Zahra dan Syamil sudah duduk di aula bersama Bu Haji Umi. Tempat biasa diadakan pertemuan apapun yang dianggap penting, pasti dilakukan di aula. Termasuk untuk membicarakan hal urgent seperti ini. Tidak ada siapapun yang boleh menganggu jika ada orang yang tengah berdiskusi di ruangan aula. "Ya sudah, Ummi tunggu, Abah cepat pulang.""Iya, Mi, Abah sudah di jalan.""Oke, Bah, assalamu'alaikum."Bu Umi meletakkan kembali ponselnya di atas karpet tebal yang membentang menutupi ubin aula. Wanita itu mengerutkan kening begitu dalam saat menyadari ada yang berbeda dengan bibir bawah anaknya. Bukan seperti luka karena ciuman, tapi lebih seperti terbentur karena warna merah darah bekunya begitu kentara. "Ummi baru lihat, bibir kamu kenapa, Sya?" tanya Bu Umi panik. Wanita itu mengangkat dagu sang Putra sembari memakai kacamata yang menggantung di lehernya untuk memastikan bahwa ia tidak salah lihat. "Kebentur, Mi," jawab Syamil berbohong. Zahra menunduk semakin dalam. Sedikit pun ia tidak
Lelah menangis, Zahra akhirnya ketiduran di rumah Hani. Hani memandangi wajah sahabatnya itu. Zahra cantik, mulus kulit wajahnya, aroma pengantin juga masih begitu lekat saat ia masuk ke dalam rumahnya. Namun, wajah cantik Zahra seperti tengah menahan sesuatu yang tidak bisa ia tunjukan begitu saja. Apa yang sebenarnya terjadi pada sahabatnya ini? Batin Hani cemas. Wanita itu pun melanjutkan memasaknya. Menggoreng ikan dan juga memasak sayur asem. Hani sengaja menutup pintu agar suara berisik dari dapur tidak menganggu Zahra. Saat akan menjemur handuk di teras, Hani melihat mobil keluar dari pesantren. Kaca mobil memang tidak gelap sehingga ia bisa melihat siapa saja yang ada di sana. Ada Syamil, ummi-nya dan juga seorang wanita yang waktu itu sempat menegurnya. Apakah itu kakak Syamil? Hani mengangkat bahunya, lalu memilih masuk ke dalam rumah untuk melanjutkan packing. Hari pun siang, Hani membangunkan Zahra untuk makan, tetapi sahabatnya itu masih tidur dengan pulsanya. "Zahra,
Zahra benar-benar membuktikan ucapannya. Pukul dua siang, wanita itu memesan taksi online yang bisa membawanya pulang ke rumah mamanya. Tidak peduli ia harus bayar ongkos cukup mahal, asalkan ia bisa segera pulang ke rumah. Hani sudah menahan dan meminta Zahra mengurungkan niatnya, tetapi temannya itu tetap tidak mau mendengarkan nasihatnya. "Zahra, kamu udah bilang Syamil kalau kamu mau pulang ke rumah orang tua kamu?" tanya Hani saat Zahra sudah merapikan kembali kerudung sambil menunggu taksi online tiba. "Nggak ah, biarin aja suamiku nanti nyariin. Oh, iya, makasih ya, Hani Sayang. Makan siangnya enak banget. Udah dikasih numpang tidur juga. Aku balik dulu." Zahra mencubit gemas pipi Hani, lalu memeluk sahabatnya itu dengan erat. Hani pun hanya bisa menghela napas. Inilah sosok Zahra yang sebenarnya. Sahabatnya itu orang yang keras dan berpendirian teguh. Kalau katanya A, maka akan tetap A. Taksi pesanan Zahra pun sampai. Hani mengantar temannya itu sampai naik ke dalam mobil.
