Sari segera berdiri dan menghampiri ketika Damar hendak pergi dari tempat itu seraya berseru, “Tunggu Kang Damar!”
Damar segera menghentikan langkahnya dan berbalik menghadap Sari.“Kenapa Kakang menipu ambu dan Sari?” tanya gadis itu sambil menatap Damar dengan serius.“Apa bedanya, mau sekarang atau besok kamu memang harus menikah kan?” Damar balik bertanya dan berkelit.“Tapi tidak seperti ini caranya, Kang!” protes Sari tidak terima dengan perlakuan Damar kepadanya.“Aku kan sudah bilang kamu akan dijadikan istri.” Damar berkilah sambil melihat Sari acuh tak acuh“Tetapi kenapa dengan lelaki itu?” tanya Sari yang merasa tertipu.“Karena Tuan Adamlah yang menginginkan kamu menjadi istrinya. Sekarang layanilah tuan dengan baik! atau kau akan mendapat amarahnya,” ancam Damar dengan serius. “Bawa ia segera ke kamar tuan, Bi!” seru pria itu berlalu dan pergi meninggalkan Sari yang hanya bisa menangis sambil terduduk.‘Nasi sudah menjadi bubur’ mungkin itulah peribahasa yang tepat untuk Sari. Bi Euis segera memegang kedua bahu Sari dan membantunya berdiri. Kemudian ia mengantar Gadis itu ke tempat yang di tuju. Mereka berhenti di sebuah kamar yang besar. Bi Euis kemudian mengetuk pintu itu beberapa kali.Tok …! Tok …!” “Silakan masuk Nyonya! Tuan sudah menunggu di dalam!” seru Bi Euis sambil membukakan pintu.Dengan perlahan Sari melangkah masuk, terlihat ketakutan yang terpancar dari wajahnya. Sesampai di dalam, gadis itu tampak tertegun melihat sebuah ruangan yang sangat besar bak kamar istana. “Kemarilah!” seru Tuan Adam yang membuat Sari terkejut.Selangkah demi selangkah Sari mendekat ke arah pemilik suara yang sedang berdiri sambil menatapnya dengan tajam. Kemudian ia berhenti di depan lelaki itu dan mencoba memberanikan diri untuk menatap Tuan Adam yang kini sudah menjadi suaminya.Adam adalah Lelaki yang sempurna secara pisik. Tinggi, putih dengan jambang tipis yang tampak menghiasi wajah rupawannya. Mata elangnya begitu serasi dengan alis tebal dan hidung yang bangir. Sari pun serasa menjadi istri seorang pangeran. Entah apakah ia harus senang atau tidak.“Dengarkan baik-baik! Karena aku tidak akan mengulangi lagi!” Adam berkata dengan serius, “Selama menjadi istriku, pertama kamu dilarang ke luar dari vila ini dan menghubungi siapa pun termasuk keluargamu. Kedua harus patuh dan selalu melayaniku dengan baik. Ketiga jangan pernah menuntut apa pun dan membantah perintahku! Jika kamu melanggar salah satu peraturan itu, maka dirimu harus mengganti mahar yang telah kuberikan 10 x lipat karena peraturan ini sudah kamu tanda tangani, paham?” tutur Adam dengan tegasnya sambil memperlihatkan sebuah kertas yang tertera tanda tangan gadis itu dengan jelas.Sari tampak terkejut mendengar peraturan itu. Bagaimana mungkin ia tidak boleh bertemu dengan keluarganya sendiri. Gadis itu pun tidak mengerti pernikahan seperti apa ini.“Sampai kapan aku tidak boleh bertemu dengan keluargaku?” tanya Sari memberanikan diri.“Sampai aku tidak menginginkan kamu menjadi istriku lagi,” jawab Adam dengan santai, “tapi kamu jangan takut! Selama pernikahan kita, semua kebutuhanmu akan tercukupi tanpa kurang apa pun,” jelasnya memberitahu.Sari pun tampak menggeleng ia merasa telah terjebak dalam pernikahan ini. Alih-alih ingin mengubah nasib, justru pengekangan yang akan ia terima. Gadis itu pun tidak dapat membayangkan apa yang akan terjadi dengan dirinya kelak.