“Aku tidak tahu harus mengatakan apa lagi. Mungkin, akan lebih baik jika kita memang terus berteman seperti sebelumnya. Sungguh, aku meminta maaf untuk apa yang aku lakukan padamu, Aruna.” ucap James, tertunduk lesu, dan merasa bersalah untuk sikapnya yang ada di luar kontrolnya. Aruna hanya bisa memaksakan senyumnya, nyatanya dia sendiri seperti menyesali apa yang terjadi. Lagi-lagi, pada akhirnya dia mengambil langkah bodoh yang membuatnya tersiksa. Seperti yang dikatakan Violet, bukan hanya jahat kepada James, Aruna bahkan jahat kepada dirinya sendiri. “Aruna, aku tahu kau pasti sangat kesal padaku. Tapi, aku pastikan apa yang terjadi kemarin tidak akan terjadi lagi di kemudian hari.” janji James. Aruna menghela nafas, menatap James dengan tatapan yang dalam. “James, kau benar-benar sudah melakukan banyak hal yang tujuannya adalah untuk membantuku. Namun, aku terlalu tidak tahu diri dan tidak tahu malu, aku jelas tidak bisa membalas semua kebaikan yang sudah kau lakuka
Aruna memutuskan untuk meninggalkan apartemen James, membawa Johnson tentu, dan satu koper pakaian milik mereka. “Maaf, James.” ucap Aruna. Pada akhirnya, pilihan seperti itulah yang bisa Aruna ambil. Dia bukan mengedepankan perasaan tidak nyaman dan tidak bahagia yang dirasakannya. Namun, Aruna melakukan semua ini atas permohonan kedua orang tuanya James. Tiga hari yang lalu, di apartemen James. Ibunya James bersujud di hadapan Aruna, tangannya mengatup dengan tatapan memohon. Ada air mata yang jatuh membasahi wajahnya, suara yang bergetar saat berbicara membuat hati Aruna merasakan sakit. “Aruna, keputusan James untuk menikahimu benar-benar membuat banyak pihak berang kepada kami. Perusahaan besar kami ini bisa sampai dengan titik sekarang karena bantuan dari perusahaan milik keluarganya Cecilia.” ucapnya masih dengan nada bicara yang gemetar. Mendengar itu, Aruna pun benar-benar tidak bisa banyak berkata-kata. “Kami sudah kehilangan jutaan dolar dalam wakt
Aruna terbangun dari tidur yang tidak nyenyak, keringat dingin membasahi keningnya. Ia merasa gelisah sejak pagi tadi karena Johnson sedang demam tinggi. Beberapa waktu terakhir ini, Johnson seringkali demam dan bahkan sampai mimisan dan lesu. Aruna merasa khawatir dan tidak bisa menahan kegelisahannya lagi. “Ini jelas tidak benar.” ucap Aruna saat menyentuh dahi Johnson, “dulu, Dokter bilang ini demam karena virus biasa, tapi demamnya jadi semakin sering.” Aruna mendesah dengan gelisah. Sudah cukup banyak berpikir, Aruna tidak mau membuang waktu. Bayi berusia 1 tahun setengah itu digendongnya dengan lembut, ia bergegas membawa Johnson ke rumah sakit untuk melakukan pemeriksaan lengkap dan mendetail. Hatinya berdebar-debar, ia takut ada yang tidak beres dengan kesehatan anaknya, namun harus dia hadapi. Sesampainya di rumah sakit, Johnson langsung ditangani. Setelah dokter menangani Johnson, Aruna menunggu dengan cemas di ruang tunggu. Entah mengapa, ia melihat
Aruna terjatuh duduk di lantai ruang tunggu rumah sakit, begitu hasil pemeriksaan lengkap anaknya diberikan padanya. Air matanya jatuh bercucuran, seperti air terjun yang tak terbendung. Hasil pemeriksaan itu membenarkan dugaan dokter sebelumnya, bahwa Johnson, anaknya yang baru berusia 1,5 tahun, mengidap leukimia stadium 2. “Ahhhhh” teriak Aruna histeris. “Kenapa harus Johnson, Tuhan?” Aruna memukuli dadanya, marah kepada dirinya sendiri, menganggap gagal sebagai seorang Ibu. Hatinya terasa seperti diremas-remas oleh kesedihan yang begitu mendalam. Ia tak bisa percaya bahwa Johnson, bayi kecil yang baru saja lancar berjalan itu, harus menghadapi penyakit mengerikan seperti leukimia. Kedua orang tua Aruna yang berada di sana juga merasakan kesedihan yang sama. Wajah mereka pucat pasi, dan mata mereka berkaca-kaca. Mereka berdiri di samping Aruna, tidak tahu harus berkata apa untuk menghibur hati anak mereka yang tengah hancur. Aruna bangkit dari duduknya dengan susah pa
