"Arrghh! Aku sudah sangat muak denganmu, Jalang!" teriak Gemma keras. Seorang lelaki yang Airina kenal itu kembali datang dengan sayup-sayup. "Ada apa, Nona? Apa dia masih tidak mengatakan dengan jujur?" tanyanya. "Dia bahkan selalu mengatakan kalau Arsen mencintainya! Sudahlah, aku sudah sangat muak. Bawa dia turun!" titah Gemma. "Nona, apa Anda berniat melepaskan dia?" tanya Adam. Gemma menganggukkan kepalanya malas, ia merasa kepalanya sangat nyeri. "Kenapa, Nona? Bagaimana bisa Anda mudah menyerah seperti ini?" tanya Adam dengan raut kesal. "Sudahlah, di sini aku sudah kalah. Arsen mencintainya, bagaimana bisa aku merebutnya? Dia bisa ilfil jika aku terus mengusiknya," gerutu Gemma. "Mereka tidak menikah kontrak, lalu kau masih saja memaksaku untuk menyekap dia? Percuma!" tambahnya keras. Adam Rush hanya menatap kosong ke beberapa arah, jika seorang Gemma yang memiliki kuasa sudah mengatakan demikian. Ia tidak bisa melakukan apa pun lagi. "Baik, Nona. Akan aku urus dan m
"Maaf, Tuan. Saya tidak sengaja mengerem karena ada orang menyebrang tiba-tiba," jelas Aron tergugup. Arsen hanya mengangguk, keduanya merasa sangat canggung. Malu! Airina menahan malu karena pipinya merona merah. CITMobil itu berhenti tepat di depan kawasan apartemen, Airina yang keluar dari mobil. Secara tiba-tiba digendong Arsen untuk masuk. "Arsen!" teriaknya, "Apa maksudmu seperti ini? Aku bisa berjalan sendiri untuk masuk!" Airina memukul tubuh Arsen secara keras, meski lelaki itu meringis Airina tidak peduli dan terus melakukannya. "Selamat datang kembali, Airina!" ucapnya. "Turunkan aku!" teriak Airina. Arsen akhirnya menurunkan tubuh Airina tepat di sofa ruang tamu. Lengan Airina yang masih melingkar di leher Arsen, membuat keduanya secara sengaja saling menindih. Mata Airina bergulir ke sekeliling ruangan, tubuhnya merasa sangat berat. "Airina, dengarkan aku," bisik Arsen lirih. Lelaki yang merasa sesuatu pada tubuhnya menegang mulai hilang kendali. Ia mencium wan
"Maksudmu?" tanya Airina terhenyak. "Ah, sudah lupakan saja," tukas Arsen. Sepasang kekasih itu menyelesaikan makan dengan hening. Setelah selesai keduanya pergi bekerja, sepanjang perjalanan Airina memilih diam. "Selamat bekerja kembali, Airina. Hari ini Aiden akan berjaga di butik, oh ya satu lagi jangan lupa nanti siang. Aku akan datang di jam makan siang, bersiaplah, Sayang." Dengan ulasan senyum yang sangat manis, Arsen mengucapkan semua kalimat itu dengan sangat mudah. "Apa, Sayang?" ulangnya dengan tanya. "Lelaki itu sudah gila!" umpat Airina. Aiden hanya mengikuti Airina masuk ke butik, lelaki bertubuh kekar itu membuat Airina merasa aneh. "Nona, saya akan mengikuti perintah Anda," ucap Aiden pelan. "Tiwi, kemarilah sebentar!" panggil Airina. "Selamat datang kembali, Nona. Anda ke mana saja? Saya sa-" Ucapan Tiwi terhenti, matanya menatap seseorang yang datang bersama Airina. Airina yang menyadari tingkah Tiwi yang bertanya-tanya. "Dia Aiden, bodyguard pribadiku.