“Buka bajumu!” seru Tuan Adam sambil menatap Sari dengan tajam. Melihat Sari yang bergeming, membuat lelaki itu tidak sabar kemudian membentak, “Cepat!”Sari tampak terkejut dengan perlahan mulai membuka setelan kebaya yang dikenakan. Lalu pakaian gadis itu pun jatuh di kakinya. Tuan Adam seketika tersenyum melihat tubuh Sari yang sudah polos. Kemudian ia mendekat dan menarik dagu gadis itu hingga wajah mereka saling bertatapan dengan dekat.“Damar memang pintar selalu mendapatkan yang bagus,” puji Tuan Adam sambil mengamati wajah Sari dengan saksama. Ia pun tidak peduli ketika buliran air mata jatuh dari pipi gadis itu.Tuan Adam segera menggendong tubuh istrinya yang dinikahi secara siri itu ke atas tempat tidur, tentu untuk mendapatkan haknya sebagai seorang suami. Lalu ia menghempaskan tubuh Sari di atas kasur yang empuk.Seperti musafir yang sudah tidak dapat menahan dahaganya, Tuan Adam menjamah tubuh Sari dengan kasar. Entah sudah berapa kali lelaki itu melakukannya. Sari hanya bisa pasrah sambil menahan rasa sakit dengan berderai air mata.***Mentari tampak meninggi, menyeruak untaian kabut yang kian menipis. Sinarnya tampak menerobos masuk lewat celah jendela, hingga menerpa wajah Sari yang baru saja terjaga. Ia sangat terkejut melihat tubuhnya hanya terbalut selimut dan berada di kamar yang berbeda.Sari pun mulai mengingat kejadian semalam dan merasakan tubuhnya terasa sakit dan pegal semua. Terutama di bagian pangkal pahanya yang terasa sangat nyeri sekali. Dengan perlahan, ia segera turun dari atas ranjang dan langsung menuju ke kamar mandi untuk membasuh tubuhnya yang terasa sangat lengket.Setelah membersihkan diri, Sari segara membuka lemari dan melihat baju yang kurang bahan menurutnya. Akhirnya ia memilih sebuah piama untuk membalut tubuhnya yang penuh dengan jejak berwarna merah kebiruanSari segera merebahkan tubuhnya kembali di atas tempat tidur, entah mengapa ia merasa sangat telah sekali. Tidak lama kemudian, pintu kamarnya terketuk dan Bi Euis datang sambil membawa sarapan untuk Sari.“Silakan dimakan Nyonya!” seru Bi Euis sambil meletakan nampan di atas meja.Tercium aroma bubur kacang hijau dan harumnya teh melati yang menggoda selera makan Sari. Kebetulan ia merasa sangat lapar sekali setelah melewati malam yang melelahkan “Apakah Nyonya membutuhkan sesuatu?” tanya Bi Euis dengan sopan.“Apakah boleh saya meminta beberapa potong baju hangat?” pinta Sari yang dijawab anggukan oleh Bi Euis.“Hanya itu? Oh ya …” Kemudian Bi Euis tanpa sungkan menanyakan ukuran pakaian dalam Sari, alas kaki bahkan sampai tanggal menstruasinya.“Itu saja dulu Bi,” ujar Sari sambil merasakan nyeri di tubuhnya.“Akan tetapi jika Tuan memanggil, Nyonya harus mengenakan gaun yang ada di dalam lemari!” seru Bi Euis yang dijawab anggukan oleh Sari, “Habiskanlah sarapan Nyonya! Nanti saya akan antarkan makan siang!” serunya dan hendak berlalu pergi.“Tunggu, Bi!” seru Sari yang menghentikan langkah Bi Euis.“Ada apa, Nya?” tanya Bi Euis sambil menoleh ke arah Sari.