"Kuharap Papa adalah pria sejati. Pa, aku menunggumu." Axel menatap foto ayahnya di tablet.Sedang di kamar berbeda.Emily sedang meringkuk di bawah kucuran shower. Memekik jerit, Emily meremas kuat rambutnya. Airmata dibiarkan jatuh diantara buliran air shower."Akh!" Dia teringat vidio call waktu di luar negeri. Ingin melupakan, tapi malah mengulas jelas apa yang dilihatnya."Sean ...." Emily telah trauma dengan kebaikan palsu Sean, meski sangat merindukannya."Bisakah semua itu hanya bohong? Akh! Aku bodoh sekali. Jelas Sean memilih bersama Felisha, dari dulu sampai sekarang! Lantas, bagaimana soal pembatalan pertunangan? Apa itu skema kebohongan berencana agar papa mertua percaya pada tindakan Sean? Akh!"Nyeri .... Sakit sekali. Dada Emily semakin sesak. Dia menumpahkan rasa sesak dadanya saat di belakang Axel. "Axel!" Emily beranjak. Dia segera membersihkan diri.-Sedang di tempat lain.Mata Sean berkaca menatap pesan masuk. Tanpa membuat pertimbangan dia langsung paham jika i
Di tangga darurat."Kamu tanya anak buah kita, apa Axel sudah keluar kamar?" Sean semakin tidak sabar. Dia terus memainkan jarinya."Informasi 5 menit yang lalu, tuan muda belum keluar kamar."Sean mendesah berat. "Aku takut dia benar-benar kesulitan datang kemari? Atau Emily yang mulai curiga? Atau sulit lolos dari anak buah papa? Akh, dia harus bisa keluar, atau aku yang akan masuk ke sana!" Dia semakin kalut."Tuan muda sangat pintar, Anda tunggu sebentar lagi.""Aku akan bicara lagi pada papa nanti. Dia sangat keras kepala! Kenapa sangat ingin aku berpisah dengan istri dan anakku?" Sean meremas kepalan tangannya.Di kamar Emily."Ma, aku benar-benar bosan. Nasibku bahkan tidak jelas. Nggak sekolah, nggak ada kegiatan selama ini. Aku memang akan ikuti ke mana pun Mama pergi, tapi nggak bisa terus duduk berdiam diri. Bosen cuma main game aja." Axel menghempas diri di sofa. Tangannya melipat dengan wajah murung. Ekor matanya melirik reaksi wajah ibunya, berharap jurus itu bisa menemb
Ikatan hati dua pria dengan hubungan darah kental. Firasat seorang anak yang bukan sekedar karena sangat mencintai ayahnya, tapi karena anak itu pintar mencerna situasi dan ingin melakukan sesuatu pada kedua orang tuanya."Jika kakek tahu kita bertemu diam-diam, apa kakek akan membawaku lebih jauh dari Papa?" Jelas sekali wajah Axel murung penuh kecemasan. Dia memegang erat tangan ayahnya.Sean tersenyum lebar dan mengusap kepala anaknya. "Tidak! Karena papa tidak akan tinggal diam, jika kalian dibawa pergi lagi. Jika kita bergerak lebih cepat, maka wanita tercinta kita akan berubah pikiran. Dan kita bisa berkumpul lagi.""Kalau begitu, kita harus segera membuat mama percaya pada papa. Jangan sampai mama salah membenci orang."Pintu kembali diketuk dari luar. "Tuan muda. Apa terjadi masalah di dalam?" Suara pintu itu semakin lantang."Pa!" Axel membelalak menatap arah pintu."Anak pintar kenapa bertanya? Papa yakin kamu bisa menyelesaikan dengan baik." Sean mengangguk.Axel menarik na
"Mama!" teriak Axel, cepat naik dari kolam. Namun, langkahnya tertahan saat menyadari jika ibunya dalam rengkuhan sang ayah. 'Keren!' batinnya."Nyonya!" seru para bodyguard bersahutan. Mereka berhambur mendekat. Akan tetapi, anak buah Sean yang bersembunyi langsung keluar menghadang."Dia Tuan Sean. Bukan ancaman!!" seru Dario di antara mereka.Para bodyguard Emily memilih menahan diri, apalagi di tengah banyak pasang mata. Mereka hanya perlu melaporkan kejadian itu pada tuannya. Yang pasti, para bodyguard punya keyakinan jika tidak ada bahaya. Mereka tahu siapa Sean. Yang tidak paham hanyalah, kenapa sang tuan besar membuat rencana demikian.Dua insan yang saling mencintai itu kini beradu pandang. Dua pasang manik mata saling membelah sorot intens, menelisik hingga relung hati pasangannya.Sean merengkuh Emily dengan posisi istrinya sedikit terhuyung.Jantung Emily berdegup kencang. Meski pria itu memakai masker, tapi dia tahu jika Pria itu Sean. Cairan bening kian menggenangi matan
