Selama beberapa hari Aruna berada di rumah sakit, Ron tak bisa sekalipun melihatnya.
Semua itu karena Alenta yang membatasi geraknya. Ruangan Aruna dijaga oleh dua orang bodyguard utusan Alenta. Selama itu pula, Ron pun menyadari jika selalu diikuti oleh orang yang pasti juga suruhan Alenta. Tidak bisa berbuat seperti yang dia inginkan, Ron masih akan diam. Namun, siang hari saat Ron tengah mengadakan meeting bulanan yang jelas itu sangat penting, salah satu pihak rumah sakit yang minta untuk selalu memberikan kabar tentang perkembangan kondisi Aruna memberikan kabar yang sangat mengejutkan. “Selamat siang, Tuan Ron. Maaf, mungkin pesan ini saya kirimkan saat anda sedang melakukan aktivitas yang penting. Namun, saya merasa kabar yang akan saya berikan juga penting. Nona Aruna sudah meninggalkan rumah sakit, dan saya sendiri tidak dapat mengetahuinya. Keadaan Nona Aruna saat dibawa masih beRon duduk termenung di ruang kerjanya, matanya melihat kosong ke arah luar jendela. Sudah satu minggu berlalu sejak Aruna menghilang, dan dia masih belum menemukan petunjuk apa pun tentang keberadaan Aruna. Dia bahkan telah menyewa dua detektif swasta tambahan untuk membantu pencarian, namun hasilnya tetap nihil.Kedua tangannya menggenggam erat-erat meja kerja, menahan rasa frustasi dan kekhawatiran yang menggebu-gebu dalam hatinya. “Aruna, aku cuma ingin tahu keadaanmu, kenapa sulit sekali untuk mendapatkannya? Sungguh, aku tidak memiliki niat buruk terhadapmu.”Dia merasa bersalah atas siksaan yang pernah diberikannya kepada Aruna dan ingin meminta maaf, tetapi dia tidak tahu bagaimana caranya jika Aruna sendiri entah kemana.Ron akhirnya mengambil keputusan untuk menghubungi Reiner, guna mendapatkan bantuan darinya. “Reiner, aku memerlukan bantuanmu. Aku sudah mencoba segala cara untuk menemukan Aruna, tapi semuanya gagal. Tolong, b
“Violet, mau sampai kapan kau terus berimajinasi dengan pikiran-pikiran aneh mu itu, hah?!” tanya Rainer yang sudah tidak sanggup lagi mendengarkan omong kosong Violet. Paham, saat ini Violet masih sangat kesal dengan apa yang dia dengar. Namun, Reiner sungguh tidak ada hubungannya dengan apa yang terjadi kepada Aruna. Kalaupun Reiner mengetahui Aruna berada di tangan kakaknya, jelas Reiner tidak memiliki hak untuk mengatur kehidupan Kakak laki-lakinya itu, kan? Ron yang salah, Reiner berharap hanya fokus saja kepada Ron sebagai tersangkanya, tidak usah melibatkannya segala. Violet masih menatap Reiner dengan tatapan yang penuh kemarahan, dia tidak akan mendengarkan apapun kalimat yang keluar dari mulut pria itu. “Terserah, apapun yang akan kau katakan, tidak akan pernah aku mau mendengarnya lagi!” teriak Violet. “Kau, adalah sebuah penyesalan yang tidak akan pernah berujung di dalam hidupku!” Mendengar itu, Reiner mengeraskan rahangnya. Padahal, semua ini dilakuk
Mendengar ucapan Violet, Abigail pun tersenyum puas. Masih membutuhkan proses yang panjang, Violet butuh bercerai dengan Reiner, dan pasti akan sulit mengingat pasangannya adalah seorang Reiner. Abigail cukup percaya diri untuk itu, dia jelas akan mengusahakan apapun untuk bisa mendapatkan hatinya Violet. “Baiklah, aku akan membantumu. Tapi, kau juga harus tahu benar bahwa tidak ada bantuan yang gratis, kan?” ujar Abigail. Sejak awal Abigail ingin menegaskan kepada Violet, dia tidak ingin besar kepala hanya dengan harapannya saja. Mendengar itu, Violet pun mengepalkan tangannya. Matanya yang menyiratkan keyakinan itu tidak dapat diredupkan. Dengan penuh keyakinan Violet menatap Abigail lalu berkata, “Baiklah, karena anda sudah menegaskan sejak awal maka saya juga hanya bisa memberikan penawaran yang sanggup untuk saya berikan. Saya bisa bekerja untuk perusahaan anda, menuruti semua perint