“Ceritakan kepadaku siapa Kang Damar dan Tuan Adam!”Bi Euis tampak heran mendengar pertanyaan Sari. Kemudian ia pun menjawab, “Nanti Nyonya juga akan tahu, permisi.” Bi Euis segera keluar dari kamar itu tanpa memedulikan Sari yang belum puas atas jawabannya.Sari hendak mengejar Bi Euis, tetapi ia kembali mengingat perjanjian yang menurutnya sangat merugikan itu. Gadis itu pun mengurungkan niatnya dan bertekad akan mencari tahu siapa Tuan Adam sebenarnya.BERSAMBUNGSari terlihat gembira ketika Bi Euis membawa pesanannya, seperti sebuah Al-Quran dan mukena berwarna putih. Gadis itu ingin melaksanakan kewajibannya di mana pun dirinya berada. Sari tampak khusyuk menjalankan salat magrib setelah itu dilanjut membaca Al-Quran, sampai azan isya berkumandang.Tok ..! Tok ..! Terdengar suara ketukan pintu, tidak lama kemudian Bi Euis masuk sambil membawa makan malam untuk Sari. Wanita paruh baya itu tampak menunggu sesaat sampai Sari menyelesaikan salat isyanya.“Selamat malam, Nyonya,” ucap Bi Euis ketika melihat Sari membuka mukena.“Bi Euis,” sapa Sari dengan seulas senyum yang mengembang.“Saya membawakan makan malam,” ujar Bi Euis memberitahu, “Apakah ada barang yang Nyonya inginkan lagi?” tanya Bi Euis kemudian.Sambil menatap barang-barang di hadapannya, Sari pun menjawab, “Tidak ada Bi, ini sudah lebih dari cukup bagiku. Terima kasih sudah dibawakan makan, maaf kalau saya jadi merepotkan,” ucapnya dengan santun.“Tidak apa-apa, ini sudah kewaj
Hari demi hari tubuh Sari mulai pulih, sakit dan perih yang dirasakan berangsur hilang. Ia yang biasanya lebih memilih berdiam diri di kamar kini mulai merasakan jenuh. Setelah berpikir, akhirnya Sari memberanikan diri untuk keluar dari kamar karena dalam perjanjian itu dirinya tidak boleh meninggalkan vila. Jadi ia merasa tidak melanggarnya larangan Tuan Adam.Gadis itu mulai menyelusuri setiap ruang di dalam vila, walaupun dirinya tidak mengerti barang seni dan antik. Namun, Sari tahu jika barang-barang di tempat ini mahal dan mewah. Ia pun jadi semakin penasaran dengan jati diri Tuan Adam, apa pekerjaan dan tentu asal usulnya.Sari terus mengikuti ke mana kakinya melangkah hingga, sampai di bagian dapur. Di sana terlihat Bi Euis yang sedang sibuk memasak, pasti untuk Sari tentunya.Melihat Bi Euis yang repot sendirian, Sari segera menghampiri seraya bertanya, “Boleh saya bantu Bi?”Seketika Bi Euis pun menoleh dan tampak terkejut atas kedatangan Sari. Kemudian ia balik bertanya
Adam Al Razi adalah seorang pengusaha berusia 28 tahun. Lelaki berdarah Turki-Indonesia itu merupakan seorang introvert. Selain itu dia sangat gila dalam bekerja, entah sudah berapa banyak kekayaan yang dimilikinya. Dalam usianya yang terbilang masih muda, sepak terjang Tuan Adam dalam dunia bisnis sudah tidak diragukan lagi.Tuan Adam sangat menjaga privasinya, maka dari pada itu ia tidak punya banyak teman. Hanya beberapa relasi bisnisnya saja. Jadi tidak ada yang tahu secara dalam mengenai jati diri Tuan Adam sebenarnya. Lelaki itu bisa dibilang sangat misterius sekali.Sebagia lelaki normal untuk memenuhi kebutuhan biologisnya, Tuan Adam tidak mau melakukan sex bebas karena ia sangat berpegang teguh pada prinsip dan keyakinannya. Maka daripada itu, Tuan Adam menyuruh Damar untuk mencari wanita yang bisa dinikahinya sementara karena tidak mau terikat dalam pernikahan yang sah secara hukum.“Tuan, mau saya carikan wanita yang seperti apa?” tanya Damar ketika baru bekerja untuk Tuan
