Sean berdiri menatap Emily dengan satu tangannya menekan kunci otomatis.Sangat manis. Emily melipat bibirnya dengan senyum sipu. Dia menunduk tak berani menatap Sean. Tangannya terus meremas di bawah.Sean terus mendekat hingga kini berdiri saling berhadapan. "Kamu masih malu padaku? Aku suamimu, bukan pacarmu." Sean menyapu rambut Emily.Emily memegang dua sisi kemeja Sean dan menggerak-gerakkan pelan. Dia terus tersenyum."Sayang, Emily sayang." Sean memegang dagu Emily dan menaikkan agar menatapnya.Emily tersenyum, dia menatap malu wajah Sean. Seperti Emily saat dulu digoda Sean. "Hem .... Kenapa kamu seperti ini? A-aku mau mandi dulu. Siapa yang mau mandi duluan?""Bisakah aku mengulang malam pertama kita? Aku ingin ...." Sean tidak mau merusak suasana dengan cerita kelam.Raut wajah Emily seketika berbeda, tapi tetap ada senyum tipis. Ingatan malam pertama dengan tangis kepiluan. Malam pengakuan Sean akan skema menipu hatinya terulas kembali, tapi Emily tepis sekuatnya.Sean m
"Tuan Benny membuat tim khusus dalam rencana nona Felisha. Mereka mengambil beberapa orang setianya dari markas. Tanpa memberitahu Anda, Bos. Apa Tuan Benny mulai ragu pada Anda? Bahkan skema serangan pada Sean tidak meminta dari Anda," jelas tangan kanan Blade.Di roof top markasnya. Blade menikmati taburan bintang dengan minuman penghilang kesadaran. Pria itu menghembus nafas panjang."Biarkan saja. Aku akan lihat sejauh mana mereka akan berhasil! Tetap awasi pergerakan tim itu. Jangan sampai kita kalah langkah!" Blade menyesap minumannya."Baik, saya tetap akan berada di belakang Anda. Apa pun yang terjadi. Meski anak buah kita hanya sebagian yang bisa dipercaya.""Bertahanlah. Mungkin tidak akan lama lagi." Blade menatap tajam satu titik bintang. Bibirnya tersenyum tipis, seolah miris menatap dirinya sendiri."Saya tidak berani bertanya, kenapa Anda berbuat sejauh ini. Resiko sangat besar, bahkan nyawa Anda bisa berada di ujung tombak."Blade terkekeh. "Siapa yang mau menawar nyawa
Di sekolah Axel.'Mereka datang lagi. Jika anaknya seperti itu, maka ayahnya pasti sangat payah! Untung papaku keren. Heh, bukan gaya kami!' batin Axel saat melihat anak orang kaya mendekat."Axel, kata papaku kamu belum bilang sama papamu kalau aku berteman denganmu."Axel tersenyum miring. "Aku nggak butuh teman sepertimu. Cari saja teman yang lain. Papaku menyuruh untuk belajar di tempat ini, bukan cari anak buah! Lagian, bodyguard-ku udah banyak!"Anak itu mengepal kuat, dia disuruh sang ayah untuk mendekati anak pengusaha hebat itu."Axel, aku punya mainan baru. Ini edisi terbatas. Aku memesannya lumayan lama, tapi kamu boleh memilikinya." Anak lain mendekat dengan cara lain.Axel menghela nafas panjang. Dia berdiri dengan dua tangan masuk saku. "Sehebat itukah papaku, sampai kalian yang masih kecil terkagum? Dengar, kalau kalian tertarik dengan papaku, datang padanya dan minta uang yang banyak. Tapi, jika ingin berteman denganku? Sayang sekali aku nggak tertarik!" Anak itu pergi
"Sangat kebetulan!"Blade menaruh pisau di salah satu tangannya. Motor itu melaju sangat kencang. Dia mengarahkan pisau di bahu Sean sambil sedikit menyerempet. Dengan posisi lutut Blade agak terbuka, mendorong menendang kuat kaki Sean. Tampak terpental, tapi bukan karena terserempet."Argh!" pekik Sean."Papa!" teriak Axel. Anak itu berlari."Sean!" Emily langsung berlari.Sean terpental tidak jauh. Dia terguling di pinggir jalan. Rungu Sean tetap fokus pada seruan kebanggaan anaknya, tapi matanya tajam menatap motor yang melesat jauh.'Blade! Apa ini?' batin Sean. Dia memegang bahunya yang mengucur darah."Siapkan mobil!" teriak Dario.Dalam lajuan mobil. Sean duduk di belakang. Dua sisinya ada Axel dan Emily yang menangis cemas."Sean, Mana aja yang sakit? Tangan, kaki? Mana lagi?" Emily menekan bahu Sean yang mengalirkan darah.Sean mengecup kening istrinya. "Jangan menangis."Sean kini menatap Axel. "Papa baik-baik saja. Lihat, hanya luka kecil.""Pa. Maafin Axel. Ini salahku. Ha
