"I-iya, Anda siapa?" tanya Airina. "Aku teman Gemma Dassault," jawabnya. Airina terhenyak mendengar jawaban itu, ia tidak lagi ingin bicara. Rasa takutnya akan di sekap di ruangan gelap masih tersisa. "Eh, Nona. Jangan menjauh seperti itu, aku tidak akan melakukan apa pun padamu," ucapnya. "Tidak, aku memang kurang nyaman duduk tanpa jarak dengan orang asing," ujar Airina. Matanya menelisik ke atas sampai bawah, melihat wanita itu hanya tersenyum tipis. "Dih!" pekik Airina. "Ada urusan apa?" tanya Airina. "Tidak ada, aku hanya ingin tahu siapa sebenarnya yang mengambil Arsen dari Gemma," jelas wanita itu. "Ternyata Gemma memang kalah cantik, kamu juga terlihat lebih pandai. Apa tebakanku benar?" tanya wanita itu menebak. "Siapa kau?!" teriak Arsen. Lelaki itu berjalan dengan cepat, dua tangannya membawa cone ice cream. Tatapannya tajam menatap wanita yang kini berbicara dengan Airina. "Ada urusan apa, Anda?" tanya Arsen dengan mengangkat dagunya. "Saya hanya mengajaknya m
"Ini?" tanya Airina. Arsen menunjuk tepat pada jantungnya. Dengan ibu jari dan jari telunjuk seperti sarangheo versi korea, Arsen mengulas senyum tipis di wajahnya. Airina hanya diam dan terpaku, salah tingkah! Matanya membelalak lebar, dengan senyum yang sempat ia tahan. "Kenapa? kok diam," tanya Arsen. "Memangnya kamu tidak bisa membuat jantungku berdebar?" Lelaki itu tidak segan melempar pertanyaan yang membuat Airina semakin salah tingkah. "Diam, Arsen! Aku tidak suka kamu bertingkah seperti ini," gerutu Airina. Wanita itu hanya menarik selimutnya sampai batas kepala, menelangkup ke dalam selimut dengan senyum yang masih menghiasi wajahnya. 'Aku bisa gila!' batinnya. "Arsen, apa kamu tidak ingin keluar dari kamarku?" tanya Airina. Ditariknya selimut yang kini membungkus istrinya dengan satu tangan. Menampakkan wajah Airina yang memerah layaknya kepiting rebus. "Lihatlah, apa kamu sadar kalau ini kamarku?" todong Arsen. "Loh, baiklah aku akan pergi ke kamarku!" Tanpa r
"Sejak kamu memelukku semalam," jawab Arsen bohong. "Hah?" beo Airina. Saat ini Airina hanya bisa diam menahan malu, memeluk Arsen lebih dulu saat tertidur. "Tidak perlu kaget, aku bisa memaklumi itu dan aku senang," jelas Arsen. "Iya, maaf. Sepertinya aku saat tidur suka melakukan hal-hal di luar nalar," jelas Airina. "Hahaha, tidak apa-apa, Airina. Apa agendamu hari ini?" tanya Arsen. Airina hanya diam, seperti sedang berpikir dengan jadwal pekerjaannya. "Aku ada pekerjaan, jadi aku harus ke butik hari ini," jawab Airina. Ia beranjak dari ranjang Arsen, melangkah ke luar kamar tanpa pamit. Arsen hanya menggelengkan kepalanya pelan. "Dasar wanita!" gumamnya. **** "Arsen," panggil Airina."Ada apa?" tanya Arsen. Airina hanya menggeleng, kini keduanya berjalan beriringan menuju mobil. "Pagi ini kamu sangat cantik," bisik Arsen. "Hahaha, biasa aja," elak Airina. Arsen menarik beberapa helai rambut Airina ke belakang telinga, "Sempurna!" ucapnya. Deg! Jantungnya berdetak