Mentari baru saja terbit di ufuk timur, sinarnya yang hangat menerangi indahnya langit biru.Sari tampak menyaksikan semua itu dari balik jendela kamarnya. Ia pun berandai jika punya sayap seperti burung. Pasti dirinya bisa pergi dari tempat ini dan tidak akan kembali lagi. Seketika hembusan angin segar menerpa wajah cantik Sari. Membuyarkan angannya yang tidak mungkin terwujud.Tiba-tiba Sari merasa lapar. Ia segera keluar dari kamar tanpa menunggu Bi Euis datang mengantarkan sarapan. Sari melihat Bi Euis sedang memasak dan segera membantu seperti biasa.“Bi Euis, masak apa?” tanya Sari sambil menghampiri.“Masak bubur untuk Tuan yang sedang tidak enak badan,” jawab Bi Euis.“Apa? Tuan sakit?” tanya Sari dengan terkejut karena semalam Tuan Adam tampak sehat-sehat saja.“Sepertinya begitu,” jawab Bi Euis sambil mengaduk bubur di panci. Tiba-tiba wanita itu merasa kepalanya pusing.Melihat Bi Euis yang gontai Sari segera memegang wanita itu seraya bertanya, “Bi Euis kenapa?” “Tidak ap
Malam semakin larut, di dalam kamar Tuan Adam, Sari sedang menemani suaminya yang masih demam. “Panas sekali,” ujar Sari sambil menempelkan tangannya ke dahi Tuan Adam. Sari kemudian mengambil handuk kecil dan membasahi, lalu menaruh di dahi suaminya. Tuan Adam tidak bergeming dengan mata terpejam. Sambil merasakan tubuhnya yang panas tinggi.“Bagaimana kondisi Tuan, Neng?” tanya Bi Euis ketika melihat Tuan Adam yang terbaring lemah.“Masih panas Bi, padahal tadi Tuan sudah minum parasetamol,” jawab Sari dengan pelan karena takut menganggu.Bi Euis tampak terdiam dan merasa heran karena selama bekerja dengan Tuan Adam, belum pernah majikannya itu sakit seperti ini. Kemudian Bi Euis pun berkata, “Kita tunggu sampai besok, kalau kondisi Tuan Adam tidak juga membaik. Baru bibi akan panggil dokter untuk memeriksanya."Sari mengangguk menyetujui saran dari Bi Euis. Tidak lama kemudian ia melihat wanita paruh baya itu tampak menguap. Lalu dirinya pun berseru, “Bibi kalau sudah mengantuk t
Ketika malam tiba, Sari segera datang ke kamar Tuan Adam seperti biasanya. Ia terlihat gemetar membayangkan pria itu akan menggauli dengan kasar lagi. Sesampai di depan ranjang, Wanita itu tertegun karena tidak mendapati suaminya berada. Matanya kemudian menelisik sekeliling kamar.“Aku di sini, kemarilah!” seru Tuan Adam dari atas balkon.Sari segera menuju balkon dan menghampiri Tuan Adam yang sedang menatap ke langit. Di mana tampak purnama bersinar terang, berpadu dengan taburan bintang. Menjadikan malam ini begitu indah dipandang mata. Sampai beberapa saat, Tuan Adam masih tidak bergeming menatap rembulan, entah apa yang didapatkannya. Sementara itu bagi Sari, keindahan sesungguhnya adalah yang tampak di mata. Sungguh hatinya berdecak kagum melihat mahluk ciptaan Allah yang satu ini. Begitu sempurna secara pisik dan tiada cela. Ia bahkan tidak berkedip sedikit pun menatap Tuan Adam, sambil membiarkan getar-getar cinta yang mulai tumbuh di hatinya.“Jangan menatapku seperti itu
Hari berganti hari, lambat laun sikap Tuan Adam mulai melunak dan tidak menyentuh istrinya dengan kasar lagi, seperti awal pernikahan dulu. Hal itu dikarenakan Sari sudah bisa mengambil hati suaminya. Tuan Adam sangat puas dengan pelayanan Sari sebagai seorang istri, baik itu soal perut ataupun urusan ranjang. Terkadang Tuan Adam suka memberikan Sari kejutan berupa hadiah, entah itu uang atau perhiasan. Kini hidup Sari telah berkecukupan dan tidak kekurangan apa pun lagi. Akan tetapi, jauh di lubuk hatinya yang paling dalam. Sari merasa hidup bagaikan dalam sangkar emas. Ia sangat merindukan keluarganya, entah bagaimana nasib ibu dan kedua adiknya yang masih bersekolah. Selalu memikirkan keluarganya, Sari jadi drop dan sakit.“Ambu, Sari kangen,” lirih Sari merasakan kepalanya yang pusing. Tidak terasa air matanya jatuh berderai.“Kenapa menangis. Apakah Tuan kasar lagi sama Neng?” tanya Bi Euis ketika memergoki Sari sedang menitikkan air mata.Sari tampak menggeleng sambil menyeka
