Pertanyaan dari Abigail itu membuat Reiner terdiam membeku.
Matanya yang tidak fokus itu sudah cukup menjelaskan betapa tidak siapnya untuk menjawab pertanyaan tersebut.Violet tersenyum, tentu dia paham bahwa Reiner tidak akan mungkin memiliki perasaan cinta. Bahkan, kasihan pun sepertinya tidak ada di hati pria itu.“Kau terlihat bingung, tapi aku jadi bisa mengetahui jawabannya bahwa kau bahkan tidak bisa mengenali perasaanmu sendiri. Atau mungkin, Kau hanya tahu bersikap seolah kau mempedulikan istrimu, tapi kau tidak memiliki alasan yang berhubungan dengan hati, apa itu benar?” timpal Abigail.Keraguan yang terlihat di wajah Reiner sebenarnya Abigail cukup memahami hal itu.Reiner bingung bagiamana menggambarkan tentang perasaannya, dia tahu perasaan apa yang dia miliki sehingga dia harus mempertahankan Violet di sisinya. Violet menghela nafasnya, sungguh dia sudah lelah membuang-buang waktu untuk membicarakan hal yanSebulan kemudian, Aruna terduduk lesu di atas closed. Tubuhnya lemas, keringat bercucuran, dan matanya terpaku pada benda kecil yang memberinya kabar mengejutkan. “Hal gila macam apalagi ini? Apakah Tuhan masih belum ingin melepaskan ku, membiarkanku sedikit saja merasakan ketenangan?” tanya Aruna pelan, merasai denyut nyeri pada dadanya.Alat penguji kehamilan yang dipegangnya menunjukkan hasil positif. Aruna memutuskan untuk menggunakan alat tersebut karena dia belum juga datang bulan dan merasa tubuhnya aneh.“Pria brengsek itu, bagaimana bisa....” Aruna menggelengkan kepalanya. Tawa terlontar dari bibir Aruna, namun air mata seketika menetes di pipinya. Rasa sedih dan kekecewaan bercampur menjadi satu. Bagaimana mungkin dia mengandung anak dari pria yang sangat dibencinya?Aruna menggigit bibirnya, menahan rasa sakit dan marah yang semakin mendalam.Pikiran-pikiran buruk melintas di
Reiner merobek-robek dokumen perceraian yang dikirimkan Violet kepadanya. Kesal sekali, meskipun sudah mengetahui tentang dokumen perceraian itu, nyatanya Reinier masih saja merasa terkejut. Dia pikir, Violet tidak memiliki keberanian sebesar itu meskipun memang benar dia mendapatkan dukungan dari Edward dan juga Alenta. “Violet!” Reiner benar-benar merasa kesal, matanya menatap marah meski tak ada Violet di sana. “Violet, kau tidak akan mendapatkan perceraian seperti yang kau inginkan, aku tidak akan mengizinkan hal itu terjadi!”Masih merasa kurang puas karena emosinya tak kunjung mendapatkan pelampiasan, Reiner menghempaskan semua barang-barang yang ada di meja kerjanya dengan brutal. Tidak tahu sudah seberapa berantakan ruang kerja pribadinya itu, Reiner sungguh tidak memperdulikannya. Bahkan, laptop yang jatuh ke bawah juga justru dia tendang kuat-kuat sampai mental dan membentur dinding. Mencoba untuk menghub
Reiner membuka pintu apartemennya dengan geram setelah pulang dari pesta. Tangan kanannya mengepal erat, lalu dengan amarah yang memuncak, dia meninju dinding apartemen hingga membuat suara keras dan retak kecil. Bug!“Violet!” bentak Reiner hingga kepalan tangannya itu gemetar. Dia benar-benar kesal karena Violet, istrinya, kukuh untuk bercerai darinya. Mengingat Violet menamparnya di depan umum saat pesta tadi, Reiner merasa malu dan marah yang tak terkira.“Penghinaan ini tidak akan pernah aku lupakan, Violet! Kau pasti memiliki keberanian ini karena kau mendapatkan dukungan dari Abigail itu, bukan?” Reiner mengeraskan rahangnya. “Baiklah, Violet. Kau akan melihat sejauh apa aku dalam bertindak, kau tidak boleh menyalahkan aku!”Sebagai seorang CEO yang sukses, Reiner tidak pernah merasa direndahkan seperti itu. Dia adalah sosok yang selalu dihormati dan dikagumi oleh banyak orang, dan dia tidak bisa menerima perl
