"Apa kamu menyetujui permintaan, Gemma? dan ...," ucapan Airina terhenti. Telapak tangan Arsen membungkam mulut Airina begitu saja. Lelaki itu tersenyum tipis padanya. "Diam dulu, aku belum selesai berbicara." Arsen menarik telapak tangan Airina, menggenggamnya dengan erat. "Aku menampar Gemma saat itu juga, aku tidak suka dia mengatakan hal yang menjijikkan tentang kamu," jelasnya. "Sejauh ini, harusnya dia sadar atas apa yang sudah dia perbuat. Perlahan aku akan mengurangi suntikan dana untuk keluarga Dassault," tambahnya tegas. Airina terdiam sejenak mendengar penjelasan Arsen. Ia masih tidak bisa berkata-kata kali ini."Airina, kamu tidak apa-apa?" tanya Arsen panik. "Aku baik-baik saja, Arsen. Apa yang akan terjadi jika kamu mengurangi suntikan dana untuk keluarga Dassault?" tanya Airina dengan sedikit mendongak. "Perlahan mereka akan bangkrut," ucap Arsen dengan satu ulasan senyum. Airina menganga, akan banyak karyawan kehilangan pekerjaannya! pikirnya. "Kamu tidak perl
"Diam!" teriak Arsen. Beberapa karyawan yang baru saja saling berbisik itu terdiam. "Bulan ini bonus kalian ditambah!" ucap Arsen lantang. Airina menoleh secara tiba-tiba, suami kontraknya memang sangat aneh dan unik. "Bagaimana bisa semudah itu?" tanya Airina. "Doakan kami agar langgeng, kerja saja jangan bergosip!" peringatnya. "Kamu berlebihan, Arsen!" peringat Airina. Arsen hanya memberikan isyarat tangan, meminta Airina masuk ke mobil. **** Setibanya di restoran, Arsen memesan beberapa makanan. "Kamu tau, Airina?" tanya Arsen. "Tau apa?" Airina berbalik bertanya, dengan tatapan Arsen yang intens. Ia merasakan akan ada hal yang dibuat suami kontaknya. "Kamu sangat cantik, aku rasa masakan di restoran ini kalah dengan masakanmu. Jadi ... apa aku boleh meminta kamu untuk masak malam ini?" Dengan satu tangan menopang dagu, tatapan intens Arsen berhasil membuat Airina malu-malu. Pipinya merona begitu mendengar ucapan Arsen. "Tidak perlu basa-basi, bilang saja kamu mau m
"Deal!" tegasnya. "Baik, Nona. Kami akan melaksanakan tugas sebaik-baiknya," ucap pria berperawakan besar itu. Gemma hanya mengangguk dan mengulas senyum tipis. Kini ia merasa lebih lega karena rencananya berjalan sesuai harapan. "Jika aku tidak bisa kembali denganmu, aku tidak akan membiarkan wanita itu nyaman ada di sisimu!" gumam Gemma lirih. "Nona, saya rasa pertemuan ini cukup sampai di sini, kami pamit undur diri," pamitnya. "Ya, laksanakan tugas dengan baik, separuh dari imbalan yang kau minta sudah aku kirim!" titah Gemma tegas. Laki-laki itu hanya mengacungkan jempol dan melenggang pergi begitu saja. Hanya Gemma yang masih menikmati keberhasilannya, "Tidak ada yang boleh memilikimu selain aku, Arsen!" ucapnya. "Permisi, Nona. Tuan meminta Anda untuk segera pulang dan menemunya," ucap sopir pribadi Gemma. "Ya." Gemma melenggang pergi begitu saja. **** "Huh, aku sangat gugup!" gumam Airina lirih. Pagi-pagi buta ia sudah bersiap untuk pergi mengisi webinar. Ia masih
