Airina mengerutkan kening. “Maaf, Nona. Siapa yang Anda maksud pelacur itu?” balasnya kesal.
Seketika Gamma menarik tubuh Airina. Tangannya bahkan menarik rambut Airina dengan kuat.
“Bodoh, pelacur itu kau!” tunjuk Gemma pada Airina, “perebut tunangan orang sama saja dengan pelacur murahan! Dengan penampilanmu yang seperti gelandangan, Arsen pasti tak tertarik denganmu jika kamu tidak melemparkan tubuhmu, kan?!”
“Hei, wanita murahan!" tambahnya lagi, "akan kupastikan kau menjauh dari sisi Arsen karena--""Arrgh," pekik Airina menahan sakit. Namun, baru saja ia ingin membalas, Arsen tiba-tiba datang.
"Gemma, hentikan!” teriaknya.
Kedatangan Arsen sontak membuat Gemma melepaskan cengkramannya dari rambut Airina.Secepat kilat, wajah Gemma berubah sangat memelas dan seolah sangat tidak berdosa.
“Darl, pelacurmu itu yang memulai dulu, A-aku hanya memberinya pelajaran,” jelas Gemma dengan suara yang dibuat-buat.‘Huek,’ gumam Airina dalam hati. Rasanya, dia ingin membalas jambakan Gemma jika wanita itu dalam keadaan sadar.Sementara itu, Arsen menahan senyum melihat ketenangan Airina.Dia pun berdiri di samping istri kontraknya itu dan merangkulnya mesra. “Wanita yang kau sebut pelacur itu istriku. Sekali kau mengganggunya, kau akan tahu akibatnya!”Gemma sontak seperti cacing kepanasan. “Tapi, Darl. Dia tidak lebih cantik dari aku, lihatlah penampilannya itu sangat … kampungan!” ujarnya tak terima, "kau pasti bercanda, kan agar aku cemburu?""Tidak mungkin dia istrimu!" bentaknya lagi.Arsen menatap dingin mantan tunangannya itu. “Mau dia kampungan atau apa pun itu, bukan urusanmu, Nona Gemma! Silakan keluar dari apartement saya, atau saya akan memanggil peihak berwajib!” gertaknya.Namun, Gemma adalah Gemma. Dia masih keras kepala dan merasa Arsen miliknya.
Bosan melihat pemandangan di depannya, Airina sontak ke dalam rumah.
Diambilnya buku nikah yang baru saja mereka dapatkan, lalu memberikannya pada Gemma. "Kurasa kau tidak bodoh, kan?" ucap Airina tegas.
Melihat itu, mata Gemma membulat.
“I-ini pasti bohong ‘kan, Darl?” tanya Gemma dengan mata yang sudah berkaca-kaca. "ini akal-akalan jalang ini, ‘kan?” suara Gemma yang bergetar penuh kesedihan.
Arsen meraih pinggang Airina, memeluk erat tubuh ramping istri kontraknya itu.
“Aku tidak perlu memberikan jawaban atas pertanyaanmu, buku nikah itu adalah bukti kami sudah sah menjadi suami istri,” jelas Arsen tegas.
“Sadar, Gemma! Keluarga Pinault sudah memutuskan pertunangan bisnis dengan keluarga Dassault,” tambahnya dengan tegas.
Mendengar itu, Gemma tampak semakin emosi. Tanpa diduga, ia berlari ke arah Airina dan melayangkan sebuah tamparan keras.
Plak!
“Dasar murahan!” pekik Gemma dengan penuh emosi.
Airina menyentuh pipinya yang kini merah, menahan sakit pada pipinya yang kini teramat nyeri.
Sementara itu, wajah Arsen mengeras.
Ditariknya paksa tangan Gemma dan menjauh dari Airina. "Keluar sekarang kalau kau tak mau keluargamu kubuat miskin."
Gemma terdiam.
Itu pertama kalinya seorang Arsen tampak sangat menakutkan.
