Salah satu rumah makan di daerah Bogor itu tampak ramai oleh pengunjung dari berbagai kalangan. Mungkin karena harganya yang terjangkau dan rasa yang lezat, membuat tempat itu tidak pernah sepi. Selain itu para pelayan di sana masih muda dan cantik-cantik sehingga, menjadi daya pikat sendiri untuk membuat para pelanggan datang lagi.
Puspa Sari adalah seorang pelayan di sana. Gadis berusia 20 tahun itu cantik dan berkulit putih bersih. Banyak lelaki yang suka kepada Sari bahkan ada yang mengajaknya untuk menikah, tetapi dengan tegas gadis itu menolaknya karena kebanyakan para pria penggodanya adalah lelaki yang sudah beristri, meskipun Sari dijanjikan akan diberi uang yang banyak. Ia tetap tidak mau menjual harga dirinya demi harta.“Ce, Sari mau pinjam uang dua ratus ribu,” ujar Sari kepada Ce Lilis pemilik warung makan.“Apa kamu mau pinjam uang lagi Sari?” tanya Ce Lilis dengan serius.“Iya Ce, buat biaya abah berobat,” jawab Sari sambil tertunduk.Ce Lilis tampak menarik nafas panjang sambil menatap Sari dengan prihatin. Ia tahu jika Sari menjadi tulang punggung keluarganya. Jika saja Ce Lilis punya anak perjaka, pasti ia sudah meminta gadis itu untuk menjadi menantunya.“Sari apakah kamu tidak mau mengubah nasib?” tanya Ce Lilis dengan serius.Sari tampak tidak mengerti dengan pertanyaan bosnya itu, kemudian ia pun balik bertanya, “Maksud Ce Lilis apa?”“Jika kamu mau, aku bisa membantumu untuk mendapatkan hidup yang lebih layak,” iming Ce Lilis yang sangat menggiurkan.“Tidak, Ce, terima kasih,” tolak Sari seolah tahu arah pembicaraan Bosnya.Begitu pun dengan Ce Lilis yang mengerti jalan pemikiran Sari sehingga ia pun bertanya, “Kamu lihat pria yang tadi duduk di pojokkan?” Yang dijawab anggukan oleh Sari, “Lelaki itu sedang mencari calon istri. Dia masih lajang juga mapan dan berani memberi mahar 50 juta, jika kamu mau menjadi pendampingnya,” tuturnya yang membuat Sari sangat terkejut mendengar hal itu.Sejenak Sari terdiam ia tampak berpikir lalu menjawab dengan apa adanya, “Sari belum siap untuk menikah muda Ce. Lagi pula mana ada pria kaya yang mau menikah dengan gadis kampung seperti saya, kalau bukan karena sesuatu.”Ce Lilis tampak mengangguk, sepertinya Sari gadis yang tidak mudah percaya begitu saja. Kemudian ia memberikan dua lembar uang merah kepada gadis itu sambil berpesan, “Ingat Sari, kesempatan tidak datang dua kali! Oh ya, bulan depan kamu tidak gajian ya.” Ce Lilis mengingatkan kembali. Sari segera menerima uang itu sambil mengangguk.***Malam mulai merambat jauh ketika Sari sampai di rumah. Untung ia punya teman dekat bernama Bayu yang selalu mengantar jemputnya bekerja. Selain itu Bayu adalah seorang pemuda yang baik dan sopan. Sehingga Sari merasa aman jika pulang malam dan tidak perlu mengeluarkan ongkos karena Bayu ikhlas tanpa pamrih.“Mampir Kang?” tanya Sari ketika turun dari motor.“Lain waktu saja, salam untuk abah dan ambu ya!” tolak Bayu dengan halus.Sambil mengangguk Sari pun mengucapkan, “Terima kasih ya Kang, hati-hati di jalan!” terlihat seulas senyum dari bibir Sari yang mungil.“Sama-sama,” jawab Bayu sambil membalas senyum manis itu kemudian ia memacu motor giginya dengan perlahan.Sari tampak memandangi Bayu sampai hilang di kegelapan malam. Lalu ia berbalik dan melangkah masuk ke rumah sambil mengucapkan, “Assalamualaikum ...."