Upacara pernikahan James dan Aruna digelar, sangat sederhana seperti yang mereka inginkan.
Hanya kedua orang tua Aruna, dan pamannya James saja. Alasannya adalah karena kedua orang tua James tidak memberikan Restu mereka. Tidak menjadi halangan, pada akhirnya pernikahan itu pun tetap terjadi. “Sekarang, kalian berdua sudah sah menjadi sepasang suami dan istri.” James tersenyum lebar, menunjukkan benar seberapa besar kebahagiaan yang dia rasakan karena akhirnya bisa menikahi wanita yang ia cintai selama ini. James dan Aruna berciuman bibir di hadapan semua orang, selama itu pula Aruna terus mencoba untuk tersenyum meski jantungnya berdebar aneh. Seharusnya dia merasa bahagia, anehnya Aruna justru merasa takut seolah permasalahan baru akan segera terjadi.“Aku benar-benar tidak tahu apa yang bagus darimu sampai-sampai putraku bahkan mengabaikan kami berdua hanya untuk menikahi mu.” tatapan mata ibunya James begitu tajam terarahkan kepada Aruna. Mendengar kalimat yang begitu tidak enak untuk didengar, Aruna pun hanya bisa terdiam dalam segala pemikirannya. Jelas dia pun sudah meminta James untuk memikirkannya berulang-ulang sebelum memutuskan untuk menikahinya. Aruna tidak menyangka bahwa setiap hubungan pasti akan memiliki kendala, tidak tahu dari mana arah datangnya. Tiba-tiba sajak Aruna merasa ragu, dia tidak ingin membuat James menjadi pria yang bertentangan dengan orang tuanya. Sadar diri, Aruna bukanlah sosok yang bisa diprioritaskan oleh James. “Putraku sudah bertunangan dengan putri dari pembisnis hebat, tapi hanya karena dia mengenalmu,
Malam itu, Reiner keluar dari kamarnya, berniat mengambil air di dapur. Violet sendiri juga tidak sedang tidur, menyusui Arabella. Sesampainya di dapur, ternyata ada Wendy di sana, entah apa yang dia lakukan Reiner juga tidak memperdulikannya. “Ada yang bisa saya bantu, Tuan Reiner?” ucap Wendy menawarkan bantuan dengan nada bicara yang lembut. Dengan segera Reiner menggelengkan kepalanya, jelas dia bisa mengambil air untuk dia minum sendiri tanpa bantuan dari orang lain. “Apa Nona kecil bangun, Tuan?” tanya Wendy, Sepertinya dia sengaja terus bertanya karena melihat Reiner sudah akan pergi dari dapur, seolah-olah dia merasa tidak rela terlalu cepat Reiner beranjak. “Iya, istriku sedang menyusuinya. Arabella, anak yang sangat pengertian, tidak terlalu menyusahkan saat malam hari.” jawab Reiner. We
Sebuah malam yang dingin, bercampur hujan deras yang turun. Sudah hampir satu pekan ini hujan selalu turun dengan derasnya, bahkan beberapa kali sampai ada badai hujan beberapa waktu yang lalu. Namun, meski begitu kegiatan panas yang ada di atas ranjang tak memperdulikan cuaca di luar sana. Reiner, pria itu menggila dengan keindahan rasa dari kegiatan bersama dengan Violet. Sudah tak ada lagi rasa canggung, Violet bahkan tak lagi memberikan penolakan seperti sebelumnya. Beberapa saat kemudian, kegiatan itu selesai, Arabella yang masih tidur nyenyak itu membuat Violet dan Reiner bisa beristirahat sejenak dengan nyaman. “Besok adalah ulang tahunmu, kita pergi makan malam bersama Arabella saja, ya,” ajak Reiner. Violet menganggukkan kepalanya, sejak melahirkan Arabella dia memang hampir tak pernah kelu
