“Kak, janin yang sedang dibicarakan ini adalah anakku!” Bentak Alenta tak terima.
Air matanya sejak tadi tak berhenti mengalir, bibirnya kini sudah tidak bisa menahan lagi untuk menyampaikan apa yang sebenarnya sedang dia rasakan saat itu.Hari ini juga mengangkat janin yang artinya, membunuh anaknya sendiri? Tidak, kalimat itu sangat mudah untuk diucapkan tapi juga sangat mudah membuat Alenta merasa marah.Masih mencoba untuk menahan diri, padahal sebenarnya Edward sendiri bisa memberikan reaksi yang jauh lebih dari pada itu.“Kalau memang pada akhirnya aku dan janin ini mati, itu sama sekali bukan akhir yang buruk. Aku tidak akan-”Ucapan Alenta terhenti begitu saja saat Edward menunjukkan tatapan yang sangat menyeramkan.Tajam, dingin, dan menyiratkan kemarahan yang begitu luar biasa.“Siapa yang akan mengizinkanmu mati?” tanya Edward, tangannya mengepal kuat. “Kau pikir kau siapa bicara seperti itu? Jangan konyPlak!Wajah Edward berpaling saat Alenta melancarkan tamparan ke wajahnya. Sebagai seorang Ibu dari Edward, tentu saja dia merasa tidak terima dengan apa yang dilakukan oleh Alenta. “Apa-apaan kau ini, Alenta?!” Tanya karina tak terima. Edward mengangkat telapak tangannya sampai ke batas pundak, dia ingin ibunya diam dan tidak mengatakan apapun tadi. Alenta masih menatap Edward dengan tatapan yang marah, air matanya juga masih terus menghiasi kedua bola matanya. Pelupuknya sampai sembab dan bengkak. “Aku tidak pernah berhutang apapun padamu sebelumnya, bahkan diam-diam membiayai kuliah dan kehidupanku, tidak sepeser pun aku pernah memintanya darimu bukan?! Tidakkah kau merasa bersalah untuk apa yang kau lakukan?”Edward tak ingin menanggapi apa yang diucapkan oleh Alenta, kali ini dia hanya akan mendengarkan saja karena dia tahu benar situasi hati Alenta saat ini benar-benar sedang kacau. “Kau ya
Edward memukul setir kemudinya, pikirannya kacau tak dapat dia tahan. Sudah dua hari penuh dia mencari keberadaan Alenta, hingga kini masih tak dia dapati keberadaannya. Marah, kecewa, menyesali dengan tindakannya hingga pada akhirnya tidak bisa mencegah Alenta pergi. “Alenta, sebenarnya kau pergi kemana?” tanya Edward pilu. 2 hari itu juga Edward tidak tidur, terus berusaha namun tak mendapatkan hasilnya juga. Sebentar melihat ponselnya berdering, panggilan dari Julia entah sudah beberapa kali sejak semalam. Tergerak pada akhirnya untuk menerima panggilan itu, dia juga tidak lupa bagaimana Elea kalau sudah histeris. “Ada apa?” tanya Edward begitu sambungan telepon terhubung. “Elea menangis terus sejak semalam, dia mengatakan keberadaan mu,” ucap Julia. Edward membuang nafasnya, padahal beberapa hari yang lalu Julia sendiri yang mengatakan padanya bahwa Elea bisa nyaman dan tenang saat diasuh oleh Julia