“Jika kita kita membuang banyak waktu hanya untuk mengambil keputusan, Sepertinya itu akan sangat merugikan untuk kondisi Johnson, Aruna. Jangan lupa, Nyonya Alenta dan juga Tuan Edward harus terlibat dalam hal ini mengingat Johnson juga adalah cucu kandung mereka, bukan?” ucap Karem, berharap Aruna bisa lebih cepat mengambil keputusan karena keadaan Johnson juga bisa terbilang tidak baik-baik saja. Sejak bangun pagi tadi, tubuh Johnson ada beberapa bagian yang lebam, itu adalah salah satu pertanda dari leukimia. Aruna memejamkan matanya sejenak, mencoba mencari ketenangan diri, mengedepankan Johnson di atas segalanya. Benar, Johnson adalah kehidupannya, bagian terpenting dalam hidupannya. “Baiklah, aku akan melakukannya. Aku bersumpah akan melakukan segalanya, yang paling penting Johnson bisa mendapatkan kesembuhan, dan bisa menjalani kehidupan tanpa meras
Ron memegangi pipinya yang terasa sangat sakit, sebuah bogem mentah dilayangkan ke wajahnya oleh Edward beberapa saat lalu. Saat ini mereka tengah berada di ruang tengah, saling berhadapan dengan pemikiran masing-masing. “Ayah benar-benar sangat heran padamu, Ron. Bagaimana bisa kau yang selalu Ayah bangga-banggakan di setiap waktu, nyatanya justru semakin menjadi brengsek.” ujar Edward. Alenta menarik nafasnya, terlalu malas membuang waktu lagi. “Kau sibuk mabuk, tidak peduli apapun, tapi apakah kau tahu bahwa saat ini seseorang sedang sangat membutuhkan bantuanmu, hah?!” kesal Edward. Ron sama sekali tidak tertarik mendengar apa yang diucapkan oleh Edward, dia terlalu malas untuk mendapatkan sesuatu yang menurutnya tidak menarik sama sekali. “Ron, tegakkan wajahmu, ada hal penting yang harus kita bahas sekarang ini!” tegas Alenta. Ron memicingkan matanya, menatap jam din
Aruna menghentikan langkahnya, matanya terarahkan kepada sosok yang membuat hidupnya bagaikan naik rollercoaster. Di tangannya, Johnson masih erat dia gendong. Karem dan istrinya pun sama, kini perasaannya seperti membeku tanpa kata. Tak jauh dari mereka, ada Ron, Alenta dan Edward yang menantikan kehadiran mereka di bandara. “Ayo, nak!” ajak Karem dan istrinya kepada Aruna. Aruna menganggukkan kepalanya, kembali melangkahkan kakinya begitu juga Ron, Alenta, dan Edward. begitu mereka dekat, Alenta langsung memeluk Aruna dan Johnson, mereka saling melepaskan rindu satu sama lain, begitu juga dengan Jena. Karem dan Edward berjabat tangan, sedangkan Ron terdiam membeku menatap Aruna yang masih menggendong Johnson. Ada perasaan aneh yang sungguh luar biasa, hal itu bahkan suli
“Aku bersedia, tapi aku juga tidak ingin jawabanku menjadi beban untuk Aruna. Jadi, jika Aruna tetap memilih untuk tidak mengambil pernikahan ini, maka aku juga akan tetap menghormati keputusannya.” jawab Ron. Kedua orang tua Aruna benar-benar tak percaya bahwa Ron seperti bukan pria yang selama ini telah menyakiti putrinya. Aruna pun merasakan yang sama, kesan, sikap, dan tatapan mata Ron seperti bukan pria jahat yang Aruna kenal dulu. Aruna tertunduk, memejamkan matanya sejenak sembari berpikir. “Johnson....” gumam Aruna. Aruna mengangkat wajahnya sembari membuang nafas panjangnya. Menatap Alenta dan juga Edward, lalu menatap kedua orang tuanya dengan tatapan matanya yang serius Aruna pun akhirnya menjawab, “Baiklah, aku akan mengambil keputusan untuk menikah dengan Tuan Ron. Tapi, aku ingin memastikan bahwa kedepannya aku tidak akan pernah mendapatkan kekerasan fisik maupun mental dari