“Waalaikumsalam ..,” jawab Bu Asih ibunda Sari.“Bagaimana kondisi Abah, Bu?” tanya Sari sambil menatap ayahnya yang terbaring lemah.“Semakin buruk,” jawab Bu Asih terlihat sedih.Kemudian Sari mengeluarkan uang dan memberikan kepada ibunya seraya berkata, “Ini ada uang untuk berobat Abah.”Bu Asih menerima uang itu dan mengucapkan, “Alhamdulillah ….”Namun, Sari masih melihat ibunya sedang memikirkan banyak beban. Kemudian ia pun bertanya, “Kurang ya Bu?”Bu Asih menarik senyum getir dan menjawab, “Mudah-mudahan cukup.”Tiba-tiba dua orang adik Sari yang masih duduk di SLTA dan SLTP datang mengadu.“Teh, Ning belum beli buku pelajaran,” ujar Ningsih si bungsu memberitahu.“Aku juga belum bayar uang ujian, Teh.” Jaka berkata dengan raut wajah yang murung.Sari tampak menghela nafas panjang, kepalanya terasa pusing ia tidak tahu harus mencari pinjaman ke mana lagi. Untuk membuat kedua adiknya senang gadis itu kemudian berjanji, “Sabar ya! Teteh akan lunasi semuanya.”“Kapan? Dari kemarin Teteh selalu bilang sabar terus,” celetuk Jaka meminta kepastian.“Sudah biarkan Teteh istirahat dulu! Besok ambu akan bayar sedikit,” seru Bu Asih yang membuat kedua anaknya terdiam dan berlalu.Setelah membersihkan diri, Sari tampak merebahkan tubuhnya di kasur. Gadis itu tampak menerawang ke langit-langit kamar. Tanpa terasa ia pun tertidur tanpa berkeluh kesah dengan beban hidup yang ditanggungnya.***Mentari tampak meninggi, cahayanya yang hangat memancar ke seluruh penjuru alam. Membelai lembut setiap tetesan embun di rerumputan lalu membawanya entah ke mana.Sari tampak giat sekali bekerja, gadis cantik itu terlihat bersemangat sekali untuk mencari rezeki. Ia berharap hari ini ada pengunjung yang memberinya tips. Hanya itulah satu-satu harapan karena gajinya sudah di potong untuk membayar utang semua.Tiba-tiba ponsel lamanya berdering dengan sigap gadis itu menerima panggilan masuk yang ternyata dari ibunya. [Halo Bu, ada apa?] tanya Sari membuka pembicaraan.[Sari, Abah kritis dan harus dioperasi,] sahut Bu Asih dengan suara yang terisak.[Ibu yang tenang ya! Sari akan cari pinjaman,] janji Sari dalam kepanikan.Tidak lama panggilan itu pun berakhir, Sari tampak memasukkan ponselnya kembali. Gadis itu terlihat bingung ia tidak tahu harus mencari pinjaman ke mana lagi. Tanpa berpikir panjang, Sari segera mencari pemilik warung untuk meminta bantuan. Ketika bertemu dengan Ce Lilis, Gadis itu pun mengutarakan maksud kedatangannya.“Maaf ya, Sar, Ce Lilis tidak bisa membantu karena baru kemarin kirim uang untuk Teh Gendis di kota.”“Tolong saya Ce, Sari tidak tahu harus minta bantuan kepada siapa lagi.” Sari tampak memohon kepada bosnya itu.Ce Lilis tampak berpikir sejenak untuk mencari jalan keluarnya lalu ia pun berkata, ”Tidak ada cara lain Sar, kecuali kamu mau menerima tawaran Ce Lilis waktu itu."Tanpa berpikir panjang Sari pun mengambil jalan pintas, “Baiklah Ce, Sari mau.”“Kamu yakin?” tanya Ce Lilis ketika Sari menyatakan menerima tawarannya tempo hari.“Iya ce, tapi saya minta maharnya dibayar di muka.” Sari mengajukan syarat karena terdesak.Kemudian Ce Lilis mengeluarkan ponselnya dan menghubungi seseorang. Lalu ia terlibat percakapan serius. Tidak lama kemudian pembicaraan pun itu berakhir.