"Hah?" beo Airina. Tanpa basa-basi, Arsen langsung mencium Airina tanpa ragu di depan orang tuanya. Dengan sedikit mendesak, Arsen menikmati ciuman itu. Airina yang perlahan merasa keenakan hanya menerima setiap gerakan dari Arsen. Lengan lelaki itu mulai mengangkat pinggang ramping Airina. "Arsen!" panggil Yohan dengan mengulas senyum. "Sudah, Julie. Lihatlah anakmu benar-benar sudah menikah," ucap Yohan dengan lembut. Sejoli yang sedang dimabuk kenikmatan itu menghentikan tindakannya. Dengan satu sapuan tangan pada bibir Airina. Arsen mengecup pelan bibir plumpy itu dengan satu kecupan. "Terima kasih, Sayang," bisiknya. Airina hanya mengangguk, pipinya merona merah seperti kepiting. "Aku sangat malu!" bisiknya pada Arsen. "Jangan membuat istrimu tertekan seperti itu, Arsen. Lihatlah pipinya merona," ledek Julie. Airina hanya menundukkan kepalanya, ia merasa sangat malu. "Kalian sangat lucu, ayo kita makan siang bersama," ajak Julie dengan terkekeh. "Iya, Ibu." Arsen me
"Emm, Gemma sangat sering datang ke kantor. Dia sangat menggangu dan membuatku risih, sampai pada hari di mana Airina ku minta datang," jelas Arsen. "Sampaikan pada keluarga Dassault, semua saham dari keluarga Pinault akan dicabut. Tolong katakan pada Arena, Julie," titah Yohan. Airina hanya bisa diam, bahkan mulutnya tidak mampu berkata-kata. Bagaimana jika situasinya berubah? "Maafkan kelalaian kami, Airina. Kami akan menebus kesalahan ini," ucap Yohan dengan lembut. "A-ayah, tidak perlu berlebihan seperti itu. Aku sudah baik-baik saja, dan aku juga nyaman dengan butikku yang didukung keluarga Pinault," ucap Airina tergugup. "Ayah, semuanya sudah aku atasi. Lakukanlah penyitaan pada beberapa aset milik Dassault," pinta Arsen. Suasana makan siang itu berubah sangat canggung. Kedekatan keluarga Pinault dengan Gemma langsung renggang saat itu juga. "Aku tidak menyangka Gemma melakukan hal sekeji itu, apalagi didasari kata cinta!" pekik Julie. "Aku juga merasa sangat kecewa, kel
"Arsen, apa kita akan tidur satu ranjang?" tanya Airina. "Iya, apa kamu merasa tidak nyaman?" Arsen berbalik tanya, karena Airina ia gagal melahap wanita di hadapannya. "Tidak, asalkan taruh guling di tengah. Jadikan itu pembatas antara aku dan kamu," ujarnya. 'Bagaiamana aku bisa tidur nyenyak, detak jantungku saja tidak karuan!' batin Airina. "Airina, tidurlah dulu. Oh iya, apa kamu masih ada pekerjaan yang harus dikerjakan?" tanya Arsen. Airina seperti berpikir, ia sudah menyerahkan semua pada Tiwi. Sore tadi laporan harian Tiwi sudah lengkap. "Tidak ada, sepertinya aku akan tidur lebih cepat malam ini," pungkas Airina. Dengan guling yang sengaja ia letakkan di tengah, Airina hanya mengulas senyum tipis. "Selamat tidur, Arsen. Aku duluan," pamitnya. Airina membalikkan badannya membelakangi Arsen, detak jantungnya tidak normal. "Sialnya aku tidak bisa tidur meskipun sudah berusaha sangat keras!" gerutunya. "Kalau kesulitan tidur, coba peluk aku dulu," ucap Arsen. Airina
"Arsen, maksudmu?" tanya Airina melongo. Ia menatap lelaki di sampingnya dengan intens, jawaban yang ia dapatkan itu terasa sangat kurang. "Apa alasan utama kamu mencariku, ya pasti karena aku teman lamamu. Mana mungkin ada alasan lain yang lebih spesifik dari itu," simpul Airina. 'Jika kamu tahu aku memang mencarimu karena aku mencintaimu! Ah sialnya aku takut dia hanya kasihan,' batin Arsen. "Ya, kamu tahu sendiri kalau aku teman lamamu. Pasti aku mencarimu, Airina. Ingin melihat perkembanganmu setelah lulus ESMOD," jawabnya. "Sialnya aku membuat kesalahan saat bertemu denganmu, hahaha," ucap Airina terkekeh. Arsen tertawa mendengar lelucon tidak lucu itu. Akan tetapi, itu adalah kebetulan yang sangat ia tunggu. "Dari kebetulan itu kita bertemu, Airina. Anehnya kamu asal menerima tawaran dariku," ujar Arsen dengan tersenyum tipis. "Ya, karena aku pengangguran dan rasanya aku menjadi teman yang jahat jika menolak," jelas Airina. "Oh, jadi kamu hanya kasihan padaku ya?" tanya