"Tuan Muda, mengapa Anda begitu emosi? Saya minta maaf, mari kita mulai meeting kali ini," ucap Gilbert. Arsen hanya menolehkan kepalanya sejenak, menatap wajah polos Airina. "Maaf, sepertinya kerjasama kali ini dibatalkan, silakan Anda pergi!" tegas Arsen. "Tu-tuan muda, mengapa Anda membatalkan kerjasama secara sepihak?" tanya Gilbert tergagap. "Bekerjasama dengan orang yang suka merendahkan orang lain tidak akan menguntungkan bagiku. Jadi pergilah!" tegas Arsen. Raut wajah Gilbert terlihat emosi, matanya menatap nyalang ke Airina. "Tuan Arsen, jangan sesekali membatalkan kerjasama seperti ini. Tuan Pinault saja tidak pernah melakukan seperti ini, apalagi hanya karena seorang wanita," ujarnya dengan meledek. "Maksud Anda apa? wanita yang Anda hina adalah istriku. Sekarang begini, jika istrimu dihina oleh kolegamu, apa kau akan diam saja, Tuan Gilbert?" Dengan urat wajah yang sudah menonjol ke permukaan, Arsen menatap nyalang ke arah lelaki paruh baya itu. "Saya pamit, Tuan
"Ibu, tidak perlu bahas itu ya, aku tidak mungkin melakukan apa pun yang merugikan. Jadi, berita itu jelas bohong, aku baik-baik saja ibu. Jangan khawatir," pinta Airina. Amelia tersenyum, kalimat yang menenangkan batinnya yang sempat shock. "Terima kasih, Nak. Hati-hati ya," ucap Amelia. Wanita paruh baya itu mengantar anak sulungnya sampai ke gerbang. Di sambut dua laki-laki bertubuh kekar dengan jas hitamnya. "Kami pamit, Ibu. Terima kasih," pamit Airina. Airina memasuki mobil Bentley, matanya masih menggulir ke arah Amelia yang belum beranjak dari tempat berdirinya. "Aku sangat menyayangimu, Ibu. Huh, ternyata seberat ini setelah menikah," gumam Airina. "Nona, Tuan muda sempat meminta untuk membawa nona muda ke Jozy resto," ucap Aron. "Ya, ikuti apa kata Arsen saja, Aron." Airina merebahkan tubuhnya pada sandaran kursi, matanya menatap kosong ke jalanan kota Macherie. "Nona, nona!" panggil Aron berulang. "Ada apa?" tanya Airina. "Kita sudah tiba, silakan turun, Nona,"
"Maksud Anda apa?" pekik Arsen. Airina yang menjadi korban memegang pipi kanannya, satu tamparan dari seorang pengunjung itu membuat merah pipinya. "Maaf, saya tidak mengganggu, Anda. Atas dasar apa Anda melakukan ini?" tanya Airina. "Kamu itu sombong, suamimu juga!" hardiknya."Sudah, kita pergi saja, Arsen. Waktu kita terlalu berharga untuk ada di sini sia-sia," Ucap Airina dengan menantang. Dua pengunjung itu semakin naik pitam, kesabarannya yang sangat tipis. "Apa nona baik-baik saja?" tanya Aiden dan Aron kompak. "Iya, ini dikompres akan reda. Ayo pulang," ajaknya. "Arsen, apa kamu masih ada pekerjaan?" tanya Airina. Arsen sedikit diam dengan berpikir panjang. Semenit berikutnya dia menoleh. "Tidak ada, apa kamu mau kita langsung pulang ke apartemen?" Arsen berbalik bertanya pada wanita di sampingnya. "Iya, aku ingin istirahat di rumah saja. Tetapi kalau kamu masih ada pekerjaan, biar Aron yang mengantarku pulang," tuturnya."Aron, langsung pulang saja!" titah Arsen.