“Lelaki itu setuju, sebentar lagi ia akan datang untuk membawa uangnya,” ujar Ce Lilis memberitahu.Entah Sari harus merasa senang atau sedih yang pasti ia berharap abahnya bisa segera dioperasi.Beberapa jam kemudian seorang lelaki datang. Ce Lilis tampak menyambut dan mereka terlibat percakapan dengan serius. Pria hitam manis itu sempat menoleh ke arah Sari dengan seulas senyum.“Ini uangnya baru 50 juta Sari, sekarang tanda tangani kuitansi penerimaannya,” tutur Ce Lilis sambil menyodorkan sebuah amplop coklat dan selembar kertas kepada Sari.Dengan tangan gemetar sari menerima amplop itu sambil membubuhkan tanda tangannya. Ia berharap keputusannya ini benar karena tidak punya pilihan lagi. Demi keluarganya Sari pun terpaksa harus menikah di usia yang masih muda.Kemudian pria itu pun pergi tanpa memperkenalkan diri, tetapi ia berjanji akan menemui Sari secepatnya. Sari pun pamit untuk pulang karena harus segera ke rumah sakit.Ketika sampai di rumah sakit, Sari segera menemui ibunya yang sedang menangis tersedu."Bu, Sari sudah membawa uangnya," ujar Sari memberitahu."Sari, a-abah ...," Bu Asih segera memeluk putrinya dengan erat."Abah kenapa, Bu?" tanya Sari penuh khawatir."Abah sudah tiada Sari, hu .., hu ..." Bu Asih memberitahu kabar duka itu.Sari sangat terkejut mendengarnya, air matanya jatuh berderai."Abah ..., hu .., hu ....” Tangis Sari pun akhirnya pecah.***Mentari tampak cerah, angin pun berembus lembut, menggugurkan bunga-bunga Kamboja di atas tanah makam. Sari tampak mengusap batu nisan abah dengan perlahan. Dirinya sangat sedih, kehilangan sosok ayah yang sangat penyayang dan sabar."Abah beristirahatlah dengan tenang! Sari berjanji akan bekerja dengan rajin. Untuk menyekolahkan Ningsih dan Jaka agar kelak mereka jadi orang," janji Sari dengan sepenuh hati.Gadis itu kemudian melangkah pergi dengan menggenggam sebuah tekad yang kuat. Ketika sampai di rumah, Sari mendengar percakapan dari beberapa orang."Bu Asih, hutang-hutang abah siapa yang bayar?" tanya seorang perempuan paruh baya."Iya, sabar ya ibu-ibu! nanti saya akan lunasi," jawab Bu Asih dengan tidak tahu pasti."Yah, bagaimana kalau ibu jual saja rumah ini!" saran seorang lelaki tua."Jangan Pak, nanti kami mau tinggal di mana?" tolak Bu Asih dengan pilu."Saya akan bayar semua hutang-hutang abah, tunggu sebentar!" seru Sari sambil masuk ke dalam kamar.Sari membuka lemari dan mengambil sebuah amplop coklat. Sebenarnya ia ingin mengembalikan uang itu. Namun, sepertinya gadis itu tetap harus berkorban demi keluarga.BERSAMBUNGMentari baru saja menyingsing ketika Sari berjalan menuju ke rumah. Angin membelai lembut wajahnya yang masih dirundung duka. Tampak sesekali gadis cantik itu merapikan poninya yang menari.“Jadi besok kamu baru mulai kerja?” tanya Bayu ketika mereka berjalan beriringan.“Iya Kang, aku tidak enak sama Ce Lilis kalau kelamaan libur,” sahut Sari sambil meniti langkahnya.“Ya sudah besok kamu, aku antar jemput seperti biasa,” timpal Bayu yang dijawab anggukan oleh Sari.Bayu pun berangan jika saja ia sudah punya tabungan cukup, ingin rasanya segera meminang Sari dan menjadi pelindung serta membahagiakannya.“Kang.” Sari memanggil Bayu sehingga membuyarkan angan pemuda itu.“Iya ada apa?” tanya Bayu menghentikan langkahnya.“Sudah sampai, mau mampir?” tanya Sari sambil tersenyum manis.Bayu pun mengangguk, tetapi ketika baru beberapa langkah mereka melihat sebuah mobil berhenti di depan rumah Sari.“Sepertinya ada tamu, besok saja aku mampirnya,” ujar Bayu dengan tidak enak hati.“Baikla