Tubuh Airina terasa ditarik paksa oleh seseorang tidak di kenal, matanya mendadak kabur dan ia sudah tidak sadarkan diri. "Kita bawa ke mobil sebelum banyak yang sadar!" seru seorang berperawakan gempal itu. Dengan gerakan cepat dan menghapus sekecil apa pun jejak, Airina berhasil dibawa pergi. Tidak lama dari itu, semua orang sudah bersiap untuk webinar. "Tuan Arsen, di mana Nona Airina? mengapa ia tidak segera kembali ke sini?" berondong tanya Madame Gala. "Sebentar, Madame. Tiwi, tolong cari Airina!" titahnya. Lima menit, sepuluh menit berlalu. Waktu yang tersisa hanya lima menit untuk bersiap. Namun, Airina tak kunjung di temukan. Dengan sayup-sayup Tiwi berlari menuju ruang tunggu, "Tuan, maaf sebelumnya. Nona Airina hilang!" bisiknya lirih. "Apa maksudmu?" tanya Arsen beranjak dari kursinya. "Saya dan Aron sudah mencari ke setiap sudut, tapi Nona Airina tidak ditemukan," jelas Tiwi. "Arghhh!" umpatnya. Dengan menahan diri ia memberanikan diri untuk mendekati Madame Ga
Drrttt [Tidak perlu dicari karena dia sudah mati!] Satu pesan yang masuk membuat mata Arsen membelalak lebar. "Sialan! siapa pengirim pesan ini!" umpatnya. Dilemparnya ponsel itu keras, tidak peduli apa yang akan terjadi. "Airina, aku bisa gila jika kamu tiba-tiba hilang seperti ini!" rintih Arsen keras. **** "Apakah Arsen akan menemukanku?" tanya Airina lirih. "Nona Gemma memang keras kepala, diminta untuk tidak mengganggu malah-" Gemma yang tiba-tiba masuk ke dalam ruangan. "Malah apa? kau kira aku akan berhenti mengganggu hubungan kalian?" tanya Gemma keras. "Aku tidak akan membiarkan pernikahan kalian itu bahagia, hahaha. Jika aku tidak bisa memiliki Arsen, tidak boleh ada wanita yang memilikinya!" tandas Gemma tegas. Airina hanya bisa diam, ia tidak ingin satu tindakannya memperparah keadaannya. "Kenapa? kau tidak bisa berkutik ya," ledek Gemma. "Nona, lepaskan aku dari sini!" pinta Airina. "Jangan berharap, katakan padaku pernikahanmu dan Arsen hanya sebatas kontr
"Tunggu, Nona. Cukup menyiksa tubuhnya yang sudah rapuh ini, bagaimana kalau kita menyiksa dia?" Lelaki itu menunjukkan foto Amelia, ibu Airina. Mata Airina membelalak lebar, di ruangan gelap ini laki-laki itu tidak terlihat jelas. "Bajingan, siapa kau?" teriak Airina naik pitam. "Hahaha, jadi apa kau masih ingin bungkam, Nona?" tanyanya. Airina tetap diam, isi kepalanya terasa sangat rancu. Jika ia mengatakan yang sebenarnya, semuanya akan berakhir sia-sia. Akan tetapi, jika ia diam keamanan ibunya terancam, sebenarnya siapa lelaki itu? "Aku sudah mengatakan yang sebenarnya, jika kalian masih tidak percaya aku bisa apa?" elak Airina. "Jalang, kau masih bisa mengelak! Lihatlah tubuhmu yang sudah tidak berupa, wajah cantikmu yang sekarang mirip gelandangan itu." Gemma mencengkram dagu Airina kuat-kuat, tangannya itu mirip seperti atlit tinju. "Emm emm!" Airina tergagap. "Apa? Kau memang gelandangan dari Kota Lyon yang dipungut oleh Arsen, kan?!" tanya Gemma dengan memaksa. "
"Aku sudah mengatakan yang sebenarnya, Nona!" gerutu Airina. "Aku masih menunggu jawabanmu, besok aku akan datang bersama bangkai ibumu. Jika kau ingin ibumu selamat, katakan yang sejujurnya padaku ...." Gemma melenggang pergi. Ruangan itu kembali gelap, pikiran Airina melayang pada keselamatan ibunya. "Ibu, aku berharap engkau baik-baik saja. Maafkan aku yang-" Isak tangisnya tidak terhenti, mengingat keluarganya masih dalam keadaan tidak baik-baik saja. "Arsen, tolong aku!" teriaknya keras. Percuma! ruangan itu kedap suara, sekali pun Airina berteriak sampai tenggorokannya kering. Tidak ada orang yang bisa mendengarnya. **** "Airina, kenapa kamu hanya datang ke mimpi? Kenapa kau tidak mengatakan kamu di mana?" berondong tanya Arsen pada dirinya. Tok tok tok! "Tuan muda, hari ini Anda belum makan sama sekali," teriak Tiwi. Saat ini, Arsen hanya duduk di kursi kerja Airina. Tanpa ia sadari, ia terlelap dengan posisi duduk. "Ya, Tiwi. Aku masih menunggu Airina," teriaknya.