"Arsen ...!" teriak Airina. Tangan Arsen segera meraih pinggang Airina yang hampir terjatuh itu. "Syukurlah kamu masih bisa aku raih," ucap Arsen. "Ada apa? kamu tidak suka, apa mau jatuh ke lantai saja?" Gelak tawa Arsen membuat Airina melipat wajahnya kesal. "Mengapa kamu tidak mendengar ucapanku? Aku sedang sibuk menggambar desain terbaru, lihatlah ideku jadi hilang!" gerutu Airina. "Memangnya terinspirasi dari apa?" tanya Arsen."Entahlah aku malas, keluarlah, Arsen! Aku tidak ingin diganggu," pekiknya. Arsen malah memilih duduk di sofa dekat jendela, menikmati segelas air yang ia bawa. "Kemarilah, kamu sudah bekerja terlalu keras. Oh ya, harusnya kamu istirahat, Airina. Pipimu kan masih sakit," titah Arsen. "Arsen, yang sakit itu pipi bukan tangan aku. Mengapa kamu ini sangat aneh!" Airina menggerutu sepanjang langkahnya menuju sofa, tangan lelaki itu menarik Airina. Hingga ia duduk di paha Arsen. "Aku tidak nyaman, Arsen. Apa boleh aku membaringkan tubuhku saja?" tan
"Awas aja kamu!" teriak Arsen. "Wlee, sudah kembalilah ke kamarmu, Arsen. Sampai jumpa besok pagi!" seru Airina. "Oh iya, Airina. Aku melupakan sesuatu," ucapnya sebelum benar-benar keluar. Airina mendongak menatap Arsen, lelaki itu seperti sedang berpikir keras. "Ada undangan makan malam lusa, apa kamu bersedia menemaniku?" tanya Arsen. "Makan malam?" Airina berbalik melempar tanya, ia masih berpikir apa itu akan baik untuknya. "Tidak perlu khawatir, aku memastikan tidak ada orang yang akan mengganggumu. Aku sudah memiliki istri, tidak mungkin aku berangkat sendiri, bukan?' jelas Arsen. Airina mengangguk, tanpa banyak berpikir Airina hanya meng-iyakan ajakan Arsen. "Baiklah, lagi pula aku tidak bisa menolak ajakanmu. Selama kamu bisa memastikan itu aman untukku, aku tidak masalah," ucap Airina. "Ya sudah, selamat beristirahat, Airina." Arsen keluar dari kamar Airina. Berjalan pelan dengan wajah yang sumringah. Langkahnya terhenti saat mendengar teriakan Airina. "Ada apa?"
"Tera Fillmoore Pinault!" seru seorang pria dengan tubuh tinggi dengan jas yang melekat pada tubuhnya. "Om Yoshi!" seru Tera. "Happy wedding ya, Om, Aunty!" ucap Tera dengan senyum ramah. Pagi itu, Tera dan Tora diminta menjadi Bridesmaids dan Groomsmen di acara pernikahan Aily dan Yoshi. Di tepi pantai Medoza, ke duanya resmi menikah. Airina dan Arsen hanya mengulas senyum tipis, tatkala sepasang pengantin itu terlihat bahagia di atas pelaminan. "Cie, udah nggak jomblo nih!" ledek Airina. "Diam!" seru Yoshi. Gelak tawa terdengar nyaring, acara pernikahan yang diadakan dengan sederhana. Membuat suasana intimade wedding itu kian kental terasa. "Curang sekali kamu, Yosh. Bisa-bisanya menikahi adikku sendiri," ucap Airina. Ia yang sedari tadi menahan air mata, kini ia benar-benar menumpahkannya di dada Arsen. Usapan pelan pada pundak Airina, membuat ia air matanya semakin pecah. "Aku hanya ingin melindungi adik sekaligus istriku ini, Airin. Lagi pula, kamu sudah mengenal aku c
Aily dan Yoshi saling melempar senyuman tipis. "Aku ingin melamar adikmu, Airin," ucap Yoshi lembut. DegJantung Airina seperti berhenti berdetak sepersekian detik, kaget dan campur aduk. Di hadapan keluarga Arsen, Yoshi dengan entengnya mengatakan kalimat itu tanpa ragu. "Yosh ...? Kamu serius?" tanya Arsen lirih. Yoshi menganggukkan kepalanya membenarkan ucapannya. Membuat Airina dan Arsen semakin terdiam kaku. "Entah restu seperti apa yang harus aku berikan padamu, Yosh. Tapi ... Aku tidak bisa memaksa adikku untuk mengikuti jejakku, aku membiarkan adikku memilih jalannya sendiri. Jadi, apa pun yang diinginkan Aily, aku setuju," tutur Airina lembut. Aily berseru dengan bahagia, setelah selesai pendidikannya. Ia berniat melanjutkan kuliah terlebih dahulu. "Terima kasih, Kak!" Aily memeluk erat tubuh Airina. Malam tahun baru itu membawa rona bahagia pada semuanya. Airina dan Arsen yang cintanya semakin kuat, dalam dekapannya Tora dan Tera tersenyum menggelitik. **** 5 tahu