Reiner mengusap wajahnya dengan kasar, frustasi sekali karena tidak bisa menemukan Violet. Sudah empat hari, namun juga tidak ada kabar apapun tentang keberadaan wanita itu. Ingat ada meeting penting, Reiner putuskan untuk datang ke kantor saja dulu. Begitu datang ke kantor, langsung masuk ke ruangannya, Reiner melihat surat permohonan pengunduran diri yang bahkan sudah disetujui oleh Alenta dan juga Edward. Reiner terperangah tak percaya, surat pengunduran diri itu atas nama Violet. Marah, kecewa, dan merasa kedua orang tuanya terlalu ikut campur, Reiner langsung saja meremas surat pengunduran diri itu, membuatnya menjadi bola dan menghempaskan begitu saja. “Apa-apaan ini?!” Reiner kesal. Segera mengeluarkan ponselnya dari dalam saku celana, Reiner mencoba untuk
“Kenapa kau menempatkan aku sebagai tersangka utamanya, Violet?” tanya Reiner dengan tatapan matanya yang menekan, tak terima dengan sikap Violet yang semakin frontal dalam mengekspresikan kemarahannya. Violet tersenyum, namun jelas sekali kesannya Dia sangat kesal. Sudah berhari-hari dia mencoba untuk merenungkan apa yang terjadi, namun tetap saja berakhir dengan kebencian yang tertuju kepada Reiner, dan juga Ron.“Presdir Reiner,” panggil Violet, matanya menatap tajam kepada pria itu. “Andai saja kau mengatakan sejak awal keberadaan kakakku, dan apa yang dilakukan oleh kakakmu, mungkin saat ini aku akan bersimpuh di hadapanmu, berterima kasih sampai berlinangan air mata. Tapi, semuanya sudah sangat parah, kau juga ikut andil dalam semua ini.” Reiner mengepalkan tangannya, dia masih tidak bisa menerima semua itu. Pada intinya, bukan dia yang mencelakai Aruna, dia tidak ada sangkut pautnya dengan apa yang terjadi itu. “Kau b
Pertanyaan dari Abigail itu membuat Reiner terdiam membeku. Matanya yang tidak fokus itu sudah cukup menjelaskan betapa tidak siapnya untuk menjawab pertanyaan tersebut. Violet tersenyum, tentu dia paham bahwa Reiner tidak akan mungkin memiliki perasaan cinta. Bahkan, kasihan pun sepertinya tidak ada di hati pria itu. “Kau terlihat bingung, tapi aku jadi bisa mengetahui jawabannya bahwa kau bahkan tidak bisa mengenali perasaanmu sendiri. Atau mungkin, Kau hanya tahu bersikap seolah kau mempedulikan istrimu, tapi kau tidak memiliki alasan yang berhubungan dengan hati, apa itu benar?” timpal Abigail. Keraguan yang terlihat di wajah Reiner sebenarnya Abigail cukup memahami hal itu. Reiner bingung bagiamana menggambarkan tentang perasaannya, dia tahu perasaan apa yang dia miliki sehingga dia harus mempertahankan Violet di sisinya. Violet menghela nafasnya, sungguh dia sudah lelah membuang-buang waktu untuk membicarakan hal yan
Sebulan kemudian, Aruna terduduk lesu di atas closed. Tubuhnya lemas, keringat bercucuran, dan matanya terpaku pada benda kecil yang memberinya kabar mengejutkan. “Hal gila macam apalagi ini? Apakah Tuhan masih belum ingin melepaskan ku, membiarkanku sedikit saja merasakan ketenangan?” tanya Aruna pelan, merasai denyut nyeri pada dadanya.Alat penguji kehamilan yang dipegangnya menunjukkan hasil positif. Aruna memutuskan untuk menggunakan alat tersebut karena dia belum juga datang bulan dan merasa tubuhnya aneh.“Pria brengsek itu, bagaimana bisa....” Aruna menggelengkan kepalanya. Tawa terlontar dari bibir Aruna, namun air mata seketika menetes di pipinya. Rasa sedih dan kekecewaan bercampur menjadi satu. Bagaimana mungkin dia mengandung anak dari pria yang sangat dibencinya?Aruna menggigit bibirnya, menahan rasa sakit dan marah yang semakin mendalam.Pikiran-pikiran buruk melintas di
Reiner merobek-robek dokumen perceraian yang dikirimkan Violet kepadanya. Kesal sekali, meskipun sudah mengetahui tentang dokumen perceraian itu, nyatanya Reinier masih saja merasa terkejut. Dia pikir, Violet tidak memiliki keberanian sebesar itu meskipun memang benar dia mendapatkan dukungan dari Edward dan juga Alenta. “Violet!” Reiner benar-benar merasa kesal, matanya menatap marah meski tak ada Violet di sana. “Violet, kau tidak akan mendapatkan perceraian seperti yang kau inginkan, aku tidak akan mengizinkan hal itu terjadi!”Masih merasa kurang puas karena emosinya tak kunjung mendapatkan pelampiasan, Reiner menghempaskan semua barang-barang yang ada di meja kerjanya dengan brutal. Tidak tahu sudah seberapa berantakan ruang kerja pribadinya itu, Reiner sungguh tidak memperdulikannya. Bahkan, laptop yang jatuh ke bawah juga justru dia tendang kuat-kuat sampai mental dan membentur dinding. Mencoba untuk menghub