"Arrghh! Aku sudah sangat muak denganmu, Jalang!" teriak Gemma keras. Seorang lelaki yang Airina kenal itu kembali datang dengan sayup-sayup. "Ada apa, Nona? Apa dia masih tidak mengatakan dengan jujur?" tanyanya. "Dia bahkan selalu mengatakan kalau Arsen mencintainya! Sudahlah, aku sudah sangat muak. Bawa dia turun!" titah Gemma. "Nona, apa Anda berniat melepaskan dia?" tanya Adam. Gemma menganggukkan kepalanya malas, ia merasa kepalanya sangat nyeri. "Kenapa, Nona? Bagaimana bisa Anda mudah menyerah seperti ini?" tanya Adam dengan raut kesal. "Sudahlah, di sini aku sudah kalah. Arsen mencintainya, bagaimana bisa aku merebutnya? Dia bisa ilfil jika aku terus mengusiknya," gerutu Gemma. "Mereka tidak menikah kontrak, lalu kau masih saja memaksaku untuk menyekap dia? Percuma!" tambahnya keras. Adam Rush hanya menatap kosong ke beberapa arah, jika seorang Gemma yang memiliki kuasa sudah mengatakan demikian. Ia tidak bisa melakukan apa pun lagi. "Baik, Nona. Akan aku urus dan m
"Tera Fillmoore Pinault!" seru seorang pria dengan tubuh tinggi dengan jas yang melekat pada tubuhnya. "Om Yoshi!" seru Tera. "Happy wedding ya, Om, Aunty!" ucap Tera dengan senyum ramah. Pagi itu, Tera dan Tora diminta menjadi Bridesmaids dan Groomsmen di acara pernikahan Aily dan Yoshi. Di tepi pantai Medoza, ke duanya resmi menikah. Airina dan Arsen hanya mengulas senyum tipis, tatkala sepasang pengantin itu terlihat bahagia di atas pelaminan. "Cie, udah nggak jomblo nih!" ledek Airina. "Diam!" seru Yoshi. Gelak tawa terdengar nyaring, acara pernikahan yang diadakan dengan sederhana. Membuat suasana intimade wedding itu kian kental terasa. "Curang sekali kamu, Yosh. Bisa-bisanya menikahi adikku sendiri," ucap Airina. Ia yang sedari tadi menahan air mata, kini ia benar-benar menumpahkannya di dada Arsen. Usapan pelan pada pundak Airina, membuat ia air matanya semakin pecah. "Aku hanya ingin melindungi adik sekaligus istriku ini, Airin. Lagi pula, kamu sudah mengenal aku c
Aily dan Yoshi saling melempar senyuman tipis. "Aku ingin melamar adikmu, Airin," ucap Yoshi lembut. DegJantung Airina seperti berhenti berdetak sepersekian detik, kaget dan campur aduk. Di hadapan keluarga Arsen, Yoshi dengan entengnya mengatakan kalimat itu tanpa ragu. "Yosh ...? Kamu serius?" tanya Arsen lirih. Yoshi menganggukkan kepalanya membenarkan ucapannya. Membuat Airina dan Arsen semakin terdiam kaku. "Entah restu seperti apa yang harus aku berikan padamu, Yosh. Tapi ... Aku tidak bisa memaksa adikku untuk mengikuti jejakku, aku membiarkan adikku memilih jalannya sendiri. Jadi, apa pun yang diinginkan Aily, aku setuju," tutur Airina lembut. Aily berseru dengan bahagia, setelah selesai pendidikannya. Ia berniat melanjutkan kuliah terlebih dahulu. "Terima kasih, Kak!" Aily memeluk erat tubuh Airina. Malam tahun baru itu membawa rona bahagia pada semuanya. Airina dan Arsen yang cintanya semakin kuat, dalam dekapannya Tora dan Tera tersenyum menggelitik. **** 5 tahu
