Airina terdiam. Dia jelas menyadari itu. Namun, Airina menahan diri dengan terus mengulas senyum.
Hanya saja, mengapa Arsen terus menggenggam tangan Airina?Airina berusaha tenang dan tidak memedulikan banyak orang yang menatap aneh ke arahnya.Tak lama, mereka pun tiba di sebuah ruangan.Ada seorang laki-laki paruh baya itu duduk membelakangi pintu.“Selamat pagi, Ayah,” sapa Arsen akhirnya.Setelahnya, laki-laki itu membalikkan kursinya, menghadap Arsen yang baru saja datang dengan seorang wanita.Hanya saja, matanya menyelidik Airina dari ujung rambut hingga ujung kaki. “Siapa dia, Arsen?” tanya Yohan dengan tatapan aneh.“Dia wanita yang akan menikah denganku besok, Ayah. Aku datang ke mari hanya meminta restu dan meminta dukungan ayah dan ibu datang,” jelas Arsen dengan tegas.Mendengar itu, raut wajah Yohan terlihat sangat murka. Tangan kanannya sampai mengepal di atas meja. Namun, dia berusaha mengendalikan ekspresinya.“Jika demikian, ayah akan adakan makan malam dadakan dengan keluarga Jorge Dassault untuk membahas pembatalan perjodohan bisnis,” jelas Yohan, “kamu harus meminta maaf secara langsung padanya.”Jantung Airina kini berdetak lebih kencang.Entah mengapa, dia tak yakin itu akan menjadi perkara mudah.Seolah menyadari kekhawatirannya, Arsen tiba-tiba memegang tangannya erat.“Terima kasih, Ayah.”Arsen menundukkan kepalanya yang jelas diikuti oleh Airina.Keduanya lalu keluar ruangan dengan keringat dingin.Airina masih tidak percaya jika besok adalah hari pernikahannya dengan Arsen benar-benar dadakan seperti tahu bulat!“Arsen, apakah besok itu tidak terlalu cepat?” tanya Airina pada akhirnya.Arsen hanya menolehkan kepalanya sedikit, menatap lekat wajah Airina dengan senyum yang masih tersungging.“Tentu tidak. Menikah denganmu memang harus dadakan. Kalau tidak, kamu akan kabur, Airina,” ledek Arsen membuat Airina memukul lengan pria itu.Arsen sontak merintih kesakitan. Kekuatan wanita bar-bar satu ini memang seperti pria.Tingkah aneh keduanya jelas menjadi perhatian para penghuni rumah.Aron, sopir pribadi Arsen bahkan terlihat panik. “Apakah Tuan Muda baik-baik saja?” tanyanya.Mendengar itu, Arsen segera mengendalikan diri.Diberikannya isyarat tangan bahwa dia baik-baik saja.Sementara itu, Airina masih menatap nyalang ke arah Arsen yang tiba-tiba tersenyum padanya.“Urusan keluargaku aman. Sekarang, aku akan mengutarakan niat baik ini ke ibumu. Jadi, mohon kerjasamanya, Airina,” tutur pria itu.‘Mengutarakan niat baik?’ batin Airina panik.Wanita itu seketika teringat bahwa Arsen belum tahu sang ibu memiliki penyakit. Ia juga tidak ingin lelaki ini tahu dan mengasihaninya.Tapi, dia tak punya pilihan.Cepat atau lambat ibunya perlu tahu.Pernikahan keduanya toh tak bisa disembunyikan, kan?Jadi, beberapa hari setelahnya, di sinilah Airina.Sejak pagi, perempuan itu sudah dalam balutan gaun pengantin berwarna putih gading yang menjuntai ke lantai kantor walikota Macherie.
