"Ini villa kosong sekitar sini. Menurut informasi tadi, villa ini dihuni seorang wanita dan anak kecil dengan penjagaan ketat.""Kenapa sepi?" Rasa takut menjalar kuat, mencengkram dinding hati Sean. Hingga pria itu memegang dadanya. Nyeri, belum sampai dia melewati pintu, tapi telah jelas jika dirinya kalah langkah.Dario gusar dengan rasa tidak nyaman. "Kalian masuk!" Tetap memberi perintah, meski sepertinya akan sia-sia.Mereka bisa masuk setelah menjelaskan pada penjaga rumah. Sean dan Dario berdiri di halaman villa.Selang beberapa saat."Maaf, Tuan. Mereka baru saja pergi." Bawahan menunduk.Mata Sean nanar menatap bangunan dua lantai itu. Dia hampir terhuyung karena goncangan jiwa dan pikiran. 'Emily ... Axel. Maafkan papa yang terlambat. Papa pasti akan segera menemukan kalian,' batin Sean."Maaf, Tuan. Kami terlalu bodoh. Malah mengikuti keberadaan anak buah tuan besar. Dan ternyata hanya jebakan untuk menjauhkan kita dari keberadaan Nyonya. Jika kami peka dan sedikit jeli, p
"Kuharap Papa adalah pria sejati. Pa, aku menunggumu." Axel menatap foto ayahnya di tablet.Sedang di kamar berbeda.Emily sedang meringkuk di bawah kucuran shower. Memekik jerit, Emily meremas kuat rambutnya. Airmata dibiarkan jatuh diantara buliran air shower."Akh!" Dia teringat vidio call waktu di luar negeri. Ingin melupakan, tapi malah mengulas jelas apa yang dilihatnya."Sean ...." Emily telah trauma dengan kebaikan palsu Sean, meski sangat merindukannya."Bisakah semua itu hanya bohong? Akh! Aku bodoh sekali. Jelas Sean memilih bersama Felisha, dari dulu sampai sekarang! Lantas, bagaimana soal pembatalan pertunangan? Apa itu skema kebohongan berencana agar papa mertua percaya pada tindakan Sean? Akh!"Nyeri .... Sakit sekali. Dada Emily semakin sesak. Dia menumpahkan rasa sesak dadanya saat di belakang Axel. "Axel!" Emily beranjak. Dia segera membersihkan diri.-Sedang di tempat lain.Mata Sean berkaca menatap pesan masuk. Tanpa membuat pertimbangan dia langsung paham jika i
Di tangga darurat."Kamu tanya anak buah kita, apa Axel sudah keluar kamar?" Sean semakin tidak sabar. Dia terus memainkan jarinya."Informasi 5 menit yang lalu, tuan muda belum keluar kamar."Sean mendesah berat. "Aku takut dia benar-benar kesulitan datang kemari? Atau Emily yang mulai curiga? Atau sulit lolos dari anak buah papa? Akh, dia harus bisa keluar, atau aku yang akan masuk ke sana!" Dia semakin kalut."Tuan muda sangat pintar, Anda tunggu sebentar lagi.""Aku akan bicara lagi pada papa nanti. Dia sangat keras kepala! Kenapa sangat ingin aku berpisah dengan istri dan anakku?" Sean meremas kepalan tangannya.Di kamar Emily."Ma, aku benar-benar bosan. Nasibku bahkan tidak jelas. Nggak sekolah, nggak ada kegiatan selama ini. Aku memang akan ikuti ke mana pun Mama pergi, tapi nggak bisa terus duduk berdiam diri. Bosen cuma main game aja." Axel menghempas diri di sofa. Tangannya melipat dengan wajah murung. Ekor matanya melirik reaksi wajah ibunya, berharap jurus itu bisa menemb