Seketika wanita itu sadar posisinya. Sembari berpura-pura menangis, Gemma melangkahkan kakinya keluar dari kawasan apartemen itu.
“Lihat saja, Arsen! Kau hanya boleh jadi milikku!” pekiknya tak mempedulikan orang-orang memperhatikan dirinya.****"Jalang?" lirih Airina pelan, "pelacur?"Entah mengapa malam itu, mata Airina enggan terpejam. Kata pelacur masih terngiang-ngiang di kepalanya. Ternyata menikah dengan Tuan muda Pinault tidak segampang yang dia mudah.
Dia pikir ini hanya melibatkan dirinya dan Arsen saja. Ternyata, mantan tunangan pria itu ingin ikut di dalamnya.
“Huh! Aku sebenarnya bisa menuntut ganti rugi atas pelecehan secara verbal dari Nona Gemma!” gumamnya kesal.Berbagai rencana untuk membalas tindakan Gemma ada di angan Airina.Sayangnya, ia sadar bahwa itu tak mungkin dilakukan.
Jadi, Airina pun beranjak dari ranjang.
Kriet!
Tangannya memegang erat kenop pintu yang kini tertutup rapat.Namun, baru saja membalikan badan, Airina melihat Arsen yang sudah berdiri di depan pintu dengan piyama yang sedikit terbuka.
Dada bidang dan perut kotak-kotak suami kontraknya itu bahkan terlihat.
“Airina …?”
Tanpa diduga, Arsen tiba-tiba menggenggam tangan Airina dan membawanya duduk di ruang tamu.
“Jadi?” tegasnya dengan tatapan intens.
“Ehem," deham Airina mencoba tenang, "mungkin, ini terkesan lancang. Namun, aku ingin meminta uang dukungan di luar gaji pernikahan kontrak!” jawabnya dengan tegas.Melihat Arsen hanya menaikkan alis, Gemma pun menambahkan, “Aku merasa dilecehkan secara verbal oleh Nona Gemma, yang menganggap aku ini pelacur.”
Airina menunduk. Dia sudah siap bila Arsen akan mengatainya atau menganggapnya matre.
Namun, pria itu justru mengeluarkan selembar kertas putih dan bolpoin di atas meja. “Tulis di sini apa yang kau mau!” tegasnya.
Mata Airina membulat. “Semudah itu?” tanyanya tak percaya. “Apa kalau aku minta separuh dari hartamu, kau akan memberikannya?”“Mungkin?" ucap Arsen, "bukankah harta suami artinya harta milik istrinya jjuga?"
"Hah?" beo Airina tanpa sadar.
"Hah?" beo Airina tanpa sadar.Belum sempat memproses maksud ucapan tersebut, Arsen sudah kembali berbicara, "Tak usah dipikirkan. Yang jelas, lakukan perintahku sebelum aku berubah pikiran, Nona Airina.”Pria itu pun duduk di hadapan Airina sambil bersedekap dada. Matanya intens melihat wanita dengan rambut yang tergerai.Hanya saja, Airina fokus pada berkas yang ia berikan.Begitu selesai, Airina tiba-tiba mendongak.Dua pasang mata itu kembali bertemu tanpa sengaja.“Su-sudah.” Gemetar tangan Airina menyerahkan selembar kertas pada Arsen yang entah mengapa seperti ingin ... melahapnya?“Hanya ini?” tanya Arsen sembari menyunggingkan senyumnya sebelah.Airina sempat mengerutkan kening sebelum mengangguk. “Ya, aku hanya ingin meminta dukungan biaya untuk merintis bisnis bridal,” yakinnya.Pria itu lantas mengangguk. “Jika hanya itu biar aku atur, kembalilah ke kamarmu!” titahnya.“Terima kasih, Arsen.”Setelah berkata demikian, Airina bangun dari duduknya.Hanya saja, langkahnya terh