Airina masih tak percaya pernikahannya diadakan secepat ini. Ibu dan adiknya bahkan menerima keputusannya.Secara negara, keduanya telah menjadi sepasang suami istri.‘Tuhan, aku benar-benar sudah menikah dengan laki-laki ini,’ batin Airina yang melihat Arsen tersenyum lebar.“Selamat atas pernikahannya, Nak,” ucap Yohan tiba-tiba lalu menjabat tangan Arsen.“Terima kasih banyak, Ayah,” balas sepasang pengantin itu.Hanya saja, ayah Arsen itu mengangguk singkat saja.Untung, Airina tak ambil pusing.Tak lama, acara resepsi pernikahan pun dilanjutkan di sebuah restoran mewah yang sengaja dibooking oleh Yohan Pinault.Airina dan Arsen kini menjadi pusat perhatian semua anggota keluarga. Mereka sudah berganti pakaian yang lebih sederhana, tetapi tetap elegan.Acara demi acara pun terlewati, hingga keduanya tiba-tiba dipanggil ke panggung utama untuk berdansa.Airina yang sangat kaku hanya mengikuti gerakan Arsen, tangan kanannya kini bertengger di pundak Arsen.Mata yang saling bertatapan dan Airina menyadari pria yang menjadi suami kontraknya itu sangat tampan.“Aaa!” teriak Airina saat kakinya hampir terpeleset.Untungnya, tangan Arsen yang sangat sigap menopang tubuh Airina.Sepasang mata itu pun bertemu.Deg!Detak jantung Airina sontak menjadi tidak beraturan.
Beberapa kali Airina mengerjapkan mata, tetapi Arsen juga tetap menatapnya?“Hati-hati dan fokus!” bisik Arsen di telinga Airina yang membuat pipi Airina memerah.Bahkan, sampai acara pernikahan itu selesai!Untungnya, Airina dapat mengendalikan diri, bahkan ketika dalam perjalanan kembali dari restoran.
****
“Selamat datang di apartemen kita,” ucap Arsen pada begitu keduanya tiba di apartemen.
Airina sontak tersenyum kala Arsen masuk lebih dulu ke kamar untuk mengganti pakaian.
Dia mengamati interior apartemen yang terkesan maskulian.
'Apa aku bisa menaruh bunga di sana, ya?' batin Ariana tanpa sadar. Namun, wanita itu segera menggeleng. Dia mencoba mengingatkan dirinya hanyalah istri kontrak Arsen.
Jadi, Airina tak punya hak untuk itu, kan?
Ting!
Bel apartemen berbunyi--menyadarkan Airina dari lamunan.
Wanita itu pun bergegas menuju pintu.
Hanya saja, Airina terkejut kala menemukan Gemma, mantan tunangan Arsen berada di depan unit apartemen.
Bau alkohol tercium jelas dari dirinya membuat Airina mengernyit. Gemma dalam keadaan mabuk parah!Belum sempat Airina berbicara, Gemma mendadak memegang pundaknya. “Wah! Apakah kau pelacur yang baru saja dinikahi seorang Arsen?!” teriaknya murka.Airina mengerutkan kening. “Maaf, Nona. Siapa yang Anda maksud pelacur itu?” balasnya kesal. Seketika Gamma menarik tubuh Airina. Tangannya bahkan menarik rambut Airina dengan kuat. “Bodoh, pelacur itu kau!” tunjuk Gemma pada Airina, “perebut tunangan orang sama saja dengan pelacur murahan! Dengan penampilanmu yang seperti gelandangan, Arsen pasti tak tertarik denganmu jika kamu tidak melemparkan tubuhmu, kan?!” “Hei, wanita murahan!" tambahnya lagi, "akan kupastikan kau menjauh dari sisi Arsen karena--" "Arrgh," pekik Airina menahan sakit. Namun, baru saja ia ingin membalas, Arsen tiba-tiba datang. "Gemma, hentikan!” teriaknya. Kedatangan Arsen sontak membuat Gemma melepaskan cengkramannya dari rambut Airina. Secepat kilat, wajah Gemma berubah sangat memelas dan seolah sangat tidak berdosa. “Darl, pelacurmu itu yang memulai dulu, A-aku hanya memberinya pelajaran,” jelas Gemma dengan suara yang dibuat-buat. ‘Huek,’ gumam Airina dalam hati. Rasanya, dia ingin membalas jambaka