"Orang-orang mah yang dijahit itu jidat, kamu malah bibir atas. Lihat itu, dower lima cantik ke depan. Jangan dekat-dekat sama balon, nanti meletus kalau kena ujung bibir kamu," ledek Bu Umi begitu masuk ke dalam rumah. Syamil dan Laila tertawa. Keduanya memilih bungkam dari pada harus mengomentari omelan ummi-nya. Namanya juga emak-emak. Syam berdiri begitu melihat kedatangan orang-orang yang ia sayangi. Anak lelaki yang tengah bermain puzzle itu berjalan setengah jinjit menuju Syamil yang sudah duduk tidak jauh dari Bu Umi. "Mana Zahra, panggil sini!" Kata Umi memerintah Laila. "Teteh Zala kabul, Mi. Kual pagel," (Teteh Zahra kabur keluar pagar) jawaban Syam membuat Syamil berdiri dan berlari untuk melihat istrinya di kamar. Zahra tidak ada di kamar.. Syamil memeriksa baju Zahra di dalam lemari. Masih lengkap semuanya. Syamil mengambil ponsel untuk menelepon Zahra tetapi tidak diangkat. "Berarti Zahra ke rumah orang tuanya," kata Bu Umi setelah melihat Syamil turun sendirian.
Siapkan tisu! Sad dan terharu. "Assalamu'alaikum, Bu," panggil Syam dengan suara lucunya. Syamil kembali mengetuk pintu dan tugas Syam yang mengucapkan salam. "Wa'alaykumussalam, siapa ya?" Hani buru-buru memakai kerudungnya. "Siapa hayo?" tanya balik Syam hingga membuat Syamil kembali terbahak. Hani mengerutkan kening. Anak siapa sih? Meuni aneh pisan, kita nanya, dia balik nanya. Batin Hani sambil berjalan untuk membukakan pintu bagi tamunya. CklekSyamil dan Syam tersenyum. Hani mendelik kaget, lalu ia menutup pintu dengan cepat. Blam! Wanita itu mengatur napasnya yang sesak. Ia kekurangan oksigen karena ada dua pria tampan di depan rumahnya. Hani mengibaskan tangan di depan wajahnya agar ia tidak menangis. "Emangnya kita pocong, masa udah buka pintu ditutup lagi," komentar Syam. "Makanya pakai bedak jangan cemong, jadinya dikirain anaknya Mbak Kunti. Ibu itu pasti takut sama Syam, bukan sama Abang." Syam mencebik. Anak kecil itu kembali mengetuk pintu. Hani berhasil meng
Zahra lelah menunggu Raka yang tidak kunjung sampai di rumahnya. Gadis itu akhirnya masuk ke dalam rumah dan langsung memilih tidur. Ini sudah jam sembilan lebih tiga puluh malam dan ia pun mulai mengantuk. Janjinya mau bawain durian, sampai gini hari belum pulang juga. Zahra tidur aja deh. SendItulah pesan yang dikirimkan Zahra pada Raka. Lalu, di mana Raka sebenarnya? Raka ternyata singgah ke rumah Hani sebentar, membawakan durian yang sama. Pria itu tidak masuk, hanya duduk di teras saja, berbincang sebentar sembari menghabiskan teh buatan Hani. "Lain kali jangan mampir terlalu malam ya, Mas. Saya gak enak sama tetangga," ujar Hani sambil memperhatikan sekelilingnya. "Iya, maaf ya. Besok-besok saya datang subuh boleh?" Raka berkelakar. Hani akhirnya tertawa. Zahra dan kakaknya sudah terlalu baik padanya. Tidak mungkin ia menolak kedatangan Raka, apalagi pria itu hanya menumpang minum teh dan juga duduk di teras. "Assalamu'alaikum, Mas Raka." Hani dan Raka menoleh serentak pad
Sepanjang perjalanan pulang, Raka memikirkan perkataan Syamil yang sembarangan mengenai Hani. Ia tahu adik iparnya itu bercanda, tetapi tetap saja kelewatan karena sudah jelas ia baru menikah, masa sudah mau punya bini muda. Bukan suatu hal yang bisa dijadikan bahan bercandaan. Begitu ia tiba di rumah, lampu rumah sudah padam semua. Raka menutup pagar, lalu menggemboknya. Ini sudah hampir jam dua belas malam dan sudah pasti semua orang rumah sudah tidur. Raka masuk menggunakan kunci cadangan yang selalu ia bawa. Pria itu memutuskan langsung mandi barulah ia tidur. Tidurnya juga tidak lelap karena pikirannya masih mengganjal dengan bercandanya Syamil. Keesokan paginya, Zahra mengetuk pintu kamar Raka. Gadis itu mengetuk berkali-kali hingga akhirnya memutuskan untuk masuk dan membangunkan Raka. "Mas, bangun, udah siang loh, udah setengah enam. Solat dulu!" Zahra sedikit menepuk kaki Raka hingga akhirnya membuat pria dewasa itu menggeliat. "Eh, Zahra, kenapa?" tanyanya dengan suara
