Acara sesi foto paling menegangkan dalam hidup Hani, akhirnya berakhir juga. Semua para bridesmaid dan bridesman berbaris antre mengucapkan selamat pada Syamil dan juga Zahra. Hani memilih berbaris paling belakang, agar ia bisa mengatur detak jantung dan stok oksigen yang ia rasa saat ini begitu kurang banyak. "Selamat ya," kata itulah bisa ia ucapkan pada Syamil. "Terima kasih, Mbak. Akhirnya saya ketemu Mbak juga. Semoga Mbak juga bisa bahagia ya." Syamil menyadari saat ini ia adalah suami orang dan tidak boleh main hati. Apalagi Hani sudah bersama dengan kakaknya Zahra. Hani hanya menanggapinya hanya dengan anggukan. Begitu canggung karena ia pun sebenarnya tidak menyangka harus bertemu Syamil disaat memang sudah tidak ada celah lagi untuk mereka bisa dekat. "Selamat, Zahra. Semoga bahagia ya, Sayang." Sekali lagi Hani memeluk Zahra dengan tulus. Suami istri yang ia sayangi karena kebaikan mereka. "Terima kasih, Hani." Zahra menjawab dengan kalimat sama tulusnya. Hani pun turu
Setengah jam sebelum pengantin meninggalkan gedung acara. "Cari siapa, Mas?" tanya Zahra yang duduk di lingkaran meja VIP untuk menyantap makan siangnya sebelum mereka pulang. Tersisa keluarga inti, para bridesmaid yang juga sedang makan, dan juga beberapa tamu yang terlambat datang, tetapi untungnya hidangan masih ada, sehingga semua orang masih dapat menikmati makan siang walau tidak bisa terlalu santai. "Mas gak lihat Hani." Raka celingak-celinguk mencari sosok Hani di lingkaran meja khusus bridesmaid yang sedang makan. "Iya, Mas, selesai foto saya juga gak lihat lagi. Mungkin Hani pulang duluan. Ada pesenan online mungkin." Raka mengangguk paham. Syamil yang sedang makan di samping Zahra hanya mendengarkan saja percakapan kakak dan adik itu. "Ya sudah, kalian lanjutkan makan, habis acara kamu, Mas mungkin mau main ke rumah Hani." Raka bangun dari duduknya. Syamil menoleh pada Raka, menatap pria yang usianya lebih dewasa darinya itu, yang saat ini tengah dekat dengan Hani. Tam
Zahra sudah kembali memakai bajunya. Begitu juga Syamil yang bahkan memutuskan untuk mandi hadas besar, meskipun urusannya belum selesai. Begitu Syamil keluar dari kamar mandi, Zahra sudah berhenti menangis, tetapi sisa sesegukannya masih ada. "Mandilah, kita bicara lagi nanti!" Pinta Syamil. Zahra turun dari tempat tidur perlahan. Wanita itu memejamkan mata, saat menahan pedih karena sisa percintaannya dengan suaminya tadi. Syamil melihat Zahra yang kepayahan, memutuskan untuk membantunya ke kamar mandi. "Maafkan saya," kata Zahra lagi sebelum menutup pintu kamar mandi. Syamil mengambil air di dalam gelas yang sudah sengaja ia siapkan untuk pertempuran bersama Zahra. Ada juga aneka kue yang memang dipisahkan sedikit oleh ummi-nya saat resepsi tadi. Semua amunisi untuk berjuang sudah lengkap, tetapi ia harus putar balik karena lawannya mengangkat bendera putih. Syamil tersenyum miris. Ia menoleh ke atas ranjang, ada bekas noda merah pekat di seprei. Itu tandanya ia berhasil memeraw