"Hah?" beo Airina tanpa sadar.Belum sempat memproses maksud ucapan tersebut, Arsen sudah kembali berbicara, "Tak usah dipikirkan. Yang jelas, lakukan perintahku sebelum aku berubah pikiran, Nona Airina.”Pria itu pun duduk di hadapan Airina sambil bersedekap dada. Matanya intens melihat wanita dengan rambut yang tergerai.Hanya saja, Airina fokus pada berkas yang ia berikan.Begitu selesai, Airina tiba-tiba mendongak.Dua pasang mata itu kembali bertemu tanpa sengaja.“Su-sudah.” Gemetar tangan Airina menyerahkan selembar kertas pada Arsen yang entah mengapa seperti ingin ... melahapnya?“Hanya ini?” tanya Arsen sembari menyunggingkan senyumnya sebelah.Airina sempat mengerutkan kening sebelum mengangguk. “Ya, aku hanya ingin meminta dukungan biaya untuk merintis bisnis bridal,” yakinnya.Pria itu lantas mengangguk. “Jika hanya itu biar aku atur, kembalilah ke kamarmu!” titahnya.“Terima kasih, Arsen.”Setelah berkata demikian, Airina bangun dari duduknya.Hanya saja, langkahnya terh
Mendengar itu, Airina menaikkan sebelah alisnya. “Ada urusan apa Anda di sini, Nona Gemma?” tanyanya singkat."Urusanku?" Tiba-tiba saja, Gemma berlari masuk ke ruangan Monsieur Pinault. Tangannya menarik Arsen dalam pelukannya. Siapapun yang melihat pasti menyadari bahwa pria itu sangat tak suka dengan kelakuan Gemma. Namun, wanita itu tak peduli dan justru berkata, "Aku ingin mengambil priaku."Mata Arsen membelalak. Dia membiarkan Gemma karena hubungan baik antarkeluarga mereka.Tapi, sepertinya wanita itu malah menjadi-jadi. Didorongnya Gemma agar menjauh darinya. “Apa yang kau lakukan, hah?!” bentak Arsen keras, "kau ingin kerjasama keluargamu diputus?" Alih-alih takut atas ancaman itu, Gemma malah semakin erat memeluk Arsen. “Jangan pura-pura tak suka, Darl. Apa kau membentakku agar jalang lusuh dan menjijikan itu tak marah padamu?” "Hei, pergilah! Arsen tak benar-benar menyukaimu," makinya pada Airina. Mendengar itu, Airina hanya tersenyum. Namun, itu justru membangkitk
Seorang pria baruh baya tampak berdiri dan menunduk hormat begitu Arsen dan Airina tiab di hadapannya.“Silakan duduk!” ucap Arsen pada tamunya itu.“Terima kasih, Tuan.”Setelahnya, Arsen membicarakan tentang konsep dekorasi ulang apartemen. Airina sebenarnya mendengarkan hal tersebut. Sesekali, ia ingin menimpali. Tapi, ia tersadar, apa haknya atas apartemen Arsen?Jadi, Airina memutuskan menatap sekeliling interior ruangan Arsen. Cukup lama percakapan itu terjadi, Airina pun teringat butiknya. “Arsen, maaf aku harus kembali ke butik,” bisiknya lirih.Arsen sontak menatap wanita itu, lalu mengangguk pelan. Melihat itu, Airina beranjak meninggalkan ruang tamu. Hanya saja, ia tak menyadari kakinya akan tersandung kaki kanan Arsen, hingga membuatnya hampir.Untungnya, Arsen berhasil merengkuh Airina dan mendudukkannya di atas paha pria itu. Deg!Degup jantung keduanya menjaadi tidak beraturan. Keduanya saling menatap intens.“Ekhm!” Pria paruh baya itu berdeham menyadarkan kedua