"Arsen ...," Julie mengoyak tubuh anak laki-lakinya, teriakannya cukup keras. Membuat ia yang duduk di ruang tunggu mampu mendengar suaranya. Lama Arsen hanya mengubah posisi tidurnya, entah apa yang ia rasakan di alam mimpi. "Arsen!" gertak Julie. "Arghhh!" Matanya menyipit sebelum benar-benar sadar dari tidur singkatnya. Matanya mengerjap perlahan. "Ibu ... bagaimana bisa ibu ada di sini?" tanya Arsen dengan tergagap. "Kamu mimpi apa? Sangat berisik, ibu takut Airina terganggu," tanya Julie. "Rasanya aku tidak bermimpi, namun ada sesuatu yang mengganjal dalam tubuhku. Maaf ibu," Arsen mengacak rambutnya kasar. "Sudah tidak apa-apa, tenangkan dirimu sebelum kembali tidur. Kasihan Airina jika terganggu," peringat Julie. Arsen akhirnya melangkahkan kakinya ke luar ruang inap, sekilas ia melihat anak kembarnya di ruang bayi. Ia hampir lengah dengan penjagaan di sana. "Aron, panggilkan beberapa orang untuk menjaga ruang bayi!" titahnya. Setelahnya, Arsen hanya duduk di kursi
Mata itu perlahan mengerjap hingga sepenuhnya ia mampu menatap sekeliling ruangan. Dengan nuansa biru lautnya, ruangan yang terlihat luas hanya menyisakan dirinya dan Arsen. Dengan perlahan matanya terbuka dengan lebar, ia mengerjapkan matanya berulang. Pukul 10 malam, setelah pagi hari ia berjuang untuk nyawa dua bayi. Kini, ia kembali siuman setelah tertidur entah berapa lama. "A-Arsen," lirih suaranya samar memanggil nama Arsen di sampingnya. Pria itu menundukkan kepalanya dalam, seolah tidak memiliki harapan besar atas istrinya. Setelah mendengar suara tangisan ke dua kalinya, ia tidak lagi ingat apa yang terjadi padanya. "Airin, kamu sudah siuman? A-aku akan memanggil dokter segera!" ucapnya terbata. Arsen berusaha berlari menuju pintu, namun tangannya tercekal. Airina menahan pergelangan tangan Arsen dengan kuat. "Jangan pergi dulu, bagaimana kabar anak kita?" tanya Airina lirih. "Anak kita sehat, Airina. Dia ada di ruang bayi, kalau kamu sudah sepenuhnya pulih. Kita ak
"Hah?" beo Airina kebingungan. "Kamu tahu dari mana?" tanya Airina pada adik bungsunya. Tatapan mata yang lekat pada adiknya itu menyelidik. Bahkan ia terlihat sudah tahu bagaimana ceritanya kejadian itu terjadi pada kakaknya. "Bu Julie cerita ke aku, Kak. Awalnya aku juga tidak percaya, tapi setahuku memang Nona Gemma tidak pernah menyukaimu 'kan?" tutur Aily lirih. "Aily, kamu tidak perlu sampai seperti itu. Tidak perlu membenci orang lain seperti itu, Aily. Lihatlah kakak baik-baik saja loh," ucap Airina dengan menatap lembut adik bungsunya. "Kakak memang baik-baik saja, jika Kakak tidak baik setelah kejadian itu. Apa kakak bisa mengatakan kalimat barusan?" tanya Aily dengan menekan kalimat demi kalimatnya. Deg! Sifat ke duanya sangat bertolak belakang. Aily membiarkan Airina sibuk dengan pikirannya, ia beranjak meninggalkan ruang tamu. "Aku mau istirahat dulu, Kak. Lelah sekali perjalanan hari ini," keluhnya. Airina hanya bisa melihat adiknya melenggang begitu saja. Hanya