Edward merasa tidak bisa menyerah, tekadnya untuk mencari Alenta begitu kuat, seakan tiap detik sangat berarti. “Apa yang harus kulakukan lagi? Semua cara sudah kucoba, tapi tak ada hasil.”keluhnya dalam hati. Setiap kenalan yang mungkin tahu keberadaan Alenta telah dihubunginya, namun tetap saja kabar tentang Alenta itu seakan-akan menguap. Bahkan, ia telah menyewa seorang detektif profesional untuk membantu mencari Alenta, namun hasilnya masih nihil. Rasa putus asa mulai menyelimuti pikirannya, namun suatu tekad yang kuat membuat Edward bersikeras tidak menyerah begitu saja. “Aku harus tetap mencoba, aku harus menemukannya. Alenta, di manakah kau sebenarnya?” gumamnya lembut, hatinya terus terombang-ambing antara harapan dan ketidakpastian.Sejak pagi, Elea menangis tersedu-sedu, dan pekerjaan di kantor yang menumpuk tak mampu menyita perhatiannya. Ia terus terhanyut dalam lamunannya, memikirkan nasib Alenta yang entah di mana. Karina, Ibunya
Edward kembali ke rumah dengan tubuh yang lesu, kekecewaan yang dia rasakan karena masih tidak bisa menemukan Alenta. Sudah berusaha dengan sangat keras, nyatanya masih tidak bisa menemukan wanitanya. Semalaman dia mengelilingi kota, mencoba mencari kabar tentang adakah rekaman kamera pengawas yang tidak sengaja merekam Alenta, namun masih belum ditemukan hingga saat ini. “Selamat pagi, Tuan?” sapa pelayan rumah begitu mendapati Edward masuk ke dalam rumah. Melihat Tuan rumahnya nampak lesu tanpa kata, pelayan rumah seperti sudah bisa menduga, itu pasti karena masih belum bisa menemukan Alenta. “Elea dimana?” tanya Edward karena tak mendengar suara Elea sama sekali. Sejak kemarin, Elea terlalu tenang membuat Edward jadi kebingungan sekarang. “Masih tidur, Tuan.”Jawaban pelayan rumah barusan benar-benar terasa sangat mengherankan, ini sudah pukul 10.00 hampir siang, tapi Elea masih tidur. “Aneh sekali,” u
Plak!Wajah Julia berpaling saat satu tamparan mendarat di wajahnya. Tercengang, dia tidak percaya bahwa pada akhirnya ada seseorang yang memberikan tamparan cukup kuat untuknya. Matanya mulai bergerak, menatap orang yang memberikan tamparan di wajahnya itu. “Kenapa kau menamparku, Edward?” tanya Julia menahan tangisnya. Malu sekali rasanya, ada beberapa orang yang melihat ke arahnya dengan ekspresi wajah terkejut. Apa yang dilakukan oleh Edward barusan seperti mempermalukan Julia habis-habisan rasanya. Edward mengeraskan rahang, bahkan sampai menggeretakkan giginya sementara sorot matanya terus menatap Julia dengan tatapan yang tajam. Dia terlalu marah sampai enggan untuk mengatakan apapun, padahal jelas saja dia bahkan ingin melakukan yang lebih daripada hanya sebuah tamparan. “Aku harap, semua ini bisa selesai dengan sangat cepat, Julia!” bentak Edward membuat Julia terperanjat dalam diam. Julia tidak bisa berkata-kata, d
Edward yang kukuh ingin bercerai membuat Julia gelap mata. Dia tidak memiliki dukungan dari kedua orang tuanya yang saat ini juga sedang sibuk mencari keberadaan Alenta, sedangkan Karina sudah beberapa hari ini tidak pernah datang ke rumah. Julia bangkit dari duduknya, entah mengapa dia benar-benar sangat marah. Dia sudah memiliki kehidupan sempurna dengan menikahi Edward yang tampan dan kaya raya, serta Elea yang sangat cantik mirip seperti dirinya. Sebelumnya, karir Julia dalam pekerjaan juga cukup baik, jelas dia tidak bisa menerima jika harus kehilangan Edward yang artinya dia akan kehilangan kehidupan sempurnanya. Semuanya berhubungan dengan Edward, itulah hal yang paling tidak boleh hilang darinya adalah, Edward. Menuju ke dapur, lalu mengambil sebilah pisau membuat pelayan yang ada di sana keheranan. Edward bangkit dari duduknya, dia tidak ingin bicara lagi karena pikirnya, Julia juga sudah pergi. Langkah kaki Edward terhenti, dia menatap kembalinya Alenta dengan pisau yang