Pagi itu, langit cerah menyambut kedatangan Abigail dan Violet di kantor. Mereka berdua memasuki gedung dengan langkah mantap, persiapan yang matang telah mereka lakukan sebelumnya untuk pertemuan penting yang akan dihadapi siang nanti. Suasana kantor begitu sibuk dan penuh semangat, namun Abigail dan Violet tetap fokus pada tujuan mereka. Tak terasa, jam menunjukkan pukul 12 siang. Saatnya pertemuan dimulai. “Semoga meeting ini menghasilkan kesepakatan yang bagus ya, Violet.” ucap Abigail penuh harap. Mendengar itu, Violet pun tersenyum dan menganggukkan kepalanya. “Melihat dokumen kerja sama yang akan diperbincangkan ini, Saya cukup yakin bahwa perusahaan Tuan Abigail memiliki progres yang bagus, juga tidak menyodorkan keuntungan yang tidak masuk akal sehingga pembisnis yang sebenarnya tidak akan merasa cuma omong kosong saja.” Ucapan Violet barusan ben
Mendengar ucapan Alenta, Ron pun mengepalkan tangannya. Benar, sepertinya dia pun sanggup untuk menikahi Aruna. Namun, sorot mata Alenta menatapnya saat ini seperti tengah mencemooh hal itu. “Kau memukulinya hampir setiap hari, kau menghinanya, merendahkannya, memperlakukan seolah-olah dia bukanlah manusia yang memiliki akal sehat, dan ego yang bisa merasakan sakit.” Alenta tersenyum, namun kesan senyum yang ditunjukkan seolah luka mendalam begitu terasa di hatinya. “Jangan mencoba untuk mencari Aruna, biarkan dia hidup dengan tenang. Luka yang kau berikan padanya tidak akan pernah bisa menghilang biar sejuta kali kau terus mengucapkan kata maaf padanya. Ibu mohon.... Dia adalah gadis yang terhormat, anak yang dicintai oleh kedua orang tuanya dan juga keluarganya. Bebaskan dia, kau tidak berhak menghukum dia, kau bahkan bukan siapapun yang pantas untuk memberikan rasa sakit padanya.” Ron meninggalkan kediaman Alenta dan juga Edward setelah uca
Violet membasuh wajahnya dengan hati-hati, tidak terlalu banyak air violet jelas tidak ingin merusak riasan wajahnya yang digunakan malam itu. “Kenapa sih aku ngantuk sekali,” gerutu Violet. “Apa aku kelelahan, ya?” tanya Violet, bergumam seorang diri sembari menatap pantulan wajahnya pada cermin yang ada di wastafel, di depannya. Sudah akan bangkit meski merasa rasa kantuk itu belum hilang, Violet membalikkan tubuhnya. Namun, saat itu keterkejutannya benar-benar tidak bisa dielak. Seorang pria masuk ke dalam, tersenyum miring saat tatapan matanya bertemu dengan Violet. “Presdir Reiner, untuk apa kau masuk ke toilet perempuan?” tanya Violet, matanya menyalak marah. Mendengar pertanyaan itu, Reiner hanya tersenyum tanpa memiliki minat untuk menanggapinya. Dia berdiri tepat di hadapan Violet, matanya menatap penuh maksud membuat tubu
Violet termenung di tepi jendela, pikirannya melayang pada apa yang diucapkan Reiner saat demamnya tinggi beberapa waktu lalu. Namun, begitu Reiner sudah mulai bangun, demamnya juga sudah mulai turun, pria itu lagi-lagi terlihat menyebalkan bagi Violet. Violet meminta Reiner untuk memberitahu kode pintu supaya dia bisa keluar dari kamar hotel itu, tapi Reiner menolak dengan tegas. “Kita adalah suami istri, jadi bukan kesalahan jika kita berada di kamar hotel, bukan?” ucap Reiner sambil menatap Violet dengan ekspresi serius. Violet merasa kesal, dia menatap Reiner dengan mata yang berkobar. “Kau benar-benar tidak akan pernah bisa memahami betapa tidak nyamannya saat berada di dekatmu. Aku muak, rasanya kakiku gatal ingin cepat berlari menjauh!” Suara Violet terdengar meninggi. Reiner menatap Violet dengan tatapan yang tajam, waj
Violet mengerutkan dahinya, dia melihat begitu banyak panggilan suara yang berasal dari Abigail. Bahkan, sudah ada hampir 30 pesan dikirimkan pria itu padanya. “Mau kau angkat atau tidak?” tanya Reiner, dia lah orang yang pertama kali mengetahui ponsel violet ada yang menghubungi. Mendengar pertanyaan itu, Violet pun hanya bisa menghela nafasnya. Mau mengangkat telepon itu, rasanya Violet sendiri bingung apa yang harus dibicarakan kepada Abigail di depan Reiner. “Tidak usah, aku-” Violet melotot kaget, nyatanya Reiner menekan tombol untuk menerima panggilan telepon. “Ada apa, Tuan muda Abigail yang terhormat?” ucap Reiner begitu sambungan telepon terhubung. Violet mengulurkan tangannya, niatnya untuk merebut ponselnya dari tangan Reiner. Namun, Reiner justru lebih gesit sehingga tangan Violet tak