, ya....” Dokter yang berpengalaman itu mengenakan sarung tangan sterilnya, seraya memeriksa kembali alat-alat medis yang telah disiapkan. Ron, dengan keberanian yang dipaksakan, berbaring di sisi lain ruangan yang sama, siap untuk mendonorkan sumsum tulang bela
“Maafkan aku, tapi semua ini terjadi juga di luar dugaan ku, James.” ucap Aruna jujur, berharap kejujurannya itu dapat dirasakan oleh pria itu. “Aku pikir, aku akan memulai hidup baru bersama Johnson dan kedua orang tuaku saja. Tapi, Johnson mengalami sakit yang benar-benar tidak ada dalam rencana ku, leukimia.” Mendengar itu, James pun terkejut, lupa untuk bernafas hingga beberapa saat. “Leukimia?” James benar-benar lemas, tidak menyangka kalau Johnson akan memiliki sakit mengerikan itu di usianya yang masih begitu kecil. “Kau benar-benar tidak sedang membohongiku, kan? Mana mungkin Johnson sakit seperti itu? Jangan bilang, kau cuma mengada ada supaya bisa menjalin hubungan dengan Ron lagi, Aruna,” harap James. Mendengar itu, jatuh sudah air mata Aruna. Ron, pria itu benar-benar seperti tidak tahu harus mengatakan apa. Jika membuat kebohongan seperti itu sangatlah mudah, maka
Aruna benar-benar menyuapkan makanan ke mulutnya Ron. “Makanlah....” Ron, pria itu benar-benar kehabisan kata-kata, padahal sudah bukan hanya satu atau dua kali dia menolak, dan meminta Aruna untuk fokus makan sendiri saja. Masih memangku laptop, pada akhirnya Ron membuka mulutnya, menerima suapan makanan dari Aruna. Nyut!!!! Nyeri, sungguh nyeri sekali dadanya. Kenapa begitu sakit? Ron seperti mendapatkan balasan dari luka yang dia berikan kepada Aruna, tertampar oleh fakta yang ada. Andai saja luka itu tidak pernah tertoreh, mungkinkah hubungan mereka akan lebih jujur dan diliputi kelegaan? Mata Ron memerah, pelupuknya sudah mulai dipenuhi dengan air mata. Melihat itu, Aruna menjadi bingung. Tidak ad
Mendengar permintaan maaf yang diucapkan oleh Ron, Aruna pun terdiam karena tidak tahu harus mengatakan apa. Tidak menyangka kalau pria yang dulu begitu angkuh dan juga arogan bisa mengucapkan kata ‘maaf’ namun dengan ekspresi yang begitu tulus. Tes! Tanpa sadar air mata Aruna terjatuh, luka yang seolah sudah sedikit sembuh kini terasa kembali. Semua rasa sakit yang diberikan oleh Ron kembali teringat olehnya. Melihat Aruna meneteskan air mata tanpa kata, Ron benar-benar semakin merasa bersalah. Dia seperti tengah menghianati dirinya sendiri, padahal menyakiti wanita bukanlah sesuatu yang biasa untuk dia lakukan. “Maaf, itu pasti sangat menyakitkan untukmu, bukan? Maaf, aku sungguh meminta maaf untuk apa yang terjadi, dan apa yang sudah aku lakukan padamu, Aruna.” Suara R
Ron merasakan beratnya kelopak matanya saat dia mengedipkan mata beberapa kali, mencoba untuk sepenuhnya terjaga. “Sudah mulai sore rupanya,” batin Ron. Ruangan itu dipenuhi oleh sinar sore yang menembus tirai, menciptakan pola cahaya dan bayangan yang bergerak pelan di dinding. Aruna, di sisi lain tempat tidur, tampak begitu damai dalam tidurnya. Rambutnya yang panjang terhampar di bantal, wajahnya tenang meski terlihat ada sedikit kelelahan yang tersisa. “Biarkan saja deh dia lanjut tidur,” gumam Ron. Dengan hati-hati, Ron menyelinap keluar dari selimut dan perlahan-lahan beranjak dari tempat tidur. Ia menatap jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 3 sore. Mereka telah terlewat makan siang, tetapi Ron tahu bahwa Aruna membutuhkan istirahat ini lebih dari apapun. Dengan langkah yang hampir tidak terdengar, d
Ron dan Aruna memutuskan untuk kembali ke rumah, sementara itu Edward dan Alenta tengah menemani Johnson. Sudah 2 hari full Ron dan Aruna di rumah sakit, walaupun ada saatnya Ron meninggalkan Aruna karena ada pekerjaan penting yang harus diselesaikan. Sesampainya di rumah, Mereka langsung masuk ke kamar. “Kau istirahat saja dulu, aku akan pergi ke luar sebentar. Ada yang harus aku kerjakan, mungkin cuma 1 jam saja.” ucap Ron, langsung mendapatkan anggukan setuju dari Aruna. Bergegas Ron mengganti pakaiannya, dia akan bertemu dengan Ben di kantor cabang karena dia beberapa dokumen yang harus ditandatangani oleh Ron. Sejenak meninggalkan Aruna, Ron menyelesaikan pekerjaannya secepat yang dia bisa. Selama dua hari di rumah sakit, Ron juga tidak bisa tidur nyenyak sama sekali. Johnson selalu menangis, lebih cengeng dari biasanya. Mungk
“Kamila, aku mengatakan kepada suamiku untuk membiarkan kau bekerja di perusahaannya karena aku merasa kasihan padamu. Padahal, bagian personalia mengatakan kau tidak dibutuhkan di perusahaan itu.” ujar Violet, tersenyum tak peduli kalau ucapannya barusan sangat tidak nyaman untuk Kamila dengar. Kamila menggigit bibir bawahnya, campur aduk perasaan. Dia tidak menyangka kalau Violet mengetahui banyak hal, namun memilih untuk tidak mengatakan apapun. “Sebenarnya, seberapa banyak hal yang tidak kau katakan padaku, Violet?” tanya Kamila, kali ini dia benar-benar terlihat emosi. Merasa dikhianati, namun sadar pula dia tidak berhak untuk menunjukkan secara jelas kemarahannya. Mendengar pertanyaan dari Kamila, sontak saja sorot mata Violet terarahkan padanya, “Kau sungguh ingin tahu?” Violet mendekati Kamila, “Hampir semua aku tahu, Kamila. Niat mu datang ke apartemen ku, dan kau y