"Arsen ...," Julie mengoyak tubuh anak laki-lakinya, teriakannya cukup keras. Membuat ia yang duduk di ruang tunggu mampu mendengar suaranya. Lama Arsen hanya mengubah posisi tidurnya, entah apa yang ia rasakan di alam mimpi. "Arsen!" gertak Julie. "Arghhh!" Matanya menyipit sebelum benar-benar sadar dari tidur singkatnya. Matanya mengerjap perlahan. "Ibu ... bagaimana bisa ibu ada di sini?" tanya Arsen dengan tergagap. "Kamu mimpi apa? Sangat berisik, ibu takut Airina terganggu," tanya Julie. "Rasanya aku tidak bermimpi, namun ada sesuatu yang mengganjal dalam tubuhku. Maaf ibu," Arsen mengacak rambutnya kasar. "Sudah tidak apa-apa, tenangkan dirimu sebelum kembali tidur. Kasihan Airina jika terganggu," peringat Julie. Arsen akhirnya melangkahkan kakinya ke luar ruang inap, sekilas ia melihat anak kembarnya di ruang bayi. Ia hampir lengah dengan penjagaan di sana. "Aron, panggilkan beberapa orang untuk menjaga ruang bayi!" titahnya. Setelahnya, Arsen hanya duduk di kursi
Mata itu perlahan mengerjap hingga sepenuhnya ia mampu menatap sekeliling ruangan. Dengan nuansa biru lautnya, ruangan yang terlihat luas hanya menyisakan dirinya dan Arsen. Dengan perlahan matanya terbuka dengan lebar, ia mengerjapkan matanya berulang. Pukul 10 malam, setelah pagi hari ia berjuang untuk nyawa dua bayi. Kini, ia kembali siuman setelah tertidur entah berapa lama. "A-Arsen," lirih suaranya samar memanggil nama Arsen di sampingnya. Pria itu menundukkan kepalanya dalam, seolah tidak memiliki harapan besar atas istrinya. Setelah mendengar suara tangisan ke dua kalinya, ia tidak lagi ingat apa yang terjadi padanya. "Airin, kamu sudah siuman? A-aku akan memanggil dokter segera!" ucapnya terbata. Arsen berusaha berlari menuju pintu, namun tangannya tercekal. Airina menahan pergelangan tangan Arsen dengan kuat. "Jangan pergi dulu, bagaimana kabar anak kita?" tanya Airina lirih. "Anak kita sehat, Airina. Dia ada di ruang bayi, kalau kamu sudah sepenuhnya pulih. Kita ak
"Hah?" beo Airina kebingungan. "Kamu tahu dari mana?" tanya Airina pada adik bungsunya. Tatapan mata yang lekat pada adiknya itu menyelidik. Bahkan ia terlihat sudah tahu bagaimana ceritanya kejadian itu terjadi pada kakaknya. "Bu Julie cerita ke aku, Kak. Awalnya aku juga tidak percaya, tapi setahuku memang Nona Gemma tidak pernah menyukaimu 'kan?" tutur Aily lirih. "Aily, kamu tidak perlu sampai seperti itu. Tidak perlu membenci orang lain seperti itu, Aily. Lihatlah kakak baik-baik saja loh," ucap Airina dengan menatap lembut adik bungsunya. "Kakak memang baik-baik saja, jika Kakak tidak baik setelah kejadian itu. Apa kakak bisa mengatakan kalimat barusan?" tanya Aily dengan menekan kalimat demi kalimatnya. Deg! Sifat ke duanya sangat bertolak belakang. Aily membiarkan Airina sibuk dengan pikirannya, ia beranjak meninggalkan ruang tamu. "Aku mau istirahat dulu, Kak. Lelah sekali perjalanan hari ini," keluhnya. Airina hanya bisa melihat adiknya melenggang begitu saja. Hanya
Arsen terperanjat, ia dengan sigap menopang tubuh Airina agar tidak terjatuh. Sayup-sayup Anne berlari dari lawan arah. Membantu Arsen menopang tubuh Airina, tanpa sadar itu adalah salah Anne. Akhirnya, dengan degup jantung yang tidak beraturan, Airina masih selamat. "Terima kasih, Arsen, Anne," lirih ucap Airina. Dengan perasaan penuh kekalutan, Airina memilih duduk di sofa. Membiarkan jantungnya berdegup normal kembali. Dengan segelas air putih ia berusaha menetralkan dirinya sendiri meski cukup sulit. Ada ketakutan dalam dirinya yang cukup kuat. "Anne, bagaimana bisa kamu mengepel dan masih sangat basah seperti itu?" tanya Arsen dengan nada yang cukup keras. Sedangkan pembantunya hanya bisa diam dengan menatap lantai di hadapannya. "Maafkan saya, Tuan. Saya tadi sempat mengambil air bersih, karena mema-" ucapannya terhenti. Arsen tidak lagi mengomel, ia berjalan mendekati Airina. Ia memastikan keadaan istrinya baik-baik saja. "Jangan marah pada Anne, itu akan membuatnya t