Mendengar suara Syamil yang sedikit tinggi, membuat nyali Zahra menciut. Wanita itu menunduk takut, sedangkan Syamil berjalan mondar-mandir di dalam kamar, merasa bingung akan situasi rumah tangga yang masih dalam hitungan hari, tetapi sudah seperti benang kusut. "Astaghfirullah, Zahra. Sudah, sekarang kamu keluar, kita sarapan atau kamu mau ngapain sama ummi atau Teh Laila terserah deh." Syamil keluar dari kamarnya sambil membawa ponsel Zahra. "Bang, ponsel saya! Kembalikan ponsel saya!" Teriak Zahra, hingga membuat Syamil kembali menarik napas dalam, lalu mengebuskannya pelan. Teriakan Zahra pasti mengundang tanya anggota keluarganya di bawah sana yang sudah pada bangun semua. "Zahra, suara kamu bisa lebih pelan? Di rumah ini tidak ada yang berteriak dan di rumah ini sedang banyak orang, Zah. Jangan bikin semua keluarga saya curiga dengan apa yang terjadi pada kita. Saya mohon!" Mengalah adalah hal yang harus ia lakukan demi kebaikan kesehatan ummi dan juga menjaga nama baik aba
"Ini HP kamu!" Syamil memberikan ponsel Zahra kembali. Lalu ia menuangkan semua pakaian yang sudah ada di koper, ke dalam lemari. "Semua sudah menunggu kamu di bawah, jangan bikin saya malu! Saya cuma minta satu hal, jangan bikin saya malu!" Syamil menarik tangan Zahra untuk segera bangun. Ia mengambilkan kerudung, lalu ia berikan pada Zahra. "Pakailah, kita turun berdua!" Syamil merendahkan suaranya. Zahra merasa sangat beruntung karena Syamil orang yang sangat sabar. Ia merajuk sedikit saja, suaminya langsung takut. Bukankah ini sangat menguntungkannya? Batin Zahra senang. Sebelum turun, Zahra menyemprotkan parfum di sekitar jilbabnya. Lalu ia menghampiri Syamil yang sudah menunggunya di depan pintu kamar. Syamil dan Zahra pun turun sambil bergandengan tangan. Syamil memperlihatkan wajah semringah, begitu juga Zahra, padahal semua hanya kepura-puraan. Bu Umi tersenyum melihat anak menantunya turun. Sekali lagi Bu Umi memuji menantunya di dalam hati karena wajah dan juga sikapnya
Selesai sarapan, Zahra kembali ke kamarnya. Ia tidak mau bergabung bersama keluarga Syamil karena ja menilai seluruh keluarga suaminya nyinyir. Apapun yang ia katakan, pasti saja salah dan diprotes. Pantas saja sejak awal ia keberatan setelah resepsi pulang ke rumah Syamil karena ternyata hal ini yang ia dapatkan. Ponselnya berdering. Kali ini nama mamanya yang ada di layar. "Halo, assalamu'alaikum, pengantin lagi apa?" "Wa'alaykumussalam, Ma. Baru aja sarapan, tapi.... ""Tapi apa, Nak?""Tapi gak selera. Masakannya asin, Ma.""Begitu kalau masih baru, Sayang. Nanti juga terbiasa. Tapi kamu baik-baik saja kan?""Baik-baik gimana kalau gak selera makan? Mama masak apa di rumah? Kirim ke sini deh, Ma, biar nanti Zahra yang bayar ojeknya."Suara tawa renyah Bu Tia terdengar di seberang telepon sana. "Mama masak ikan pesmol sama sambal. Kesukaan kamu dan Raka.""Mau, Ma, anterin ke sini deh. Minta Mas Raka aja yang antar juga gak papa. Mas Raka masuk ya, Ma?""Masuk, pulang sore. Gak
"Mi, sini dulu! Duduk sebentar!" Laila menarik tangan ummi-nya untuk duduk di kursi yang tadi ia duduki. Laila menggenggam tangan ibunya yang mendadak dingin bagaikan terkena air es. "Mi, Ummi gak boleh panik, ga baik untuk kesehatan Ummi. Zahra masih muda kan. Masih labil pikirannya karena emang mereka itu pasangan muda. "Lebih tua dari Syamil satu tahun," potong Bu Umi cepat. Laila menghela napas. "Iya, tapi tetap saja Zahra masih berusia muda. Apalagi baru selesai menikah, langsung diajak ke rumah mertua, jadi canggung dan gak nyaman.""Apa bedanya nginap sekarang sama nginap seminggu lagi? Sama saja kan? Nanti juga ke rumahnya lagi. Begitu bukan?" Laila menerima gelas dari Didin yang berisi air hangat untuk diberikan pada Bu Umi. "Mi, mungkin Zahra masih kaget. Jadi kayak ngambek gitu. Lagian ke Turkinya masih bulan depan kan? Masih lama juga. Empat puluh lima hari lagi karena Syamil harus mengurus pengajuan data Zahra sebagai istri. Untuk pasport dan lain-lain. Anggap saja pe