"Airina, kamu sudah datang!" ujar Arsen. Mata Airina masih menatap dada bidang yang kotak-kotak itu. "Ah, maaf aku tidak mengetuk pintu terlebih dahulu!" ucap Airina lirih. "Kamu datang lebih cepat dari perkiraan, aku tadi masih sibuk melihat berkas-berkas ini sampai gerah," keluhnya. "Bagaimana pertemuanmu dengan Madame Gala?" tanya Arsen intens. Airina kini berusaha menetralkan pikirannya, otaknya melayang ke arah lain. "Berjalan lancar, terima kasih, Arsen. Lagi-lagi kamu yang menyelesaikan masalahku," tutur Airina."Ya, itu sudah tugasku sebagai suamimu," ucap Arsen lirih. Airina yang kini duduk di sofa menatap lekat lelaki yang duduk di kursi kerjanya. "Ingatlah, Airina. Dia mengatakan itu karena kalian memang sepasang suami istri, kontrak!" lirihnya. "Benar juga, apa pekerjaanmu masih banyak, Arsen?" tanya Airina. Arsen menggelengkan kepalanya, ia terlihat tidak bersemangat sama sekali. "Ada apa? Apa terjadi sebuah masalah dalam hidupmu?" tanya Airina intens. Airina
"Tera Fillmoore Pinault!" seru seorang pria dengan tubuh tinggi dengan jas yang melekat pada tubuhnya. "Om Yoshi!" seru Tera. "Happy wedding ya, Om, Aunty!" ucap Tera dengan senyum ramah. Pagi itu, Tera dan Tora diminta menjadi Bridesmaids dan Groomsmen di acara pernikahan Aily dan Yoshi. Di tepi pantai Medoza, ke duanya resmi menikah. Airina dan Arsen hanya mengulas senyum tipis, tatkala sepasang pengantin itu terlihat bahagia di atas pelaminan. "Cie, udah nggak jomblo nih!" ledek Airina. "Diam!" seru Yoshi. Gelak tawa terdengar nyaring, acara pernikahan yang diadakan dengan sederhana. Membuat suasana intimade wedding itu kian kental terasa. "Curang sekali kamu, Yosh. Bisa-bisanya menikahi adikku sendiri," ucap Airina. Ia yang sedari tadi menahan air mata, kini ia benar-benar menumpahkannya di dada Arsen. Usapan pelan pada pundak Airina, membuat ia air matanya semakin pecah. "Aku hanya ingin melindungi adik sekaligus istriku ini, Airin. Lagi pula, kamu sudah mengenal aku c
Aily dan Yoshi saling melempar senyuman tipis. "Aku ingin melamar adikmu, Airin," ucap Yoshi lembut. DegJantung Airina seperti berhenti berdetak sepersekian detik, kaget dan campur aduk. Di hadapan keluarga Arsen, Yoshi dengan entengnya mengatakan kalimat itu tanpa ragu. "Yosh ...? Kamu serius?" tanya Arsen lirih. Yoshi menganggukkan kepalanya membenarkan ucapannya. Membuat Airina dan Arsen semakin terdiam kaku. "Entah restu seperti apa yang harus aku berikan padamu, Yosh. Tapi ... Aku tidak bisa memaksa adikku untuk mengikuti jejakku, aku membiarkan adikku memilih jalannya sendiri. Jadi, apa pun yang diinginkan Aily, aku setuju," tutur Airina lembut. Aily berseru dengan bahagia, setelah selesai pendidikannya. Ia berniat melanjutkan kuliah terlebih dahulu. "Terima kasih, Kak!" Aily memeluk erat tubuh Airina. Malam tahun baru itu membawa rona bahagia pada semuanya. Airina dan Arsen yang cintanya semakin kuat, dalam dekapannya Tora dan Tera tersenyum menggelitik. **** 5 tahu
