"Arsen ...!" teriak Airina. Tangan Arsen segera meraih pinggang Airina yang hampir terjatuh itu. "Syukurlah kamu masih bisa aku raih," ucap Arsen. "Ada apa? kamu tidak suka, apa mau jatuh ke lantai saja?" Gelak tawa Arsen membuat Airina melipat wajahnya kesal. "Mengapa kamu tidak mendengar ucapanku? Aku sedang sibuk menggambar desain terbaru, lihatlah ideku jadi hilang!" gerutu Airina. "Memangnya terinspirasi dari apa?" tanya Arsen."Entahlah aku malas, keluarlah, Arsen! Aku tidak ingin diganggu," pekiknya. Arsen malah memilih duduk di sofa dekat jendela, menikmati segelas air yang ia bawa. "Kemarilah, kamu sudah bekerja terlalu keras. Oh ya, harusnya kamu istirahat, Airina. Pipimu kan masih sakit," titah Arsen. "Arsen, yang sakit itu pipi bukan tangan aku. Mengapa kamu ini sangat aneh!" Airina menggerutu sepanjang langkahnya menuju sofa, tangan lelaki itu menarik Airina. Hingga ia duduk di paha Arsen. "Aku tidak nyaman, Arsen. Apa boleh aku membaringkan tubuhku saja?" tan
"Awas aja kamu!" teriak Arsen. "Wlee, sudah kembalilah ke kamarmu, Arsen. Sampai jumpa besok pagi!" seru Airina. "Oh iya, Airina. Aku melupakan sesuatu," ucapnya sebelum benar-benar keluar. Airina mendongak menatap Arsen, lelaki itu seperti sedang berpikir keras. "Ada undangan makan malam lusa, apa kamu bersedia menemaniku?" tanya Arsen. "Makan malam?" Airina berbalik melempar tanya, ia masih berpikir apa itu akan baik untuknya. "Tidak perlu khawatir, aku memastikan tidak ada orang yang akan mengganggumu. Aku sudah memiliki istri, tidak mungkin aku berangkat sendiri, bukan?' jelas Arsen. Airina mengangguk, tanpa banyak berpikir Airina hanya meng-iyakan ajakan Arsen. "Baiklah, lagi pula aku tidak bisa menolak ajakanmu. Selama kamu bisa memastikan itu aman untukku, aku tidak masalah," ucap Airina. "Ya sudah, selamat beristirahat, Airina." Arsen keluar dari kamar Airina. Berjalan pelan dengan wajah yang sumringah. Langkahnya terhenti saat mendengar teriakan Airina. "Ada apa?"
"Gak mungkin, udah jangan bercanda, Arsen. Keluarlah dari kamarku!" pekiknya. Arsen hanya diam, "Memangnya kenapa dengan keluargamu?" tanya Arsen. "Kita tidak setara, Arsen. Ingat kita hanya nikah kontrak, jangan menyalahi itu. Tolong ya," ucap Airina lirih. Mendengar ucapan Airina, Arsen langsung pergi begitu saja. Meninggalkan Airina tanpa banyak kata, ada perasaan di hatinya yang paling dalam. "Sudahlah, Arsen. Dia memang tidak mencintaimu, Airina hanya kasihan padamu yang terjebak hubungan dengan Gemma!" Arsen menggumam. "Tuan muda, raut wajah Anda sangat berbeda dari biasanya. Apakah ada hal yang membuat Anda merasa kurang baik?" tanya Aron. "Tidak ada, aku baik-baik saja." Arsen duduk di salah satu kursi makan, diam menunggu Airina datang. Tidak lama dari itu, Airina datang dengan rok panjangnya. Rambutnya tergerai rapi dengan kemeja yang melekat. "Maaf membuatmu menunggu terlalu lama, Arsen," ucap Airina. "Ya, tidak apa-apa. Ayo sarapan!" Arsen membantu Airina menyia
"Hai, Ibu. Apa kabar?" Sapa Airina dengan mencium pipi kanan kiri Julie dan sebaliknya. "Ibu baik, bagaimana denganmu, nak?" Julie berbalik tanya. "Baik," singkat jawaban Airina. Julie dan Airina berjalan masuk ke dalam butik diikuti oleh Arsen. Hanya membuntuti dua wanita yang ia sayang. "Arsen, duduklah!" titah Julie. Kini Arsen hanya melihat Julie mengepas pakaian Airina. Dengan tawa renyah dari Airina dan ibunya. Arsen mengulas senyum, sesekali ia berdiri membantu Julie yang kesulitan. "Arsen, duduklah! Jangan mengganggu ibu," ujarnya. "Ibu, itu berlebihan untuk Airina. Lihatlah tubuhnya yang sangat kecil itu," ucap Arsen."Diamlah, kamu itu tidak tahu model!" gerutu Julie. Arsen kembali diam, Airina hanya menatap Arsen dengan terkekeh. Lelaki itu akhirnya bisa diam dalam kendali ibunya. **** "Akhirnya selesai juga!" ucap Airina. "Mengepas baju untuk makan malam bersama kolega ternyata melelahkan ya," ucap Airina pada Arsen. "Ya, itu sudah biasa bagi keluarga Pinault.
