Siapkan tisu! Sad dan terharu. "Assalamu'alaikum, Bu," panggil Syam dengan suara lucunya. Syamil kembali mengetuk pintu dan tugas Syam yang mengucapkan salam. "Wa'alaykumussalam, siapa ya?" Hani buru-buru memakai kerudungnya. "Siapa hayo?" tanya balik Syam hingga membuat Syamil kembali terbahak. Hani mengerutkan kening. Anak siapa sih? Meuni aneh pisan, kita nanya, dia balik nanya. Batin Hani sambil berjalan untuk membukakan pintu bagi tamunya. CklekSyamil dan Syam tersenyum. Hani mendelik kaget, lalu ia menutup pintu dengan cepat. Blam! Wanita itu mengatur napasnya yang sesak. Ia kekurangan oksigen karena ada dua pria tampan di depan rumahnya. Hani mengibaskan tangan di depan wajahnya agar ia tidak menangis. "Emangnya kita pocong, masa udah buka pintu ditutup lagi," komentar Syam. "Makanya pakai bedak jangan cemong, jadinya dikirain anaknya Mbak Kunti. Ibu itu pasti takut sama Syam, bukan sama Abang." Syam mencebik. Anak kecil itu kembali mengetuk pintu. Hani berhasil meng
Zahra lelah menunggu Raka yang tidak kunjung sampai di rumahnya. Gadis itu akhirnya masuk ke dalam rumah dan langsung memilih tidur. Ini sudah jam sembilan lebih tiga puluh malam dan ia pun mulai mengantuk. Janjinya mau bawain durian, sampai gini hari belum pulang juga. Zahra tidur aja deh. SendItulah pesan yang dikirimkan Zahra pada Raka. Lalu, di mana Raka sebenarnya? Raka ternyata singgah ke rumah Hani sebentar, membawakan durian yang sama. Pria itu tidak masuk, hanya duduk di teras saja, berbincang sebentar sembari menghabiskan teh buatan Hani. "Lain kali jangan mampir terlalu malam ya, Mas. Saya gak enak sama tetangga," ujar Hani sambil memperhatikan sekelilingnya. "Iya, maaf ya. Besok-besok saya datang subuh boleh?" Raka berkelakar. Hani akhirnya tertawa. Zahra dan kakaknya sudah terlalu baik padanya. Tidak mungkin ia menolak kedatangan Raka, apalagi pria itu hanya menumpang minum teh dan juga duduk di teras. "Assalamu'alaikum, Mas Raka." Hani dan Raka menoleh serentak pad
Sepanjang perjalanan pulang, Raka memikirkan perkataan Syamil yang sembarangan mengenai Hani. Ia tahu adik iparnya itu bercanda, tetapi tetap saja kelewatan karena sudah jelas ia baru menikah, masa sudah mau punya bini muda. Bukan suatu hal yang bisa dijadikan bahan bercandaan. Begitu ia tiba di rumah, lampu rumah sudah padam semua. Raka menutup pagar, lalu menggemboknya. Ini sudah hampir jam dua belas malam dan sudah pasti semua orang rumah sudah tidur. Raka masuk menggunakan kunci cadangan yang selalu ia bawa. Pria itu memutuskan langsung mandi barulah ia tidur. Tidurnya juga tidak lelap karena pikirannya masih mengganjal dengan bercandanya Syamil. Keesokan paginya, Zahra mengetuk pintu kamar Raka. Gadis itu mengetuk berkali-kali hingga akhirnya memutuskan untuk masuk dan membangunkan Raka. "Mas, bangun, udah siang loh, udah setengah enam. Solat dulu!" Zahra sedikit menepuk kaki Raka hingga akhirnya membuat pria dewasa itu menggeliat. "Eh, Zahra, kenapa?" tanyanya dengan suara
"Syamil, kamu baru sampai, Nak?" semua menoleh ke arah pintu rumah, termasuk Syamil yang juga terpaksa berbalik saat mendengar suara Bu Tia. "Mau jemput Zahra ya?" tanya Bu Tia lagi sembari berjalan masuk dan memberikan tangannya pada Syamil. Syamil mencium punggung tangan mertuanya dengan khidmat. Ketegangan yang sempat terjadi mendadak sedikit mencair karena kehadiran Bu Tia. "Zahra, kamu bengong? Itu suami kamu buatkan air." Bu Tia membuat Zahra yang sejak tadi mematung, akhirnya mengangguk. Gadis itu bergegas ke dapur untuk membuat teh. Tangannya gemetar saat menuangkan gula satu sendok ke dalam cangkir. Ia terlalu takut bahwa Syamil mengatakan yang sebenarnya pada Raka dan juga mamanya. Syamil sudah duduk di ruang tamu bersama Raka saat Zahra datang membawakan teh. "Mama ke mana, Mas?" tanya Zahra saat mencari keberadaan mamanya yang tidak ada di ruang tamu. "Mama ke kamar ganti baju dulu, soalnya mama dari pasar." Raka menjawab kaku. Ia masih memikirkan ucapan Syamil yang t