"Syamil, kamu baru sampai, Nak?" semua menoleh ke arah pintu rumah, termasuk Syamil yang juga terpaksa berbalik saat mendengar suara Bu Tia. "Mau jemput Zahra ya?" tanya Bu Tia lagi sembari berjalan masuk dan memberikan tangannya pada Syamil. Syamil mencium punggung tangan mertuanya dengan khidmat. Ketegangan yang sempat terjadi mendadak sedikit mencair karena kehadiran Bu Tia. "Zahra, kamu bengong? Itu suami kamu buatkan air." Bu Tia membuat Zahra yang sejak tadi mematung, akhirnya mengangguk. Gadis itu bergegas ke dapur untuk membuat teh. Tangannya gemetar saat menuangkan gula satu sendok ke dalam cangkir. Ia terlalu takut bahwa Syamil mengatakan yang sebenarnya pada Raka dan juga mamanya. Syamil sudah duduk di ruang tamu bersama Raka saat Zahra datang membawakan teh. "Mama ke mana, Mas?" tanya Zahra saat mencari keberadaan mamanya yang tidak ada di ruang tamu. "Mama ke kamar ganti baju dulu, soalnya mama dari pasar." Raka menjawab kaku. Ia masih memikirkan ucapan Syamil yang t
Keduanya sudah mandi dan juga solat magrib berjamaah. Syamil memimpin dengan membaca surah Ar Rahman yang isi surah tersebut adalah tentang cinta kasih. Bahkan Syamil menangis saat membacakan surah tersebut. Hani pun ikut menangis, sehingga Syamil begitu terharu melihat sang Istri. "Sudah, kan sudah selesai solat, air matanya masih turun aja! Neng terharu dengan surah itu ya?" Syamil mengusap kepala Hani dengan lembut. "Saya nangis bukan karena terharu, tapi karena kecapean berdiri. Surahnya kepanjangan. Rokaat pertama surah Ar-Rahman, rokaat kedua Surah Yasin, hiks.... " Syamil tertawa terpingkal-pingkal. Ia benar-benar keterlaluan pada istrinya. Bisa-bisa nanti Isya, Hani gak mau jama'ah lagi gara-gara kepanjangan ayat. Hu hu hu... "Neng, maaf ya. Sini, biar saya pijitin!" Syamil tidak tega dan tentu saja langsung meminta maaf. Kedua kaki istrinya ia pegang dan ia pijat dengan lembut. Hani pun membiarkan Syamil memijat kakinya karena memang rasanya sakit dan pegal. "Maaf ya, sa
"Apa ini, Mi?" tanya Syamil saat ummi-nya menyodorkan sebuah kartu mirip kartu ATM. "Buat kamu bulan madu. Biar gak digangguin pembaca, he he he.... ""Ya Allah, Ummi, makasih ya, Mi." Syamil memeluk ummi-nya dengan penuh rasa haru. "Ummi ini kapok, mungkin karena waktu pernikahan kamu yang pertama Ummi gak kasih hadiah nginep di hotel, makanya jadi gitu. Sekarang Ummi mau memperbaiki kesalahan Ummi. Kamu dan Hani selamat menikmati menginap di hotel selama empat hari. " Kalian bisa jalan-jalan naik speedboat, bisa ke Dufan sekalian, bisa main ke sea world. Menikmati makan malam romantis di depan pantai Ancol." Bu Umi menjelaskan dengan penuh antusias. Ia memang sudah menyiapkan semua untuk Syamil dan juga Hani. "Mi, terima kasih ya," ujar Hani akhirnya, setelah sejak tadi hanya memperhatikan Syamil dan ummi-nya berbincang. "Sama-sama Hani. Ummi lega ternyata kamu ibu kandung Syam, sehingga Ummi dan Syam tidak akan dipisahkan." Bu Umi sudah berkaca-kaca. Hani memeluk mertuanya. "