“Pendonoran sumsum tulang belakang 7 bulan yang lalu dinyatakan sukses, Tuan dan Nyonya.” ucap dokter yang selama ini menjadi dokter yang merawat Johnson. Aruna menangis haru, segera Ron memeluk bahagia istrinya itu. Edward juga langsung memeluk Alenta yang menangis haru, begitu juga dengan kedua orang tua Aruna yang ada di sana. Violet menyeka air matanya, Reiner mengusap kepalanya dengan lembut, lalu merangkulnya. Ada Arabella di gendongan Reiner yang tertidur pulas sejak tadi. “Tapi, untuk mengantisipasi kemungkinan dan bahkan selalu ada, di saat kelahiran bayi kedua anda nanti, pastikan untuk menyimpan darah tali pusat di rumah sakit, Nyonya dan Tuan.” saran dari Dokter itu. Aruna dan Ron menganggukkan kepalanya, dan akhirnya anggota keluarga besar saling berpelukan erat. Walaupun memang benar kemungkinan terburuk selalu ada, s
Anara menutup mulutnya menggunakan telapak tangan, matanya menatap benda mungil yang menjadi bagian dari kebahagiaannya. Alat penguji kehamilan yang menyatakan bahwa Aruna tengah hamil. “Ini benar-benar nyata, kan?” tanya Aruna, air matanya sudah mulai mengembung di pelupuk matanya. Padahal, 3 Minggu bersama Ron artinya pun dia sudah melewati 1 Minggu masa datang bulannya. Hanya saja, Aruna cukup stres dengan apa yang terjadi sekarang. Fokusnya benar-benar tertuju kepada Johnson, sampai dia tidak ada waktu untuk memikirkan yang lainnya. Tes! Jatuh sudah air mata Aruna, dia merasa bahagia karena bisa mengantisipasi hal buruk yang mungkin akan terjadi kepada Johnson. Mengenai donor sum-sum tulang belakang yang dijalani Ron dan Johnson beberapa waktu sebelumnya jelas
Ron merasakan denyut jantungnya yang berpacu kencang saat ruangan operasi dihiasi dengan suara bip mesin monitor yang terus menerus. Tangan Johnson yang lemah terkulai di samping tubuhnya, pucat dan tidak berdaya. Mata Ron berkaca-kaca saat dia menatap putranya yang terbaring tak sadarkan diri, berharap dan berdoa dalam diam bahwa semua ini akan membawa keajaiban untuk kesembuhan Johnson. “Johnson, sembuh lah....” Harap Ron di dalam hati, “jika menunggu adikmu terlalu lama, maka sembuhlah dengan cara ini, Ayah mohon. Ibumu pasti akan sangat menderita jika terjadi sesuatu padamu, berjuanglah terus, ya....” Dokter yang berpengalaman itu mengenakan sarung tangan sterilnya, seraya memeriksa kembali alat-alat medis yang telah disiapkan. Ron, dengan keberanian yang dipaksakan, berbaring di sisi lain ruangan yang sama, siap untuk mendonorkan sumsum tulang bela
“Maafkan aku, tapi semua ini terjadi juga di luar dugaan ku, James.” ucap Aruna jujur, berharap kejujurannya itu dapat dirasakan oleh pria itu. “Aku pikir, aku akan memulai hidup baru bersama Johnson dan kedua orang tuaku saja. Tapi, Johnson mengalami sakit yang benar-benar tidak ada dalam rencana ku, leukimia.” Mendengar itu, James pun terkejut, lupa untuk bernafas hingga beberapa saat. “Leukimia?” James benar-benar lemas, tidak menyangka kalau Johnson akan memiliki sakit mengerikan itu di usianya yang masih begitu kecil. “Kau benar-benar tidak sedang membohongiku, kan? Mana mungkin Johnson sakit seperti itu? Jangan bilang, kau cuma mengada ada supaya bisa menjalin hubungan dengan Ron lagi, Aruna,” harap James. Mendengar itu, jatuh sudah air mata Aruna. Ron, pria itu benar-benar seperti tidak tahu harus mengatakan apa. Jika membuat kebohongan seperti itu sangatlah mudah, maka
Aruna benar-benar menyuapkan makanan ke mulutnya Ron. “Makanlah....” Ron, pria itu benar-benar kehabisan kata-kata, padahal sudah bukan hanya satu atau dua kali dia menolak, dan meminta Aruna untuk fokus makan sendiri saja. Masih memangku laptop, pada akhirnya Ron membuka mulutnya, menerima suapan makanan dari Aruna. Nyut!!!! Nyeri, sungguh nyeri sekali dadanya. Kenapa begitu sakit? Ron seperti mendapatkan balasan dari luka yang dia berikan kepada Aruna, tertampar oleh fakta yang ada. Andai saja luka itu tidak pernah tertoreh, mungkinkah hubungan mereka akan lebih jujur dan diliputi kelegaan? Mata Ron memerah, pelupuknya sudah mulai dipenuhi dengan air mata. Melihat itu, Aruna menjadi bingung. Tidak ad