"Musuh?" ulang Ariana Ia sontak teringat mantan kekasih dan sahabatnya, Namun, ia segera menggelengkan kepala. Rasanya, tak mungkin mantan kekasih dan sahabatnya itu memiliki uang untuk melakukan ini semua. Toh, Airina tak pernah menghubungi keduanya lagi sejak hari pengkhianatan itu.“Aku tak tahu. Apa mungkin ini ulah iseng yang iri dengan pencapaian butik ini?" ucap Airina kembali, lalu hanya bisa duduk menatap ke luar. Namun, tiba-tiba, ia teringat sebuah nama. Pemberitaan ini seolah menyudutkan Airina dan membuat masyarakat bersimpati pada.... “Apa ini perbuatan Nona Gemma?” ucapnya mendadak. Arsen menaikkan sebelah alisnya dan mengingat kejadian akhir-akhir ini. “Sepertinya begitu, tetapi kita perlu bukti untuk mencengkramnya. Untuk mengendalikan situasi, aku akan mengadakan konferensi pers segera." Aura kemarahan terlihat dari pria yang biasanya sabar itu. Airina sontak bergidik ngeri. Seketika, ia merasa khawatir dengan nasib para wartawan yang mungkin hanya bekerja
"Arsen, jangan terbawa emosi ...." Airina mengusap pelan pundak Arsen dengan lembut. Lelaki di sampingnya itu menatap lekat ke arahnya, ulasan senyum Airina berhasil meredakan emosinya. "Aku akan mengatur makan malam bersama Gemma segera!" ujarnya. Airina mengangguk, "Terima kasih, Arsen!" "Apa pun akan aku usahakan untukmu, Airina. Katakan padaku apa pun yang kau inginkan!" tutur Arsen dengan lembut. Airina merasa pipinya kini sedang merona seperti kepiting, suami kontraknya ini selalu berhasil membuat dirinya tersanjung. "Apa ada hal lain yang ingin kamu katakan padaku?" tanya Arsen mencairkan suasana. "Tidak ada, terima kasih. Em, a-aku akan memasak untukmu sebagai tanda terima kasih," ucap Airina dengan antusias. Arsen mengulas senyum tipis, hatinya merasa hangat dengan kehadiran Airina. "Hahaha, lakukan apapun yang membuatmu nyaman di sini!" Ucap Arsen dengan memberikan tatapan intens pada Airina.Jari telunjuknya itu dengan sengaja menyentuh dagu Airina, mata keduanya
"Mau? mau apa?" tanya Airina berulang. Alih-alih menjawab pertanyaan. Arsen malah menyibakkan rambut Airina yang tergerai, membuat tubuh Airina kaku seketika. "Arsen, aku khawatir," lirih Airina. Kini mata teduh itu menatap lekat ke arah manik mata Airina. "Khawatir tentang apa? Apa kamu takut sesuatu? atau ada hal yang membuat kamu tidak nyaman? katakan saja!" berondong tanya Arsen seperti seorang suami pada istrinya. "Aku takut jika ... Nona Gemma bukan pelaku teror ini, lalu siapa-" Ucapan Airina terhenti, Arsen kini merangkul pundak Airina. mengusap pelan puncak kepala wanita itu dalam dekapannya. Tanpa banyak kata dan basa-basi, "Airina, jangan mengkhawatirkan hal-hal kecil seperti itu. Aku berjanji akan menemukan pelaku teror itu, tenanglah!" ucapnya. "Aku ini Tuan Muda Pinault, semua hal yang menggangu ketenanganmu akan aku cari sumbernya sampai akar!" tambahnya tegas. Airina seolah dihantam kenyataan, benar! Arsen bisa melakukan apa pun jika dia mau. Apalagi hanya pel