Mendengar itu, Airina menaikkan sebelah alisnya. “Ada urusan apa Anda di sini, Nona Gemma?” tanyanya singkat."Urusanku?" Tiba-tiba saja, Gemma berlari masuk ke ruangan Monsieur Pinault. Tangannya menarik Arsen dalam pelukannya. Siapapun yang melihat pasti menyadari bahwa pria itu sangat tak suka dengan kelakuan Gemma. Namun, wanita itu tak peduli dan justru berkata, "Aku ingin mengambil priaku."Mata Arsen membelalak. Dia membiarkan Gemma karena hubungan baik antarkeluarga mereka.Tapi, sepertinya wanita itu malah menjadi-jadi. Didorongnya Gemma agar menjauh darinya. “Apa yang kau lakukan, hah?!” bentak Arsen keras, "kau ingin kerjasama keluargamu diputus?" Alih-alih takut atas ancaman itu, Gemma malah semakin erat memeluk Arsen. “Jangan pura-pura tak suka, Darl. Apa kau membentakku agar jalang lusuh dan menjijikan itu tak marah padamu?” "Hei, pergilah! Arsen tak benar-benar menyukaimu," makinya pada Airina. Mendengar itu, Airina hanya tersenyum. Namun, itu justru membangkitk
Seorang pria baruh baya tampak berdiri dan menunduk hormat begitu Arsen dan Airina tiab di hadapannya.“Silakan duduk!” ucap Arsen pada tamunya itu.“Terima kasih, Tuan.”Setelahnya, Arsen membicarakan tentang konsep dekorasi ulang apartemen. Airina sebenarnya mendengarkan hal tersebut. Sesekali, ia ingin menimpali. Tapi, ia tersadar, apa haknya atas apartemen Arsen?Jadi, Airina memutuskan menatap sekeliling interior ruangan Arsen. Cukup lama percakapan itu terjadi, Airina pun teringat butiknya. “Arsen, maaf aku harus kembali ke butik,” bisiknya lirih.Arsen sontak menatap wanita itu, lalu mengangguk pelan. Melihat itu, Airina beranjak meninggalkan ruang tamu. Hanya saja, ia tak menyadari kakinya akan tersandung kaki kanan Arsen, hingga membuatnya hampir.Untungnya, Arsen berhasil merengkuh Airina dan mendudukkannya di atas paha pria itu. Deg!Degup jantung keduanya menjaadi tidak beraturan. Keduanya saling menatap intens.“Ekhm!” Pria paruh baya itu berdeham menyadarkan kedua
"Musuh?" ulang Ariana Ia sontak teringat mantan kekasih dan sahabatnya, Namun, ia segera menggelengkan kepala. Rasanya, tak mungkin mantan kekasih dan sahabatnya itu memiliki uang untuk melakukan ini semua. Toh, Airina tak pernah menghubungi keduanya lagi sejak hari pengkhianatan itu.“Aku tak tahu. Apa mungkin ini ulah iseng yang iri dengan pencapaian butik ini?" ucap Airina kembali, lalu hanya bisa duduk menatap ke luar. Namun, tiba-tiba, ia teringat sebuah nama. Pemberitaan ini seolah menyudutkan Airina dan membuat masyarakat bersimpati pada.... “Apa ini perbuatan Nona Gemma?” ucapnya mendadak. Arsen menaikkan sebelah alisnya dan mengingat kejadian akhir-akhir ini. “Sepertinya begitu, tetapi kita perlu bukti untuk mencengkramnya. Untuk mengendalikan situasi, aku akan mengadakan konferensi pers segera." Aura kemarahan terlihat dari pria yang biasanya sabar itu. Airina sontak bergidik ngeri. Seketika, ia merasa khawatir dengan nasib para wartawan yang mungkin hanya bekerja