[Assalamualaikum ..., bagaimana kabar Ambu, Jaka dan Ningsih? Kalau keadaan Sari baik-baik saja di sini, jadi Ambu jangan khawatir! Maaf, Sari belum bisa pulang dalam waktu dekat ini. Salam rindu Sari.]Tuan Adam kemudian melipat surat itu dan memberikannya kepada Kang Asep seraya berseru, “Sampaikan surat dan amplop ini ke tangan yang bersangkutan dan ingat pesanku tadi!”“Baik Tuan,” sahut Kang Asep dengan sigap, “Nyonya bisa beritahu alamatnya?” pinta lelaki itu kemudian.Sari kemudian menyebutkan alamat rumahnya dengan lengkap, sementara itu Kang Asep mendengarkan sambil menganggukkan kepalanya tanda mengerti.“Apakah sudah jelas, Kang?” tanya Sari memastikan."Iya Nyonya, saya tahu daerah itu,” jawab Kang Asep.Kemudian Sari menyodorkan sebuah amplop kecil dan berkata, "Oh ya Kang, titip ini.""Pegang saja, itu sudah lebih dari cukup!" cegah Tuan Adam.“Permisi Tuan, Nyonya,” pamit lelaki itu undur diri.Sari menatap kepergian Kang Asep sampai hilang di balik pintu. Tiba-tiba air
"Memakai hijab itu adalah salah satu kewajiban muslimah demi menjaga auratnya. Tapi mengenakan kerudung itu harus berdasarkan keimanan bukan karena sesuatu hal. Misalnya untuk menarik perhatian orang agar terlihat lebih baik," ujar Azza menjelaskan setelah mendengar keinginan Jelita yang mau memakai hijab. Jelita kemudian menegaskan,"Oh seperti itu, jadi kalau hati kita belum mantap sebaiknya jangan berhijab dulu?" "Boleh-boleh saja untuk belajar. Tapi amat disayangkan, kalau kita sudah memakai hijab karena alasan tertentu lalu melepasnya kembali, miris melihatnya," ujar Azza yang juga memberitahu bagaimana sikap seorang muslimah terutama dalam menjaga aurat dan pandangannya. "Ya sudah kalau begitu aku mau belajar sekarang," ujar Jelita dengan antusiasnya. Mendengar itu Azza tampak senang sekali dan mengajak, "Boleh, ayo sini aku ajarkan memakai hijab!" Azza kemudian memilah koleksi hijabnya dan mulai mengajarkan Jelita cara memakainya. "Masya Allah, kamu cantik sekal
"Jelita mana Tante?" tanya Fatih sambil mencari gadis itu dengan kedua mata elangnya. Dengan tetap tenang Tante Windi menjawab, "Ada di kamar sedang istirahat. Duduklah Fatih, sepertinya kita harus bicara!" Fatih segera duduk di sofa berhadapan dengan Tante Windi."Menurut Tante, kamu fokus saja urus perusahaan. Soal Jelita biar Tante yang tangani. Dia sudah dewasa Fatih, jadi sudah berani membangkang dan bisa melakukan perbuatan lebih nekat lagi, kalau terlalu dikekang!" ujar Tante Windi memberikan masukan ketika Fatih datang untuk menjemput Jelita.Fatih tampak berpikir sesaat dan menurut saran dari Tante Windi ada benarnya juga. Dengan tinggal di rumah ini, ia bisa bekerja dengan tenang dan tidak perlu khawatir lagi. "Baiklah, aku setuju Jelita tinggal bersama Tante. Tapi aku akan menambah beberapa orang keamanan lagi," ujar Fatih menyetujui."Oke, demi Jelita kamu boleh memperketat keamanan untuknya!" ujar Tante Windi sambil mengangguk kecil. "Sebelum pulang, aku mau bicara e