Syamil dan Fadli bubar. Syamil berjalan cepat masuk ke pesantren, tetapi ia belum benar-benar masuk sebelum ia memastikan bahwa kurir paket sudah beneran pergi dari rumah Hani. Saat motor kurir melewati pagar pesantren, saat itulah Syamil ikut berbalik dan berjalan masuk ke rumah."Kamu dari mana saja, Sya? Pengantin baru jangan keluyuran melulu. Enakan kelonan sama istri," tegur Bu Umi saat melihat putranya masuk dengan tubuh berpeluh."Iya, Mi, ini juga mau naik, gerah banget." Syamil sengaja tidak mau berlama-lama di dekat ummi-ya karena khawatir akan banyak pertanyaan beliau nanti tentang istrinya. Syamil membuka pintu kamar. Ia mendapati Zahra sedang tidur sambil memegang ponselnya. Syamil hanya bisa menghela napas sambil menggelengkan kepala. Pemuda itu membuka baju kausnya yang basah keringat. Ia mengibas-ngibaskan bajunya agar keringatnya cepat kering. AC di kamar memang cukup dingin, tetapi belum mampu menghilangkan rasa gerahnya. Mendengar suara kibasan kain, Zahra terbangun
Keduanya sudah mandi dan juga solat magrib berjamaah. Syamil memimpin dengan membaca surah Ar Rahman yang isi surah tersebut adalah tentang cinta kasih. Bahkan Syamil menangis saat membacakan surah tersebut. Hani pun ikut menangis, sehingga Syamil begitu terharu melihat sang Istri. "Sudah, kan sudah selesai solat, air matanya masih turun aja! Neng terharu dengan surah itu ya?" Syamil mengusap kepala Hani dengan lembut. "Saya nangis bukan karena terharu, tapi karena kecapean berdiri. Surahnya kepanjangan. Rokaat pertama surah Ar-Rahman, rokaat kedua Surah Yasin, hiks.... " Syamil tertawa terpingkal-pingkal. Ia benar-benar keterlaluan pada istrinya. Bisa-bisa nanti Isya, Hani gak mau jama'ah lagi gara-gara kepanjangan ayat. Hu hu hu... "Neng, maaf ya. Sini, biar saya pijitin!" Syamil tidak tega dan tentu saja langsung meminta maaf. Kedua kaki istrinya ia pegang dan ia pijat dengan lembut. Hani pun membiarkan Syamil memijat kakinya karena memang rasanya sakit dan pegal. "Maaf ya, sa
"Apa ini, Mi?" tanya Syamil saat ummi-nya menyodorkan sebuah kartu mirip kartu ATM. "Buat kamu bulan madu. Biar gak digangguin pembaca, he he he.... ""Ya Allah, Ummi, makasih ya, Mi." Syamil memeluk ummi-nya dengan penuh rasa haru. "Ummi ini kapok, mungkin karena waktu pernikahan kamu yang pertama Ummi gak kasih hadiah nginep di hotel, makanya jadi gitu. Sekarang Ummi mau memperbaiki kesalahan Ummi. Kamu dan Hani selamat menikmati menginap di hotel selama empat hari. " Kalian bisa jalan-jalan naik speedboat, bisa ke Dufan sekalian, bisa main ke sea world. Menikmati makan malam romantis di depan pantai Ancol." Bu Umi menjelaskan dengan penuh antusias. Ia memang sudah menyiapkan semua untuk Syamil dan juga Hani. "Mi, terima kasih ya," ujar Hani akhirnya, setelah sejak tadi hanya memperhatikan Syamil dan ummi-nya berbincang. "Sama-sama Hani. Ummi lega ternyata kamu ibu kandung Syam, sehingga Ummi dan Syam tidak akan dipisahkan." Bu Umi sudah berkaca-kaca. Hani memeluk mertuanya. "