Sari segera berdiri dan menghampiri ketika Damar hendak pergi dari tempat itu seraya berseru, “Tunggu Kang Damar!”Damar segera menghentikan langkahnya dan berbalik menghadap Sari.“Kenapa Kakang menipu ambu dan Sari?” tanya gadis itu sambil menatap Damar dengan serius.“Apa bedanya, mau sekarang atau besok kamu memang harus menikah kan?” Damar balik bertanya dan berkelit.“Tapi tidak seperti ini caranya, Kang!” protes Sari tidak terima dengan perlakuan Damar kepadanya.“Aku kan sudah bilang kamu akan dijadikan istri.” Damar berkilah sambil melihat Sari acuh tak acuh “Tetapi kenapa dengan lelaki itu?” tanya Sari yang merasa tertipu.“Karena Tuan Adamlah yang menginginkan kamu menjadi istrinya. Sekarang layanilah tuan dengan baik! atau kau akan mendapat amarahnya,” ancam Damar dengan serius. “Bawa ia segera ke kamar tuan, Bi!” seru pria itu berlalu dan pergi meninggalkan Sari yang hanya bisa menangis sambil terduduk.‘Nasi sudah menjadi bubur’ mungkin itulah peribahasa yang tepat unt
Sari terlihat gembira ketika Bi Euis membawa pesanannya, seperti sebuah Al-Quran dan mukena berwarna putih. Gadis itu ingin melaksanakan kewajibannya di mana pun dirinya berada. Sari tampak khusyuk menjalankan salat magrib setelah itu dilanjut membaca Al-Quran, sampai azan isya berkumandang.Tok ..! Tok ..! Terdengar suara ketukan pintu, tidak lama kemudian Bi Euis masuk sambil membawa makan malam untuk Sari. Wanita paruh baya itu tampak menunggu sesaat sampai Sari menyelesaikan salat isyanya.“Selamat malam, Nyonya,” ucap Bi Euis ketika melihat Sari membuka mukena.“Bi Euis,” sapa Sari dengan seulas senyum yang mengembang.“Saya membawakan makan malam,” ujar Bi Euis memberitahu, “Apakah ada barang yang Nyonya inginkan lagi?” tanya Bi Euis kemudian.Sambil menatap barang-barang di hadapannya, Sari pun menjawab, “Tidak ada Bi, ini sudah lebih dari cukup bagiku. Terima kasih sudah dibawakan makan, maaf kalau saya jadi merepotkan,” ucapnya dengan santun.“Tidak apa-apa, ini sudah kewaj
Hari demi hari tubuh Sari mulai pulih, sakit dan perih yang dirasakan berangsur hilang. Ia yang biasanya lebih memilih berdiam diri di kamar kini mulai merasakan jenuh. Setelah berpikir, akhirnya Sari memberanikan diri untuk keluar dari kamar karena dalam perjanjian itu dirinya tidak boleh meninggalkan vila. Jadi ia merasa tidak melanggarnya larangan Tuan Adam.Gadis itu mulai menyelusuri setiap ruang di dalam vila, walaupun dirinya tidak mengerti barang seni dan antik. Namun, Sari tahu jika barang-barang di tempat ini mahal dan mewah. Ia pun jadi semakin penasaran dengan jati diri Tuan Adam, apa pekerjaan dan tentu asal usulnya.Sari terus mengikuti ke mana kakinya melangkah hingga, sampai di bagian dapur. Di sana terlihat Bi Euis yang sedang sibuk memasak, pasti untuk Sari tentunya.Melihat Bi Euis yang repot sendirian, Sari segera menghampiri seraya bertanya, “Boleh saya bantu Bi?”Seketika Bi Euis pun menoleh dan tampak terkejut atas kedatangan Sari. Kemudian ia balik bertanya