Arsen dengan segera memeluk erat tubuh Airina, meredakan setiap kepanikan dan ketakutan dalam dirinya. Tidak ingin membiarkan istrinya begitu kalut dalam rasa takutnya. "Hust, sudah, itu tidak akan terjadi, Airina. Aku ada di sini menemanimu," ucap Arsen. Ia mengecup beberapa kali kening Airina tanpa ragu. Membiarkan istrinya itu lebih tenang dengan adanya dirinya. Tidak berselang lama, Julie masuk dalam ruang inap. Raut wajah paniknya sesaat sudah berubah dengan rasa lega. "Sayang, kamu sudah siuman. Bagaiaman keadaan tubuhmu?" tanya Julie lirih. "Aku baik, Ibu. Rasanya juga sudah lebih baik daripada tadi saat aku jatuh. Ibu ... Maaf sekali aku lalai," ucap Airina lirih. Rasa bersalah dalam dirinya seolah membuat Airina tertekan. Tidak nyaman dengan apa yang terjadi dengan dirinya sendiri. "Airina, kamu selamat saja ibu sudah senang. Tidak perlu mengatakan itu, kamu mau minta maaf atas apa? Gara-gara ada seseorang menabrakmu sampai jatuh? Tidak-tidak, kamu tidak salah dalam ha
Dokter terlihat kalut dengan keadaan pasiennya, Arsen sudah pasrah. Mulutnya hanya bisa merapal doa agar istrinya baik-baik saja. "Dokter, katakan bagaiaman keadaan menantu saya?" tanya Julie dengan tatapan tajam. Dengan berat hati dokter membuka suara, dengan bergetar suara itu terdengar. Setiap kalimat yang ia utarakan seolah akan membuat semua anggota keluarga tercengang. "Sebelumnya saya meminta maaf, awalnya saya tidak yakin Nona Airina akan melalui masa kritis ini. Sempat terjadi pendarahan yang cukup menegangkan," jelasnya. Arsen dan Julie saling menatap, wajahnya mulai pucat tidak siap dengan apa yang akan di utarakan dokter. "Lalu, Dok?" Arsen menggantungkan tanyanya. Helaan nafas cukup panjang diambil begitu saja oleh dokter, "Saya sempat terkejut saat Nona Airina dan bayi dalam kandungannya berhasil melewati masa kritisnya. Sekarang biarkan ia istirahat terlebih dahulu," tambah dokter. Julie memeluk erat tubuh Arsen, dengan perasaan campur aduk. Akhirnya ia dan anak
Namun, bagi Airina itu masih kurang sedikit. Ya, selera ke duanya memang cukup berbeda, maka dari itu rasanya Airina ingin menambahkan sedikit diantara kata itu. Masih diam dengan isi kepalanya, Arsen mulai menatapnya lekat tanpa celah. "Apa kamu tidak suka dengan nama itu?" tanya Arsen dengan tatapan penuh tanya. "Bu-bukan tidak suka, bagiku itu masih kurang sedikit. Nanti bisa kita pikirkan ya," elak Airina dengan senyum manis di bibirnya. Kini mereka sudah kembali sibuk dengan urusannya masing-masing. Bergelut dengan isi kepalanya yang mulai bersahutan, salah dengan banyaknya ide dan nama yang harus diberikan. Ini anak pertama Airina dan Arsen, jadi akan menjadi sebuah hal baru bagi ke duanya. "Sudah, tidak perlu dipikirkan. Nanti bisa kita diskusikan lagi, Airina." Arsen kini menatap istrinya lekat, menunjukkan padanya bahwa mereka sudah tiba di mall terbesar di Macherie. Agatto Mall yang ada di pusat kota Macherie. Langkah ke duanya pelan memasuki mall. Dengan tangan ya