"Emm, Gemma sangat sering datang ke kantor. Dia sangat menggangu dan membuatku risih, sampai pada hari di mana Airina ku minta datang," jelas Arsen. "Sampaikan pada keluarga Dassault, semua saham dari keluarga Pinault akan dicabut. Tolong katakan pada Arena, Julie," titah Yohan. Airina hanya bisa diam, bahkan mulutnya tidak mampu berkata-kata. Bagaimana jika situasinya berubah? "Maafkan kelalaian kami, Airina. Kami akan menebus kesalahan ini," ucap Yohan dengan lembut. "A-ayah, tidak perlu berlebihan seperti itu. Aku sudah baik-baik saja, dan aku juga nyaman dengan butikku yang didukung keluarga Pinault," ucap Airina tergugup. "Ayah, semuanya sudah aku atasi. Lakukanlah penyitaan pada beberapa aset milik Dassault," pinta Arsen. Suasana makan siang itu berubah sangat canggung. Kedekatan keluarga Pinault dengan Gemma langsung renggang saat itu juga. "Aku tidak menyangka Gemma melakukan hal sekeji itu, apalagi didasari kata cinta!" pekik Julie. "Aku juga merasa sangat kecewa, kel
"Arsen, apa kita akan tidur satu ranjang?" tanya Airina. "Iya, apa kamu merasa tidak nyaman?" Arsen berbalik tanya, karena Airina ia gagal melahap wanita di hadapannya. "Tidak, asalkan taruh guling di tengah. Jadikan itu pembatas antara aku dan kamu," ujarnya. 'Bagaiamana aku bisa tidur nyenyak, detak jantungku saja tidak karuan!' batin Airina. "Airina, tidurlah dulu. Oh iya, apa kamu masih ada pekerjaan yang harus dikerjakan?" tanya Arsen. Airina seperti berpikir, ia sudah menyerahkan semua pada Tiwi. Sore tadi laporan harian Tiwi sudah lengkap. "Tidak ada, sepertinya aku akan tidur lebih cepat malam ini," pungkas Airina. Dengan guling yang sengaja ia letakkan di tengah, Airina hanya mengulas senyum tipis. "Selamat tidur, Arsen. Aku duluan," pamitnya. Airina membalikkan badannya membelakangi Arsen, detak jantungnya tidak normal. "Sialnya aku tidak bisa tidur meskipun sudah berusaha sangat keras!" gerutunya. "Kalau kesulitan tidur, coba peluk aku dulu," ucap Arsen. Airina
"Arsen, maksudmu?" tanya Airina melongo. Ia menatap lelaki di sampingnya dengan intens, jawaban yang ia dapatkan itu terasa sangat kurang. "Apa alasan utama kamu mencariku, ya pasti karena aku teman lamamu. Mana mungkin ada alasan lain yang lebih spesifik dari itu," simpul Airina. 'Jika kamu tahu aku memang mencarimu karena aku mencintaimu! Ah sialnya aku takut dia hanya kasihan,' batin Arsen. "Ya, kamu tahu sendiri kalau aku teman lamamu. Pasti aku mencarimu, Airina. Ingin melihat perkembanganmu setelah lulus ESMOD," jawabnya. "Sialnya aku membuat kesalahan saat bertemu denganmu, hahaha," ucap Airina terkekeh. Arsen tertawa mendengar lelucon tidak lucu itu. Akan tetapi, itu adalah kebetulan yang sangat ia tunggu. "Dari kebetulan itu kita bertemu, Airina. Anehnya kamu asal menerima tawaran dariku," ujar Arsen dengan tersenyum tipis. "Ya, karena aku pengangguran dan rasanya aku menjadi teman yang jahat jika menolak," jelas Airina. "Oh, jadi kamu hanya kasihan padaku ya?" tanya