"Menurutmu bagaimana? Lebih baik kita perpanjang atau-" tanya Arsen terhenti, Airina sudah pergi ke mobil tanpa pamit. "Hei, Airina. Apa kamu tidak ingin melakukan itu?" teriak Arsen. Dengan sedikit berlari ia mengejar Airina yang sudah masuk ke mobil. "Apa kamu tidak ingin memperpanjang kontrak kita?" tanya Arsen."Aku tidak mau," jawabnya singkat. "Aron, antar aku ke butik terlebih dahulu," titah Airina. Mobil itu melaju pelan menuju butik Airina, cukup lama perjalanan namun keheningan menghiasi mobil itu. Airina dengan berbagai tanda tanya dalam kepalanya, sedangkan Arsen penuh rasa kesal dalam dirinya. "Jika suatu saat ada kesempatan kita memperpanjang kontrak, apa kamu mau melakukannya?" tanya Arsen. "Sepertinya tidak, aku akan menepati kontrak awal," tegas Airina. Lelaki itu hanya menelan salivanya kuat-kuat, matanya terpaku pada kecantikan Airina. "Apa sebenarnya alasan kamu menolak itu, Airin?" tanya Arsen lagi. "Ya, karena aku merasa itu berlebihan, Arsen. Saat kit
"Aaa, tidak, Arsen. Aku tidak melihat apa-apa, lepaskan aku!" teriak Airina keras. "Hahaha, tutup matamu aku akan segera berganti pakaian," titah Arsen. Menuruti ucapan Arsen, Airina hanya bisa menutup matanya. Meskipun ia sangat malu atas kecerobohannya. "Arsen, maafkan aku, harusnya aku tidak langsung masuk ke kamarmu," lirih Airina. "Tidak apa-apa, Airina. Ini juga kamarmu, jadi kamu bebas untuk keluar masuk." Lelaki itu mendekat, tangannya mulai menyibak dua tangan yang menutupi wajah Airina. "Bukalah matamu, aku sudah memakai baju lengkap," pinta Arsen. Airina mendongak ke atas, rambut lelaki itu masih basah akibat keramas. "Jangan menatapku seperti itu, apa kamu mau melahapku malam ini?" tanya Arsen meledek. "Hah, kamu kira aku ini pemakan segala! Aku sudah memasak untukmu," Antusias Airina menarik lengan Arsen untuk keluar kamar. Langkahnya tiba pada ruang makan, dengan beberapa makanan yang sudah tersaji di meja. "Hanya beef teriyaki lagi, apa kamu keberatan?" tanya
"Hehehe, maafkan aku, Arsen. Kamu membuatku geli," ucap Airina lembut. "Ayo!" ajak Arsen memaksa. Kini dalam gendongan Arsen, Airina hanya bisa memberontak sekuat tenaganya. Pukulan demi pukulan yang Arsen dapatkan, tidak membuat lelaki itu berhenti. "Aku sudah minta maaf, kenapa kamu masih memaksaku seperti ini!" gerutu Airina. "Salah sendiri, makanya jangan berulah!" gertak Arsen. "Iya, aku minta maaf, Arsen!" Sekali lagi Airina mengulang ucapan maaf untuk suaminya. "Tidak akan aku luluh, sekarang ayo ikut aku ke kamar!" tegas Arsen. "Huh, aku sudah lelah sekali. Jangan membuatku semakin lelah, biarkan aku tidur dengan tenang," pinta Airina. "Tidak ada, kamu akan tidur dengan aku malam ini!" Arsen dengan tegas mengatakan pada Airina. Tidak peduli apa permintaan wanita itu, yang pasti ia tidak akan melepaskan Airina sedikit pun. "Jika kamu lelah, tidurlah di sampingku." Dengan usapan lembut pada pipi Airina yang kini sudah terbaring di ranjang. "Tidurlah dengan nyenyak d
