"Ibu, tidak perlu bahas itu ya, aku tidak mungkin melakukan apa pun yang merugikan. Jadi, berita itu jelas bohong, aku baik-baik saja ibu. Jangan khawatir," pinta Airina. Amelia tersenyum, kalimat yang menenangkan batinnya yang sempat shock. "Terima kasih, Nak. Hati-hati ya," ucap Amelia. Wanita paruh baya itu mengantar anak sulungnya sampai ke gerbang. Di sambut dua laki-laki bertubuh kekar dengan jas hitamnya. "Kami pamit, Ibu. Terima kasih," pamit Airina. Airina memasuki mobil Bentley, matanya masih menggulir ke arah Amelia yang belum beranjak dari tempat berdirinya. "Aku sangat menyayangimu, Ibu. Huh, ternyata seberat ini setelah menikah," gumam Airina. "Nona, Tuan muda sempat meminta untuk membawa nona muda ke Jozy resto," ucap Aron. "Ya, ikuti apa kata Arsen saja, Aron." Airina merebahkan tubuhnya pada sandaran kursi, matanya menatap kosong ke jalanan kota Macherie. "Nona, nona!" panggil Aron berulang. "Ada apa?" tanya Airina. "Kita sudah tiba, silakan turun, Nona,"
"Maksud Anda apa?" pekik Arsen. Airina yang menjadi korban memegang pipi kanannya, satu tamparan dari seorang pengunjung itu membuat merah pipinya. "Maaf, saya tidak mengganggu, Anda. Atas dasar apa Anda melakukan ini?" tanya Airina. "Kamu itu sombong, suamimu juga!" hardiknya."Sudah, kita pergi saja, Arsen. Waktu kita terlalu berharga untuk ada di sini sia-sia," Ucap Airina dengan menantang. Dua pengunjung itu semakin naik pitam, kesabarannya yang sangat tipis. "Apa nona baik-baik saja?" tanya Aiden dan Aron kompak. "Iya, ini dikompres akan reda. Ayo pulang," ajaknya. "Arsen, apa kamu masih ada pekerjaan?" tanya Airina. Arsen sedikit diam dengan berpikir panjang. Semenit berikutnya dia menoleh. "Tidak ada, apa kamu mau kita langsung pulang ke apartemen?" Arsen berbalik bertanya pada wanita di sampingnya. "Iya, aku ingin istirahat di rumah saja. Tetapi kalau kamu masih ada pekerjaan, biar Aron yang mengantarku pulang," tuturnya."Aron, langsung pulang saja!" titah Arsen.
"Arsen ...!" teriak Airina. Tangan Arsen segera meraih pinggang Airina yang hampir terjatuh itu. "Syukurlah kamu masih bisa aku raih," ucap Arsen. "Ada apa? kamu tidak suka, apa mau jatuh ke lantai saja?" Gelak tawa Arsen membuat Airina melipat wajahnya kesal. "Mengapa kamu tidak mendengar ucapanku? Aku sedang sibuk menggambar desain terbaru, lihatlah ideku jadi hilang!" gerutu Airina. "Memangnya terinspirasi dari apa?" tanya Arsen."Entahlah aku malas, keluarlah, Arsen! Aku tidak ingin diganggu," pekiknya. Arsen malah memilih duduk di sofa dekat jendela, menikmati segelas air yang ia bawa. "Kemarilah, kamu sudah bekerja terlalu keras. Oh ya, harusnya kamu istirahat, Airina. Pipimu kan masih sakit," titah Arsen. "Arsen, yang sakit itu pipi bukan tangan aku. Mengapa kamu ini sangat aneh!" Airina menggerutu sepanjang langkahnya menuju sofa, tangan lelaki itu menarik Airina. Hingga ia duduk di paha Arsen. "Aku tidak nyaman, Arsen. Apa boleh aku membaringkan tubuhku saja?" tan
"Awas aja kamu!" teriak Arsen. "Wlee, sudah kembalilah ke kamarmu, Arsen. Sampai jumpa besok pagi!" seru Airina. "Oh iya, Airina. Aku melupakan sesuatu," ucapnya sebelum benar-benar keluar. Airina mendongak menatap Arsen, lelaki itu seperti sedang berpikir keras. "Ada undangan makan malam lusa, apa kamu bersedia menemaniku?" tanya Arsen. "Makan malam?" Airina berbalik melempar tanya, ia masih berpikir apa itu akan baik untuknya. "Tidak perlu khawatir, aku memastikan tidak ada orang yang akan mengganggumu. Aku sudah memiliki istri, tidak mungkin aku berangkat sendiri, bukan?' jelas Arsen. Airina mengangguk, tanpa banyak berpikir Airina hanya meng-iyakan ajakan Arsen. "Baiklah, lagi pula aku tidak bisa menolak ajakanmu. Selama kamu bisa memastikan itu aman untukku, aku tidak masalah," ucap Airina. "Ya sudah, selamat beristirahat, Airina." Arsen keluar dari kamar Airina. Berjalan pelan dengan wajah yang sumringah. Langkahnya terhenti saat mendengar teriakan Airina. "Ada apa?"