"Kamu harus pulang Nak, agar keluarga Jelita tidak cemas!" saran Sari setelah mendengar cerita Jelita.Jelita langsung terlihat sedih dan memohon, "Tolong Bu, izinkan aku menginap beberapa hari lagi!"Sari segera membelai kepala Jelita seraya berkata, "Maaf Nak, ibu dan abi bukan tidak suka kamu menginap di rumah kami. Tapi tanpa izin dari orang tua, kamu akan dianggap hilang. Jadi sebelum mereka lapor polisi sebaiknya kamu pulang dulu. Nanti boleh menginap lagi di sini kapan pun."Jelita tampak menghela napas panjang. Ia mana mungkin diizinkan menginap di rumah orang lain. Keluar dari pintu gerbang rumah saja dilarang. Gadis itu terus berpikir agar bisa tinggal lebih lama lagi di rumah ini. "Ya sudah, boleh aku pinjam telepon, untuk menghubungi mami di rumah?" pinta Jelita yang dijawab anggukan oleh Sari. Setelah dipinjami telepon, Jelita segera menjauh untuk menghubungi keluarganya. Jelita tentu tidak mau merepotkan Yusuf dan keluarganya yang begitu baik. Ia akan pulang dan kemba
Mentari tampak bersinar di ufuk timur. Bunga dan dedaunan terlihat segar dibalur sisa air hujan. Jelita sudah bangun dengan tubuh yang lebih bugar, meskipun kakinya masih terasa pegal akibat lari kemarin. Ia segera membasuh tubuhnya yang terasa lengket, meskipun air cukup dingin. Setelah itu segera memakai celana panjang dan sweater yang dibawakan Azza semalam. Setelah selesai, Azza datang lagi menemui Jelita. Tidak lama kemudian kedua gadis itu segera ke luar dari kamar dan menuju ke ruang makan. Di mana keluarga Tuan Adam terlihat sedang sarapan bersama. "Jelita kenalkan ini, Ibu, Abi dan Kang Yusuf," ujar Azza memperkenalkan keluarganya. Jelita segera menyalami Sari, sedangkan Tuan Adam dan Yusuf hanya mengatupkan tangan. "Nama yang cantik sesuai dengan orangnya. Bagaimana keadaan kamu Nak?" tanya Sari sambil tersenyum ramah. "Aku baik-baik saja Bu. Terima kasih, sudah memberikan izin untuk menginap di sini," ucap Jelita yang merasa disambut dengan hangat, padahal mereka baru
Hujan masih mengguyur kawasan puncak. Ketika sebuah mobil mewah tiba-tiba berhenti di jalan yang tampak macet. Seorang gadis cantik terlihat ke luar dari kendaraan itu dan berlari ke arah belakang. Tidak lama kemudian disusul oleh pria berbadan besar dan berpakaian rapi. "Tunggu, jangan pergi Non!" seru pria itu sambil mengejar.Gadis itu tampak ketakutan dan terus berlari sekencangnya. Sesekali ia berhenti di belakang kendaraan lain, sambil mengatur nafas dan berharap pria itu tidak mengejarnya lagi. Akan tetapi, doanya tidak terkabul. lelaki itu justru semakin dekat ke arahnya. Sehingga membuat gadis itu jadi kian panik."Pokoknya aku tidak mau kembali ke rumah," lirih gadis itu yang segera kembali berlari dengan nafas yang terengah. Namun, ketika di belakang mobil box Ia sudah tidak kuat lagi untuk melarikan diri. Kini dirinya hanya bisa pasrah akan apa yang terjadi. Alunan musik terdengar mengalun syahdu dari salah satu mobil sayur. Seorang pria bermata teduh tampak menikmati l
Lelaki sejati.Waktu terus bergulir, tidak terasa usiaku kian menua, raga ini juga mulai sakit-sakitan. Untung aku mempunyai seorang istri yang sangat perhatian sekali. Ia Seorang perempuan hebat yang Allah jodohkan dengan diriku ini yang jauh dari kata sempurna.Selama pernikahan kami tidak pernah sekalipun Sari mengeluh, ia selalu sabar dan ikhlas dalam mengurus dan merawatku anak-anak, dan ibuku. Sungguh aku sangat bersyukur karena semenjak kecelakaan 20 tahun yang lalu, seolah Allah memberikan aku kehidupan kedua untuk memperbaiki diri untuk menjadi lelaki sejati.Kini perkebunan sudah dipegang oleh Yusuf, sedangkan aku lebih banyak menghabiskan waktu di rumah dan hanya sesekali ke kebun jika Yusuf sedang keteter atau pergi. Aku menjalani sisa hidupku dengan banyak beribadah dan sering ke masjid.Alhamdulillah … aku di percaya menjadi salah satu pengurus. Rasanya begitu damai hati ini banyak melakukan kegiatan di rumah Allah. Sungguh aku tidak pernah merasa hati ini begitu bahagia