"Kamu selalu mengusik urusan pribadiku, itu sudah melanggar kontrak," Airina menggerutu. "Tapi, apa aku membuat kesalahan yang sangat fatal selain itu?" Arsen melempar tanya pada wanita di hadapannya. Airina hanya bisa diam terpaku. "Ti-tidak ada," ucap Airina tergagap. "Nah, itu poinnya. Aku tidak mengganggu urusan pribadimu tentang keluarga dan rumahmu, aku hanya mengusik kerjamu di butik. Maaf atas itu, Airina," lembut tutur Arsen. "Jika kamu tidak nyaman dengan perlakuan dan perilakuku, katakan saja aku paham," tambah Arsen. "Ya, terima kasih, Arsen. Maafkan sikapku yang seperti anak kecil," putus Airina. "Ayo kita bekerja," ajaknya. Uluran tangan Arsen dan menggandeng tangan Airina sudah menjadi kebiasaan keduanya. Langkah pelan keluar dari apartemen. "Tuan, hari ini-" Aron terdiam. "Hari ini kita hanya ke butik," titah Arsen. "Baik, silakan masuk, Nona," ucap Aron dengan hormat. Mobil Bentley hitam itu melaju menembus jalanan kota Macherie. Pagi itu terlihat berbeda
"Tera Fillmoore Pinault!" seru seorang pria dengan tubuh tinggi dengan jas yang melekat pada tubuhnya. "Om Yoshi!" seru Tera. "Happy wedding ya, Om, Aunty!" ucap Tera dengan senyum ramah. Pagi itu, Tera dan Tora diminta menjadi Bridesmaids dan Groomsmen di acara pernikahan Aily dan Yoshi. Di tepi pantai Medoza, ke duanya resmi menikah. Airina dan Arsen hanya mengulas senyum tipis, tatkala sepasang pengantin itu terlihat bahagia di atas pelaminan. "Cie, udah nggak jomblo nih!" ledek Airina. "Diam!" seru Yoshi. Gelak tawa terdengar nyaring, acara pernikahan yang diadakan dengan sederhana. Membuat suasana intimade wedding itu kian kental terasa. "Curang sekali kamu, Yosh. Bisa-bisanya menikahi adikku sendiri," ucap Airina. Ia yang sedari tadi menahan air mata, kini ia benar-benar menumpahkannya di dada Arsen. Usapan pelan pada pundak Airina, membuat ia air matanya semakin pecah. "Aku hanya ingin melindungi adik sekaligus istriku ini, Airin. Lagi pula, kamu sudah mengenal aku c
Aily dan Yoshi saling melempar senyuman tipis. "Aku ingin melamar adikmu, Airin," ucap Yoshi lembut. DegJantung Airina seperti berhenti berdetak sepersekian detik, kaget dan campur aduk. Di hadapan keluarga Arsen, Yoshi dengan entengnya mengatakan kalimat itu tanpa ragu. "Yosh ...? Kamu serius?" tanya Arsen lirih. Yoshi menganggukkan kepalanya membenarkan ucapannya. Membuat Airina dan Arsen semakin terdiam kaku. "Entah restu seperti apa yang harus aku berikan padamu, Yosh. Tapi ... Aku tidak bisa memaksa adikku untuk mengikuti jejakku, aku membiarkan adikku memilih jalannya sendiri. Jadi, apa pun yang diinginkan Aily, aku setuju," tutur Airina lembut. Aily berseru dengan bahagia, setelah selesai pendidikannya. Ia berniat melanjutkan kuliah terlebih dahulu. "Terima kasih, Kak!" Aily memeluk erat tubuh Airina. Malam tahun baru itu membawa rona bahagia pada semuanya. Airina dan Arsen yang cintanya semakin kuat, dalam dekapannya Tora dan Tera tersenyum menggelitik. **** 5 tahu
"Arsen ...," Julie mengoyak tubuh anak laki-lakinya, teriakannya cukup keras. Membuat ia yang duduk di ruang tunggu mampu mendengar suaranya. Lama Arsen hanya mengubah posisi tidurnya, entah apa yang ia rasakan di alam mimpi. "Arsen!" gertak Julie. "Arghhh!" Matanya menyipit sebelum benar-benar sadar dari tidur singkatnya. Matanya mengerjap perlahan. "Ibu ... bagaimana bisa ibu ada di sini?" tanya Arsen dengan tergagap. "Kamu mimpi apa? Sangat berisik, ibu takut Airina terganggu," tanya Julie. "Rasanya