“Pendonoran sumsum tulang belakang 7 bulan yang lalu dinyatakan sukses, Tuan dan Nyonya.” ucap dokter yang selama ini menjadi dokter yang merawat Johnson. Aruna menangis haru, segera Ron memeluk bahagia istrinya itu. Edward juga langsung memeluk Alenta yang menangis haru, begitu juga dengan kedua orang tua Aruna yang ada di sana. Violet menyeka air matanya, Reiner mengusap kepalanya dengan lembut, lalu merangkulnya. Ada Arabella di gendongan Reiner yang tertidur pulas sejak tadi. “Tapi, untuk mengantisipasi kemungkinan dan bahkan selalu ada, di saat kelahiran bayi kedua anda nanti, pastikan untuk menyimpan darah tali pusat di rumah sakit, Nyonya dan Tuan.” saran dari Dokter itu. Aruna dan Ron menganggukkan kepalanya, dan akhirnya anggota keluarga besar saling berpelukan erat. Walaupun memang benar kemungkinan terburuk selalu ada, s
Anara menutup mulutnya menggunakan telapak tangan, matanya menatap benda mungil yang menjadi bagian dari kebahagiaannya. Alat penguji kehamilan yang menyatakan bahwa Aruna tengah hamil. “Ini benar-benar nyata, kan?” tanya Aruna, air matanya sudah mulai mengembung di pelupuk matanya. Padahal, 3 Minggu bersama Ron artinya pun dia sudah melewati 1 Minggu masa datang bulannya. Hanya saja, Aruna cukup stres dengan apa yang terjadi sekarang. Fokusnya benar-benar tertuju kepada Johnson, sampai dia tidak ada waktu untuk memikirkan yang lainnya. Tes! Jatuh sudah air mata Aruna, dia merasa bahagia karena bisa mengantisipasi hal buruk yang mungkin akan terjadi kepada Johnson. Mengenai donor sum-sum tulang belakang yang dijalani Ron dan Johnson beberapa waktu sebelumnya jelas
Ron merasakan denyut jantungnya yang berpacu kencang saat ruangan operasi dihiasi dengan suara bip mesin monitor yang terus menerus. Tangan Johnson yang lemah terkulai di samping tubuhnya, pucat dan tidak berdaya. Mata Ron berkaca-kaca saat dia menatap putranya yang terbaring tak sadarkan diri, berharap dan berdoa dalam diam bahwa semua ini akan membawa keajaiban untuk kesembuhan Johnson. “Johnson, sembuh lah....” Harap Ron di dalam hati, “jika menunggu adikmu terlalu lama, maka sembuhlah dengan cara ini, Ayah mohon. Ibumu pasti akan sangat menderita jika terjadi sesuatu padamu, berjuanglah terus, ya....” Dokter yang berpengalaman itu mengenakan sarung tangan sterilnya, seraya memeriksa kembali alat-alat medis yang telah disiapkan. Ron, dengan keberanian yang dipaksakan, berbaring di sisi lain ruangan yang sama, siap untuk mendonorkan sumsum tulang bela
“Maafkan aku, tapi semua ini terjadi juga di luar dugaan ku, James.” ucap Aruna jujur, berharap kejujurannya itu dapat dirasakan oleh pria itu. “Aku pikir, aku akan memulai hidup baru bersama Johnson dan kedua orang tuaku saja. Tapi, Johnson mengalami sakit yang benar-benar tidak ada dalam rencana ku, leukimia.” Mendengar itu, James pun terkejut, lupa untuk bernafas hingga beberapa saat. “Leukimia?” James benar-benar lemas, tidak menyangka kalau Johnson akan memiliki sakit mengerikan itu di usianya yang masih begitu kecil. “Kau benar-benar tidak sedang membohongiku, kan? Mana mungkin Johnson sakit seperti itu? Jangan bilang, kau cuma mengada ada supaya bisa menjalin hubungan dengan Ron lagi, Aruna,” harap James. Mendengar itu, jatuh sudah air mata Aruna. Ron, pria itu benar-benar seperti tidak tahu harus mengatakan apa. Jika membuat kebohongan seperti itu sangatlah mudah, maka