"Gak mungkin, udah jangan bercanda, Arsen. Keluarlah dari kamarku!" pekiknya. Arsen hanya diam, "Memangnya kenapa dengan keluargamu?" tanya Arsen. "Kita tidak setara, Arsen. Ingat kita hanya nikah kontrak, jangan menyalahi itu. Tolong ya," ucap Airina lirih. Mendengar ucapan Airina, Arsen langsung pergi begitu saja. Meninggalkan Airina tanpa banyak kata, ada perasaan di hatinya yang paling dalam. "Sudahlah, Arsen. Dia memang tidak mencintaimu, Airina hanya kasihan padamu yang terjebak hubungan dengan Gemma!" Arsen menggumam. "Tuan muda, raut wajah Anda sangat berbeda dari biasanya. Apakah ada hal yang membuat Anda merasa kurang baik?" tanya Aron. "Tidak ada, aku baik-baik saja." Arsen duduk di salah satu kursi makan, diam menunggu Airina datang. Tidak lama dari itu, Airina datang dengan rok panjangnya. Rambutnya tergerai rapi dengan kemeja yang melekat. "Maaf membuatmu menunggu terlalu lama, Arsen," ucap Airina. "Ya, tidak apa-apa. Ayo sarapan!" Arsen membantu Airina menyia
"Hai, Ibu. Apa kabar?" Sapa Airina dengan mencium pipi kanan kiri Julie dan sebaliknya. "Ibu baik, bagaimana denganmu, nak?" Julie berbalik tanya. "Baik," singkat jawaban Airina. Julie dan Airina berjalan masuk ke dalam butik diikuti oleh Arsen. Hanya membuntuti dua wanita yang ia sayang. "Arsen, duduklah!" titah Julie. Kini Arsen hanya melihat Julie mengepas pakaian Airina. Dengan tawa renyah dari Airina dan ibunya. Arsen mengulas senyum, sesekali ia berdiri membantu Julie yang kesulitan. "Arsen, duduklah! Jangan mengganggu ibu," ujarnya. "Ibu, itu berlebihan untuk Airina. Lihatlah tubuhnya yang sangat kecil itu," ucap Arsen."Diamlah, kamu itu tidak tahu model!" gerutu Julie. Arsen kembali diam, Airina hanya menatap Arsen dengan terkekeh. Lelaki itu akhirnya bisa diam dalam kendali ibunya. **** "Akhirnya selesai juga!" ucap Airina. "Mengepas baju untuk makan malam bersama kolega ternyata melelahkan ya," ucap Airina pada Arsen. "Ya, itu sudah biasa bagi keluarga Pinault.
"Menurutmu bagaimana? Lebih baik kita perpanjang atau-" tanya Arsen terhenti, Airina sudah pergi ke mobil tanpa pamit. "Hei, Airina. Apa kamu tidak ingin melakukan itu?" teriak Arsen. Dengan sedikit berlari ia mengejar Airina yang sudah masuk ke mobil. "Apa kamu tidak ingin memperpanjang kontrak kita?" tanya Arsen."Aku tidak mau," jawabnya singkat. "Aron, antar aku ke butik terlebih dahulu," titah Airina. Mobil itu melaju pelan menuju butik Airina, cukup lama perjalanan namun keheningan menghiasi mobil itu. Airina dengan berbagai tanda tanya dalam kepalanya, sedangkan Arsen penuh rasa kesal dalam dirinya. "Jika suatu saat ada kesempatan kita memperpanjang kontrak, apa kamu mau melakukannya?" tanya Arsen. "Sepertinya tidak, aku akan menepati kontrak awal," tegas Airina. Lelaki itu hanya menelan salivanya kuat-kuat, matanya terpaku pada kecantikan Airina. "Apa sebenarnya alasan kamu menolak itu, Airin?" tanya Arsen lagi. "Ya, karena aku merasa itu berlebihan, Arsen. Saat kit
"Aaa, tidak, Arsen. Aku tidak melihat apa-apa, lepaskan aku!" teriak Airina keras. "Hahaha, tutup matamu aku akan segera berganti pakaian," titah Arsen. Menuruti ucapan Arsen, Airina hanya bisa menutup matanya. Meskipun ia sangat malu atas kecerobohannya. "Arsen, maafkan aku, harusnya aku tidak langsung masuk ke kamarmu," lirih Airina. "Tidak apa-apa, Airina. Ini juga kamarmu, jadi kamu bebas untuk keluar masuk." Lelaki itu mendekat, tangannya mulai menyibak dua tangan yang menutupi wajah Airina. "Bukalah matamu, aku sudah memakai baju lengkap," pinta Arsen. Airina mendongak ke atas, rambut lelaki itu masih basah akibat keramas. "Jangan menatapku seperti itu, apa kamu mau melahapku malam ini?" tanya Arsen meledek. "Hah, kamu kira aku ini pemakan segala! Aku sudah memasak untukmu," Antusias Airina menarik lengan Arsen untuk keluar kamar. Langkahnya tiba pada ruang makan, dengan beberapa makanan yang sudah tersaji di meja. "Hanya beef teriyaki lagi, apa kamu keberatan?" tanya