'Maaf, Ma. Aku harus melakukan ini,' batin Axel. Anak itu menaruh sedikit sabun cair ke lantai, dan membasahi tubuhnya. Lalu, berbaring di lantai itu."Aaaaaa ...." teriak lantang Axel.Di sisi luar. "Axel!" ucap Emily dan Sean bersamaan. Mereka langsung berhambur ke bathroom.Tiba di sana, mereka melihat anak tercinta terkapar dan tampak kesakitan."Aish! Adduh!" Axel meringis."Axel! Apa yang terjadi?" Mata Emily membelalak dan langsung berjongkok."Sayang! Kamu kenapa bisa begini?" Sean bersimpuh, dia langsung mengangkat anaknya."Pa, Ma. Aku .... Ish!" Axel mengaduh."Bawa dia ke tempat tidur!" Emily lupa kemarahannya saat ini. Hatinya sangat cemas pada anaknya."Ma ..... Aish!""Mana yang sakit, Sayang?" Emily melangkah seiring langkah Sean."Emily, kamu suruh Dario panggil dokter. Tidak, kita bawa ke rumah sakit langsung!" cemas Sean."Nggak mau. Aku nggak mau ke rumah sakit. Cuma luka kecil. Biasanya kalau aku jatuh saat main cukup diobatin Mama aja," protes Axel. Dia takut ji
Mata Sean berkaca. Pilu melihat istrinya masih membisu. Belum dia ketahui Emily percaya padanya atau tidak. Semua sudah jelas jika hanya salah paham. Namun, harus bagaimana lagi jika istrinya belum mau memaafkannya? Sedalam itukah hati istrinya terkoyak? Hingga harus berpikir lama untuk mempercayai kebenaran?"Emily, sungguh ... aku mencintaimu. Hatiku terikat olehmu. Sejak dulu dan akan sampai masaku habis. Aku tidak akan pernah bisa berpaling pada wanita mana pun. Percayalah ...." Suara Sean lirih serak."Aku harus bagaimana, Sean? Apa aku masih bisa mempercayaimu? Kamu terlalu banyak berbohong dan sangat dalam melukai hati." Pikiran Emily masih dilema. Dia tahu jika kejadian Felisha hanya rekayasa, tapi rasa takutnya belum bisa menghilang. Apalagi takut Sean membawa lari Axel nanti. Entah kenapa perasaan itu terus menghantui dan tidak bisa tertepis oleh vidio kelicikan Felisha tadi.Sesak. Sean mendongak sembari menarik nafas dalam. "Aku sangat bisa menunggumu sampai kembali percaya
Kabar Sean menemukan Emily telah sampai di telinga Benny. Emosi paruh baya itu bukan karena cemburu pada Emily, tapi karena sangat membenci kebahagiaan mereka. Semua yang terkait dengan keluarga Geraldo otomatis menjadi musuhnya."Semua keluarga Geraldo tidak boleh ada yang bahagia selama aku masih hidup!" teriak Benny.Tarrr ..... Sebuah gelas berkaki menjadi kepingan di lantai. Pikirannya mengulas sosok mendiang istri dengan perut buncit yang dia temukan di kamar pembaringan ruang sakit dalam keadaan tak bernyawa."Argh!" teriak Benny.Ada Blade di sana. Dia menatap tajam pecahan gelas itu. 'Dasar bodoh! Sudah kubilang jangan cari istrimu dulu! Kenapa otakmu jadi dungu karena wanita?! Sama saja kamu membawa mereka pada posisi lebih ekstrim!' batinnya memikirkan Sean."Mana wanita itu?!" teriak Benny."Felisha masih ada di ruang rawat, Tuan. Kondisinya baik-baik saja termasuk janin di kandungan. Selama disekap tidak ada perlakuan kasar yang menyebabkan luka dalam. Hanya beberapa luka
[Aku berhasil membawa Mama kembali ke ibu kota, Om. Bagaimana kalau siapkan pesta penyambutan kamu? Oh, ada kabar yang lebih wow. Kami kembali bersama Papaku. Mama memutuskan untuk melanjutkan marah di ibu kota.] Pesan terkirim pada David.Di apartemen David."Benarkah Emily sedang kembali?" Dayana tersenyum lebar membaca pesan Axel."Dan tugas kita membuat rumah tangga Emily bahagia. Ya ... meski kamu kesal dengan Sean, tetap jangan sembunyikan kebenaran. Tidak bisa kita ingkari kalau mereka saling mencintai." David mengusap kepala Dayana."Hem. Akan aku usahakan. Tapi, kenapa aku nggak lihat Felisha? Beberapa hari ini aku sengaja cari-cari dan ingin menjambak rambutnya, tapi nggak ketemu."David terkekeh. "Nanti, kalau Emily muncul, dia pasti muncul. Karena keluargamu sudah nggak menghalangi dekat dengan Emily, aku sarankan kamu seperti dulu lagi ""Pasti. Sean bilang dia menyiapkan restoran besar untuk istrinya. Aku akan kembali bersama wanita malang itu. Bekerja sama dalam bisnis