Mendapatkan kabar bahwa Julia kembali masuk ke rumah sakit, Herin dan Wilhem bergegas untuk mendatangi rumah sakit. Sebagai orang tua, tentulah mereka tidak bisa tenang jika sampai anak mereka dalam bahaya. Begitu sampai di ruangan Julia, Herin benar-benar sangat terpukul melihat apa yang terjadi dengan Julia. Dia menyalahkan diri sendiri yang sudah menghancurkan putrinya, menyesali apa yang sudah dia lakukan hanya karena dia pikir itu adalah yang terbaik. “Kenapa kau harus melakukan itu, Julia?” tanya Herin, menatap Putrinya dengan sorot mata yang terlihat sangat kecewa.Mendengar pertanyaan dari Ibunya, Julia menjadi kesal sekaligus sedih. Bagaimana Ibunya bisa menanyakan alasan dia melakukan itu jika fakta yang sebenarnya adalah, Ibunya sendiri yang menjadi oknum utama terjadinya kekacauan ini. “Tidak perlu menanyakan sesuatu yang seharusnya ibu sendiri sudah tahu jawabannya, lagi pula apapun yang aku lakukan ini tidak ada hubungannya dengan
“Julia, itu tidak benar, kan?” tanya Herin, menatap putrinya dengan tatapan mata yang begitu kecewa. “Julia, kenapa diam saja? Ayo, cepat bantah tuduhan yang tidak benar itu!” Perintah Herin yang justru membuat Julia melengos tak peduli. Wilhem membuang nafasnya, kepalanya benar-benar seperti ingin meledak dengan semua yang terjadi belakangan ini. Edward tersenyum, jelas dia tahu Julia pasti tidak akan menyangkal karena saat ini Julia sendiri sedang malas untuk banyak bicara. Pada akhirnya, Julia tak memiliki pilihan lain selain membiarkan saja Edward keluar dari ruangan, pulang ke rumah untuk bersama dengan Elea. Bagaimanapun caranya dia mencoba untuk menghentikan, Edward juga tidak akan pernah mungkin mendengarkan dirinya. Herin duduk di bangku yang sudah diambilkan Wilhem, tubuhnya lemas karena lagi-lagi harus menghadapi kenyataan yang sangat tidak pernah ada di benaknya. Matanya kembali terarahkan kepada Julia, putrinya yang sangat dia say
“Pendonoran sumsum tulang belakang 7 bulan yang lalu dinyatakan sukses, Tuan dan Nyonya.” ucap dokter yang selama ini menjadi dokter yang merawat Johnson. Aruna menangis haru, segera Ron memeluk bahagia istrinya itu. Edward juga langsung memeluk Alenta yang menangis haru, begitu juga dengan kedua orang tua Aruna yang ada di sana. Violet menyeka air matanya, Reiner mengusap kepalanya dengan lembut, lalu merangkulnya. Ada Arabella di gendongan Reiner yang tertidur pulas sejak tadi. “Tapi, untuk mengantisipasi kemungkinan dan bahkan selalu ada, di saat kelahiran bayi kedua anda nanti, pastikan untuk menyimpan darah tali pusat di rumah sakit, Nyonya dan Tuan.” saran dari Dokter itu. Aruna dan Ron menganggukkan kepalanya, dan akhirnya anggota keluarga besar saling berpelukan erat. Walaupun memang benar kemungkinan terburuk selalu ada, s