"Arsen ...," Julie mengoyak tubuh anak laki-lakinya, teriakannya cukup keras. Membuat ia yang duduk di ruang tunggu mampu mendengar suaranya. Lama Arsen hanya mengubah posisi tidurnya, entah apa yang ia rasakan di alam mimpi. "Arsen!" gertak Julie. "Arghhh!" Matanya menyipit sebelum benar-benar sadar dari tidur singkatnya. Matanya mengerjap perlahan. "Ibu ... bagaimana bisa ibu ada di sini?" tanya Arsen dengan tergagap. "Kamu mimpi apa? Sangat berisik, ibu takut Airina terganggu," tanya Julie. "Rasanya aku tidak bermimpi, namun ada sesuatu yang mengganjal dalam tubuhku. Maaf ibu," Arsen mengacak rambutnya kasar. "Sudah tidak apa-apa, tenangkan dirimu sebelum kembali tidur. Kasihan Airina jika terganggu," peringat Julie. Arsen akhirnya melangkahkan kakinya ke luar ruang inap, sekilas ia melihat anak kembarnya di ruang bayi. Ia hampir lengah dengan penjagaan di sana. "Aron, panggilkan beberapa orang untuk menjaga ruang bayi!" titahnya. Setelahnya, Arsen hanya duduk di kursi
Mata itu perlahan mengerjap hingga sepenuhnya ia mampu menatap sekeliling ruangan. Dengan nuansa biru lautnya, ruangan yang terlihat luas hanya menyisakan dirinya dan Arsen. Dengan perlahan matanya terbuka dengan lebar, ia mengerjapkan matanya berulang. Pukul 10 malam, setelah pagi hari ia berjuang untuk nyawa dua bayi. Kini, ia kembali siuman setelah tertidur entah berapa lama. "A-Arsen," lirih suaranya samar memanggil nama Arsen di sampingnya. Pria itu menundukkan kepalanya dalam, seolah tidak memiliki harapan besar atas istrinya. Setelah mendengar suara tangisan ke dua kalinya, ia tidak lagi ingat apa yang terjadi padanya. "Airin, kamu sudah siuman? A-aku akan memanggil dokter segera!" ucapnya terbata. Arsen berusaha berlari menuju pintu, namun tangannya tercekal. Airina menahan pergelangan tangan Arsen dengan kuat. "Jangan pergi dulu, bagaimana kabar anak kita?" tanya Airina lirih. "Anak kita sehat, Airina. Dia ada di ruang bayi, kalau kamu sudah sepenuhnya pulih. Kita ak
"Hah?" beo Airina kebingungan. "Kamu tahu dari mana?" tanya Airina pada adik bungsunya. Tatapan mata yang lekat pada adiknya itu menyelidik. Bahkan ia terlihat sudah tahu bagaimana ceritanya kejadian itu terjadi pada kakaknya. "Bu Julie cerita ke aku, Kak. Awalnya aku juga tidak percaya, tapi setahuku memang Nona Gemma tidak pernah menyukaimu 'kan?" tutur Aily lirih. "Aily, kamu tidak perlu sampai seperti itu. Tidak perlu membenci orang lain seperti itu, Aily. Lihatlah kakak baik-baik saja loh," ucap Airina dengan menatap lembut adik bungsunya. "Kakak memang baik-baik saja, jika Kakak tidak baik setelah kejadian itu. Apa kakak bisa mengatakan kalimat barusan?" tanya Aily dengan menekan kalimat demi kalimatnya. Deg! Sifat ke duanya sangat bertolak belakang. Aily membiarkan Airina sibuk dengan pikirannya, ia beranjak meninggalkan ruang tamu. "Aku mau istirahat dulu, Kak. Lelah sekali perjalanan hari ini," keluhnya. Airina hanya bisa melihat adiknya melenggang begitu saja. Hanya
Arsen terperanjat, ia dengan sigap menopang tubuh Airina agar tidak terjatuh. Sayup-sayup Anne berlari dari lawan arah. Membantu Arsen menopang tubuh Airina, tanpa sadar itu adalah salah Anne. Akhirnya, dengan degup jantung yang tidak beraturan, Airina masih selamat. "Terima kasih, Arsen, Anne," lirih ucap Airina. Dengan perasaan penuh kekalutan, Airina memilih duduk di sofa. Membiarkan jantungnya berdegup normal kembali. Dengan segelas air putih ia berusaha menetralkan dirinya sendiri meski cukup sulit. Ada ketakutan dalam dirinya yang cukup kuat. "Anne, bagaimana bisa kamu mengepel dan masih sangat basah seperti itu?" tanya Arsen dengan nada yang cukup keras. Sedangkan pembantunya hanya bisa diam dengan menatap lantai di hadapannya. "Maafkan saya, Tuan. Saya tadi sempat mengambil air bersih, karena mema-" ucapannya terhenti. Arsen tidak lagi mengomel, ia berjalan mendekati Airina. Ia memastikan keadaan istrinya baik-baik saja. "Jangan marah pada Anne, itu akan membuatnya t