"Airina, kamu sudah datang!" ujar Arsen. Mata Airina masih menatap dada bidang yang kotak-kotak itu. "Ah, maaf aku tidak mengetuk pintu terlebih dahulu!" ucap Airina lirih. "Kamu datang lebih cepat dari perkiraan, aku tadi masih sibuk melihat berkas-berkas ini sampai gerah," keluhnya. "Bagaimana pertemuanmu dengan Madame Gala?" tanya Arsen intens. Airina kini berusaha menetralkan pikirannya, otaknya melayang ke arah lain. "Berjalan lancar, terima kasih, Arsen. Lagi-lagi kamu yang menyelesaikan masalahku," tutur Airina."Ya, itu sudah tugasku sebagai suamimu," ucap Arsen lirih. Airina yang kini duduk di sofa menatap lekat lelaki yang duduk di kursi kerjanya. "Ingatlah, Airina. Dia mengatakan itu karena kalian memang sepasang suami istri, kontrak!" lirihnya. "Benar juga, apa pekerjaanmu masih banyak, Arsen?" tanya Airina. Arsen menggelengkan kepalanya, ia terlihat tidak bersemangat sama sekali. "Ada apa? Apa terjadi sebuah masalah dalam hidupmu?" tanya Airina intens. Airina
"Apa itu akan menjadi masalah yang besar, Arsen?" tanya Airina. "Tidak, Jorge hanyalah benalu di perusahaan. Jangan dipikirkan," peringat Arsen. Lelaki itu terlihat sangat tenang meski pun melawan seorang keluarga Dassault. "Dengan adanya Aiden, kamu pasti akan lebih aman. Sebagai istri tuan muda Pinault, kamu pasti menjadi sasaran banyak orang jahat," jelas Arsen. Airina hanya mengangguk, "Tetapi aku belum terbiasa dengan adanya Aiden. Biasanya hanya Aron yang datang tiba-tiba atas perintahmu." Usap Arsen pada kepala Airina, "Dengarkan aku, sekarang Aron dan Aiden akan menjadi bodyguard dan sopir pribadimu. Aku ingin kamu aman, jika keluar tanpa aku," ucap Arsen lirih. Tatapan mata yang intens itu membuat Airina merasa diratukan. Bodyguard dan sopir pribadi, Apa boleh ia bermimpi akan menjadi istri sungguhan untuk Arsen? "Terima kasih, Arsen. Sebenarnya tidak perlu berlebihan, aku hanya membutuhkan Aron. Jika suatu saat aku ingin pergi," tutur Airina. "Hust, biarkan. Ini tida
"Arsen ... kamu?" Airina mendongak dengan mata yang sudah berkaca-kaca. "Maaf aku kembali ke mobil saja," pamit Airina. "Airina, sebentar. Maafkan aku, tadi aku tidak sengaja membentakmu. aku-" Tanpa mendengar penjelasan Arsen sampai selesai, Airina berjalan meninggalkan lelaki itu. "Arghh! bodoh!" pekik Arsen. "Semua ini gara-gara laki-laki sialan itu!" umpatnya. Arsen berlari mengejar Airina, sedangkan wanita itu terlihat mengusap air matanya sepanjang langkah. "Airina, maafkan aku!" ucap Arsen berulang. "Airina, tolong berhenti dulu!" ujar Arsen. Airina masih tetap berjalan dengan terburu-buru, tanpa melihat sedikit ke belakang. "Airin, dengarkan aku sebentar!" Arsen menarik lengan Airina terpaksa, membuat wanita itu berbalik memeluk tubuhnya. Airina mendongakkan kepalanya, tangannya memukul dada bidang Arsen. "Kamu kira aku siapa asal dibentak, hah!" gerutu Airina. "Apa kamu lupa?!" tanya Airina kesal. Lelaki itu menyentuh ujung hidung Airina dengan jari telunjuknya
"I-iya, Anda siapa?" tanya Airina. "Aku teman Gemma Dassault," jawabnya. Airina terhenyak mendengar jawaban itu, ia tidak lagi ingin bicara. Rasa takutnya akan di sekap di ruangan gelap masih tersisa. "Eh, Nona. Jangan menjauh seperti itu, aku tidak akan melakukan apa pun padamu," ucapnya. "Tidak, aku memang kurang nyaman duduk tanpa jarak dengan orang asing," ujar Airina. Matanya menelisik ke atas sampai bawah, melihat wanita itu hanya tersenyum tipis. "Dih!" pekik Airina. "Ada urusan apa?" tanya Airina. "Tidak ada, aku hanya ingin tahu siapa sebenarnya yang mengambil Arsen dari Gemma," jelas wanita itu. "Ternyata Gemma memang kalah cantik, kamu juga terlihat lebih pandai. Apa tebakanku benar?" tanya wanita itu menebak. "Siapa kau?!" teriak Arsen. Lelaki itu berjalan dengan cepat, dua tangannya membawa cone ice cream. Tatapannya tajam menatap wanita yang kini berbicara dengan Airina. "Ada urusan apa, Anda?" tanya Arsen dengan mengangkat dagunya. "Saya hanya mengajaknya m