“Bangunlah, kau terlihat memiliki maksud yang tidak seharusnya,” peringat Reiner kepada Wendy. Mendengar itu, Wendy pun merasa gugup, segera dia bangkit. Sadar bahwa cara ia menggoda tidak mengena di hati Reiner, Wendy mulai memikirkan cara yang lain. Sejenak dia berpikir, mungkin saja Reiner adalah pria yang menyukai wanita polos. “Baiklah, aku akan mencobanya.” batin Wendy, tersenyum tipis, penuh maksud. “Tuan, apa saya melakukan kesalahan?” tanyanya, lagi-lagi menggunakan nada bicara yang sangat tidak nyaman untuk Reiner dengar. “Tidak penting, aku sama sekali tidak ingin menanggapi sesuatu yang menurutku tidak penting untuk dibahas.” jawab Reiner menohok. Wendy hanya bisa memaksakan senyumnya, menyadari benar bahwa Reiner adalah tipe pria yang sangat luar bia
“Maaf, Nyonya, Saya benar-benar hanya ingin membantu supaya Nyonya tidak terlalu lelah. Kalau malam hari, Nyonya sendiri yang menjaga Nona Arabella, sehingga Saya berpikir akan lebih baik kalau Saya membantu tentang hal kecil ini,” jawab Wendy. Mendengar itu, Violet pun hanya bisa menahan diri. Terlalu aneh, meskipun Wendy sudah memberikan alasan yang cukup masuk akal, entah mengapa violet masih tidak bisa mempercayainya. Mendengar itu, Reiner pun tersenyum tipis. Sebuah teguran kecil, namun Reiner merasa Violet sedikit memperdulikan tentang ucapannya, bisa juga Violet itu tengah merasakan cemburu. Setelah selesai sarapan, Reiner pun berangkat ke kantor. Sementara itu, kini Violet tengah berada di balkon apartemen, menjemput Arabella. Membiarkan sinar matahari memberikan hangatnya kepada Arabella,
“Aku benar-benar tidak menyangka kalau meeting dengan klien luar negeri sangat membutuhkan waktu yang sangat panjang, sekali lagi aku minta maaf karena tidak bisa menepati janjiku kepada paman dan juga bibi,” Ucap lagi gadis cantik itu. Ada senyum yang sangat manis timbul di bibirnya, tatapan matanya yang seolah menunjukkan betapa besar kehangatan yang dimiliki oleh wanita itu membuat semua orang seolah merasakan ketulusannya. James menghela nafas, tak lagi bisa mengerti dengan apa yang sebenarnya diinginkan oleh keluarganya. Gadis itu, namanya adalah Cecilia. Sebelumnya, Cecilia adalah pasangan James, hasil dari perjodohan antar keluarga. Namun, karena James tidak kunjung menemukan kecocokan terhadap wanita itu, ditambah lagi adanya Aruna, hati James seolah tak bisa terarahkan kepada wanita itu. Ibunya James tersenyum, dia m
“James, sepertinya kita cukup keterlaluan terhadap keluargamu.” ucap Aruna sembari menatap James yang kini tengah mengemudikan mobilnya. Mendengar itu, James benar-benar hanya bisa memaksakan senyumnya, tidak tahu harus bagaimana memberikan pengertian kepada Aruna, menggambarkan tentang keluarganya yang sebenarnya tidak seburuk itu. Aruna soalnya bisa mengerti apa yang sedang dipikirkan oleh James, dia memilih untuk tidak mengatakan apapun lagi selama dia masih fokus mengemudi. Mereka tiba di apartemen tempat kedua orang tua Aruna berada, menjemput Johnson yang mereka titipkan di sana. Setelah itu, mereka kembali ke apartemen yang mereka tinggali, milik James. Johnson sudah dalam keadaan tidur saat dijemput, jadi sesampainya di sana hanya perlu membaringkan bayi kecil itu ke tempat tidurnya. “Kau mau langsung mandi, atau aku buatkan teh lebih dulu, James?” tanya Aruna perhatian.