"Arsen, jangan terbawa emosi ...." Airina mengusap pelan pundak Arsen dengan lembut. Lelaki di sampingnya itu menatap lekat ke arahnya, ulasan senyum Airina berhasil meredakan emosinya. "Aku akan mengatur makan malam bersama Gemma segera!" ujarnya. Airina mengangguk, "Terima kasih, Arsen!" "Apa pun akan aku usahakan untukmu, Airina. Katakan padaku apa pun yang kau inginkan!" tutur Arsen dengan lembut. Airina merasa pipinya kini sedang merona seperti kepiting, suami kontraknya ini selalu berhasil membuat dirinya tersanjung. "Apa ada hal lain yang ingin kamu katakan padaku?" tanya Arsen mencairkan suasana. "Tidak ada, terima kasih. Em, a-aku akan memasak untukmu sebagai tanda terima kasih," ucap Airina dengan antusias. Arsen mengulas senyum tipis, hatinya merasa hangat dengan kehadiran Airina. "Hahaha, lakukan apapun yang membuatmu nyaman di sini!" Ucap Arsen dengan memberikan tatapan intens pada Airina.Jari telunjuknya itu dengan sengaja menyentuh dagu Airina, mata keduanya
"Mau? mau apa?" tanya Airina berulang. Alih-alih menjawab pertanyaan. Arsen malah menyibakkan rambut Airina yang tergerai, membuat tubuh Airina kaku seketika. "Arsen, aku khawatir," lirih Airina. Kini mata teduh itu menatap lekat ke arah manik mata Airina. "Khawatir tentang apa? Apa kamu takut sesuatu? atau ada hal yang membuat kamu tidak nyaman? katakan saja!" berondong tanya Arsen seperti seorang suami pada istrinya. "Aku takut jika ... Nona Gemma bukan pelaku teror ini, lalu siapa-" Ucapan Airina terhenti, Arsen kini merangkul pundak Airina. mengusap pelan puncak kepala wanita itu dalam dekapannya. Tanpa banyak kata dan basa-basi, "Airina, jangan mengkhawatirkan hal-hal kecil seperti itu. Aku berjanji akan menemukan pelaku teror itu, tenanglah!" ucapnya. "Aku ini Tuan Muda Pinault, semua hal yang menggangu ketenanganmu akan aku cari sumbernya sampai akar!" tambahnya tegas. Airina seolah dihantam kenyataan, benar! Arsen bisa melakukan apa pun jika dia mau. Apalagi hanya pel
Seorang pelayan datang membawa pesanan Arsen, membuat percakapan keduanya sempat terhenti. "Permisi, Tuan. Pesanannya." Pelayan itu hanya meletakkan segelas capuccino dan melenggang begitu saja. "Sebenarnya ada apa, Darl? apa yang ingin kamu tanyakan padaku?" berondong tanya dari Gemma. "Jika kamu bertanya, bagaimana perasaan aku padamu ... perasaan ini tidak akan berubah sampai kapan pun," tambahnya. Mendengar ucapan Gemma, kepala Arsen terasa sakit! "Bukan itu, Gemma. Apa kamu adalah dalang di balik berita hoax dan teror pada istriku?" tanya Arsen dengan mengintimidasi. Gemma terhenyak! "Em, Arsen! Aku pamit ke toilet dulu," ucapnya melenggang begitu saja. Tangan Arsen dengan sigap meraih lengan Gemma yang hendak pergi. "Jangan mencoba kabur dariku, Gemma Dassault!" tegas Arsen. Rahang laki-laki itu mengeras, ingin rasanya menerkam Gemma saat itu juga. "A-Arsen, aku hanya ke toilet. A-aku juga tidak berniat kabur darimu, sungguh!" ucapnya tergagap. "Aku katakan sekali l
"Apa kamu menyetujui permintaan, Gemma? dan ...," ucapan Airina terhenti. Telapak tangan Arsen membungkam mulut Airina begitu saja. Lelaki itu tersenyum tipis padanya. "Diam dulu, aku belum selesai berbicara." Arsen menarik telapak tangan Airina, menggenggamnya dengan erat. "Aku menampar Gemma saat itu juga, aku tidak suka dia mengatakan hal yang menjijikkan tentang kamu," jelasnya. "Sejauh ini, harusnya dia sadar atas apa yang sudah dia perbuat. Perlahan aku akan mengurangi