Felisha mengelus perutnya yang rata. "Akhirnya, aku nggak jadi membencimu! Kamu akan jadi anak Sean sebentar lagi. Nggak sia-sia aku dapat benih. Entah punya siapa!" Wanita itu tertawa lepas."Sean .... Sean. Mana bisa kamu bahagia semudah itu setelah sengaja mencampakkan wanita yang sangat setia dan mencintaimu! Kamu harus dipaksa menyadari siapa yang lebih layak!"Felisha melanjutkan packing. Dia akan berangkat hari ini. Semua hotel dan pergerakannya akan diatur oleh anak buah Benny.***Pagi di kediaman Sean."Kita akan sarapan di kamar ini, agar Papa nggak perlu turun." Emily membawa nampan menata di meja. Ada satu maid yang membantunya."Papa curang! Aku akan mengalahkanmu sebentar lagi!" Axel masih fokus pada layar dengan tawa kecil.Dua pria tampan beda usia duduk bersandar di headboard dengan bahu berhimpit."Terima kekalahanmu, Axel. Jangan mimpi menang dari papa!" Sean masih asik bermain game. Senyum itu tak lepas dari bibirnya."Tidak mungkin aku kalah dari pak tua!" Axel m
Sean tiba di luar negeri."Tuan!" Dario menarik tangan Sean. Atasannya itu hampir menabrak seseorang di bandara."Oh." Sean mengusap wajahnya. Sekian menit dia telah keluar dari pikiran sadarnya."Anda baik-baik saja?" heran Dario. Saat atasannya seperti itu, hanya ada kemungkinan pikirannya mengarah Emily."Bisakah kita di sini sehari saja? Sungguh aku sangat ingin kembali sekarang. Sepertinya aku lebih ingin tetap bersama anak istriku dari pada mendapat investor ini." Sean mendesah berat."Kita sudah berada di sini. Tapi, saya bisa atur jadwal penerbangan kembali tercepat dan membatalkan pertemuan. Saya yakin Anda akan punya solusi lain nanti."Sean menggeleng. "Aku harus profesional dan bertanggung jawab pada jabatanku. Kita ke hotel!" Dia harus menekan rasa rindu dan keinginan bersama yang begitu kuat. Bayangan candaan Emily dan Axel terus melekat di hati dan pikirannya. Sangat candu.Sean dan Dario berjalan beriringan."Tuan, apa Anda merasakan sesuatu? Pria tegap berkacamata di
"Kapan aku akan masuk permainannya? Aku sudah sangat siap." Felisha sudah memoles wajahnya tebal. Meski hanya berbalut lingerie dan jubah tipis."Setelah menunggu kabar dari kami. Selama menunggu kabar, Anda harus ada di gazebo bawah memakai pakaian yang kami siapkan, Nona.""Ah, bukankah nanti aku langsung naik di ranjang? Bagaimana kerjaan kalian? Tidak profesional! Apa aku akan naik ke ranjang dengan dress murahan seperti ini?""Saat ini sisi Tuan Sean telah mengawasi Anda. Jadi lebih baik ikuti aturan main kami."Felisha mendesis geram. "Aku sangat malas memakai pakaian ini! Kalian harus tanggung jawab jika tubuhku ruam-ruam karena dress murahan ini!" Wanita itu kembali mengganti pakaian.Sedang Sean telah tiba di hotel. Dia sudah dijemput oleh bawahan calon investor itu. Mereka di bawa ke lantai 20."Tuan kami sedang menyelesaikan urusan penting. Silahkan Anda menunggu.""Memangnya urusan kami tidak penting!" Dario meradang, siapa yang terima penyambutan seperti itu."Seberapa ma
Nyeri .... Sebuah kelembutan itu ternyata hanya sembilu yang akhirnya mengoyak hati. Luka lama itu kini menganga kembali. Sangat perih .... Sean telah menabur garam pada luka itu."Akh! Ah ha ha ha ha!" Emily memegang dadanya yang sangat perih. Meremas kuat, merutuki dirinya yang disangka bodoh."Sean .... Nuranimu benar-benar telah lenyap! Aku menyesal .... Sangat menyesal, terjerat kepalsuanmu dua kali. Dan tidak ada ketiga kalinya!" Dada Emily sesak, bak oksigen tak mampu menelisip pada rongga parunya.Kaki Emily tak mampu menopang raga. Dia luruh di lantai kamarnya. Air matanya trus berderai. Terisak! Dia kini meringkuk memeluk lututnya yang menekuk. Menyandarkan kepalanya di cela lutut. Hanya bisa menangis untuk menumpahkan letupan rasa kecewa amat dalam."Tega kamu, Sean. Tega!" Emily sesegukan. Rasanya lebih dari sekedar sakit hati dibohongi. Banyak rasa yang terkumpul jadi satu di dadanya. Candaan dan perhatian selama ini, membuat sakit itu makin perih. Bahkan ... menghabiskan