Salah satu orang yang paling tersedu-sedan di ruangan itu adalah Bu Restu. Dengan baju kebaya sederhana yang dipinjamkan Bu Umi, serta selendang panjang yang ia pakai di kepala, Bu Restu terus terisak. Ia begitu terharu bisa menyaksikan momen anak bungsunya menikah dengan sebenar-benarnya menikah."Mama, maafkan Hani. Mohon ... d-doa restu Mama." Kalimat itu ia ucapkan terbata-bata diantara linangan air matanya. "Pasti Mama doakan, Sayang. Semoga bahagia selalu ya, Nak. Maafkan Mama." Keduanya saling berpelukan erat. Dilanjut dengan sungkem pada Hadi."Akhirnya adik Abang menikah juga. Selamat yq, Hani. Semoga sakinah, mawaddah, wa rohmah." "Makasih, Bang. Hani minta doa dan restunya." Adik dan kakak itu pun saling berpelukan sambil menangis Syamil yang ikut sungkem pada Bu Restu."Mohon doa restunya, Ma," bisik Syamil dengan suara bergetar menahan tangis."Titip Hani ya. Mama pesan, tolong jaga Hani. Jika kamu sedang marah, tolong jangan berkata kasar pada Hani. Mama percayakan an
"Beneran kamu gak mau ikut melamar wanita yang akan menjadi kakak ipar kamu?" tanya Pak Rahmat pada Zahra. Dirinya dan Raka sudah bersiap berangkat karena taksi online sudah menunggu di depan pagar rumah. "Nggak, Pa, semoga acaranya lancar." Zahra tidak berani menoleh pada Raka. Ia hanya menatap papanya saja sambil tersenyum tipis. "Ya sudah kalau begitu, Papa dan Raka berangkat dulu. Besok pagi Papa InsyaAllah sudah ada di rumah." Zahra mengangguk paham. Wanita itu masih berdiri di depan pintu sampai taksi yang ditumpangi papa dan Raka meluncur pergi. Kemarahan Raka kemarin, sangat membuatnya syok dan sadar, bahwa selama bertahun-tahun hanya dirinya yang memendam perasaan itu, sedangkan Raka tetap menganggapnya sebagai adik. Zahra merapikan semua baju untuk ia masukkan ke dalam tas. Tekadnya sudah bulat untuk kembali bekerja dan tinggal di kosan saja. Jika ia tetap di rumah, maka kenangan almarhumah mamanya dan Raka pasti mengusiknya dan membuatnya susah sadar diri. "Mbak Zahra
Kehadiran Raka di rumah tentu saja membuat Pak Rahmat sedikit lega. Meskipun hanya satu malam saja putranya menginap, paling tidak, pria itu merasa ada teman bicara. Masalah yang menumpuk membuatnya stres memikirkan masalah anak-anaknya.Jika Pak Rahmat senang dengan kehadiran Raka, menemani Raka makan di ruang makan, tetapi tidak dengan Zahra yang masih belum keluar kamar sejak mulai Raka tiba di rumah. "Ck, ya ampun Zahra belom sembuh juga ngambeknya," gumam Raka saat nasi dalam piring hampir habis. "Ya, nanti kamu bicara saja dengan Zahra. Ada hal yang harus kamu ketahui, tetapi lebih baik Zahra sendiri yang memberitahu." "Maksud Papa? Hal penting apa, Pa? Berkaitan dengan Syamil?" Pak Rahmat mengangkat bahunya. "Bisa jadi." Jawaban ambigu Pak Rahmat membuat Raka menghela napas. Pasti ada ha besar yang ditutupi papa dan adiknya. Pak Rahmat memang sudah menimbang untuk tidak membicarakan masalah perasaan putrinya pada Raka. Ia tidak mau ikut campur terlalu dalam, apalagi soal
"Wah, calon pengantin jangan suudzon dulu!" Raka mengulurkan tangan ingin berjabat dengan Syamil. Pemuda itu pun membalas jabat tangan Raka tanpa senyuman. Wajahnya masih masam karena merasa cemburu dengan Raka. "Mas Raka udah tahu status kita, Sya. Mas Raka ke sini hanya mau anter oleh-oleh dan meluruskan masalah dengan saya. Semua udah selesai kok." Hani menambahkan dengan bijak. Syamil tidak menyahut. Ia duduk memutuskan duduk di samping Raka dengan muka yang masih ditekuk. "Ya sudah, menurut saya masalah diantara kita sudah selesai. Doakan masalah saya juga selesai ya, Hani." Raka berdiri dari duduknya. "Mas, habiskan dulu tehnya!" Hani mengangkat cangkir teh yang masih ada setengah cangkir lagi. Raka pun duduk untuk menghabiskan tehnya. Hani dan Syamil saling pandang. Hani mendelik karena wajah Syamil masih saja masam, padahal Raka sudah menjelaskan. "Saya pamit deh, naik taksi online-nya dari depan saja. Oh, iya, Sya, jangan lupa undang saya saat kalian menikah ya. Selagi se
