Selesai sarapan, Zahra kembali ke kamarnya. Ia tidak mau bergabung bersama keluarga Syamil karena ja menilai seluruh keluarga suaminya nyinyir. Apapun yang ia katakan, pasti saja salah dan diprotes. Pantas saja sejak awal ia keberatan setelah resepsi pulang ke rumah Syamil karena ternyata hal ini yang ia dapatkan. Ponselnya berdering. Kali ini nama mamanya yang ada di layar. "Halo, assalamu'alaikum, pengantin lagi apa?" "Wa'alaykumussalam, Ma. Baru aja sarapan, tapi.... ""Tapi apa, Nak?""Tapi gak selera. Masakannya asin, Ma.""Begitu kalau masih baru, Sayang. Nanti juga terbiasa. Tapi kamu baik-baik saja kan?""Baik-baik gimana kalau gak selera makan? Mama masak apa di rumah? Kirim ke sini deh, Ma, biar nanti Zahra yang bayar ojeknya."Suara tawa renyah Bu Tia terdengar di seberang telepon sana. "Mama masak ikan pesmol sama sambal. Kesukaan kamu dan Raka.""Mau, Ma, anterin ke sini deh. Minta Mas Raka aja yang antar juga gak papa. Mas Raka masuk ya, Ma?""Masuk, pulang sore. Gak
"Mi, sini dulu! Duduk sebentar!" Laila menarik tangan ummi-nya untuk duduk di kursi yang tadi ia duduki. Laila menggenggam tangan ibunya yang mendadak dingin bagaikan terkena air es. "Mi, Ummi gak boleh panik, ga baik untuk kesehatan Ummi. Zahra masih muda kan. Masih labil pikirannya karena emang mereka itu pasangan muda. "Lebih tua dari Syamil satu tahun," potong Bu Umi cepat. Laila menghela napas. "Iya, tapi tetap saja Zahra masih berusia muda. Apalagi baru selesai menikah, langsung diajak ke rumah mertua, jadi canggung dan gak nyaman.""Apa bedanya nginap sekarang sama nginap seminggu lagi? Sama saja kan? Nanti juga ke rumahnya lagi. Begitu bukan?" Laila menerima gelas dari Didin yang berisi air hangat untuk diberikan pada Bu Umi. "Mi, mungkin Zahra masih kaget. Jadi kayak ngambek gitu. Lagian ke Turkinya masih bulan depan kan? Masih lama juga. Empat puluh lima hari lagi karena Syamil harus mengurus pengajuan data Zahra sebagai istri. Untuk pasport dan lain-lain. Anggap saja pe
Syamil dan Fadli bubar. Syamil berjalan cepat masuk ke pesantren, tetapi ia belum benar-benar masuk sebelum ia memastikan bahwa kurir paket sudah beneran pergi dari rumah Hani. Saat motor kurir melewati pagar pesantren, saat itulah Syamil ikut berbalik dan berjalan masuk ke rumah."Kamu dari mana saja, Sya? Pengantin baru jangan keluyuran melulu. Enakan kelonan sama istri," tegur Bu Umi saat melihat putranya masuk dengan tubuh berpeluh."Iya, Mi, ini juga mau naik, gerah banget." Syamil sengaja tidak mau berlama-lama di dekat ummi-ya karena khawatir akan banyak pertanyaan beliau nanti tentang istrinya. Syamil membuka pintu kamar. Ia mendapati Zahra sedang tidur sambil memegang ponselnya. Syamil hanya bisa menghela napas sambil menggelengkan kepala. Pemuda itu membuka baju kausnya yang basah keringat. Ia mengibas-ngibaskan bajunya agar keringatnya cepat kering. AC di kamar memang cukup dingin, tetapi belum mampu menghilangkan rasa gerahnya. Mendengar suara kibasan kain, Zahra terbangun
Zahra dan Syamil sudah duduk di aula bersama Bu Haji Umi. Tempat biasa diadakan pertemuan apapun yang dianggap penting, pasti dilakukan di aula. Termasuk untuk membicarakan hal urgent seperti ini. Tidak ada siapapun yang boleh menganggu jika ada orang yang tengah berdiskusi di ruangan aula. "Ya sudah, Ummi tunggu, Abah cepat pulang.""Iya, Mi, Abah sudah di jalan.""Oke, Bah, assalamu'alaikum."Bu Umi meletakkan kembali ponselnya di atas karpet tebal yang membentang menutupi ubin aula. Wanita itu mengerutkan kening begitu dalam saat menyadari ada yang berbeda dengan bibir bawah anaknya. Bukan seperti luka karena ciuman, tapi lebih seperti terbentur karena warna merah darah bekunya begitu kentara. "Ummi baru lihat, bibir kamu kenapa, Sya?" tanya Bu Umi panik. Wanita itu mengangkat dagu sang Putra sembari memakai kacamata yang menggantung di lehernya untuk memastikan bahwa ia tidak salah lihat. "Kebentur, Mi," jawab Syamil berbohong. Zahra menunduk semakin dalam. Sedikit pun ia tidak