Seorang pelayan datang membawa pesanan Arsen, membuat percakapan keduanya sempat terhenti. "Permisi, Tuan. Pesanannya." Pelayan itu hanya meletakkan segelas capuccino dan melenggang begitu saja. "Sebenarnya ada apa, Darl? apa yang ingin kamu tanyakan padaku?" berondong tanya dari Gemma. "Jika kamu bertanya, bagaimana perasaan aku padamu ... perasaan ini tidak akan berubah sampai kapan pun," tambahnya. Mendengar ucapan Gemma, kepala Arsen terasa sakit! "Bukan itu, Gemma. Apa kamu adalah dalang di balik berita hoax dan teror pada istriku?" tanya Arsen dengan mengintimidasi. Gemma terhenyak! "Em, Arsen! Aku pamit ke toilet dulu," ucapnya melenggang begitu saja. Tangan Arsen dengan sigap meraih lengan Gemma yang hendak pergi. "Jangan mencoba kabur dariku, Gemma Dassault!" tegas Arsen. Rahang laki-laki itu mengeras, ingin rasanya menerkam Gemma saat itu juga. "A-Arsen, aku hanya ke toilet. A-aku juga tidak berniat kabur darimu, sungguh!" ucapnya tergagap. "Aku katakan sekali l
"Tera Fillmoore Pinault!" seru seorang pria dengan tubuh tinggi dengan jas yang melekat pada tubuhnya. "Om Yoshi!" seru Tera. "Happy wedding ya, Om, Aunty!" ucap Tera dengan senyum ramah. Pagi itu, Tera dan Tora diminta menjadi Bridesmaids dan Groomsmen di acara pernikahan Aily dan Yoshi. Di tepi pantai Medoza, ke duanya resmi menikah. Airina dan Arsen hanya mengulas senyum tipis, tatkala sepasang pengantin itu terlihat bahagia di atas pelaminan. "Cie, udah nggak jomblo nih!" ledek Airina. "Diam!" seru Yoshi. Gelak tawa terdengar nyaring, acara pernikahan yang diadakan dengan sederhana. Membuat suasana intimade wedding itu kian kental terasa. "Curang sekali kamu, Yosh. Bisa-bisanya menikahi adikku sendiri," ucap Airina. Ia yang sedari tadi menahan air mata, kini ia benar-benar menumpahkannya di dada Arsen. Usapan pelan pada pundak Airina, membuat ia air matanya semakin pecah. "Aku hanya ingin melindungi adik sekaligus istriku ini, Airin. Lagi pula, kamu sudah mengenal aku c
Aily dan Yoshi saling melempar senyuman tipis. "Aku ingin melamar adikmu, Airin," ucap Yoshi lembut. DegJantung Airina seperti berhenti berdetak sepersekian detik, kaget dan campur aduk. Di hadapan keluarga Arsen, Yoshi dengan entengnya mengatakan kalimat itu tanpa ragu. "Yosh ...? Kamu serius?" tanya Arsen lirih. Yoshi menganggukkan kepalanya membenarkan ucapannya. Membuat Airina dan Arsen semakin terdiam kaku. "Entah restu seperti apa yang harus aku berikan padamu, Yosh. Tapi ... Aku tidak bisa memaksa adikku untuk mengikuti jejakku, aku membiarkan adikku memilih jalannya sendiri. Jadi, apa pun yang diinginkan Aily, aku setuju," tutur Airina lembut. Aily berseru dengan bahagia, setelah selesai pendidikannya. Ia berniat melanjutkan kuliah terlebih dahulu. "Terima kasih, Kak!" Aily memeluk erat tubuh Airina. Malam tahun baru itu membawa rona bahagia pada semuanya. Airina dan Arsen yang cintanya semakin kuat, dalam dekapannya Tora dan Tera tersenyum menggelitik. **** 5 tahu
"Arsen ...," Julie mengoyak tubuh anak laki-lakinya, teriakannya cukup keras. Membuat ia yang duduk di ruang tunggu mampu mendengar suaranya. Lama Arsen hanya mengubah posisi tidurnya, entah apa yang ia rasakan di alam mimpi. "Arsen!" gertak Julie. "Arghhh!" Matanya menyipit sebelum benar-benar sadar dari tidur singkatnya. Matanya mengerjap perlahan. "Ibu ... bagaimana bisa ibu ada di sini?" tanya Arsen dengan tergagap. "Kamu mimpi apa? Sangat berisik, ibu takut Airina terganggu," tanya Julie. "Rasanya aku tidak bermimpi, namun ada sesuatu yang mengganjal dalam tubuhku. Maaf ibu," Arsen mengacak rambutnya kasar. "Sudah tidak apa-apa, tenangkan dirimu sebelum kembali tidur. Kasihan Airina jika terganggu," peringat Julie. Arsen akhirnya melangkahkan kakinya ke luar ruang inap, sekilas ia melihat anak kembarnya di ruang bayi. Ia hampir lengah dengan penjagaan di sana. "Aron, panggilkan beberapa orang untuk menjaga ruang bayi!" titahnya. Setelahnya, Arsen hanya duduk di kursi