Plak! Tamparan keras dari Aruna itu membuat James terdiam membeku, seolah dia tersadar dari apa yang baru saja ingin dia lakukan terhadap Aruna. Sama seperti James, tamparan yang dia berikan kepada pria itu membuat Aruna terdiam dengan segala pemikirannya. Benar, James adalah suaminya, pantas dia mendapatkan apa yang ingin dia dapatkan barusan. Hanya saja, ekspresi, tatapan, dan cara bicara James terlalu mengingatkan Aruna kepada sosok Ron. James tersenyum, ada perasaan kesal, marah, dan kecewa atas apa yang dilakukan Aruna. Pada akhirnya, sepasang matanya yang memancarkan perasaan itu tertuju kepada Aruna lalu berkata, “Aku salah, tidak seharusnya aku melakukan ini. Harusnya, aku sadar diri siapa aku, dan bagaimana aku membujuk mu dengan begitu banyak janji.” ucap James pasrah. Aruna masih tidak tahu harus mengatakan apa, dia tengah sibuk mengutuk dirin
“Pendonoran sumsum tulang belakang 7 bulan yang lalu dinyatakan sukses, Tuan dan Nyonya.” ucap dokter yang selama ini menjadi dokter yang merawat Johnson. Aruna menangis haru, segera Ron memeluk bahagia istrinya itu. Edward juga langsung memeluk Alenta yang menangis haru, begitu juga dengan kedua orang tua Aruna yang ada di sana. Violet menyeka air matanya, Reiner mengusap kepalanya dengan lembut, lalu merangkulnya. Ada Arabella di gendongan Reiner yang tertidur pulas sejak tadi. “Tapi, untuk mengantisipasi kemungkinan dan bahkan selalu ada, di saat kelahiran bayi kedua anda nanti, pastikan untuk menyimpan darah tali pusat di rumah sakit, Nyonya dan Tuan.” saran dari Dokter itu. Aruna dan Ron menganggukkan kepalanya, dan akhirnya anggota keluarga besar saling berpelukan erat. Walaupun memang benar kemungkinan terburuk selalu ada, s
Anara menutup mulutnya menggunakan telapak tangan, matanya menatap benda mungil yang menjadi bagian dari kebahagiaannya. Alat penguji kehamilan yang menyatakan bahwa Aruna tengah hamil. “Ini benar-benar nyata, kan?” tanya Aruna, air matanya sudah mulai mengembung di pelupuk matanya. Padahal, 3 Minggu bersama Ron artinya pun dia sudah melewati 1 Minggu masa datang bulannya. Hanya saja, Aruna cukup stres dengan apa yang terjadi sekarang. Fokusnya benar-benar tertuju kepada Johnson, sampai dia tidak ada waktu untuk memikirkan yang lainnya. Tes! Jatuh sudah air mata Aruna, dia merasa bahagia karena bisa mengantisipasi hal buruk yang mungkin akan terjadi kepada Johnson. Mengenai donor sum-sum tulang belakang yang dijalani Ron dan Johnson beberapa waktu sebelumnya jelas
Ron merasakan denyut jantungnya yang berpacu kencang saat ruangan operasi dihiasi dengan suara bip mesin monitor yang terus menerus. Tangan Johnson yang lemah terkulai di samping tubuhnya, pucat dan tidak berdaya. Mata Ron berkaca-kaca saat dia menatap putranya yang terbaring tak sadarkan diri, berharap dan berdoa dalam diam bahwa semua ini akan membawa keajaiban untuk kesembuhan Johnson. “Johnson, sembuh lah....” Harap Ron di dalam hati, “jika menunggu adikmu terlalu lama, maka sembuhlah dengan cara ini, Ayah mohon. Ibumu pasti akan sangat menderita jika terjadi sesuatu padamu, berjuanglah terus, ya....” Dokter yang berpengalaman itu mengenakan sarung tangan sterilnya, seraya memeriksa kembali alat-alat medis yang telah disiapkan. Ron, dengan keberanian yang dipaksakan, berbaring di sisi lain ruangan yang sama, siap untuk mendonorkan sumsum tulang bela
“Maafkan aku, tapi semua ini terjadi juga di luar dugaan ku, James.” ucap Aruna jujur, berharap kejujurannya itu dapat dirasakan oleh pria itu. “Aku pikir, aku akan memulai hidup baru bersama Johnson dan kedua orang tuaku saja. Tapi, Johnson mengalami sakit yang benar-benar tidak ada dalam rencana ku, leukimia.” Mendengar itu, James pun terkejut, lupa untuk bernafas hingga beberapa saat. “Leukimia?” James benar-benar lemas, tidak menyangka kalau Johnson akan memiliki sakit mengerikan itu di usianya yang masih begitu kecil. “Kau benar-benar tidak sedang membohongiku, kan? Mana mungkin Johnson sakit seperti itu? Jangan bilang, kau cuma mengada ada supaya bisa menjalin hubungan dengan Ron lagi, Aruna,” harap James. Mendengar itu, jatuh sudah air mata Aruna. Ron, pria itu benar-benar seperti tidak tahu harus mengatakan apa. Jika membuat kebohongan seperti itu sangatlah mudah, maka