Mendengar permintaan maaf yang diucapkan oleh Ron, Aruna pun terdiam karena tidak tahu harus mengatakan apa. Tidak menyangka kalau pria yang dulu begitu angkuh dan juga arogan bisa mengucapkan kata ‘maaf’ namun dengan ekspresi yang begitu tulus. Tes! Tanpa sadar air mata Aruna terjatuh, luka yang seolah sudah sedikit sembuh kini terasa kembali. Semua rasa sakit yang diberikan oleh Ron kembali teringat olehnya. Melihat Aruna meneteskan air mata tanpa kata, Ron benar-benar semakin merasa bersalah. Dia seperti tengah menghianati dirinya sendiri, padahal menyakiti wanita bukanlah sesuatu yang biasa untuk dia lakukan. “Maaf, itu pasti sangat menyakitkan untukmu, bukan? Maaf, aku sungguh meminta maaf untuk apa yang terjadi, dan apa yang sudah aku lakukan padamu, Aruna.” Suara R
Ron merasakan beratnya kelopak matanya saat dia mengedipkan mata beberapa kali, mencoba untuk sepenuhnya terjaga. “Sudah mulai sore rupanya,” batin Ron. Ruangan itu dipenuhi oleh sinar sore yang menembus tirai, menciptakan pola cahaya dan bayangan yang bergerak pelan di dinding. Aruna, di sisi lain tempat tidur, tampak begitu damai dalam tidurnya. Rambutnya yang panjang terhampar di bantal, wajahnya tenang meski terlihat ada sedikit kelelahan yang tersisa. “Biarkan saja deh dia lanjut tidur,” gumam Ron. Dengan hati-hati, Ron menyelinap keluar dari selimut dan perlahan-lahan beranjak dari tempat tidur. Ia menatap jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 3 sore. Mereka telah terlewat makan siang, tetapi Ron tahu bahwa Aruna membutuhkan istirahat ini lebih dari apapun. Dengan langkah yang hampir tidak terdengar, d
Ron dan Aruna memutuskan untuk kembali ke rumah, sementara itu Edward dan Alenta tengah menemani Johnson. Sudah 2 hari full Ron dan Aruna di rumah sakit, walaupun ada saatnya Ron meninggalkan Aruna karena ada pekerjaan penting yang harus diselesaikan. Sesampainya di rumah, Mereka langsung masuk ke kamar. “Kau istirahat saja dulu, aku akan pergi ke luar sebentar. Ada yang harus aku kerjakan, mungkin cuma 1 jam saja.” ucap Ron, langsung mendapatkan anggukan setuju dari Aruna. Bergegas Ron mengganti pakaiannya, dia akan bertemu dengan Ben di kantor cabang karena dia beberapa dokumen yang harus ditandatangani oleh Ron. Sejenak meninggalkan Aruna, Ron menyelesaikan pekerjaannya secepat yang dia bisa. Selama dua hari di rumah sakit, Ron juga tidak bisa tidur nyenyak sama sekali. Johnson selalu menangis, lebih cengeng dari biasanya. Mungk
“Kamila, aku mengatakan kepada suamiku untuk membiarkan kau bekerja di perusahaannya karena aku merasa kasihan padamu. Padahal, bagian personalia mengatakan kau tidak dibutuhkan di perusahaan itu.” ujar Violet, tersenyum tak peduli kalau ucapannya barusan sangat tidak nyaman untuk Kamila dengar. Kamila menggigit bibir bawahnya, campur aduk perasaan. Dia tidak menyangka kalau Violet mengetahui banyak hal, namun memilih untuk tidak mengatakan apapun. “Sebenarnya, seberapa banyak hal yang tidak kau katakan padaku, Violet?” tanya Kamila, kali ini dia benar-benar terlihat emosi. Merasa dikhianati, namun sadar pula dia tidak berhak untuk menunjukkan secara jelas kemarahannya. Mendengar pertanyaan dari Kamila, sontak saja sorot mata Violet terarahkan padanya, “Kau sungguh ingin tahu?” Violet mendekati Kamila, “Hampir semua aku tahu, Kamila. Niat mu datang ke apartemen ku, dan kau y