Mata itu perlahan mengerjap hingga sepenuhnya ia mampu menatap sekeliling ruangan. Dengan nuansa biru lautnya, ruangan yang terlihat luas hanya menyisakan dirinya dan Arsen. Dengan perlahan matanya terbuka dengan lebar, ia mengerjapkan matanya berulang. Pukul 10 malam, setelah pagi hari ia berjuang untuk nyawa dua bayi. Kini, ia kembali siuman setelah tertidur entah berapa lama. "A-Arsen," lirih suaranya samar memanggil nama Arsen di sampingnya. Pria itu menundukkan kepalanya dalam, seolah tidak memiliki harapan besar atas istrinya. Setelah mendengar suara tangisan ke dua kalinya, ia tidak lagi ingat apa yang terjadi padanya. "Airin, kamu sudah siuman? A-aku akan memanggil dokter segera!" ucapnya terbata. Arsen berusaha berlari menuju pintu, namun tangannya tercekal. Airina menahan pergelangan tangan Arsen dengan kuat. "Jangan pergi dulu, bagaimana kabar anak kita?" tanya Airina lirih. "Anak kita sehat, Airina. Dia ada di ruang bayi, kalau kamu sudah sepenuhnya pulih. Kita ak
"Hah?" beo Airina kebingungan. "Kamu tahu dari mana?" tanya Airina pada adik bungsunya. Tatapan mata yang lekat pada adiknya itu menyelidik. Bahkan ia terlihat sudah tahu bagaimana ceritanya kejadian itu terjadi pada kakaknya. "Bu Julie cerita ke aku, Kak. Awalnya aku juga tidak percaya, tapi setahuku memang Nona Gemma tidak pernah menyukaimu 'kan?" tutur Aily lirih. "Aily, kamu tidak perlu sampai seperti itu. Tidak perlu membenci orang lain seperti itu, Aily. Lihatlah kakak baik-baik saja loh," ucap Airina dengan menatap lembut adik bungsunya. "Kakak memang baik-baik saja, jika Kakak tidak baik setelah kejadian itu. Apa kakak bisa mengatakan kalimat barusan?" tanya Aily dengan menekan kalimat demi kalimatnya. Deg! Sifat ke duanya sangat bertolak belakang. Aily membiarkan Airina sibuk dengan pikirannya, ia beranjak meninggalkan ruang tamu. "Aku mau istirahat dulu, Kak. Lelah sekali perjalanan hari ini," keluhnya. Airina hanya bisa melihat adiknya melenggang begitu saja. Hanya
Arsen terperanjat, ia dengan sigap menopang tubuh Airina agar tidak terjatuh. Sayup-sayup Anne berlari dari lawan arah. Membantu Arsen menopang tubuh Airina, tanpa sadar itu adalah salah Anne. Akhirnya, dengan degup jantung yang tidak beraturan, Airina masih selamat. "Terima kasih, Arsen, Anne," lirih ucap Airina. Dengan perasaan penuh kekalutan, Airina memilih duduk di sofa. Membiarkan jantungnya berdegup normal kembali. Dengan segelas air putih ia berusaha menetralkan dirinya sendiri meski cukup sulit. Ada ketakutan dalam dirinya yang cukup kuat. "Anne, bagaimana bisa kamu mengepel dan masih sangat basah seperti itu?" tanya Arsen dengan nada yang cukup keras. Sedangkan pembantunya hanya bisa diam dengan menatap lantai di hadapannya. "Maafkan saya, Tuan. Saya tadi sempat mengambil air bersih, karena mema-" ucapannya terhenti. Arsen tidak lagi mengomel, ia berjalan mendekati Airina. Ia memastikan keadaan istrinya baik-baik saja. "Jangan marah pada Anne, itu akan membuatnya t