Roda kehidupan telah berputar, kini Bayu semakin sukses sebagai pengusaha di bidang otomotif yang memiliki beberapa bengkel di kota tempat tinggalnya. Jika Allah telah berkehendak tidak ada yang tidak mungkin bagi-Nya. Apalagi Bayu adalah sosok yang sabar dan ikhlas dalam menjalani hidup ini.“Aku turut senang Ning, jika sekarang Bayu sudah sukses sebagai pengusaha,” ucap Sari atas keberhasilan adik iparnya itu.“Iya Teh, Alhamdulillah ….” Ningsih bersyukur atas keberhasilan suaminya.“Bayu memang pantas mendapatkan semuanya karena ia adalah lelaki yang baik,” puji Sari sambil mengingat kebaikan Bayu yang tiada terkira kepadanya.Ningsih tampak mengangguk seolah sependapat dengan kakaknya. Lalu ia pun bertanya, “Teteh sendiri bagaimana? Pasti senang sekali ternyata Kang Adam masih hidup dan bisa berkumpul lagi dengan Yusuf.”“Teteh sangat bahagai Ning, ternyata Alllah banyak memberikan rahmat-Nya yang melimpah,” ujar Sari akan karunia yang didapatkannya selama ini.Sementara itu, Ada
Dari kabar yang terdengar, ternyata mobil yang dikemudikan oleh Saba masuk ke jurang ketika dikejar oleh polisi dan suster gadungan itu juga sudah ditangkap. Sementara itu keluarga Al Razi seperti Fatimah dan putranya segera kembali ke Turki setelah menjual semua saham serta aset perusahaan yang berada di Indonesia, kecuali vila.Sebenarnya Adam bisa saja merebut harta warisannya kembali, tetapi tidak mau. Ia ingin hidup sederhana dan bahagia bersama dengan keluarga kecilnya. Setelah situasi sudah aman, Adam kemudian menjemput Yusuf untuk tinggal bersama kembali. “Ibu!” panggil Yusuf sambil berlari kecil ketika melihat Sari di depan teras yang sudah menunggu kepulangan putranya.“Yusuf,” balas Sari sambil melapangkan satu tangan memeluk putra sulungnya itu.“Yusuf kangen sama Ibu,” ungkap bocah itu sambil memeluk Sari dengan erat.Sari segera membalas pelukan Yusuf dan mencium kepala anak itu seraya berkata, “Ibu juga kangen sama kamu sayang.” “Ibu, ini adik siapa?” tanya Yusuf sa
Malam itu hujan turun dengan lebat. Udara pun jadi dingin seolah menggigit tulang. Aku segera menyelimuti tubuh ini rapat-rapat dan mencoba memejamkan mata, tetapi entah mengapa selalu gagal. Tiba-tiba jantungku berdetak sangat cepat. Aku segera menyibak tirai dan melihat hujan masih turun deras.Entah mengapa pikiranku tertuju ke sungai yang berada di bawah sana. Perasaan ini kian gelisah dan berpikir mungkin akan terjadi banjir bandang. Akan tetapi, itu tidak mungkin karena rumahku berada di atas tebing. Untuk menghilangkan kegelisahan hati aku melakukan zikir sampai pagi menjelang.Aku segera membuka pintu, ketika hujan masih turun gerimis. Diriku kemudian berjalan ke halaman rumah untuk melihat aliran sungai. Tiba-tiba pandanganku tertuju kepada sesosok tubuh yang tersangkut di bebatuan. Naluriku untuk menolong pun muncul dan dengan hati-hati menuruni anak tangga menuju ke tepian sungai.Ketika sampai di tempat tujuan, aku segera menarik tubuh itu dengan sekuat tenaga. Lalu memeri