Salah satu orang yang paling tersedu-sedan di ruangan itu adalah Bu Restu. Dengan baju kebaya sederhana yang dipinjamkan Bu Umi, serta selendang panjang yang ia pakai di kepala, Bu Restu terus terisak. Ia begitu terharu bisa menyaksikan momen anak bungsunya menikah dengan sebenar-benarnya menikah."Mama, maafkan Hani. Mohon ... d-doa restu Mama." Kalimat itu ia ucapkan terbata-bata diantara linangan air matanya. "Pasti Mama doakan, Sayang. Semoga bahagia selalu ya, Nak. Maafkan Mama." Keduanya saling berpelukan erat. Dilanjut dengan sungkem pada Hadi."Akhirnya adik Abang menikah juga. Selamat yq, Hani. Semoga sakinah, mawaddah, wa rohmah." "Makasih, Bang. Hani minta doa dan restunya." Adik dan kakak itu pun saling berpelukan sambil menangis Syamil yang ikut sungkem pada Bu Restu."Mohon doa restunya, Ma," bisik Syamil dengan suara bergetar menahan tangis."Titip Hani ya. Mama pesan, tolong jaga Hani. Jika kamu sedang marah, tolong jangan berkata kasar pada Hani. Mama percayakan an
"Beneran kamu gak mau ikut melamar wanita yang akan menjadi kakak ipar kamu?" tanya Pak Rahmat pada Zahra. Dirinya dan Raka sudah bersiap berangkat karena taksi online sudah menunggu di depan pagar rumah. "Nggak, Pa, semoga acaranya lancar." Zahra tidak berani menoleh pada Raka. Ia hanya menatap papanya saja sambil tersenyum tipis. "Ya sudah kalau begitu, Papa dan Raka berangkat dulu. Besok pagi Papa InsyaAllah sudah ada di rumah." Zahra mengangguk paham. Wanita itu masih berdiri di depan pintu sampai taksi yang ditumpangi papa dan Raka meluncur pergi. Kemarahan Raka kemarin, sangat membuatnya syok dan sadar, bahwa selama bertahun-tahun hanya dirinya yang memendam perasaan itu, sedangkan Raka tetap menganggapnya sebagai adik. Zahra merapikan semua baju untuk ia masukkan ke dalam tas. Tekadnya sudah bulat untuk kembali bekerja dan tinggal di kosan saja. Jika ia tetap di rumah, maka kenangan almarhumah mamanya dan Raka pasti mengusiknya dan membuatnya susah sadar diri. "Mbak Zahra
Kehadiran Raka di rumah tentu saja membuat Pak Rahmat sedikit lega. Meskipun hanya satu malam saja putranya menginap, paling tidak, pria itu merasa ada teman bicara. Masalah yang menumpuk membuatnya stres memikirkan masalah anak-anaknya.Jika Pak Rahmat senang dengan kehadiran Raka, menemani Raka makan di ruang makan, tetapi tidak dengan Zahra yang masih belum keluar kamar sejak mulai Raka tiba di rumah. "Ck, ya ampun Zahra belom sembuh juga ngambeknya," gumam Raka saat nasi dalam piring hampir habis. "Ya, nanti kamu bicara saja dengan Zahra. Ada hal yang harus kamu ketahui, tetapi lebih baik Zahra sendiri yang memberitahu." "Maksud Papa? Hal penting apa, Pa? Berkaitan dengan Syamil?" Pak Rahmat mengangkat bahunya. "Bisa jadi." Jawaban ambigu Pak Rahmat membuat Raka menghela napas. Pasti ada ha besar yang ditutupi papa dan adiknya. Pak Rahmat memang sudah menimbang untuk tidak membicarakan masalah perasaan putrinya pada Raka. Ia tidak mau ikut campur terlalu dalam, apalagi soal
"Wah, calon pengantin jangan suudzon dulu!" Raka mengulurkan tangan ingin berjabat dengan Syamil. Pemuda itu pun membalas jabat tangan Raka tanpa senyuman. Wajahnya masih masam karena merasa cemburu dengan Raka. "Mas Raka udah tahu status kita, Sya. Mas Raka ke sini hanya mau anter oleh-oleh dan meluruskan masalah dengan saya. Semua udah selesai kok." Hani menambahkan dengan bijak. Syamil tidak menyahut. Ia duduk memutuskan duduk di samping Raka dengan muka yang masih ditekuk. "Ya sudah, menurut saya masalah diantara kita sudah selesai. Doakan masalah saya juga selesai ya, Hani." Raka berdiri dari duduknya. "Mas, habiskan dulu tehnya!" Hani mengangkat cangkir teh yang masih ada setengah cangkir lagi. Raka pun duduk untuk menghabiskan tehnya. Hani dan Syamil saling pandang. Hani mendelik karena wajah Syamil masih saja masam, padahal Raka sudah menjelaskan. "Saya pamit deh, naik taksi online-nya dari depan saja. Oh, iya, Sya, jangan lupa undang saya saat kalian menikah ya. Selagi se