Ikatan hati dua pria dengan hubungan darah kental. Firasat seorang anak yang bukan sekedar karena sangat mencintai ayahnya, tapi karena anak itu pintar mencerna situasi dan ingin melakukan sesuatu pada kedua orang tuanya."Jika kakek tahu kita bertemu diam-diam, apa kakek akan membawaku lebih jauh dari Papa?" Jelas sekali wajah Axel murung penuh kecemasan. Dia memegang erat tangan ayahnya.Sean tersenyum lebar dan mengusap kepala anaknya. "Tidak! Karena papa tidak akan tinggal diam, jika kalian dibawa pergi lagi. Jika kita bergerak lebih cepat, maka wanita tercinta kita akan berubah pikiran. Dan kita bisa berkumpul lagi.""Kalau begitu, kita harus segera membuat mama percaya pada papa. Jangan sampai mama salah membenci orang."Pintu kembali diketuk dari luar. "Tuan muda. Apa terjadi masalah di dalam?" Suara pintu itu semakin lantang."Pa!" Axel membelalak menatap arah pintu."Anak pintar kenapa bertanya? Papa yakin kamu bisa menyelesaikan dengan baik." Sean mengangguk.Axel menarik na
"Mama!" teriak Axel, cepat naik dari kolam. Namun, langkahnya tertahan saat menyadari jika ibunya dalam rengkuhan sang ayah. 'Keren!' batinnya."Nyonya!" seru para bodyguard bersahutan. Mereka berhambur mendekat. Akan tetapi, anak buah Sean yang bersembunyi langsung keluar menghadang."Dia Tuan Sean. Bukan ancaman!!" seru Dario di antara mereka.Para bodyguard Emily memilih menahan diri, apalagi di tengah banyak pasang mata. Mereka hanya perlu melaporkan kejadian itu pada tuannya. Yang pasti, para bodyguard punya keyakinan jika tidak ada bahaya. Mereka tahu siapa Sean. Yang tidak paham hanyalah, kenapa sang tuan besar membuat rencana demikian.Dua insan yang saling mencintai itu kini beradu pandang. Dua pasang manik mata saling membelah sorot intens, menelisik hingga relung hati pasangannya.Sean merengkuh Emily dengan posisi istrinya sedikit terhuyung.Jantung Emily berdegup kencang. Meski pria itu memakai masker, tapi dia tahu jika Pria itu Sean. Cairan bening kian menggenangi matan
'Maaf, Ma. Aku harus melakukan ini,' batin Axel. Anak itu menaruh sedikit sabun cair ke lantai, dan membasahi tubuhnya. Lalu, berbaring di lantai itu."Aaaaaa ...." teriak lantang Axel.Di sisi luar. "Axel!" ucap Emily dan Sean bersamaan. Mereka langsung berhambur ke bathroom.Tiba di sana, mereka melihat anak tercinta terkapar dan tampak kesakitan."Aish! Adduh!" Axel meringis."Axel! Apa yang terjadi?" Mata Emily membelalak dan langsung berjongkok."Sayang! Kamu kenapa bisa begini?" Sean bersimpuh, dia langsung mengangkat anaknya."Pa, Ma. Aku .... Ish!" Axel mengaduh."Bawa dia ke tempat tidur!" Emily lupa kemarahannya saat ini. Hatinya sangat cemas pada anaknya."Ma ..... Aish!""Mana yang sakit, Sayang?" Emily melangkah seiring langkah Sean."Emily, kamu suruh Dario panggil dokter. Tidak, kita bawa ke rumah sakit langsung!" cemas Sean."Nggak mau. Aku nggak mau ke rumah sakit. Cuma luka kecil. Biasanya kalau aku jatuh saat main cukup diobatin Mama aja," protes Axel. Dia takut ji
Mata Sean berkaca. Pilu melihat istrinya masih membisu. Belum dia ketahui Emily percaya padanya atau tidak. Semua sudah jelas jika hanya salah paham. Namun, harus bagaimana lagi jika istrinya belum mau memaafkannya? Sedalam itukah hati istrinya terkoyak? Hingga harus berpikir lama untuk mempercayai kebenaran?"Emily, sungguh ... aku mencintaimu. Hatiku terikat olehmu. Sejak dulu dan akan sampai masaku habis. Aku tidak akan pernah bisa berpaling pada wanita mana pun. Percayalah ...." Suara Sean