Adam Al Razi adalah seorang pengusaha berusia 28 tahun. Lelaki berdarah Turki-Indonesia itu merupakan seorang introvert. Selain itu dia sangat gila dalam bekerja, entah sudah berapa banyak kekayaan yang dimilikinya. Dalam usianya yang terbilang masih muda, sepak terjang Tuan Adam dalam dunia bisnis sudah tidak diragukan lagi.Tuan Adam sangat menjaga privasinya, maka dari pada itu ia tidak punya banyak teman. Hanya beberapa relasi bisnisnya saja. Jadi tidak ada yang tahu secara dalam mengenai jati diri Tuan Adam sebenarnya. Lelaki itu bisa dibilang sangat misterius sekali.Sebagia lelaki normal untuk memenuhi kebutuhan biologisnya, Tuan Adam tidak mau melakukan sex bebas karena ia sangat berpegang teguh pada prinsip dan keyakinannya. Maka daripada itu, Tuan Adam menyuruh Damar untuk mencari wanita yang bisa dinikahinya sementara karena tidak mau terikat dalam pernikahan yang sah secara hukum.“Tuan, mau saya carikan wanita yang seperti apa?” tanya Damar ketika baru bekerja untuk Tuan
Mentari baru saja terbit di ufuk timur, sinarnya yang hangat menerangi indahnya langit biru.Sari tampak menyaksikan semua itu dari balik jendela kamarnya. Ia pun berandai jika punya sayap seperti burung. Pasti dirinya bisa pergi dari tempat ini dan tidak akan kembali lagi. Seketika hembusan angin segar menerpa wajah cantik Sari. Membuyarkan angannya yang tidak mungkin terwujud.Tiba-tiba Sari merasa lapar. Ia segera keluar dari kamar tanpa menunggu Bi Euis datang mengantarkan sarapan. Sari melihat Bi Euis sedang memasak dan segera membantu seperti biasa.“Bi Euis, masak apa?” tanya Sari sambil menghampiri.“Masak bubur untuk Tuan yang sedang tidak enak badan,” jawab Bi Euis.“Apa? Tuan sakit?” tanya Sari dengan terkejut karena semalam Tuan Adam tampak sehat-sehat saja.“Sepertinya begitu,” jawab Bi Euis sambil mengaduk bubur di panci. Tiba-tiba wanita itu merasa kepalanya pusing.Melihat Bi Euis yang gontai Sari segera memegang wanita itu seraya bertanya, “Bi Euis kenapa?” “Tidak ap
Malam semakin larut, di dalam kamar Tuan Adam, Sari sedang menemani suaminya yang masih demam. “Panas sekali,” ujar Sari sambil menempelkan tangannya ke dahi Tuan Adam. Sari kemudian mengambil handuk kecil dan membasahi, lalu menaruh di dahi suaminya. Tuan Adam tidak bergeming dengan mata terpejam. Sambil merasakan tubuhnya yang panas tinggi.“Bagaimana kondisi Tuan, Neng?” tanya Bi Euis ketika melihat Tuan Adam yang terbaring lemah.“Masih panas Bi, padahal tadi Tuan sudah minum parasetamol,” jawab Sari dengan pelan karena takut menganggu.Bi Euis tampak terdiam dan merasa heran karena selama bekerja dengan Tuan Adam, belum pernah majikannya itu sakit seperti ini. Kemudian Bi Euis pun berkata, “Kita tunggu sampai besok, kalau kondisi Tuan Adam tidak juga membaik. Baru bibi akan panggil dokter untuk memeriksanya."Sari mengangguk menyetujui saran dari Bi Euis. Tidak lama kemudian ia melihat wanita paruh baya itu tampak menguap. Lalu dirinya pun berseru, “Bibi kalau sudah mengantuk t