"Zahra, kamu dari mana saja? Ini sudah malam," tanya Pak Rahmat saat membukakan pintu untuk Zahra. Putrinya dengan tampilan amat berantakan pergi sejak siang dan baru kembali pukul sebelas malam. Zahra tidak menjawab pertanyaan papanya. Ia berjalan lunglai menuju kamar. Pak Rahmat hanya bisa menggelengkan kepala. Ia mengunci kembali pintu rumah, lalu mematikan lampu. Tidak mungkin mengajak putrinya bicara dalam keadaan kacau seperti ini. Pak Rahmat memutuskan masuk ke kamar juga. Pagi harinya, tepat pukul lima pagi. Siti sudah sampai di rumah Zahra dan tengah bersih-bersih saat Pak Rahmat baru pulang dari solat subuh di masjid. "Assalamu'alaikum." "Wa'alaykumussalam." Siti tersenyum sambil mengangguk. "Zahra belom bangun, Ti?" tanya Pak Rahmat, sambil melirik kamar putrinya yang masih tertutup rapat. "Belum, Pak, mungkin sebentar lagi atau bisa juga lagi datang bulan, makanya bangunnya santai," jawab Siti. "Benar juga sih. Oh iya, mulai hari ini saya sudah kerja kembali. Jadi
"Kenapa kamu tega sama aku Hani?" Zahra terisak di depan Hani yang menatapnya dengan wajah bingung."Tega apa, Ra? Coba kamu tenang dulu. Cerita sambil sesegukan gitu, mana aku bisa paham," ujar Hani sembari menyentuh pundak sahabatnya. Zahra menepis tangan Hani dengan cepat. "Kamu kenapa gak bisa menahan diri? Paling tidak sampai aku benar-benar bercerai dari Syamil. Kamu gak mau dibilang pelakor'kan, Hani?" sindiran Zahra tentu saja sama sekali tidak membuat Hani tersinggung. Ujian lebih berat dari ini pernah ia lewati dan ia tidak mau tersulut emosi untuk hal yang tidak jelas."Poligami itu bolehkan? Bukan suatu hal yang dosa. Apalagi setahu saya, istri Syamil yang meninggalkannya. Saya gak masalah jadi istri kedua." Jawaban Hani membuat Zahra semakin menangis. "Kalau bukan karena aku, kamu pasti udah jadi pelacur di luar sana, Hani! Kamu aku berikan tempat tinggal layak. Aku bantu mencarikan pekerjaan. Aku pinjamkan HP untuk kamu jualan. Lalu setelah kamu mandiri, kamu lupa." H
Acara lamaran berlangsung lancar dan juga penuh canda tawa. Pukul dua siang, keluarga Syamil masih betah berbincang dengan keluarga Hani. Bu Umi sudah ingin pulang, tetapi suaminya masih betah di rumah Hani. Entah apa yang mendasari itu, tetapi firasatnya sebagai istri mengatakan, bahwa ada hal lain yang membuat suaminya betah. Begitu juga dengan Nela. Ia tahu, sejak tadi, Hadi selalu mencuri pandang padanya yang sengaja duduk di pojokan. Bahkan saat menikmati makan prasmanan yang disiapkan keluarga Hadi pun, ia memilih mengambil asal saja lauk yang ada di deretan panci prasmanan. Hadi juga tidak menghampirinya, maka ia pun merasa tidak perlu juga berbincang dengan pria itu. Kisahnya dan Hadi adalah kisah masa lalu yang amat buruk, tetapi membuatnya mempunyai tabungan di akhirat. Nela pun tersenyum bila mengingat bagaimana Allah memuliakannya. Mengangkat derajatnya dari wanita malam, menjadi istri sah dari seorang ustadz. "Nela, bilangin abah tuh, ajak pulang! Kaki saya mulai saki