"Zahra, kamu dari mana saja? Ini sudah malam," tanya Pak Rahmat saat membukakan pintu untuk Zahra. Putrinya dengan tampilan amat berantakan pergi sejak siang dan baru kembali pukul sebelas malam. Zahra tidak menjawab pertanyaan papanya. Ia berjalan lunglai menuju kamar. Pak Rahmat hanya bisa menggelengkan kepala. Ia mengunci kembali pintu rumah, lalu mematikan lampu. Tidak mungkin mengajak putrinya bicara dalam keadaan kacau seperti ini. Pak Rahmat memutuskan masuk ke kamar juga. Pagi harinya, tepat pukul lima pagi. Siti sudah sampai di rumah Zahra dan tengah bersih-bersih saat Pak Rahmat baru pulang dari solat subuh di masjid. "Assalamu'alaikum." "Wa'alaykumussalam." Siti tersenyum sambil mengangguk. "Zahra belom bangun, Ti?" tanya Pak Rahmat, sambil melirik kamar putrinya yang masih tertutup rapat. "Belum, Pak, mungkin sebentar lagi atau bisa juga lagi datang bulan, makanya bangunnya santai," jawab Siti. "Benar juga sih. Oh iya, mulai hari ini saya sudah kerja kembali. Jadi
"Kenapa kamu tega sama aku Hani?" Zahra terisak di depan Hani yang menatapnya dengan wajah bingung."Tega apa, Ra? Coba kamu tenang dulu. Cerita sambil sesegukan gitu, mana aku bisa paham," ujar Hani sembari menyentuh pundak sahabatnya. Zahra menepis tangan Hani dengan cepat. "Kamu kenapa gak bisa menahan diri? Paling tidak sampai aku benar-benar bercerai dari Syamil. Kamu gak mau dibilang pelakor'kan, Hani?" sindiran Zahra tentu saja sama sekali tidak membuat Hani tersinggung. Ujian lebih berat dari ini pernah ia lewati dan ia tidak mau tersulut emosi untuk hal yang tidak jelas."Poligami itu bolehkan? Bukan suatu hal yang dosa. Apalagi setahu saya, istri Syamil yang meninggalkannya. Saya gak masalah jadi istri kedua." Jawaban Hani membuat Zahra semakin menangis. "Kalau bukan karena aku, kamu pasti udah jadi pelacur di luar sana, Hani! Kamu aku berikan tempat tinggal layak. Aku bantu mencarikan pekerjaan. Aku pinjamkan HP untuk kamu jualan. Lalu setelah kamu mandiri, kamu lupa." H
Acara lamaran berlangsung lancar dan juga penuh canda tawa. Pukul dua siang, keluarga Syamil masih betah berbincang dengan keluarga Hani. Bu Umi sudah ingin pulang, tetapi suaminya masih betah di rumah Hani. Entah apa yang mendasari itu, tetapi firasatnya sebagai istri mengatakan, bahwa ada hal lain yang membuat suaminya betah. Begitu juga dengan Nela. Ia tahu, sejak tadi, Hadi selalu mencuri pandang padanya yang sengaja duduk di pojokan. Bahkan saat menikmati makan prasmanan yang disiapkan keluarga Hadi pun, ia memilih mengambil asal saja lauk yang ada di deretan panci prasmanan. Hadi juga tidak menghampirinya, maka ia pun merasa tidak perlu juga berbincang dengan pria itu. Kisahnya dan Hadi adalah kisah masa lalu yang amat buruk, tetapi membuatnya mempunyai tabungan di akhirat. Nela pun tersenyum bila mengingat bagaimana Allah memuliakannya. Mengangkat derajatnya dari wanita malam, menjadi istri sah dari seorang ustadz. "Nela, bilangin abah tuh, ajak pulang! Kaki saya mulai saki