"Ini?" tanya Airina. Arsen menunjuk tepat pada jantungnya. Dengan ibu jari dan jari telunjuk seperti sarangheo versi korea, Arsen mengulas senyum tipis di wajahnya. Airina hanya diam dan terpaku, salah tingkah! Matanya membelalak lebar, dengan senyum yang sempat ia tahan. "Kenapa? kok diam," tanya Arsen. "Memangnya kamu tidak bisa membuat jantungku berdebar?" Lelaki itu tidak segan melempar pertanyaan yang membuat Airina semakin salah tingkah. "Diam, Arsen! Aku tidak suka kamu bertingkah seperti ini," gerutu Airina. Wanita itu hanya menarik selimutnya sampai batas kepala, menelangkup ke dalam selimut dengan senyum yang masih menghiasi wajahnya. 'Aku bisa gila!' batinnya. "Arsen, apa kamu tidak ingin keluar dari kamarku?" tanya Airina. Ditariknya selimut yang kini membungkus istrinya dengan satu tangan. Menampakkan wajah Airina yang memerah layaknya kepiting rebus. "Lihatlah, apa kamu sadar kalau ini kamarku?" todong Arsen. "Loh, baiklah aku akan pergi ke kamarku!" Tanpa r
"Tera Fillmoore Pinault!" seru seorang pria dengan tubuh tinggi dengan jas yang melekat pada tubuhnya. "Om Yoshi!" seru Tera. "Happy wedding ya, Om, Aunty!" ucap Tera dengan senyum ramah. Pagi itu, Tera dan Tora diminta menjadi Bridesmaids dan Groomsmen di acara pernikahan Aily dan Yoshi. Di tepi pantai Medoza, ke duanya resmi menikah. Airina dan Arsen hanya mengulas senyum tipis, tatkala sepasang pengantin itu terlihat bahagia di atas pelaminan. "Cie, udah nggak jomblo nih!" ledek Airina. "Diam!" seru Yoshi. Gelak tawa terdengar nyaring, acara pernikahan yang diadakan dengan sederhana. Membuat suasana intimade wedding itu kian kental terasa. "Curang sekali kamu, Yosh. Bisa-bisanya menikahi adikku sendiri," ucap Airina. Ia yang sedari tadi menahan air mata, kini ia benar-benar menumpahkannya di dada Arsen. Usapan pelan pada pundak Airina, membuat ia air matanya semakin pecah. "Aku hanya ingin melindungi adik sekaligus istriku ini, Airin. Lagi pula, kamu sudah mengenal aku c
Aily dan Yoshi saling melempar senyuman tipis. "Aku ingin melamar adikmu, Airin," ucap Yoshi lembut. DegJantung Airina seperti berhenti berdetak sepersekian detik, kaget dan campur aduk. Di hadapan keluarga Arsen, Yoshi dengan entengnya mengatakan kalimat itu tanpa ragu. "Yosh ...? Kamu serius?" tanya Arsen lirih. Yoshi menganggukkan kepalanya membenarkan ucapannya. Membuat Airina dan Arsen semakin terdiam kaku. "Entah restu seperti apa yang harus aku berikan padamu, Yosh. Tapi ... Aku tidak bisa memaksa adikku untuk mengikuti jejakku, aku membiarkan adikku memilih jalannya sendiri. Jadi, apa pun yang diinginkan Aily, aku setuju," tutur Airina lembut. Aily berseru dengan bahagia, setelah selesai pendidikannya. Ia berniat melanjutkan kuliah terlebih dahulu. "Terima kasih, Kak!" Aily memeluk erat tubuh Airina. Malam tahun baru itu membawa rona bahagia pada semuanya. Airina dan Arsen yang cintanya semakin kuat, dalam dekapannya Tora dan Tera tersenyum menggelitik. **** 5 tahu
