“James, sepertinya kita cukup keterlaluan terhadap keluargamu.” ucap Aruna sembari menatap James yang kini tengah mengemudikan mobilnya.
Mendengar itu, James benar-benar hanya bisa memaksakan senyumnya, tidak tahu harus bagaimana memberikan pengertian kepada Aruna, menggambarkan tentang keluarganya yang sebenarnya tidak seburuk itu. Aruna soalnya bisa mengerti apa yang sedang dipikirkan oleh James, dia memilih untuk tidak mengatakan apapun lagi selama dia masih fokus mengemudi. Mereka tiba di apartemen tempat kedua orang tua Aruna berada, menjemput Johnson yang mereka titipkan di sana. Setelah itu, mereka kembali ke apartemen yang mereka tinggali, milik James. Johnson sudah dalam keadaan tidur saat dijemput, jadi sesampainya di sana hanya perlu membaringkan bayi kecil itu ke tempat tidurnya. “Kau mau langsung mandi, atau aku buatkan teh lebih dulu, James?” tanya Aruna perhatian.Plak! Tamparan keras dari Aruna itu membuat James terdiam membeku, seolah dia tersadar dari apa yang baru saja ingin dia lakukan terhadap Aruna. Sama seperti James, tamparan yang dia berikan kepada pria itu membuat Aruna terdiam dengan segala pemikirannya. Benar, James adalah suaminya, pantas dia mendapatkan apa yang ingin dia dapatkan barusan. Hanya saja, ekspresi, tatapan, dan cara bicara James terlalu mengingatkan Aruna kepada sosok Ron. James tersenyum, ada perasaan kesal, marah, dan kecewa atas apa yang dilakukan Aruna. Pada akhirnya, sepasang matanya yang memancarkan perasaan itu tertuju kepada Aruna lalu berkata, “Aku salah, tidak seharusnya aku melakukan ini. Harusnya, aku sadar diri siapa aku, dan bagaimana aku membujuk mu dengan begitu banyak janji.” ucap James pasrah. Aruna masih tidak tahu harus mengatakan apa, dia tengah sibuk mengutuk dirin
“Aku tidak ingin membuang-buang waktuku, Aku adalah orang yang paling malas berdebat untuk hal yang aku sendiri sudah tahu akan seperti apa akhirnya. Jadi, pergilah sesegera mungkin, Jangan pernah datang lagi ke tempat ini, Wendy.” ucap violet, menatap Wendy dengan tatapan matanya yang serius. Mendengar itu, Wendy benar-benar terperangah tak percaya. Menggelengkan kepalanya, tatapan matanya mulai terlihat begitu ketakutan. “To-tolong jangan lakukan ini, nyonya. Kalau saya dikembalikan ke yayasan, saya juga akan mendapatkan denda dan juga surat peringatan yang mana itu akan membuat saya sedikit kesulitan mendapatkan pekerjaan yang baru. Saya benar-benar memohon kepada anda, tolong jangan lakukan ini, Nyonya.” Wendy memohon dengan tatapan matanya yang melas, tangannya sudah terulur berharap bisa meraih tangan Violet, namun ekspresi wajah Violet membuatnya takut untuk bisa melakukannya. Violet tersenyum sinis, sudah tidak lagi mempan melihat kesedihan dan juga kekhawatiran yang d
“Aku tidak tahu harus mengatakan apa lagi. Mungkin, akan lebih baik jika kita memang terus berteman seperti sebelumnya. Sungguh, aku meminta maaf untuk apa yang aku lakukan padamu, Aruna.” ucap James, tertunduk lesu, dan merasa bersalah untuk sikapnya yang ada di luar kontrolnya. Aruna hanya bisa memaksakan senyumnya, nyatanya dia sendiri seperti menyesali apa yang terjadi. Lagi-lagi, pada akhirnya dia mengambil langkah bodoh yang membuatnya tersiksa. Seperti yang dikatakan Violet, bukan hanya jahat kepada James, Aruna bahkan jahat kepada dirinya sendiri. “Aruna, aku tahu kau pasti sangat kesal padaku. Tapi, aku pastikan apa yang terjadi kemarin tidak akan terjadi lagi di kemudian hari.” janji James. Aruna menghela nafas, menatap James dengan tatapan yang dalam. “James, kau benar-benar sudah melakukan banyak hal yang tujuannya adalah untuk membantuku. Namun, aku terlalu tidak tahu diri dan tidak tahu malu, aku jelas tidak bisa membalas semua kebaikan yang sudah kau lakuka