suntikan dana untuk keluarga Dassault," tambahnya tegas. Airina terdiam sejenak mendengar penjelasan Arsen. Ia masih tidak bisa berkata-kata kali ini."Airina, kamu tidak apa-apa?" tanya Arsen panik. "Aku baik-baik saja, Arsen. Apa yang akan terjadi jika kamu mengurangi suntikan dana untuk keluarga Dassault?" tanya Airina dengan sedikit mendongak. "Perlahan mereka akan bangkrut," ucap Arsen dengan satu ulasan senyum. Airina menganga, akan banyak karyawan kehilangan pekerjaannya! pikirnya. "Kamu tidak perl
"Tera Fillmoore Pinault!" seru seorang pria dengan tubuh tinggi dengan jas yang melekat pada tubuhnya. "Om Yoshi!" seru Tera. "Happy wedding ya, Om, Aunty!" ucap Tera dengan senyum ramah. Pagi itu, Tera dan Tora diminta menjadi Bridesmaids dan Groomsmen di acara pernikahan Aily dan Yoshi. Di tepi pantai Medoza, ke duanya resmi menikah. Airina dan Arsen hanya mengulas senyum tipis, tatkala sepasang pengantin itu terlihat bahagia di atas pelaminan. "Cie, udah nggak jomblo nih!" ledek Airina. "Diam!" seru Yoshi. Gelak tawa terdengar nyaring, acara pernikahan yang diadakan dengan sederhana. Membuat suasana intimade wedding itu kian kental terasa. "Curang sekali kamu, Yosh. Bisa-bisanya menikahi adikku sendiri," ucap Airina. Ia yang sedari tadi menahan air mata, kini ia benar-benar menumpahkannya di dada Arsen. Usapan pelan pada pundak Airina, membuat ia air matanya semakin pecah. "Aku hanya ingin melindungi adik sekaligus istriku ini, Airin. Lagi pula, kamu sudah mengenal aku c
Aily dan Yoshi saling melempar senyuman tipis. "Aku ingin melamar adikmu, Airin," ucap Yoshi lembut. DegJantung Airina seperti berhenti berdetak sepersekian detik, kaget dan campur aduk. Di hadapan keluarga Arsen, Yoshi dengan entengnya mengatakan kalimat itu tanpa ragu. "Yosh ...? Kamu serius?" tanya Arsen lirih. Yoshi menganggukkan kepalanya membenarkan ucapannya. Membuat Airina dan Arsen semakin terdiam kaku. "Entah restu seperti apa yang harus aku berikan padamu, Yosh. Tapi ... Aku tidak bisa memaksa adikku untuk mengikuti jejakku, aku membiarkan adikku memilih jalannya sendiri. Jadi, apa pun yang diinginkan Aily, aku setuju," tutur Airina lembut. Aily berseru dengan bahagia, setelah selesai pendidikannya. Ia berniat melanjutkan kuliah terlebih dahulu. "Terima kasih, Kak!" Aily memeluk erat tubuh Airina. Malam tahun baru itu membawa rona bahagia pada semuanya. Airina dan Arsen yang cintanya semakin kuat, dalam dekapannya Tora dan Tera tersenyum menggelitik. **** 5 tahu
"Arsen ...," Julie mengoyak tubuh anak laki-lakinya, teriakannya cukup keras. Membuat ia yang duduk di ruang tunggu mampu mendengar suaranya. Lama Arsen hanya mengubah posisi tidurnya, entah apa yang ia rasakan di alam mimpi. "Arsen!" gertak Julie. "Arghhh!" Matanya menyipit sebelum benar-benar sadar dari tidur singkatnya. Matanya mengerjap perlahan. "Ibu ... bagaimana bisa ibu ada di sini?" tanya Arsen dengan tergagap. "Kamu mimpi apa? Sangat berisik, ibu takut Airina terganggu," tanya Julie. "Rasanya aku tidak bermimpi, namun ada sesuatu yang mengganjal dalam tubuhku. Maaf ibu," Arsen mengacak rambutnya kasar. "Sudah tidak apa-apa, tenangkan dirimu sebelum kembali tidur. Kasihan Airina jika terganggu," peringat Julie. Arsen akhirnya melangkahkan kakinya ke luar ruang inap, sekilas ia melihat anak kembarnya di ruang bayi. Ia hampir lengah dengan penjagaan di sana. "Aron, panggilkan beberapa orang untuk menjaga ruang bayi!" titahnya. Setelahnya, Arsen hanya duduk di kursi