Ketika malam tiba, Sari segera datang ke kamar Tuan Adam seperti biasanya. Ia terlihat gemetar membayangkan pria itu akan menggauli dengan kasar lagi. Sesampai di depan ranjang, Wanita itu tertegun karena tidak mendapati suaminya berada. Matanya kemudian menelisik sekeliling kamar.“Aku di sini, kemarilah!” seru Tuan Adam dari atas balkon.Sari segera menuju balkon dan menghampiri Tuan Adam yang sedang menatap ke langit. Di mana tampak purnama bersinar terang, berpadu dengan taburan bintang. Menjadikan malam ini begitu indah dipandang mata. Sampai beberapa saat, Tuan Adam masih tidak bergeming menatap rembulan, entah apa yang didapatkannya. Sementara itu bagi Sari, keindahan sesungguhnya adalah yang tampak di mata. Sungguh hatinya berdecak kagum melihat mahluk ciptaan Allah yang satu ini. Begitu sempurna secara pisik dan tiada cela. Ia bahkan tidak berkedip sedikit pun menatap Tuan Adam, sambil membiarkan getar-getar cinta yang mulai tumbuh di hatinya.“Jangan menatapku seperti itu
"Memakai hijab itu adalah salah satu kewajiban muslimah demi menjaga auratnya. Tapi mengenakan kerudung itu harus berdasarkan keimanan bukan karena sesuatu hal. Misalnya untuk menarik perhatian orang agar terlihat lebih baik," ujar Azza menjelaskan setelah mendengar keinginan Jelita yang mau memakai hijab. Jelita kemudian menegaskan,"Oh seperti itu, jadi kalau hati kita belum mantap sebaiknya jangan berhijab dulu?" "Boleh-boleh saja untuk belajar. Tapi amat disayangkan, kalau kita sudah memakai hijab karena alasan tertentu lalu melepasnya kembali, miris melihatnya," ujar Azza yang juga memberitahu bagaimana sikap seorang muslimah terutama dalam menjaga aurat dan pandangannya. "Ya sudah kalau begitu aku mau belajar sekarang," ujar Jelita dengan antusiasnya. Mendengar itu Azza tampak senang sekali dan mengajak, "Boleh, ayo sini aku ajarkan memakai hijab!" Azza kemudian memilah koleksi hijabnya dan mulai mengajarkan Jelita cara memakainya. "Masya Allah, kamu cantik sekal
"Jelita mana Tante?" tanya Fatih sambil mencari gadis itu dengan kedua mata elangnya. Dengan tetap tenang Tante Windi menjawab, "Ada di kamar sedang istirahat. Duduklah Fatih, sepertinya kita harus bicara!" Fatih segera duduk di sofa berhadapan dengan Tante Windi."Menurut Tante, kamu fokus saja urus perusahaan. Soal Jelita biar Tante yang tangani. Dia sudah dewasa Fatih, jadi sudah berani membangkang dan bisa melakukan perbuatan lebih nekat lagi, kalau terlalu dikekang!" ujar Tante Windi memberikan masukan ketika Fatih datang untuk menjemput Jelita.Fatih tampak berpikir sesaat dan menurut saran dari Tante Windi ada benarnya juga. Dengan tinggal di rumah ini, ia bisa bekerja dengan tenang dan tidak perlu khawatir lagi. "Baiklah, aku setuju Jelita tinggal bersama Tante. Tapi aku akan menambah beberapa orang keamanan lagi," ujar Fatih menyetujui."Oke, demi Jelita kamu boleh memperketat keamanan untuknya!" ujar Tante Windi sambil mengangguk kecil. "Sebelum pulang, aku mau bicara e