Arsen terperanjat, ia dengan sigap menopang tubuh Airina agar tidak terjatuh. Sayup-sayup Anne berlari dari lawan arah. Membantu Arsen menopang tubuh Airina, tanpa sadar itu adalah salah Anne. Akhirnya, dengan degup jantung yang tidak beraturan, Airina masih selamat. "Terima kasih, Arsen, Anne," lirih ucap Airina. Dengan perasaan penuh kekalutan, Airina memilih duduk di sofa. Membiarkan jantungnya berdegup normal kembali. Dengan segelas air putih ia berusaha menetralkan dirinya sendiri meski cukup sulit. Ada ketakutan dalam dirinya yang cukup kuat. "Anne, bagaimana bisa kamu mengepel dan masih sangat basah seperti itu?" tanya Arsen dengan nada yang cukup keras. Sedangkan pembantunya hanya bisa diam dengan menatap lantai di hadapannya. "Maafkan saya, Tuan. Saya tadi sempat mengambil air bersih, karena mema-" ucapannya terhenti. Arsen tidak lagi mengomel, ia berjalan mendekati Airina. Ia memastikan keadaan istrinya baik-baik saja. "Jangan marah pada Anne, itu akan membuatnya t
Arsen dengan segera memeluk erat tubuh Airina, meredakan setiap kepanikan dan ketakutan dalam dirinya. Tidak ingin membiarkan istrinya begitu kalut dalam rasa takutnya. "Hust, sudah, itu tidak akan terjadi, Airina. Aku ada di sini menemanimu," ucap Arsen. Ia mengecup beberapa kali kening Airina tanpa ragu. Membiarkan istrinya itu lebih tenang dengan adanya dirinya. Tidak berselang lama, Julie masuk dalam ruang inap. Raut wajah paniknya sesaat sudah berubah dengan rasa lega. "Sayang, kamu sudah siuman. Bagaiaman keadaan tubuhmu?" tanya Julie lirih. "Aku baik, Ibu. Rasanya juga sudah lebih baik daripada tadi saat aku jatuh. Ibu ... Maaf sekali aku lalai," ucap Airina lirih. Rasa bersalah dalam dirinya seolah membuat Airina tertekan. Tidak nyaman dengan apa yang terjadi dengan dirinya sendiri. "Airina, kamu selamat saja ibu sudah senang. Tidak perlu mengatakan itu, kamu mau minta maaf atas apa? Gara-gara ada seseorang menabrakmu sampai jatuh? Tidak-tidak, kamu tidak salah dalam ha
Dokter terlihat kalut dengan keadaan pasiennya, Arsen sudah pasrah. Mulutnya hanya bisa merapal doa agar istrinya baik-baik saja. "Dokter, katakan bagaiaman keadaan menantu saya?" tanya Julie dengan tatapan tajam. Dengan berat hati dokter membuka suara, dengan bergetar suara itu terdengar. Setiap kalimat yang ia utarakan seolah akan membuat semua anggota keluarga tercengang. "Sebelumnya saya meminta maaf, awalnya saya tidak yakin Nona Airina akan melalui masa kritis ini. Sempat terjadi pendarahan yang cukup menegangkan," jelasnya. Arsen dan Julie saling menatap, wajahnya mulai pucat tidak siap dengan apa yang akan di utarakan dokter. "Lalu, Dok?" Arsen menggantungkan tanyanya. Helaan nafas cukup panjang diambil begitu saja oleh dokter, "Saya sempat terkejut saat Nona Airina dan bayi dalam kandungannya berhasil melewati masa kritisnya. Sekarang biarkan ia istirahat terlebih dahulu," tambah dokter. Julie memeluk erat tubuh Arsen, dengan perasaan campur aduk. Akhirnya ia dan anak
Namun, bagi Airina itu masih kurang sedikit. Ya, selera ke duanya memang cukup berbeda, maka dari itu rasanya Airina ingin menambahkan sedikit diantara kata itu. Masih diam dengan isi kepalanya, Arsen mulai menatapnya lekat tanpa celah. "Apa kamu tidak suka dengan nama itu?" tanya Arsen dengan tatapan penuh tanya. "Bu-bukan tidak suka, bagiku itu masih kurang sedikit. Nanti bisa kita pikirkan ya," elak Airina dengan senyum manis di bibirnya. Kini mereka sudah kembali sibuk dengan urusannya masing-masing. Bergelut dengan isi kepalanya yang mulai bersahutan, salah dengan banyaknya ide dan nama yang harus diberikan. Ini anak pertama Airina dan Arsen, jadi akan menjadi sebuah hal baru bagi ke duanya. "Sudah, tidak perlu dipikirkan. Nanti bisa kita diskusikan lagi, Airina." Arsen kini menatap istrinya lekat, menunjukkan padanya bahwa mereka sudah tiba di mall terbesar di Macherie. Agatto Mall yang ada di pusat kota Macherie. Langkah ke duanya pelan memasuki mall. Dengan tangan ya