lirih serak."Aku harus bagaimana, Sean? Apa aku masih bisa mempercayaimu? Kamu terlalu banyak berbohong dan sangat dalam melukai hati." Pikiran Emily masih dilema. Dia tahu jika kejadian Felisha hanya rekayasa, tapi rasa takutnya belum bisa menghilang. Apalagi takut Sean membawa lari Axel nanti. Entah kenapa perasaan itu terus menghantui dan tidak bisa tertepis oleh vidio kelicikan Felisha tadi.Sesak. Sean mendongak sembari menarik nafas dalam. "Aku sangat bisa menunggumu sampai kembali percaya
Kabar Sean menemukan Emily telah sampai di telinga Benny. Emosi paruh baya itu bukan karena cemburu pada Emily, tapi karena sangat membenci kebahagiaan mereka. Semua yang terkait dengan keluarga Geraldo otomatis menjadi musuhnya."Semua keluarga Geraldo tidak boleh ada yang bahagia selama aku masih hidup!" teriak Benny.Tarrr ..... Sebuah gelas berkaki menjadi kepingan di lantai. Pikirannya mengulas sosok mendiang istri dengan perut buncit yang dia temukan di kamar pembaringan ruang sakit dalam keadaan tak bernyawa."Argh!" teriak Benny.Ada Blade di sana. Dia menatap tajam pecahan gelas itu. 'Dasar bodoh! Sudah kubilang jangan cari istrimu dulu! Kenapa otakmu jadi dungu karena wanita?! Sama saja kamu membawa mereka pada posisi lebih ekstrim!' batinnya memikirkan Sean."Mana wanita itu?!" teriak Benny."Felisha masih ada di ruang rawat, Tuan. Kondisinya baik-baik saja termasuk janin di kandungan. Selama disekap tidak ada perlakuan kasar yang menyebabkan luka dalam. Hanya beberapa luka
"Sean! Bangun, Sean!""Akhh! Perutku sakit sekali ....""Sayang ....""Mama! Papa ...."Gaduh suara roda brankar membuat ngilu. Tiga pasien kini masuk dalam ruang tindakan. Dua pasien yang duduk di kursi depan telah ditutup kain putih."Apa yang terjadi pada anakku?!" Evan memegang dadanya."Pa, tenang. Jangan sampai papa lemah. Anak dan cucu kita pasti akan baik-baik saja!" Martha memegang dua bahu Evan dari belakang.Evan tak mampu lagi menopang raga. Dia lemas dalam dekapan sang istri."Panggil dokter!" teriak Martha.Tangisan pecah. Bahkan Blade gemetar melihat darah di dua tangannya. Kepalanya terus menggeleng. "Tidak! Tidak mungkin!"Dario diam mematung menatap pintu ruang tindakan. Hanya air mata tanpa isakan yang bisa mengungkap betapa takutnya dia sekarang.Rumah sakit itu seketika jadi perbincangan panas publik. Apalagi yang sedang sekarat adalah satu keluarga pengusaha hebat dan pemilik restoran yang terbakar."Tolong jangan berhenti dan lemah. Kumohon kita harus tetap kuat
"Hancurkan dia! Beraninya mengusik bisnis yang sudah aku jalankan bertahun-tahun. Dia memang cari mati. Aku mau besok dengar kabar kalau semua keluarga Geraldo lenyap!" teriak Benny."Tapi, Bos-"Bugh! Kepalan kuat membuat satu anak buah tersungkur dengan bibir berdarah."Ada yang ingin aku habisi di sini?" Mata Benny nyalang buas."Maaf, Bos. Kami akan berangkat sekarang!"Tak ada lagi yang berani melawan Benny. Dia bak singa yang didesak wilayah kekuasaannya. Mengaum dan menggila. Matanya nyalang siap menghabisi lawannya.Di ruangan itu masih tersisa Erlan dan Biantara."Jika kalian tidak mau kalah, maka hanguskan musuh. Jangan sampai ada musuh yang tersisa. Kita harus jadi raja di raja. Jangan sampai ada yang berani setara pada kita!" bentak Benny.Erlan meremas tangannya. Dia malah terbesit wajah David. Semua kata-kata David terngiang jelas. "Tuan, saya tidak tahu lagi harus bagaimana." Ada rasa jenuh dan sesal kala ini. Dia tak menyangka jika harus melangkah sejauh itu. Apa bisa