Syamil menceritakan pada Didin semuanya. Pernyataan perasaan Zahra sampai dengan perkataan Zahra tadi yang begitu menyinggung harga dirinya sebagai suami. Jika ingin hanya tidur dengan wanita, ia bisa saja menikah siri dengan wanita manapun, tanpa perlu membuat malu keluarganya. Jika sudah begini, seluruh pesantren pasti menanggung malu, terutama nama abahnya. Namun, ia bisa apa jika Zahra benar tidak bisa menerimanya sebagai suami. Jika ia terus paksakan, maka Zahra semakin menumpuk dosa padanya. "Hhmm... lebih rumit ini dari pada harus bayaran cicilan rumah, tetapi tiba-tiba suami di PHK." Didin menatap Syamil dengan seksama. "Begitu, Bang, jadi saya minta tolong ya. Mbak Hani sedang didekati Mas Raka. Jangan sampai saya kalah langkah dari Mas Raka. Ummi pasti gak akan protes saya menikahi janda, karena saya juga sudah duda. Pokoknya gimana caranya Mbak Hani biar gak dekat sama Mas Raka. Bisa kan, Bang?" Syamil memohon dengan wajah memelasnya. "Bayarannya apa?" tanya Didin menan
"Maaf nih, Sya, kalau untuk itu saya gak bisa bantu karena saya otewe jadi istri Raka. Jadi, status saya setengah janda." Jawaban Hani sama sekali tidak membuatnya merasa kecil hati, karena ia sangat tahu Hani, lain di bibir lain di hati. "Memangnya udah dilamar?" tanya Syamil kepo."Belum, baru dalam perencanaan." Hani semakin tidak nyaman karena saat ini Syamil menatapnya begitu intens, meskipun sesekali ia menunduk."Berarti saya lamar ajalah ya. Ayo, kita ke toko emas!" Hani bangun dari duduknya karena merasa kesal dengan Syamil. "Tunggu, mau ke mana?" tanya Syamil terkejut karena Hani tiba-tiba berdiri. Pemuda itu menarik ujung kerudung Hani untuk menahan langkah wanita itu. "Kalau masih bicara omong kosong, saya lebih baik pulang!""Saya gak bicara omong kosong, saya serius." Syamil menyadari Hani tidak nyaman dengan ucapannya, tetapi ia tiba-tiba mendapat ide brilian untuk mendapatkan Hani dengan cara lain. Ada yang tahu? "Baik Mbak Hani, maafin saya kalau perkataan saya bu
"Halo, assalamu'alaikum.""Wa'alaykumussalam. Saya Raka, apa Syamil ada?""Syamil keluar sejak pagi ke rumah mertuanya.""Ya, tadi pagi Syamil memang dari rumah Zahra, tetapi sudah pergi dan saat ini mama saya..."Suara Raka tertahan. "Ada apa, Mas?""Mama saya meninggal karena serangan jantung.""A-apa? M-mamanya Zahra meninggal?""Iya, tolong sampaikan pada Syamil dan keluarganya. Saat ini masih di rumah sakit dan akan dibawa pulang ke rumah.""Innalillahi wa innaa ilaihi rooji'un. B-baik, Mas, terima kasih atas informasinya. Kami turut berduka cita. Semoga almarhumah husnul khotimah. Yang sabar dan ikhlas ya, Mas.""Baik, terima kasih. Assalamu'alaikum.""Wa'alaykumussalam." Nela menutup panggilan dari Raka. Kakinya melangkah cepat menghampiri Bu Umi yang sedang ada di teras depan, sedang menemani Syam bermain di kolam ikan koi. "Mi, eh ... Syamil, saya kirain kamu belum pulang. Ini gawat, Sya." Bu Umi dan Syamil melihat serentak ke arah Nela. "Ada apa, Mbak?" tanya Syamil bingu
"Semua ini gara-gara kamu, Syamil! Kamu yang bikin mama aku serangan jantung! Kamu pembunuh Syamil. Aku benci kamu! Aku benci kalian semua! Kenapa kalian datang ke sini? Pergi! Jangan pernah balik lagi ke rumah ini atau menemui saya. Kamu dan keluargamu gak punya hati! Kalian penjahat!" Zahra menunjuk Syamil dan keluarganya yang baru saja masuk ke dalam rumah. Wanita itu bahkan hendak mencakar dan memukul Syamil karena amarah sudah menguasai hatinya. Untunglah ada banyak saudara dan juga papanya yang berdiri di dekat gadis itu, sehingga bisa menahan tangan dan juga tubuhnya dari amukan. "Zahra, istighfar, Nak! Sudah!" Pak Rahmat menarik Zahra masuk ke kamar karena putrinya berteriak histeris saat tahu Syamil dan keluarganya tiba di rumah duka. Awalnya susah, tetapi ia berhasil juga dimasukkan ke dalam kamar. Suara tangisnya masih pecah, terdengar sampai keluar kamar. "Kamu penjahat, Syamil! kamu pembunuh mamaku. Mama, Mama!" suara Zahra terdengar begitu pilu dan membuat siapa saja