Anara menutup mulutnya menggunakan telapak tangan, matanya menatap benda mungil yang menjadi bagian dari kebahagiaannya. Alat penguji kehamilan yang menyatakan bahwa Aruna tengah hamil. “Ini benar-benar nyata, kan?” tanya Aruna, air matanya sudah mulai mengembung di pelupuk matanya. Padahal, 3 Minggu bersama Ron artinya pun dia sudah melewati 1 Minggu masa datang bulannya. Hanya saja, Aruna cukup stres dengan apa yang terjadi sekarang. Fokusnya benar-benar tertuju kepada Johnson, sampai dia tidak ada waktu untuk memikirkan yang lainnya. Tes! Jatuh sudah air mata Aruna, dia merasa bahagia karena bisa mengantisipasi hal buruk yang mungkin akan terjadi kepada Johnson. Mengenai donor sum-sum tulang belakang yang dijalani Ron dan Johnson beberapa waktu sebelumnya jelas
Ron merasakan denyut jantungnya yang berpacu kencang saat ruangan operasi dihiasi dengan suara bip mesin monitor yang terus menerus. Tangan Johnson yang lemah terkulai di samping tubuhnya, pucat dan tidak berdaya. Mata Ron berkaca-kaca saat dia menatap putranya yang terbaring tak sadarkan diri, berharap dan berdoa dalam diam bahwa semua ini akan membawa keajaiban untuk kesembuhan Johnson. “Johnson, sembuh lah....” Harap Ron di dalam hati, “jika menunggu adikmu terlalu lama, maka sembuhlah dengan cara ini, Ayah mohon. Ibumu pasti akan sangat menderita jika terjadi sesuatu padamu, berjuanglah terus, ya....” Dokter yang berpengalaman itu mengenakan sarung tangan sterilnya, seraya memeriksa kembali alat-alat medis yang telah disiapkan. Ron, dengan keberanian yang dipaksakan, berbaring di sisi lain ruangan yang sama, siap untuk mendonorkan sumsum tulang bela
“Maafkan aku, tapi semua ini terjadi juga di luar dugaan ku, James.” ucap Aruna jujur, berharap kejujurannya itu dapat dirasakan oleh pria itu. “Aku pikir, aku akan memulai hidup baru bersama Johnson dan kedua orang tuaku saja. Tapi, Johnson mengalami sakit yang benar-benar tidak ada dalam rencana ku, leukimia.” Mendengar itu, James pun terkejut, lupa untuk bernafas hingga beberapa saat. “Leukimia?” James benar-benar lemas, tidak menyangka kalau Johnson akan memiliki sakit mengerikan itu di usianya yang masih begitu kecil. “Kau benar-benar tidak sedang membohongiku, kan? Mana mungkin Johnson sakit seperti itu? Jangan bilang, kau cuma mengada ada supaya bisa menjalin hubungan dengan Ron lagi, Aruna,” harap James. Mendengar itu, jatuh sudah air mata Aruna. Ron, pria itu benar-benar seperti tidak tahu harus mengatakan apa. Jika membuat kebohongan seperti itu sangatlah mudah, maka
Aruna benar-benar menyuapkan makanan ke mulutnya Ron. “Makanlah....” Ron, pria itu benar-benar kehabisan kata-kata, padahal sudah bukan hanya satu atau dua kali dia menolak, dan meminta Aruna untuk fokus makan sendiri saja. Masih memangku laptop, pada akhirnya Ron membuka mulutnya, menerima suapan makanan dari Aruna. Nyut!!!! Nyeri, sungguh nyeri sekali dadanya. Kenapa begitu sakit? Ron seperti mendapatkan balasan dari luka yang dia berikan kepada Aruna, tertampar oleh fakta yang ada. Andai saja luka itu tidak pernah tertoreh, mungkinkah hubungan mereka akan lebih jujur dan diliputi kelegaan? Mata Ron memerah, pelupuknya sudah mulai dipenuhi dengan air mata. Melihat itu, Aruna menjadi bingung. Tidak ad