Ambulance langsung membawa Felisha ke rumah sakit. Wanita itu mengalami pendarahan hebat. Dulu, dia bertingkah seperti apa pun kandungannya baik-baik saja. Bahkan dia mencoba makan banyak pantangan orang hamil muda, tetap saja kandungan itu bertahan. Di saat Felisha mulai menerima dan merasa hanya anak yang dikandungnya satu-satunya harta dan masa depannya, anak itu malah merajuk.Dokter langsung melakukan tindakan. Felisha dimasukkan ke ruang operasi karena keadaan sangat darurat. Namun, tindakan dokter tak bisa menyelamatkan janin itu.---Di tempat lain."Beres, Bos. Bayi itu tidak akan menjadi masalah Anda di kemudian hari. Sekarang wanita itu belum sadar karena kondisinya terlalu lemah." Seorang pria menghubungi atasnya. Ya, atasannya adalah orang yang sangat takut dengan tingkah gila Felisha jika suatu hari nanti anak itu akan jadi senjata ancamannya.Biantara. Dia sangat paham dengan polah tingkah seorang Felisha dan bergerak cepat di awal.****"Kami tidak mau punya pimpinan c
Tak hanya raga. Hati ini luruh tak mampu menopang beratnya rasa. Bagaimana bisa dia melalui hal seberat itu sendirian? Bagaimana bisa aku marah saat dia berdiri saja tak mampu? "Sean ...." Emily terisak di pangkuan Sean."Emily sayang ...." Sean mengusap rambut istrinya dengan derai air mata. Pria kekar itu sesegukan hingga dadanya bergetar.Pelan Sean mendongakkan wajah Emily agar menatapnya. Lalu, dia seka air mata yang telah berani melinang di pipi kesayangannya itu."Sean ...." Emily menggeleng menatap wajah yang sangat dirindukannya."Tadi, aku baik-baik saja dan sekarang saat melihatmu, aku seperti sudah ingin pulang. Aku tak merasakan sakit sedikit pun."Emily sedikit mengangkat tubuhnya dan memeluk Sean. "Aku membencimu, Sayang. Sangat membencimu. Dosa apa aku sampai tidak tahu kalau suamiku menderita."Sean memeluk erat, sangat erat. "Aku memang harus menebus dosa. Aku tahu pantas untuk mendapat perhatianmu karena dulu aku-""Ssssttttt .... Karena aku mencintaimu."Hah! Sean
Tidak mungkin Sean merahasiakan semuanya dariku? Apa maksudnya? Apa aku tidak berhak tahu atau dia tak ingin aku khawatir? Emily memegang tembok agar tak luruh di lantai."David ...." Emily memegang dadanya dengan derai air mata.David cepat meraih tubuh Emily. "Aku akan membawamu ke atas. Nanti kuceritakan padamu. Tenang, jangan sampai Axel tahu."David mengangkat tubuh Emily dan membawa ke kamar, tanpa sepengetahuan Axel dan Dayana."Pelan-pelan. Tenangkan dirimu. Jangan lupa kamu sedang mengandung anak Sean saat ini." David meletakkan pelan Emily di atas ranjang.Emily menggeser pelan tubuhnya dan bersandar di headboard. Dia menyeka air matanya. Nafasnya sesak terisak.David duduk di sisi ranjang. Dia merangkup wajahnya seraya menghela nafas. "Maafkan aku, Emily."Emily menggeleng sambil tersedu. "Jangan suruh memaafkanmu sebelum aku tahu soal Sean. Vid, aku istrinya. Kenapa aku harus dilarang mengetahui soal keadaannya? Apa salahku?" Tangis wanita itu pecah.David mendecih sesal.