Arsen dengan segera memeluk erat tubuh Airina, meredakan setiap kepanikan dan ketakutan dalam dirinya. Tidak ingin membiarkan istrinya begitu kalut dalam rasa takutnya. "Hust, sudah, itu tidak akan terjadi, Airina. Aku ada di sini menemanimu," ucap Arsen. Ia mengecup beberapa kali kening Airina tanpa ragu. Membiarkan istrinya itu lebih tenang dengan adanya dirinya. Tidak berselang lama, Julie masuk dalam ruang inap. Raut wajah paniknya sesaat sudah berubah dengan rasa lega. "Sayang, kamu sudah siuman. Bagaiaman keadaan tubuhmu?" tanya Julie lirih. "Aku baik, Ibu. Rasanya juga sudah lebih baik daripada tadi saat aku jatuh. Ibu ... Maaf sekali aku lalai," ucap Airina lirih. Rasa bersalah dalam dirinya seolah membuat Airina tertekan. Tidak nyaman dengan apa yang terjadi dengan dirinya sendiri. "Airina, kamu selamat saja ibu sudah senang. Tidak perlu mengatakan itu, kamu mau minta maaf atas apa? Gara-gara ada seseorang menabrakmu sampai jatuh? Tidak-tidak, kamu tidak salah dalam ha
Dokter terlihat kalut dengan keadaan pasiennya, Arsen sudah pasrah. Mulutnya hanya bisa merapal doa agar istrinya baik-baik saja. "Dokter, katakan bagaiaman keadaan menantu saya?" tanya Julie dengan tatapan tajam. Dengan berat hati dokter membuka suara, dengan bergetar suara itu terdengar. Setiap kalimat yang ia utarakan seolah akan membuat semua anggota keluarga tercengang. "Sebelumnya saya meminta maaf, awalnya saya tidak yakin Nona Airina akan melalui masa kritis ini. Sempat terjadi pendarahan yang cukup menegangkan," jelasnya. Arsen dan Julie saling menatap, wajahnya mulai pucat tidak siap dengan apa yang akan di utarakan dokter. "Lalu, Dok?" Arsen menggantungkan tanyanya. Helaan nafas cukup panjang diambil begitu saja oleh dokter, "Saya sempat terkejut saat Nona Airina dan bayi dalam kandungannya berhasil melewati masa kritisnya. Sekarang biarkan ia istirahat terlebih dahulu," tambah dokter. Julie memeluk erat tubuh Arsen, dengan perasaan campur aduk. Akhirnya ia dan anak
Namun, bagi Airina itu masih kurang sedikit. Ya, selera ke duanya memang cukup berbeda, maka dari itu rasanya Airina ingin menambahkan sedikit diantara kata itu. Masih diam dengan isi kepalanya, Arsen mulai menatapnya lekat tanpa celah. "Apa kamu tidak suka dengan nama itu?" tanya Arsen dengan tatapan penuh tanya. "Bu-bukan tidak suka, bagiku itu masih kurang sedikit. Nanti bisa kita pikirkan ya," elak Airina dengan senyum manis di bibirnya. Kini mereka sudah kembali sibuk dengan urusannya masing-masing. Bergelut dengan isi kepalanya yang mulai bersahutan, salah dengan banyaknya ide dan nama yang harus diberikan. Ini anak pertama Airina dan Arsen, jadi akan menjadi sebuah hal baru bagi ke duanya. "Sudah, tidak perlu dipikirkan. Nanti bisa kita diskusikan lagi, Airina." Arsen kini menatap istrinya lekat, menunjukkan padanya bahwa mereka sudah tiba di mall terbesar di Macherie. Agatto Mall yang ada di pusat kota Macherie. Langkah ke duanya pelan memasuki mall. Dengan tangan ya