Mendengar permintaan maaf yang diucapkan oleh Ron, Aruna pun terdiam karena tidak tahu harus mengatakan apa. Tidak menyangka kalau pria yang dulu begitu angkuh dan juga arogan bisa mengucapkan kata ‘maaf’ namun dengan ekspresi yang begitu tulus. Tes! Tanpa sadar air mata Aruna terjatuh, luka yang seolah sudah sedikit sembuh kini terasa kembali. Semua rasa sakit yang diberikan oleh Ron kembali teringat olehnya. Melihat Aruna meneteskan air mata tanpa kata, Ron benar-benar semakin merasa bersalah. Dia seperti tengah menghianati dirinya sendiri, padahal menyakiti wanita bukanlah sesuatu yang biasa untuk dia lakukan. “Maaf, itu pasti sangat menyakitkan untukmu, bukan? Maaf, aku sungguh meminta maaf untuk apa yang terjadi, dan apa yang sudah aku lakukan padamu, Aruna.” Suara R
Ron merasakan beratnya kelopak matanya saat dia mengedipkan mata beberapa kali, mencoba untuk sepenuhnya terjaga. “Sudah mulai sore rupanya,” batin Ron. Ruangan itu dipenuhi oleh sinar sore yang menembus tirai, menciptakan pola cahaya dan bayangan yang bergerak pelan di dinding. Aruna, di sisi lain tempat tidur, tampak begitu damai dalam tidurnya. Rambutnya yang panjang terhampar di bantal, wajahnya tenang meski terlihat ada sedikit kelelahan yang tersisa. “Biarkan saja deh dia lanjut tidur,” gumam Ron. Dengan hati-hati, Ron menyelinap keluar dari selimut dan perlahan-lahan beranjak dari tempat tidur. Ia menatap jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 3 sore. Mereka telah terlewat makan siang, tetapi Ron tahu bahwa Aruna membutuhkan istirahat ini lebih dari apapun. Dengan langkah yang hampir tidak terdengar, d
Ron dan Aruna memutuskan untuk kembali ke rumah, sementara itu Edward dan Alenta tengah menemani Johnson. Sudah 2 hari full Ron dan Aruna di rumah sakit, walaupun ada saatnya Ron meninggalkan Aruna karena ada pekerjaan penting yang harus diselesaikan. Sesampainya di rumah, Mereka langsung masuk ke kamar. “Kau istirahat saja dulu, aku akan pergi ke luar sebentar. Ada yang harus aku kerjakan, mungkin cuma 1 jam saja.” ucap Ron, langsung mendapatkan anggukan setuju dari Aruna. Bergegas Ron mengganti pakaiannya, dia akan bertemu dengan Ben di kantor cabang karena dia beberapa dokumen yang harus ditandatangani oleh Ron. Sejenak meninggalkan Aruna, Ron menyelesaikan pekerjaannya secepat yang dia bisa. Selama dua hari di rumah sakit, Ron juga tidak bisa tidur nyenyak sama sekali. Johnson selalu menangis, lebih cengeng dari biasanya. Mungk
“Kamila, aku mengatakan kepada suamiku untuk membiarkan kau bekerja di perusahaannya karena aku merasa kasihan padamu. Padahal, bagian personalia mengatakan kau tidak dibutuhkan di perusahaan itu.” ujar Violet, tersenyum tak peduli kalau ucapannya barusan sangat tidak nyaman untuk Kamila dengar. Kamila menggigit bibir bawahnya, campur aduk perasaan. Dia tidak menyangka kalau Violet mengetahui banyak hal, namun memilih untuk tidak mengatakan apapun. “Sebenarnya, seberapa banyak hal yang tidak kau katakan padaku, Violet?” tanya Kamila, kali ini dia benar-benar terlihat emosi. Merasa dikhianati, namun sadar pula dia tidak berhak untuk menunjukkan secara jelas kemarahannya. Mendengar pertanyaan dari Kamila, sontak saja sorot mata Violet terarahkan padanya, “Kau sungguh ingin tahu?” Violet mendekati Kamila, “Hampir semua aku tahu, Kamila. Niat mu datang ke apartemen ku, dan kau y