Aruna benar-benar menyuapkan makanan ke mulutnya Ron. “Makanlah....” Ron, pria itu benar-benar kehabisan kata-kata, padahal sudah bukan hanya satu atau dua kali dia menolak, dan meminta Aruna untuk fokus makan sendiri saja. Masih memangku laptop, pada akhirnya Ron membuka mulutnya, menerima suapan makanan dari Aruna. Nyut!!!! Nyeri, sungguh nyeri sekali dadanya. Kenapa begitu sakit? Ron seperti mendapatkan balasan dari luka yang dia berikan kepada Aruna, tertampar oleh fakta yang ada. Andai saja luka itu tidak pernah tertoreh, mungkinkah hubungan mereka akan lebih jujur dan diliputi kelegaan? Mata Ron memerah, pelupuknya sudah mulai dipenuhi dengan air mata. Melihat itu, Aruna menjadi bingung. Tidak ad
Mendengar permintaan maaf yang diucapkan oleh Ron, Aruna pun terdiam karena tidak tahu harus mengatakan apa. Tidak menyangka kalau pria yang dulu begitu angkuh dan juga arogan bisa mengucapkan kata ‘maaf’ namun dengan ekspresi yang begitu tulus. Tes! Tanpa sadar air mata Aruna terjatuh, luka yang seolah sudah sedikit sembuh kini terasa kembali. Semua rasa sakit yang diberikan oleh Ron kembali teringat olehnya. Melihat Aruna meneteskan air mata tanpa kata, Ron benar-benar semakin merasa bersalah. Dia seperti tengah menghianati dirinya sendiri, padahal menyakiti wanita bukanlah sesuatu yang biasa untuk dia lakukan. “Maaf, itu pasti sangat menyakitkan untukmu, bukan? Maaf, aku sungguh meminta maaf untuk apa yang terjadi, dan apa yang sudah aku lakukan padamu, Aruna.” Suara R
Ron merasakan beratnya kelopak matanya saat dia mengedipkan mata beberapa kali, mencoba untuk sepenuhnya terjaga. “Sudah mulai sore rupanya,” batin Ron. Ruangan itu dipenuhi oleh sinar sore yang menembus tirai, menciptakan pola cahaya dan bayangan yang bergerak pelan di dinding. Aruna, di sisi lain tempat tidur, tampak begitu damai dalam tidurnya. Rambutnya yang panjang terhampar di bantal, wajahnya tenang meski terlihat ada sedikit kelelahan yang tersisa. “Biarkan saja deh dia lanjut tidur,” gumam Ron. Dengan hati-hati, Ron menyelinap keluar dari selimut dan perlahan-lahan beranjak dari tempat tidur. Ia menatap jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 3 sore. Mereka telah terlewat makan siang, tetapi Ron tahu bahwa Aruna membutuhkan istirahat ini lebih dari apapun. Dengan langkah yang hampir tidak terdengar, d
Ron dan Aruna memutuskan untuk kembali ke rumah, sementara itu Edward dan Alenta tengah menemani Johnson. Sudah 2 hari full Ron dan Aruna di rumah sakit, walaupun ada saatnya Ron meninggalkan Aruna karena ada pekerjaan penting yang harus diselesaikan. Sesampainya di rumah, Mereka langsung masuk ke kamar. “Kau istirahat saja dulu, aku akan pergi ke luar sebentar. Ada yang harus aku kerjakan, mungkin cuma 1 jam saja.” ucap Ron, langsung mendapatkan anggukan setuju dari Aruna. Bergegas Ron mengganti pakaiannya, dia akan bertemu dengan Ben di kantor cabang karena dia beberapa dokumen yang harus ditandatangani oleh Ron. Sejenak meninggalkan Aruna, Ron menyelesaikan pekerjaannya secepat yang dia bisa. Selama dua hari di rumah sakit, Ron juga tidak bisa tidur nyenyak sama sekali. Johnson selalu menangis, lebih cengeng dari biasanya. Mungk
“Kamila, aku mengatakan kepada suamiku untuk membiarkan kau bekerja di perusahaannya karena aku merasa kasihan padamu. Padahal, bagian personalia mengatakan kau tidak dibutuhkan di perusahaan itu.” ujar Violet, tersenyum tak peduli kalau ucapannya barusan sangat tidak nyaman untuk Kamila dengar. Kamila menggigit bibir bawahnya, campur aduk perasaan. Dia tidak menyangka kalau Violet mengetahui banyak hal, namun memilih untuk tidak mengatakan apapun. “Sebenarnya, seberapa banyak hal yang tidak kau katakan padaku, Violet?” tanya Kamila, kali ini dia benar-benar terlihat emosi. Merasa dikhianati, namun sadar pula dia tidak berhak untuk menunjukkan secara jelas kemarahannya. Mendengar pertanyaan dari Kamila, sontak saja sorot mata Violet terarahkan padanya, “Kau sungguh ingin tahu?” Violet mendekati Kamila, “Hampir semua aku tahu, Kamila. Niat mu datang ke apartemen ku, dan kau y