"Arsen ...," Julie mengoyak tubuh anak laki-lakinya, teriakannya cukup keras. Membuat ia yang duduk di ruang tunggu mampu mendengar suaranya. Lama Arsen hanya mengubah posisi tidurnya, entah apa yang ia rasakan di alam mimpi. "Arsen!" gertak Julie. "Arghhh!" Matanya menyipit sebelum benar-benar sadar dari tidur singkatnya. Matanya mengerjap perlahan. "Ibu ... bagaimana bisa ibu ada di sini?" tanya Arsen dengan tergagap. "Kamu mimpi apa? Sangat berisik, ibu takut Airina terganggu," tanya Julie. "Rasanya aku tidak bermimpi, namun ada sesuatu yang mengganjal dalam tubuhku. Maaf ibu," Arsen mengacak rambutnya kasar. "Sudah tidak apa-apa, tenangkan dirimu sebelum kembali tidur. Kasihan Airina jika terganggu," peringat Julie. Arsen akhirnya melangkahkan kakinya ke luar ruang inap, sekilas ia melihat anak kembarnya di ruang bayi. Ia hampir lengah dengan penjagaan di sana. "Aron, panggilkan beberapa orang untuk menjaga ruang bayi!" titahnya. Setelahnya, Arsen hanya duduk di kursi
Mata itu perlahan mengerjap hingga sepenuhnya ia mampu menatap sekeliling ruangan. Dengan nuansa biru lautnya, ruangan yang terlihat luas hanya menyisakan dirinya dan Arsen. Dengan perlahan matanya terbuka dengan lebar, ia mengerjapkan matanya berulang. Pukul 10 malam, setelah pagi hari ia berjuang untuk nyawa dua bayi. Kini, ia kembali siuman setelah tertidur entah berapa lama. "A-Arsen," lirih suaranya samar memanggil nama Arsen di sampingnya. Pria itu menundukkan kepalanya dalam, seolah tidak memiliki harapan besar atas istrinya. Setelah mendengar suara tangisan ke dua kalinya, ia tidak lagi ingat apa yang terjadi padanya. "Airin, kamu sudah siuman? A-aku akan memanggil dokter segera!" ucapnya terbata. Arsen berusaha berlari menuju pintu, namun tangannya tercekal. Airina menahan pergelangan tangan Arsen dengan kuat. "Jangan pergi dulu, bagaimana kabar anak kita?" tanya Airina lirih. "Anak kita sehat, Airina. Dia ada di ruang bayi, kalau kamu sudah sepenuhnya pulih. Kita ak
"Hah?" beo Airina kebingungan. "Kamu tahu dari mana?" tanya Airina pada adik bungsunya. Tatapan mata yang lekat pada adiknya itu menyelidik. Bahkan ia terlihat sudah tahu bagaimana ceritanya kejadian itu terjadi pada kakaknya. "Bu Julie cerita ke aku, Kak. Awalnya aku juga tidak percaya, tapi setahuku memang Nona Gemma tidak pernah menyukaimu 'kan?" tutur Aily lirih. "Aily, kamu tidak perlu sampai seperti itu. Tidak perlu membenci orang lain seperti itu, Aily. Lihatlah kakak baik-baik saja loh," ucap Airina dengan menatap lembut adik bungsunya. "Kakak memang baik-baik saja, jika Kakak tidak baik setelah kejadian itu. Apa kakak bisa mengatakan kalimat barusan?" tanya Aily dengan menekan kalimat demi kalimatnya. Deg! Sifat ke duanya sangat bertolak belakang. Aily membiarkan Airina sibuk dengan pikirannya, ia beranjak meninggalkan ruang tamu. "Aku mau istirahat dulu, Kak. Lelah sekali perjalanan hari ini," keluhnya. Airina hanya bisa melihat adiknya melenggang begitu saja. Hanya
Arsen terperanjat, ia dengan sigap menopang tubuh Airina agar tidak terjatuh. Sayup-sayup Anne berlari dari lawan arah. Membantu Arsen menopang tubuh Airina, tanpa sadar itu adalah salah Anne. Akhirnya, dengan degup jantung yang tidak beraturan, Airina masih selamat. "Terima kasih, Arsen, Anne," lirih ucap Airina. Dengan perasaan penuh kekalutan, Airina memilih duduk di sofa. Membiarkan jantungnya berdegup normal kembali. Dengan segelas air putih ia berusaha menetralkan dirinya sendiri meski cukup sulit. Ada ketakutan dalam dirinya yang cukup kuat. "Anne, bagaimana bisa kamu mengepel dan masih sangat basah seperti itu?" tanya Arsen dengan nada yang cukup keras. Sedangkan pembantunya hanya bisa diam dengan menatap lantai di hadapannya. "Maafkan saya, Tuan. Saya tadi sempat mengambil air bersih, karena mema-" ucapannya terhenti. Arsen tidak lagi mengomel, ia berjalan mendekati Airina. Ia memastikan keadaan istrinya baik-baik saja. "Jangan marah pada Anne, itu akan membuatnya t