"Kamu harus pulang Nak, agar keluarga Jelita tidak cemas!" saran Sari setelah mendengar cerita Jelita.Jelita langsung terlihat sedih dan memohon, "Tolong Bu, izinkan aku menginap beberapa hari lagi!"Sari segera membelai kepala Jelita seraya berkata, "Maaf Nak, ibu dan abi bukan tidak suka kamu menginap di rumah kami. Tapi tanpa izin dari orang tua, kamu akan dianggap hilang. Jadi sebelum mereka lapor polisi sebaiknya kamu pulang dulu. Nanti boleh menginap lagi di sini kapan pun."Jelita tampak menghela napas panjang. Ia mana mungkin diizinkan menginap di rumah orang lain. Keluar dari pintu gerbang rumah saja dilarang. Gadis itu terus berpikir agar bisa tinggal lebih lama lagi di rumah ini. "Ya sudah, boleh aku pinjam telepon, untuk menghubungi mami di rumah?" pinta Jelita yang dijawab anggukan oleh Sari. Setelah dipinjami telepon, Jelita segera menjauh untuk menghubungi keluarganya. Jelita tentu tidak mau merepotkan Yusuf dan keluarganya yang begitu baik. Ia akan pulang dan kemba
Mentari tampak bersinar di ufuk timur. Bunga dan dedaunan terlihat segar dibalur sisa air hujan. Jelita sudah bangun dengan tubuh yang lebih bugar, meskipun kakinya masih terasa pegal akibat lari kemarin. Ia segera membasuh tubuhnya yang terasa lengket, meskipun air cukup dingin. Setelah itu segera memakai celana panjang dan sweater yang dibawakan Azza semalam. Setelah selesai, Azza datang lagi menemui Jelita. Tidak lama kemudian kedua gadis itu segera ke luar dari kamar dan menuju ke ruang makan. Di mana keluarga Tuan Adam terlihat sedang sarapan bersama. "Jelita kenalkan ini, Ibu, Abi dan Kang Yusuf," ujar Azza memperkenalkan keluarganya. Jelita segera menyalami Sari, sedangkan Tuan Adam dan Yusuf hanya mengatupkan tangan. "Nama yang cantik sesuai dengan orangnya. Bagaimana keadaan kamu Nak?" tanya Sari sambil tersenyum ramah. "Aku baik-baik saja Bu. Terima kasih, sudah memberikan izin untuk menginap di sini," ucap Jelita yang merasa disambut dengan hangat, padahal mereka baru
Hujan masih mengguyur kawasan puncak. Ketika sebuah mobil mewah tiba-tiba berhenti di jalan yang tampak macet. Seorang gadis cantik terlihat ke luar dari kendaraan itu dan berlari ke arah belakang. Tidak lama kemudian disusul oleh pria berbadan besar dan berpakaian rapi. "Tunggu, jangan pergi Non!" seru pria itu sambil mengejar.Gadis itu tampak ketakutan dan terus berlari sekencangnya. Sesekali ia berhenti di belakang kendaraan lain, sambil mengatur nafas dan berharap pria itu tidak mengejarnya lagi. Akan tetapi, doanya tidak terkabul. lelaki itu justru semakin dekat ke arahnya. Sehingga membuat gadis itu jadi kian panik."Pokoknya aku tidak mau kembali ke rumah," lirih gadis itu yang segera kembali berlari dengan nafas yang terengah. Namun, ketika di belakang mobil box Ia sudah tidak kuat lagi untuk melarikan diri. Kini dirinya hanya bisa pasrah akan apa yang terjadi. Alunan musik terdengar mengalun syahdu dari salah satu mobil sayur. Seorang pria bermata teduh tampak menikmati l
Lelaki sejati.Waktu terus bergulir, tidak terasa usiaku kian menua, raga ini juga mulai sakit-sakitan. Untung aku mempunyai seorang istri yang sangat perhatian sekali. Ia Seorang perempuan hebat yang Allah jodohkan dengan diriku ini yang jauh dari kata sempurna.Selama pernikahan kami tidak pernah sekalipun Sari mengeluh, ia selalu sabar dan ikhlas dalam mengurus dan merawatku anak-anak, dan ibuku. Sungguh aku sangat bersyukur karena semenjak kecelakaan 20 tahun yang lalu, seolah Allah memberikan aku kehidupan kedua untuk memperbaiki diri untuk menjadi lelaki sejati.Kini perkebunan sudah dipegang oleh Yusuf, sedangkan aku lebih banyak menghabiskan waktu di rumah dan hanya sesekali ke kebun jika Yusuf sedang keteter atau pergi. Aku menjalani sisa hidupku dengan banyak beribadah dan sering ke masjid.Alhamdulillah … aku di percaya menjadi salah satu pengurus. Rasanya begitu damai hati ini banyak melakukan kegiatan di rumah Allah. Sungguh aku tidak pernah merasa hati ini begitu bahagia