aku tidak bermimpi, namun ada sesuatu yang mengganjal dalam tubuhku. Maaf ibu," Arsen mengacak rambutnya kasar. "Sudah tidak apa-apa, tenangkan dirimu sebelum kembali tidur. Kasihan Airina jika terganggu," peringat Julie. Arsen akhirnya melangkahkan kakinya ke luar ruang inap, sekilas ia melihat anak kembarnya di ruang bayi. Ia hampir lengah dengan penjagaan di sana. "Aron, panggilkan beberapa orang untuk menjaga ruang bayi!" titahnya. Setelahnya, Arsen hanya duduk di kursi
Mata itu perlahan mengerjap hingga sepenuhnya ia mampu menatap sekeliling ruangan. Dengan nuansa biru lautnya, ruangan yang terlihat luas hanya menyisakan dirinya dan Arsen. Dengan perlahan matanya terbuka dengan lebar, ia mengerjapkan matanya berulang. Pukul 10 malam, setelah pagi hari ia berjuang untuk nyawa dua bayi. Kini, ia kembali siuman setelah tertidur entah berapa lama. "A-Arsen," lirih suaranya samar memanggil nama Arsen di sampingnya. Pria itu menundukkan kepalanya dalam, seolah tidak memiliki harapan besar atas istrinya. Setelah mendengar suara tangisan ke dua kalinya, ia tidak lagi ingat apa yang terjadi padanya. "Airin, kamu sudah siuman? A-aku akan memanggil dokter segera!" ucapnya terbata. Arsen berusaha berlari menuju pintu, namun tangannya tercekal. Airina menahan pergelangan tangan Arsen dengan kuat. "Jangan pergi dulu, bagaimana kabar anak kita?" tanya Airina lirih. "Anak kita sehat, Airina. Dia ada di ruang bayi, kalau kamu sudah sepenuhnya pulih. Kita ak
"Hah?" beo Airina kebingungan. "Kamu tahu dari mana?" tanya Airina pada adik bungsunya. Tatapan mata yang lekat pada adiknya itu menyelidik. Bahkan ia terlihat sudah tahu bagaimana ceritanya kejadian itu terjadi pada kakaknya. "Bu Julie cerita ke aku, Kak. Awalnya aku juga tidak percaya, tapi setahuku memang Nona Gemma tidak pernah menyukaimu 'kan?" tutur Aily lirih. "Aily, kamu tidak perlu sampai seperti itu. Tidak perlu membenci orang lain seperti itu, Aily. Lihatlah kakak baik-baik saja loh," ucap Airina dengan menatap lembut adik bungsunya. "Kakak memang baik-baik saja, jika Kakak tidak baik setelah kejadian itu. Apa kakak bisa mengatakan kalimat barusan?" tanya Aily dengan menekan kalimat demi kalimatnya. Deg! Sifat ke duanya sangat bertolak belakang. Aily membiarkan Airina sibuk dengan pikirannya, ia beranjak meninggalkan ruang tamu. "Aku mau istirahat dulu, Kak. Lelah sekali perjalanan hari ini," keluhnya. Airina hanya bisa melihat adiknya melenggang begitu saja. Hanya
Arsen terperanjat, ia dengan sigap menopang tubuh Airina agar tidak terjatuh. Sayup-sayup Anne berlari dari lawan arah. Membantu Arsen menopang tubuh Airina, tanpa sadar itu adalah salah Anne. Akhirnya, dengan degup jantung yang tidak beraturan, Airina masih selamat. "Terima kasih, Arsen, Anne," lirih ucap Airina. Dengan perasaan penuh kekalutan, Airina memilih duduk di sofa. Membiarkan jantungnya berdegup normal kembali. Dengan segelas air putih ia berusaha menetralkan dirinya sendiri meski cukup sulit. Ada ketakutan dalam dirinya yang cukup kuat. "Anne, bagaimana bisa kamu mengepel dan masih sangat basah seperti itu?" tanya Arsen dengan nada yang cukup keras. Sedangkan pembantunya hanya bisa diam dengan menatap lantai di hadapannya. "Maafkan saya, Tuan. Saya tadi sempat mengambil air bersih, karena mema-" ucapannya terhenti. Arsen tidak lagi mengomel, ia berjalan mendekati Airina. Ia memastikan keadaan istrinya baik-baik saja. "Jangan marah pada Anne, itu akan membuatnya t