Arsen dengan segera memeluk erat tubuh Airina, meredakan setiap kepanikan dan ketakutan dalam dirinya. Tidak ingin membiarkan istrinya begitu kalut dalam rasa takutnya. "Hust, sudah, itu tidak akan terjadi, Airina. Aku ada di sini menemanimu," ucap Arsen. Ia mengecup beberapa kali kening Airina tanpa ragu. Membiarkan istrinya itu lebih tenang dengan adanya dirinya. Tidak berselang lama, Julie masuk dalam ruang inap. Raut wajah paniknya sesaat sudah berubah dengan rasa lega. "Sayang, kamu sudah siuman. Bagaiaman keadaan tubuhmu?" tanya Julie lirih. "Aku baik, Ibu. Rasanya juga sudah lebih baik daripada tadi saat aku jatuh. Ibu ... Maaf sekali aku lalai," ucap Airina lirih. Rasa bersalah dalam dirinya seolah membuat Airina tertekan. Tidak nyaman dengan apa yang terjadi dengan dirinya sendiri. "Airina, kamu selamat saja ibu sudah senang. Tidak perlu mengatakan itu, kamu mau minta maaf atas apa? Gara-gara ada seseorang menabrakmu sampai jatuh? Tidak-tidak, kamu tidak salah dalam ha
Dokter terlihat kalut dengan keadaan pasiennya, Arsen sudah pasrah. Mulutnya hanya bisa merapal doa agar istrinya baik-baik saja. "Dokter, katakan bagaiaman keadaan menantu saya?" tanya Julie dengan tatapan tajam. Dengan berat hati dokter membuka suara, dengan bergetar suara itu terdengar. Setiap kalimat yang ia utarakan seolah akan membuat semua anggota keluarga tercengang. "Sebelumnya saya meminta maaf, awalnya saya tidak yakin Nona Airina akan melalui masa kritis ini. Sempat terjadi pendarahan yang cukup menegangkan," jelasnya. Arsen dan Julie saling menatap, wajahnya mulai pucat tidak siap dengan apa yang akan di utarakan dokter. "Lalu, Dok?" Arsen menggantungkan tanyanya. Helaan nafas cukup panjang diambil begitu saja oleh dokter, "Saya sempat terkejut saat Nona Airina dan bayi dalam kandungannya berhasil melewati masa kritisnya. Sekarang biarkan ia istirahat terlebih dahulu," tambah dokter. Julie memeluk erat tubuh Arsen, dengan perasaan campur aduk. Akhirnya ia dan anak
Namun, bagi Airina itu masih kurang sedikit. Ya, selera ke duanya memang cukup berbeda, maka dari itu rasanya Airina ingin menambahkan sedikit diantara kata itu. Masih diam dengan isi kepalanya, Arsen mulai menatapnya lekat tanpa celah. "Apa kamu tidak suka dengan nama itu?" tanya Arsen dengan tatapan penuh tanya. "Bu-bukan tidak suka, bagiku itu masih kurang sedikit. Nanti bisa kita pikirkan ya," elak Airina dengan senyum manis di bibirnya. Kini mereka sudah kembali sibuk dengan urusannya masing-masing. Bergelut dengan isi kepalanya yang mulai bersahutan, salah dengan banyaknya ide dan nama yang harus diberikan. Ini anak pertama Airina dan Arsen, jadi akan menjadi sebuah hal baru bagi ke duanya. "Sudah, tidak perlu dipikirkan. Nanti bisa kita diskusikan lagi, Airina." Arsen kini menatap istrinya lekat, menunjukkan padanya bahwa mereka sudah tiba di mall terbesar di Macherie. Agatto Mall yang ada di pusat kota Macherie. Langkah ke duanya pelan memasuki mall. Dengan tangan ya