Roda kehidupan telah berputar, kini Bayu semakin sukses sebagai pengusaha di bidang otomotif yang memiliki beberapa bengkel di kota tempat tinggalnya. Jika Allah telah berkehendak tidak ada yang tidak mungkin bagi-Nya. Apalagi Bayu adalah sosok yang sabar dan ikhlas dalam menjalani hidup ini.“Aku turut senang Ning, jika sekarang Bayu sudah sukses sebagai pengusaha,” ucap Sari atas keberhasilan adik iparnya itu.“Iya Teh, Alhamdulillah ….” Ningsih bersyukur atas keberhasilan suaminya.“Bayu memang pantas mendapatkan semuanya karena ia adalah lelaki yang baik,” puji Sari sambil mengingat kebaikan Bayu yang tiada terkira kepadanya.Ningsih tampak mengangguk seolah sependapat dengan kakaknya. Lalu ia pun bertanya, “Teteh sendiri bagaimana? Pasti senang sekali ternyata Kang Adam masih hidup dan bisa berkumpul lagi dengan Yusuf.”“Teteh sangat bahagai Ning, ternyata Alllah banyak memberikan rahmat-Nya yang melimpah,” ujar Sari akan karunia yang didapatkannya selama ini.Sementara itu, Ada
Dari kabar yang terdengar, ternyata mobil yang dikemudikan oleh Saba masuk ke jurang ketika dikejar oleh polisi dan suster gadungan itu juga sudah ditangkap. Sementara itu keluarga Al Razi seperti Fatimah dan putranya segera kembali ke Turki setelah menjual semua saham serta aset perusahaan yang berada di Indonesia, kecuali vila.Sebenarnya Adam bisa saja merebut harta warisannya kembali, tetapi tidak mau. Ia ingin hidup sederhana dan bahagia bersama dengan keluarga kecilnya. Setelah situasi sudah aman, Adam kemudian menjemput Yusuf untuk tinggal bersama kembali. “Ibu!” panggil Yusuf sambil berlari kecil ketika melihat Sari di depan teras yang sudah menunggu kepulangan putranya.“Yusuf,” balas Sari sambil melapangkan satu tangan memeluk putra sulungnya itu.“Yusuf kangen sama Ibu,” ungkap bocah itu sambil memeluk Sari dengan erat.Sari segera membalas pelukan Yusuf dan mencium kepala anak itu seraya berkata, “Ibu juga kangen sama kamu sayang.” “Ibu, ini adik siapa?” tanya Yusuf sa
Malam itu hujan turun dengan lebat. Udara pun jadi dingin seolah menggigit tulang. Aku segera menyelimuti tubuh ini rapat-rapat dan mencoba memejamkan mata, tetapi entah mengapa selalu gagal. Tiba-tiba jantungku berdetak sangat cepat. Aku segera menyibak tirai dan melihat hujan masih turun deras.Entah mengapa pikiranku tertuju ke sungai yang berada di bawah sana. Perasaan ini kian gelisah dan berpikir mungkin akan terjadi banjir bandang. Akan tetapi, itu tidak mungkin karena rumahku berada di atas tebing. Untuk menghilangkan kegelisahan hati aku melakukan zikir sampai pagi menjelang.Aku segera membuka pintu, ketika hujan masih turun gerimis. Diriku kemudian berjalan ke halaman rumah untuk melihat aliran sungai. Tiba-tiba pandanganku tertuju kepada sesosok tubuh yang tersangkut di bebatuan. Naluriku untuk menolong pun muncul dan dengan hati-hati menuruni anak tangga menuju ke tepian sungai.Ketika sampai di tempat tujuan, aku segera menarik tubuh itu dengan sekuat tenaga. Lalu memeri