Arsen dengan segera memeluk erat tubuh Airina, meredakan setiap kepanikan dan ketakutan dalam dirinya. Tidak ingin membiarkan istrinya begitu kalut dalam rasa takutnya. "Hust, sudah, itu tidak akan terjadi, Airina. Aku ada di sini menemanimu," ucap Arsen. Ia mengecup beberapa kali kening Airina tanpa ragu. Membiarkan istrinya itu lebih tenang dengan adanya dirinya. Tidak berselang lama, Julie masuk dalam ruang inap. Raut wajah paniknya sesaat sudah berubah dengan rasa lega. "Sayang, kamu sudah siuman. Bagaiaman keadaan tubuhmu?" tanya Julie lirih. "Aku baik, Ibu. Rasanya juga sudah lebih baik daripada tadi saat aku jatuh. Ibu ... Maaf sekali aku lalai," ucap Airina lirih. Rasa bersalah dalam dirinya seolah membuat Airina tertekan. Tidak nyaman dengan apa yang terjadi dengan dirinya sendiri. "Airina, kamu selamat saja ibu sudah senang. Tidak perlu mengatakan itu, kamu mau minta maaf atas apa? Gara-gara ada seseorang menabrakmu sampai jatuh? Tidak-tidak, kamu tidak salah dalam ha
Dokter terlihat kalut dengan keadaan pasiennya, Arsen sudah pasrah. Mulutnya hanya bisa merapal doa agar istrinya baik-baik saja. "Dokter, katakan bagaiaman keadaan menantu saya?" tanya Julie dengan tatapan tajam. Dengan berat hati dokter membuka suara, dengan bergetar suara itu terdengar. Setiap kalimat yang ia utarakan seolah akan membuat semua anggota keluarga tercengang. "Sebelumnya saya meminta maaf, awalnya saya tidak yakin Nona Airina akan melalui masa kritis ini. Sempat terjadi pendarahan yang cukup menegangkan," jelasnya. Arsen dan Julie saling menatap, wajahnya mulai pucat tidak siap dengan apa yang akan di utarakan dokter. "Lalu, Dok?" Arsen menggantungkan tanyanya. Helaan nafas cukup panjang diambil begitu saja oleh dokter, "Saya sempat terkejut saat Nona Airina dan bayi dalam kandungannya berhasil melewati masa kritisnya. Sekarang biarkan ia istirahat terlebih dahulu," tambah dokter. Julie memeluk erat tubuh Arsen, dengan perasaan campur aduk. Akhirnya ia dan anak
Namun, bagi Airina itu masih kurang sedikit. Ya, selera ke duanya memang cukup berbeda, maka dari itu rasanya Airina ingin menambahkan sedikit diantara kata itu. Masih diam dengan isi kepalanya, Arsen mulai menatapnya lekat tanpa celah. "Apa kamu tidak suka dengan nama itu?" tanya Arsen dengan tatapan penuh tanya. "Bu-bukan tidak suka, bagiku itu masih kurang sedikit. Nanti bisa kita pikirkan ya," elak Airina dengan senyum manis di bibirnya. Kini mereka sudah kembali sibuk dengan urusannya masing-masing. Bergelut dengan isi kepalanya yang mulai bersahutan, salah dengan banyaknya ide dan nama yang harus diberikan. Ini anak pertama Airina dan Arsen, jadi akan menjadi sebuah hal baru bagi ke duanya. "Sudah, tidak perlu dipikirkan. Nanti bisa kita diskusikan lagi, Airina." Arsen kini menatap istrinya lekat, menunjukkan padanya bahwa mereka sudah tiba di mall terbesar di Macherie. Agatto Mall yang ada di pusat kota Macherie. Langkah ke duanya pelan memasuki mall. Dengan tangan ya