Mata itu perlahan mengerjap hingga sepenuhnya ia mampu menatap sekeliling ruangan. Dengan nuansa biru lautnya, ruangan yang terlihat luas hanya menyisakan dirinya dan Arsen. Dengan perlahan matanya terbuka dengan lebar, ia mengerjapkan matanya berulang. Pukul 10 malam, setelah pagi hari ia berjuang untuk nyawa dua bayi. Kini, ia kembali siuman setelah tertidur entah berapa lama. "A-Arsen," lirih suaranya samar memanggil nama Arsen di sampingnya. Pria itu menundukkan kepalanya dalam, seolah tidak memiliki harapan besar atas istrinya. Setelah mendengar suara tangisan ke dua kalinya, ia tidak lagi ingat apa yang terjadi padanya. "Airin, kamu sudah siuman? A-aku akan memanggil dokter segera!" ucapnya terbata. Arsen berusaha berlari menuju pintu, namun tangannya tercekal. Airina menahan pergelangan tangan Arsen dengan kuat. "Jangan pergi dulu, bagaimana kabar anak kita?" tanya Airina lirih. "Anak kita sehat, Airina. Dia ada di ruang bayi, kalau kamu sudah sepenuhnya pulih. Kita ak
"Hah?" beo Airina kebingungan. "Kamu tahu dari mana?" tanya Airina pada adik bungsunya. Tatapan mata yang lekat pada adiknya itu menyelidik. Bahkan ia terlihat sudah tahu bagaimana ceritanya kejadian itu terjadi pada kakaknya. "Bu Julie cerita ke aku, Kak. Awalnya aku juga tidak percaya, tapi setahuku memang Nona Gemma tidak pernah menyukaimu 'kan?" tutur Aily lirih. "Aily, kamu tidak perlu sampai seperti itu. Tidak perlu membenci orang lain seperti itu, Aily. Lihatlah kakak baik-baik saja loh," ucap Airina dengan menatap lembut adik bungsunya. "Kakak memang baik-baik saja, jika Kakak tidak baik setelah kejadian itu. Apa kakak bisa mengatakan kalimat barusan?" tanya Aily dengan menekan kalimat demi kalimatnya. Deg! Sifat ke duanya sangat bertolak belakang. Aily membiarkan Airina sibuk dengan pikirannya, ia beranjak meninggalkan ruang tamu. "Aku mau istirahat dulu, Kak. Lelah sekali perjalanan hari ini," keluhnya. Airina hanya bisa melihat adiknya melenggang begitu saja. Hanya
Arsen terperanjat, ia dengan sigap menopang tubuh Airina agar tidak terjatuh. Sayup-sayup Anne berlari dari lawan arah. Membantu Arsen menopang tubuh Airina, tanpa sadar itu adalah salah Anne. Akhirnya, dengan degup jantung yang tidak beraturan, Airina masih selamat. "Terima kasih, Arsen, Anne," lirih ucap Airina. Dengan perasaan penuh kekalutan, Airina memilih duduk di sofa. Membiarkan jantungnya berdegup normal kembali. Dengan segelas air putih ia berusaha menetralkan dirinya sendiri meski cukup sulit. Ada ketakutan dalam dirinya yang cukup kuat. "Anne, bagaimana bisa kamu mengepel dan masih sangat basah seperti itu?" tanya Arsen dengan nada yang cukup keras. Sedangkan pembantunya hanya bisa diam dengan menatap lantai di hadapannya. "Maafkan saya, Tuan. Saya tadi sempat mengambil air bersih, karena mema-" ucapannya terhenti. Arsen tidak lagi mengomel, ia berjalan mendekati Airina. Ia memastikan keadaan istrinya baik-baik saja. "Jangan marah pada Anne, itu akan membuatnya t