Di rumah sakit. Sean duduk dengan kepala bersandar. Dua tangannya terpaut di depan. Sebenarnya dia ingin mendekatkan wajahnya pada layar, tapi ...."Ingat, stay cool. Jangan sampai anakmu yang pintar dan sok tahu itu curiga. Tersenyum manis dan bicara seperlunya.""Aku tahu, Cerewet!" kesal Sean."Tuan sudah paham semuanya, Bawel!" Dario menajamkan sorot matanya pada Blade."Aku akan tekan tombol panggil. Kamu menyingkir dulu. Nanti muncul kalau Sean memberi kode!" Blade menggerakkan jari pada Dario, lalu mundur setelah panggilan itu tersambung.Sean meremas kepalan tangannya yang berkeringat. Jantungnya berdetak kian kencang. "Huuuufffff ...." Dia terus menghembus nafasnya panjang."Papa!" Layar itu mulai jelas tampak wajah Axel dan .... Emily di belakangnya. Mereka berdua duduk di atas brankar.Sean sebentar mendongak agar matanya bisa dikondisikan."Papa!" Kini wajah mereka jelas di layar masing-masing."Sayang .... Maaf, papa terlalu banyak urusan." Sean tersenyum lebar. Dia mena
Entah rasa apa yang harus diungkapkan. Air mata Dayana tak mau dibendung. Tanpa isakan."Sayang, .... Emily ...." Dayana memeluk David."Hah! Aku nggak nyangka akan datang berita seperti ini di tengah kepelikan mereka." David sedikit mendongak membuang nafas dari mulutnya.Sebuah kabar gembira dan seharusnya Sean yang duduk di depan sang dokter menjadi orang pertama yang mendengar kabar itu."Selamat, pasien Nyonya Emily positif hamil. Kondisi kehamilan masih sangat rentan karena baru memasuki trimester pertama. Jangan sampai kelelahan dan stress, agar tidak berdampak buruk pada kandungannya," jelas dokter."Jangan sampai ada yang tahu selain kami. Rahasiakan dari semuanya."---Di kamar rawat Emily."Aku akan mengumpat Om Blade. Aku yakin papa dilarang menggunakan ponsel olehnya. Oh tidak, bisa jadi Om Dario juga ikutan!" Axel sedang mencari sugesti baru untuk pikirannya agar kata-kata Erlan bisa lenyap semuanya.Emily tersenyum kaku. Anaknya saja bisa merasakan hal janggal, apalagi d
Emily duduk tegang. Di sisinya ada Axel memegang tangannya. Keduanya sama saling menguatkan dan berharap apa yang ada dalam dugaannya itu salah. "Ma, apa papa yang akan bicara? Kenapa belum ada suaranya sama sekali?" Anak itu menekan rahangnya. Gugup dan takut. Kata-kata Erlan berhasil membuat tekanan berat pada pikirannya.Emily berkedip beberapa kali dan mengambil nafas dalam-dalam. "Kita tunggu sebentar lagi. Pasti papa. Papa nggak akan ingkar janji." "Kenapa bukan panggilan video, Sayang. Seharusnya kita bisa sekalian lihat wajah Sean," protes Dayana."Benar yang dikatakan, Tante. Aku mau lihat wajah papa.""Ssssttttt ...." David meletakkan jari di depan bibirnya. Dia tak tahu lagi bagaimana cara mengelak permintaan mereka."Axel .... Emily ...." Suara Sean terdengar datar."Papa!" teriak Axel dengan mata lebar.Emily menghentak nafasnya sambil memegang dada. Akhirnya ... dia sangat lega mendengar suara Sean. 'Sean ...,' batinnya."Papa! Aku mau lihat wajahmu. Kenapa harus ngump
"Mama!" teriak Axel. Dia berlari ke arah ibunya.Hati dan pikiran yang selama ini ditekan kecemasan dan ketakutan kini tumbang sudah. Dia pingsan."Kita bawa ke dokter, Axel!" seru Dayana.David datang. "Apa yang terjadi?""Sayang, dia pingsan begitu saja."David langsung mengangkat Emily.Mobil melaju ke rumah sakit. Selang beberapa saat."Bagaimana keadaannya, Dok?""Kondisi lemah dan tekanan pikiran berat bisa jadi penyebab pasien pingsan. Tidak ada hal serius yang perlu dikhawatirkan."Emily kini dialihkan ke ruang rawat."Om, kapan mama akan bangun?" Axel terus menangis tanpa isakan di sisi brankar."Segera. Mamamu hanya kelelahan." David menepuk pelan punggung Axel."Papa, aku mau dengar soal papa, Om.""Axel, nanti kita bahas setelah mamamu baikan. Yakinlah kalau papamu baik-baik saja. Dan Om Erlan memang nggak suka i papamu. Dia pasti sengaja mengumbar hoax!" Dayana mengangguk.Axel mendesah berat. "Semoga benar yang dikatakan Tante.""Pasti benar!""Om akan keluar sebentar."