Lelah menangis, Zahra akhirnya ketiduran di rumah Hani. Hani memandangi wajah sahabatnya itu. Zahra cantik, mulus kulit wajahnya, aroma pengantin juga masih begitu lekat saat ia masuk ke dalam rumahnya. Namun, wajah cantik Zahra seperti tengah menahan sesuatu yang tidak bisa ia tunjukan begitu saja. Apa yang sebenarnya terjadi pada sahabatnya ini? Batin Hani cemas. Wanita itu pun melanjutkan memasaknya. Menggoreng ikan dan juga memasak sayur asem. Hani sengaja menutup pintu agar suara berisik dari dapur tidak menganggu Zahra. Saat akan menjemur handuk di teras, Hani melihat mobil keluar dari pesantren. Kaca mobil memang tidak gelap sehingga ia bisa melihat siapa saja yang ada di sana. Ada Syamil, ummi-nya dan juga seorang wanita yang waktu itu sempat menegurnya. Apakah itu kakak Syamil? Hani mengangkat bahunya, lalu memilih masuk ke dalam rumah untuk melanjutkan packing. Hari pun siang, Hani membangunkan Zahra untuk makan, tetapi sahabatnya itu masih tidur dengan pulsanya. "Zahra,
Zahra benar-benar membuktikan ucapannya. Pukul dua siang, wanita itu memesan taksi online yang bisa membawanya pulang ke rumah mamanya. Tidak peduli ia harus bayar ongkos cukup mahal, asalkan ia bisa segera pulang ke rumah. Hani sudah menahan dan meminta Zahra mengurungkan niatnya, tetapi temannya itu tetap tidak mau mendengarkan nasihatnya. "Zahra, kamu udah bilang Syamil kalau kamu mau pulang ke rumah orang tua kamu?" tanya Hani saat Zahra sudah merapikan kembali kerudung sambil menunggu taksi online tiba. "Nggak ah, biarin aja suamiku nanti nyariin. Oh, iya, makasih ya, Hani Sayang. Makan siangnya enak banget. Udah dikasih numpang tidur juga. Aku balik dulu." Zahra mencubit gemas pipi Hani, lalu memeluk sahabatnya itu dengan erat. Hani pun hanya bisa menghela napas. Inilah sosok Zahra yang sebenarnya. Sahabatnya itu orang yang keras dan berpendirian teguh. Kalau katanya A, maka akan tetap A. Taksi pesanan Zahra pun sampai. Hani mengantar temannya itu sampai naik ke dalam mobil.
"Orang-orang mah yang dijahit itu jidat, kamu malah bibir atas. Lihat itu, dower lima cantik ke depan. Jangan dekat-dekat sama balon, nanti meletus kalau kena ujung bibir kamu," ledek Bu Umi begitu masuk ke dalam rumah. Syamil dan Laila tertawa. Keduanya memilih bungkam dari pada harus mengomentari omelan ummi-nya. Namanya juga emak-emak. Syam berdiri begitu melihat kedatangan orang-orang yang ia sayangi. Anak lelaki yang tengah bermain puzzle itu berjalan setengah jinjit menuju Syamil yang sudah duduk tidak jauh dari Bu Umi. "Mana Zahra, panggil sini!" Kata Umi memerintah Laila. "Teteh Zala kabul, Mi. Kual pagel," (Teteh Zahra kabur keluar pagar) jawaban Syam membuat Syamil berdiri dan berlari untuk melihat istrinya di kamar. Zahra tidak ada di kamar.. Syamil memeriksa baju Zahra di dalam lemari. Masih lengkap semuanya. Syamil mengambil ponsel untuk menelepon Zahra tetapi tidak diangkat. "Berarti Zahra ke rumah orang tuanya," kata Bu Umi setelah melihat Syamil turun sendirian.
Siapkan tisu! Sad dan terharu. "Assalamu'alaikum, Bu," panggil Syam dengan suara lucunya. Syamil kembali mengetuk pintu dan tugas Syam yang mengucapkan salam. "Wa'alaykumussalam, siapa ya?" Hani buru-buru memakai kerudungnya. "Siapa hayo?" tanya balik Syam hingga membuat Syamil kembali terbahak. Hani mengerutkan kening. Anak siapa sih? Meuni aneh pisan, kita nanya, dia balik nanya. Batin Hani sambil berjalan untuk membukakan pintu bagi tamunya. CklekSyamil dan Syam tersenyum. Hani mendelik kaget, lalu ia menutup pintu dengan cepat. Blam! Wanita itu mengatur napasnya yang sesak. Ia kekurangan oksigen karena ada dua pria tampan di depan rumahnya. Hani mengibaskan tangan di depan wajahnya agar ia tidak menangis. "Emangnya kita pocong, masa udah buka pintu ditutup lagi," komentar Syam. "Makanya pakai bedak jangan cemong, jadinya dikirain anaknya Mbak Kunti. Ibu itu pasti takut sama Syam, bukan sama Abang." Syam mencebik. Anak kecil itu kembali mengetuk pintu. Hani berhasil meng