“Aku bersedia, tapi aku juga tidak ingin jawabanku menjadi beban untuk Aruna. Jadi, jika Aruna tetap memilih untuk tidak mengambil pernikahan ini, maka aku juga akan tetap menghormati keputusannya.” jawab Ron.
Kedua orang tua Aruna benar-benar tak percaya bahwa Ron seperti bukan pria yang selama ini telah menyakiti putrinya. Aruna pun merasakan yang sama, kesan, sikap, dan tatapan mata Ron seperti bukan pria jahat yang Aruna kenal dulu. Aruna tertunduk, memejamkan matanya sejenak sembari berpikir. “Johnson....” gumam Aruna. Aruna mengangkat wajahnya sembari membuang nafas panjangnya. Menatap Alenta dan juga Edward, lalu menatap kedua orang tuanya dengan tatapan matanya yang serius Aruna pun akhirnya menjawab, “Baiklah, aku akan mengambil keputusan untuk menikah dengan Tuan Ron. Tapi, aku ingin memastikan bahwa kedepannya aku tidak akan pernah mendapatkan kekerasan fisik maupun mental dariAruna dan Ron saling menatap, perasaan tidak percaya begitu jelas dirasakan oleh Aruna. “Bagaimana bisa setelah beberapa saat berpisah dengan James, sekarang aku bahkan sudah menikah lagi dengan pria lain? Jika orang lain mengetahui hal ini, aku benar-benar akan dianggap perempuan brengsek, kan?” batin Aruna keheranannya sendiri. “Dengan ini, kalian berdua sah dinyatakan sebagai suami dan istri!” seru seseorang yang bertugas untuk menikahkan mereka. Ron, pria itu benar-benar tidak tahu harus mengatakan apa. Bohong kalau dia merasa keberatan dengan pernikahan ini meskipun dihatinya masih begitu bingung dengan apa yang terjadi. Bahagia, hanya tidak tahu bagaimana caranya mengekspresikan, ditambah lagi Ron juga takut kalau dia tersenyum, maka itu akan membuat Aruna merasa tidak nyaman.
Dokter itu memandang Ron dan Aruna dengan pandangan penuh tanya, mencoba memahami situasi yang baru saja terungkap di hadapannya. “Jadi, Nyonya Aruna, Anda barusan mengatakan bahwa selama lebih dari dua tahun ini tidak ada aktivitas seksual antara Anda dan suami?” tanya dokter tersebut dengan nada yang mencoba tetap profesional meski terkejut. Aruna yang mulai merasa canggung, mengangguk pelan. Matanya menunduk, merasa sedikit malu karena telah membuka rahasia yang seharusnya pribadi itu di hadapan dokter dan Ron. “Iya, Dok,” jawabnya dengan suara yang nyaris tidak terdengar. Mau bagaimana lagi, ini semua demi Johnson. Mau tidak mau, Aruna akan melakukan segalanya dengan jujur dan terbuka. Ron, yang duduk di samping Aruna, tampak pucat. Pikirannya melayang ke masa-masa yang telah berlalu, mengira bahwa Aruna dan James mungkin t
“Sebenarnya, perasaan apa yang aku miliki terhadapmu, Aruna? Aku sulit melupakan mu, tapi tiba-tiba saja kau datang dengan satu anak, berada di sisiku, dan membuatku masih kebingungan.” batin Ron. Duduk di pinggir tempat tidur, ia tengah memperhatikan wajah Aruna yang tertidur pulas. Dalam keheningan malam yang hanya dipecah oleh suara hujan yang menderu, Ron merenungkan perubahan sikapnya. Ia mengelus lembut rambut Aruna meski sempat ragu untuk melakukannya, sesuatu yang tidak pernah ia lakukan sebelumnya terhadap wanita manapun juga. Rasa penyesalan mulai kembali menyusup ke dalam hatinya atas perlakuan kasarnya di masa lalu. “Kebodohan itu mengunci akal sehatku, aku berharap tidak akan terjadi lagi di kemudian hari,” harap Ron. Aruna, dengan napas yang teratur, tampak begitu damai, kontras dengan kenangan pahit yang sempa
Ucapan Ron sebelum dia pergi tadi benar-benar membuat Aruna merasa sangat aneh. “Kenapa ya Tuan Ron berubah total seperti itu?” Aruna menggigit bibir bawahnya, menyipitkan matanya sembari terus mencoba untuk menebak-nebak alasan di balik berubahnya sikap Ron yang sangat signifikan itu. “Apa karena ancaman dari Nyonya Alenta? Ah, tapi sepertinya tidak juga, deh.” Aruna menggelengkan kepalanya, memikirkan sampai sejuta kali pun sepertinya dia tidak akan mendapatkan jawaban. Kembali dia mulai fokus dengan Johnson, menunggu Alenta dan juga Edward yang kini sedang di dalam perjalanan. Sementara itu di restoran, ruang VVIP. Pertemuan bisnis Ron bersama asisten, dan juga pria bernama Hansel, pria yang memiliki bisnis sukses di bidang properti. Pembicaraan bisnis telah selesai, namun jelas Ron tidak bisa meninggalkan mitra bisnisnya begitu saja mengingat Hansel juga datang jauh-jauh dari luar nege