Aruna benar-benar menyuapkan makanan ke mulutnya Ron. “Makanlah....” Ron, pria itu benar-benar kehabisan kata-kata, padahal sudah bukan hanya satu atau dua kali dia menolak, dan meminta Aruna untuk fokus makan sendiri saja. Masih memangku laptop, pada akhirnya Ron membuka mulutnya, menerima suapan makanan dari Aruna. Nyut!!!! Nyeri, sungguh nyeri sekali dadanya. Kenapa begitu sakit? Ron seperti mendapatkan balasan dari luka yang dia berikan kepada Aruna, tertampar oleh fakta yang ada. Andai saja luka itu tidak pernah tertoreh, mungkinkah hubungan mereka akan lebih jujur dan diliputi kelegaan? Mata Ron memerah, pelupuknya sudah mulai dipenuhi dengan air mata. Melihat itu, Aruna menjadi bingung. Tidak ad
Mendengar permintaan maaf yang diucapkan oleh Ron, Aruna pun terdiam karena tidak tahu harus mengatakan apa. Tidak menyangka kalau pria yang dulu begitu angkuh dan juga arogan bisa mengucapkan kata ‘maaf’ namun dengan ekspresi yang begitu tulus. Tes! Tanpa sadar air mata Aruna terjatuh, luka yang seolah sudah sedikit sembuh kini terasa kembali. Semua rasa sakit yang diberikan oleh Ron kembali teringat olehnya. Melihat Aruna meneteskan air mata tanpa kata, Ron benar-benar semakin merasa bersalah. Dia seperti tengah menghianati dirinya sendiri, padahal menyakiti wanita bukanlah sesuatu yang biasa untuk dia lakukan. “Maaf, itu pasti sangat menyakitkan untukmu, bukan? Maaf, aku sungguh meminta maaf untuk apa yang terjadi, dan apa yang sudah aku lakukan padamu, Aruna.” Suara R
Ron merasakan beratnya kelopak matanya saat dia mengedipkan mata beberapa kali, mencoba untuk sepenuhnya terjaga. “Sudah mulai sore rupanya,” batin Ron. Ruangan itu dipenuhi oleh sinar sore yang menembus tirai, menciptakan pola cahaya dan bayangan yang bergerak pelan di dinding. Aruna, di sisi lain tempat tidur, tampak begitu damai dalam tidurnya. Rambutnya yang panjang terhampar di bantal, wajahnya tenang meski terlihat ada sedikit kelelahan yang tersisa. “Biarkan saja deh dia lanjut tidur,” gumam Ron. Dengan hati-hati, Ron menyelinap keluar dari selimut dan perlahan-lahan beranjak dari tempat tidur. Ia menatap jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 3 sore. Mereka telah terlewat makan siang, tetapi Ron tahu bahwa Aruna membutuhkan istirahat ini lebih dari apapun. Dengan langkah yang hampir tidak terdengar, d
Ron dan Aruna memutuskan untuk kembali ke rumah, sementara itu Edward dan Alenta tengah menemani Johnson. Sudah 2 hari full Ron dan Aruna di rumah sakit, walaupun ada saatnya Ron meninggalkan Aruna karena ada pekerjaan penting yang harus diselesaikan. Sesampainya di rumah, Mereka langsung masuk ke kamar. “Kau istirahat saja dulu, aku akan pergi ke luar sebentar. Ada yang harus aku kerjakan, mungkin cuma 1 jam saja.” ucap Ron, langsung mendapatkan anggukan setuju dari Aruna. Bergegas Ron mengganti pakaiannya, dia akan bertemu dengan Ben di kantor cabang karena dia beberapa dokumen yang harus ditandatangani oleh Ron. Sejenak meninggalkan Aruna, Ron menyelesaikan pekerjaannya secepat yang dia bisa. Selama dua hari di rumah sakit, Ron juga tidak bisa tidur nyenyak sama sekali. Johnson selalu menangis, lebih cengeng dari biasanya. Mungk
“Kamila, aku mengatakan kepada suamiku untuk membiarkan kau bekerja di perusahaannya karena aku merasa kasihan padamu. Padahal, bagian personalia mengatakan kau tidak dibutuhkan di perusahaan itu.” ujar Violet, tersenyum tak peduli kalau ucapannya barusan sangat tidak nyaman untuk Kamila dengar. Kamila menggigit bibir bawahnya, campur aduk perasaan. Dia tidak menyangka kalau Violet mengetahui banyak hal, namun memilih untuk tidak mengatakan apapun. “Sebenarnya, seberapa banyak hal yang tidak kau katakan padaku, Violet?” tanya Kamila, kali ini dia benar-benar terlihat emosi. Merasa dikhianati, namun sadar pula dia tidak berhak untuk menunjukkan secara jelas kemarahannya. Mendengar pertanyaan dari Kamila, sontak saja sorot mata Violet terarahkan padanya, “Kau sungguh ingin tahu?” Violet mendekati Kamila, “Hampir semua aku tahu, Kamila. Niat mu datang ke apartemen ku, dan kau y