Arsen dengan segera memeluk erat tubuh Airina, meredakan setiap kepanikan dan ketakutan dalam dirinya. Tidak ingin membiarkan istrinya begitu kalut dalam rasa takutnya. "Hust, sudah, itu tidak akan terjadi, Airina. Aku ada di sini menemanimu," ucap Arsen. Ia mengecup beberapa kali kening Airina tanpa ragu. Membiarkan istrinya itu lebih tenang dengan adanya dirinya. Tidak berselang lama, Julie masuk dalam ruang inap. Raut wajah paniknya sesaat sudah berubah dengan rasa lega. "Sayang, kamu sudah siuman. Bagaiaman keadaan tubuhmu?" tanya Julie lirih. "Aku baik, Ibu. Rasanya juga sudah lebih baik daripada tadi saat aku jatuh. Ibu ... Maaf sekali aku lalai," ucap Airina lirih. Rasa bersalah dalam dirinya seolah membuat Airina tertekan. Tidak nyaman dengan apa yang terjadi dengan dirinya sendiri. "Airina, kamu selamat saja ibu sudah senang. Tidak perlu mengatakan itu, kamu mau minta maaf atas apa? Gara-gara ada seseorang menabrakmu sampai jatuh? Tidak-tidak, kamu tidak salah dalam ha
Dokter terlihat kalut dengan keadaan pasiennya, Arsen sudah pasrah. Mulutnya hanya bisa merapal doa agar istrinya baik-baik saja. "Dokter, katakan bagaiaman keadaan menantu saya?" tanya Julie dengan tatapan tajam. Dengan berat hati dokter membuka suara, dengan bergetar suara itu terdengar. Setiap kalimat yang ia utarakan seolah akan membuat semua anggota keluarga tercengang. "Sebelumnya saya meminta maaf, awalnya saya tidak yakin Nona Airina akan melalui masa kritis ini. Sempat terjadi pendarahan yang cukup menegangkan," jelasnya. Arsen dan Julie saling menatap, wajahnya mulai pucat tidak siap dengan apa yang akan di utarakan dokter. "Lalu, Dok?" Arsen menggantungkan tanyanya. Helaan nafas cukup panjang diambil begitu saja oleh dokter, "Saya sempat terkejut saat Nona Airina dan bayi dalam kandungannya berhasil melewati masa kritisnya. Sekarang biarkan ia istirahat terlebih dahulu," tambah dokter. Julie memeluk erat tubuh Arsen, dengan perasaan campur aduk. Akhirnya ia dan anak
Namun, bagi Airina itu masih kurang sedikit. Ya, selera ke duanya memang cukup berbeda, maka dari itu rasanya Airina ingin menambahkan sedikit diantara kata itu. Masih diam dengan isi kepalanya, Arsen mulai menatapnya lekat tanpa celah. "Apa kamu tidak suka dengan nama itu?" tanya Arsen dengan tatapan penuh tanya. "Bu-bukan tidak suka, bagiku itu masih kurang sedikit. Nanti bisa kita pikirkan ya," elak Airina dengan senyum manis di bibirnya. Kini mereka sudah kembali sibuk dengan urusannya masing-masing. Bergelut dengan isi kepalanya yang mulai bersahutan, salah dengan banyaknya ide dan nama yang harus diberikan. Ini anak pertama Airina dan Arsen, jadi akan menjadi sebuah hal baru bagi ke duanya. "Sudah, tidak perlu dipikirkan. Nanti bisa kita diskusikan lagi, Airina." Arsen kini menatap istrinya lekat, menunjukkan padanya bahwa mereka sudah tiba di mall terbesar di Macherie. Agatto Mall yang ada di pusat kota Macherie. Langkah ke duanya pelan memasuki mall. Dengan tangan ya