Violet membukakan pintu apartemennya, mempersilahkan Kamila untuk masuk ke dalam. “Silahkan masuk, Kamila.” Violet tersenyum hangat. Membalas senyum yang diberikan Violet, Kamila sungguh merasa senang karena akhirnya dia bisa datang ke tempat tinggal Violet yang sangat luar biasa mewahnya. Tidak banyak furniture di dalam sana, tapi bisa dipastikan bahwa semua barang-barang di dalam apartemen itu memiliki kualitas yang sangat bagus. “Wah, apartemen mu ini benar-benar sangat nyaman, ya,” ujar Kamila, dia merasa sofa duduk di mana dia berada saat ini. Violet tersenyum, menyusul Kamila duduk di sana. “Ngomong-ngomong, anakmu di mana, Violet?” tanya Kamila, padahal jelas dia memilki maksud yang tidak biasa dibalik pertanyaannya itu. “Bersama suamiku di kamar. Karena ini akhir pekan, anakku akan lebih banyak
“Kamila, aku mengatakan kepada suamiku untuk membiarkan kau bekerja di perusahaannya karena aku merasa kasihan padamu. Padahal, bagian personalia mengatakan kau tidak dibutuhkan di perusahaan itu.” ujar Violet, tersenyum tak peduli kalau ucapannya barusan sangat tidak nyaman untuk Kamila dengar. Kamila menggigit bibir bawahnya, campur aduk perasaan. Dia tidak menyangka kalau Violet mengetahui banyak hal, namun memilih untuk tidak mengatakan apapun. “Sebenarnya, seberapa banyak hal yang tidak kau katakan padaku, Violet?” tanya Kamila, kali ini dia benar-benar terlihat emosi. Merasa dikhianati, namun sadar pula dia tidak berhak untuk menunjukkan secara jelas kemarahannya. Mendengar pertanyaan dari Kamila, sontak saja sorot mata Violet terarahkan padanya, “Kau sungguh ingin tahu?” Violet mendekati Kamila, “Hampir semua aku tahu, Kamila. Niat mu datang ke apartemen ku, dan kau y
Ron dan Aruna memutuskan untuk kembali ke rumah, sementara itu Edward dan Alenta tengah menemani Johnson. Sudah 2 hari full Ron dan Aruna di rumah sakit, walaupun ada saatnya Ron meninggalkan Aruna karena ada pekerjaan penting yang harus diselesaikan. Sesampainya di rumah, Mereka langsung masuk ke kamar. “Kau istirahat saja dulu, aku akan pergi ke luar sebentar. Ada yang harus aku kerjakan, mungkin cuma 1 jam saja.” ucap Ron, langsung mendapatkan anggukan setuju dari Aruna. Bergegas Ron mengganti pakaiannya, dia akan bertemu dengan Ben di kantor cabang karena dia beberapa dokumen yang harus ditandatangani oleh Ron. Sejenak meninggalkan Aruna, Ron menyelesaikan pekerjaannya secepat yang dia bisa. Selama dua hari di rumah sakit, Ron juga tidak bisa tidur nyenyak sama sekali. Johnson selalu menangis, lebih cengeng dari biasanya. Mungk
Ron merasakan beratnya kelopak matanya saat dia mengedipkan mata beberapa kali, mencoba untuk sepenuhnya terjaga. “Sudah mulai sore rupanya,” batin Ron. Ruangan itu dipenuhi oleh sinar sore yang menembus tirai, menciptakan pola cahaya dan bayangan yang bergerak pelan di dinding. Aruna, di sisi lain tempat tidur, tampak begitu damai dalam tidurnya. Rambutnya yang panjang terhampar di bantal, wajahnya tenang meski terlihat ada sedikit kelelahan yang tersisa. “Biarkan saja deh dia lanjut tidur,” gumam Ron. Dengan hati-hati, Ron menyelinap keluar dari selimut dan perlahan-lahan beranjak dari tempat tidur. Ia menatap jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 3 sore. Mereka telah terlewat makan siang, tetapi Ron tahu bahwa Aruna membutuhkan istirahat ini lebih dari apapun. Dengan langkah yang hampir tidak terdengar, d