Arsen dengan segera memeluk erat tubuh Airina, meredakan setiap kepanikan dan ketakutan dalam dirinya. Tidak ingin membiarkan istrinya begitu kalut dalam rasa takutnya. "Hust, sudah, itu tidak akan terjadi, Airina. Aku ada di sini menemanimu," ucap Arsen. Ia mengecup beberapa kali kening Airina tanpa ragu. Membiarkan istrinya itu lebih tenang dengan adanya dirinya. Tidak berselang lama, Julie masuk dalam ruang inap. Raut wajah paniknya sesaat sudah berubah dengan rasa lega. "Sayang, kamu sudah siuman. Bagaiaman keadaan tubuhmu?" tanya Julie lirih. "Aku baik, Ibu. Rasanya juga sudah lebih baik daripada tadi saat aku jatuh. Ibu ... Maaf sekali aku lalai," ucap Airina lirih. Rasa bersalah dalam dirinya seolah membuat Airina tertekan. Tidak nyaman dengan apa yang terjadi dengan dirinya sendiri. "Airina, kamu selamat saja ibu sudah senang. Tidak perlu mengatakan itu, kamu mau minta maaf atas apa? Gara-gara ada seseorang menabrakmu sampai jatuh? Tidak-tidak, kamu tidak salah dalam ha
Dokter terlihat kalut dengan keadaan pasiennya, Arsen sudah pasrah. Mulutnya hanya bisa merapal doa agar istrinya baik-baik saja. "Dokter, katakan bagaiaman keadaan menantu saya?" tanya Julie dengan tatapan tajam. Dengan berat hati dokter membuka suara, dengan bergetar suara itu terdengar. Setiap kalimat yang ia utarakan seolah akan membuat semua anggota keluarga tercengang. "Sebelumnya saya meminta maaf, awalnya saya tidak yakin Nona Airina akan melalui masa kritis ini. Sempat terjadi pendarahan yang cukup menegangkan," jelasnya. Arsen dan Julie saling menatap, wajahnya mulai pucat tidak siap dengan apa yang akan di utarakan dokter. "Lalu, Dok?" Arsen menggantungkan tanyanya. Helaan nafas cukup panjang diambil begitu saja oleh dokter, "Saya sempat terkejut saat Nona Airina dan bayi dalam kandungannya berhasil melewati masa kritisnya. Sekarang biarkan ia istirahat terlebih dahulu," tambah dokter. Julie memeluk erat tubuh Arsen, dengan perasaan campur aduk. Akhirnya ia dan anak
Namun, bagi Airina itu masih kurang sedikit. Ya, selera ke duanya memang cukup berbeda, maka dari itu rasanya Airina ingin menambahkan sedikit diantara kata itu. Masih diam dengan isi kepalanya, Arsen mulai menatapnya lekat tanpa celah. "Apa kamu tidak suka dengan nama itu?" tanya Arsen dengan tatapan penuh tanya. "Bu-bukan tidak suka, bagiku itu masih kurang sedikit. Nanti bisa kita pikirkan ya," elak Airina dengan senyum manis di bibirnya. Kini mereka sudah kembali sibuk dengan urusannya masing-masing. Bergelut dengan isi kepalanya yang mulai bersahutan, salah dengan banyaknya ide dan nama yang harus diberikan. Ini anak pertama Airina dan Arsen, jadi akan menjadi sebuah hal baru bagi ke duanya. "Sudah, tidak perlu dipikirkan. Nanti bisa kita diskusikan lagi, Airina." Arsen kini menatap istrinya lekat, menunjukkan padanya bahwa mereka sudah tiba di mall terbesar di Macherie. Agatto Mall yang ada di pusat kota Macherie. Langkah ke duanya pelan memasuki mall. Dengan tangan ya