Aruna memutuskan untuk meninggalkan apartemen James, membawa Johnson tentu, dan satu koper pakaian milik mereka. “Maaf, James.” ucap Aruna. Pada akhirnya, pilihan seperti itulah yang bisa Aruna ambil. Dia bukan mengedepankan perasaan tidak nyaman dan tidak bahagia yang dirasakannya. Namun, Aruna melakukan semua ini atas permohonan kedua orang tuanya James. Tiga hari yang lalu, di apartemen James. Ibunya James bersujud di hadapan Aruna, tangannya mengatup dengan tatapan memohon. Ada air mata yang jatuh membasahi wajahnya, suara yang bergetar saat berbicara membuat hati Aruna merasakan sakit. “Aruna, keputusan James untuk menikahimu benar-benar membuat banyak pihak berang kepada kami. Perusahaan besar kami ini bisa sampai dengan titik sekarang karena bantuan dari perusahaan milik keluarganya Cecilia.” ucapnya masih dengan nada bicara yang gemetar. Mendengar itu, Aruna pun benar-benar tidak bisa banyak berkata-kata. “Kami sudah kehilangan jutaan dolar dalam wakt
Aruna terbangun dari tidur yang tidak nyenyak, keringat dingin membasahi keningnya. Ia merasa gelisah sejak pagi tadi karena Johnson sedang demam tinggi. Beberapa waktu terakhir ini, Johnson seringkali demam dan bahkan sampai mimisan dan lesu. Aruna merasa khawatir dan tidak bisa menahan kegelisahannya lagi. “Ini jelas tidak benar.” ucap Aruna saat menyentuh dahi Johnson, “dulu, Dokter bilang ini demam karena virus biasa, tapi demamnya jadi semakin sering.” Aruna mendesah dengan gelisah. Sudah cukup banyak berpikir, Aruna tidak mau membuang waktu. Bayi berusia 1 tahun setengah itu digendongnya dengan lembut, ia bergegas membawa Johnson ke rumah sakit untuk melakukan pemeriksaan lengkap dan mendetail. Hatinya berdebar-debar, ia takut ada yang tidak beres dengan kesehatan anaknya, namun harus dia hadapi. Sesampainya di rumah sakit, Johnson langsung ditangani. Setelah dokter menangani Johnson, Aruna menunggu dengan cemas di ruang tunggu. Entah mengapa, ia melihat
Aruna terjatuh duduk di lantai ruang tunggu rumah sakit, begitu hasil pemeriksaan lengkap anaknya diberikan padanya. Air matanya jatuh bercucuran, seperti air terjun yang tak terbendung. Hasil pemeriksaan itu membenarkan dugaan dokter sebelumnya, bahwa Johnson, anaknya yang baru berusia 1,5 tahun, mengidap leukimia stadium 2. “Ahhhhh” teriak Aruna histeris. “Kenapa harus Johnson, Tuhan?” Aruna memukuli dadanya, marah kepada dirinya sendiri, menganggap gagal sebagai seorang Ibu. Hatinya terasa seperti diremas-remas oleh kesedihan yang begitu mendalam. Ia tak bisa percaya bahwa Johnson, bayi kecil yang baru saja lancar berjalan itu, harus menghadapi penyakit mengerikan seperti leukimia. Kedua orang tua Aruna yang berada di sana juga merasakan kesedihan yang sama. Wajah mereka pucat pasi, dan mata mereka berkaca-kaca. Mereka berdiri di samping Aruna, tidak tahu harus berkata apa untuk menghibur hati anak mereka yang tengah hancur. Aruna bangkit dari duduknya dengan susah pa
“Jika kita kita membuang banyak waktu hanya untuk mengambil keputusan, Sepertinya itu akan sangat merugikan untuk kondisi Johnson, Aruna. Jangan lupa, Nyonya Alenta dan juga Tuan Edward harus terlibat dalam hal ini mengingat Johnson juga adalah cucu kandung mereka, bukan?” ucap Karem, berharap Aruna bisa lebih cepat mengambil keputusan karena keadaan Johnson juga bisa terbilang tidak baik-baik saja. Sejak bangun pagi tadi, tubuh Johnson ada beberapa bagian yang lebam, itu adalah salah satu pertanda dari leukimia. Aruna memejamkan matanya sejenak, mencoba mencari ketenangan diri, mengedepankan Johnson di atas segalanya. Benar, Johnson adalah kehidupannya, bagian terpenting dalam hidupannya. “Baiklah, aku akan melakukannya. Aku bersumpah akan melakukan segalanya, yang paling penting Johnson bisa mendapatkan kesembuhan, dan bisa menjalani kehidupan tanpa meras
Ron memegangi pipinya yang terasa sangat sakit, sebuah bogem mentah dilayangkan ke wajahnya oleh Edward beberapa saat lalu. Saat ini mereka tengah berada di ruang tengah, saling berhadapan dengan pemikiran masing-masing. “Ayah benar-benar sangat heran padamu, Ron. Bagaimana bisa kau yang selalu Ayah bangga-banggakan di setiap waktu, nyatanya justru semakin menjadi brengsek.” ujar Edward. Alenta menarik nafasnya, terlalu malas membuang waktu lagi. “Kau sibuk mabuk, tidak peduli apapun, tapi apakah kau tahu bahwa saat ini seseorang sedang sangat membutuhkan bantuanmu, hah?!” kesal Edward. Ron sama sekali tidak tertarik mendengar apa yang diucapkan oleh Edward, dia terlalu malas untuk mendapatkan sesuatu yang menurutnya tidak menarik sama sekali. “Ron, tegakkan wajahmu, ada hal penting yang harus kita bahas sekarang ini!” tegas Alenta. Ron memicingkan matanya, menatap jam din