"Sean! Bangun, Sean!""Akhh! Perutku sakit sekali ....""Sayang ....""Mama! Papa ...."Gaduh suara roda brankar membuat ngilu. Tiga pasien kini masuk dalam ruang tindakan. Dua pasien yang duduk di kursi depan telah ditutup kain putih."Apa yang terjadi pada anakku?!" Evan memegang dadanya."Pa, tenang. Jangan sampai papa lemah. Anak dan cucu kita pasti akan baik-baik saja!" Martha memegang dua bahu Evan dari belakang.Evan tak mampu lagi menopang raga. Dia lemas dalam dekapan sang istri."Panggil dokter!" teriak Martha.Tangisan pecah. Bahkan Blade gemetar melihat darah di dua tangannya. Kepalanya terus menggeleng. "Tidak! Tidak mungkin!"Dario diam mematung menatap pintu ruang tindakan. Hanya air mata tanpa isakan yang bisa mengungkap betapa takutnya dia sekarang.Rumah sakit itu seketika jadi perbincangan panas publik. Apalagi yang sedang sekarat adalah satu keluarga pengusaha hebat dan pemilik restoran yang terbakar."Tolong jangan berhenti dan lemah. Kumohon kita harus tetap kuat
"Hancurkan dia! Beraninya mengusik bisnis yang sudah aku jalankan bertahun-tahun. Dia memang cari mati. Aku mau besok dengar kabar kalau semua keluarga Geraldo lenyap!" teriak Benny."Tapi, Bos-"Bugh! Kepalan kuat membuat satu anak buah tersungkur dengan bibir berdarah."Ada yang ingin aku habisi di sini?" Mata Benny nyalang buas."Maaf, Bos. Kami akan berangkat sekarang!"Tak ada lagi yang berani melawan Benny. Dia bak singa yang didesak wilayah kekuasaannya. Mengaum dan menggila. Matanya nyalang siap menghabisi lawannya.Di ruangan itu masih tersisa Erlan dan Biantara."Jika kalian tidak mau kalah, maka hanguskan musuh. Jangan sampai ada musuh yang tersisa. Kita harus jadi raja di raja. Jangan sampai ada yang berani setara pada kita!" bentak Benny.Erlan meremas tangannya. Dia malah terbesit wajah David. Semua kata-kata David terngiang jelas. "Tuan, saya tidak tahu lagi harus bagaimana." Ada rasa jenuh dan sesal kala ini. Dia tak menyangka jika harus melangkah sejauh itu. Apa bisa
Ambulance langsung membawa Felisha ke rumah sakit. Wanita itu mengalami pendarahan hebat. Dulu, dia bertingkah seperti apa pun kandungannya baik-baik saja. Bahkan dia mencoba makan banyak pantangan orang hamil muda, tetap saja kandungan itu bertahan. Di saat Felisha mulai menerima dan merasa hanya anak yang dikandungnya satu-satunya harta dan masa depannya, anak itu malah merajuk.Dokter langsung melakukan tindakan. Felisha dimasukkan ke ruang operasi karena keadaan sangat darurat. Namun, tindakan dokter tak bisa menyelamatkan janin itu.---Di tempat lain."Beres, Bos. Bayi itu tidak akan menjadi masalah Anda di kemudian hari. Sekarang wanita itu belum sadar karena kondisinya terlalu lemah." Seorang pria menghubungi atasnya. Ya, atasannya adalah orang yang sangat takut dengan tingkah gila Felisha jika suatu hari nanti anak itu akan jadi senjata ancamannya.Biantara. Dia sangat paham dengan polah tingkah seorang Felisha dan bergerak cepat di awal.****"Kami tidak mau punya pimpinan c
Tak hanya raga. Hati ini luruh tak mampu menopang beratnya rasa. Bagaimana bisa dia melalui hal seberat itu sendirian? Bagaimana bisa aku marah saat dia berdiri saja tak mampu? "Sean ...." Emily terisak di pangkuan Sean."Emily sayang ...." Sean mengusap rambut istrinya dengan derai air mata. Pria kekar itu sesegukan hingga dadanya bergetar.Pelan Sean mendongakkan wajah Emily agar menatapnya. Lalu, dia seka air mata yang telah berani melinang di pipi kesayangannya itu."Sean ...." Emily menggeleng menatap wajah yang sangat dirindukannya."Tadi, aku baik-baik saja dan sekarang saat melihatmu, aku seperti sudah ingin pulang. Aku tak merasakan sakit sedikit pun."Emily sedikit mengangkat tubuhnya dan memeluk Sean. "Aku membencimu, Sayang. Sangat membencimu. Dosa apa aku sampai tidak tahu kalau suamiku menderita."Sean memeluk erat, sangat erat. "Aku memang harus menebus dosa. Aku tahu pantas untuk mendapat perhatianmu karena dulu aku-""Ssssttttt .... Karena aku mencintaimu."Hah! Sean
Tidak mungkin Sean merahasiakan semuanya dariku? Apa maksudnya? Apa aku tidak berhak tahu atau dia tak ingin aku khawatir? Emily memegang tembok agar tak luruh di lantai."David ...." Emily memegang dadanya dengan derai air mata.David cepat meraih tubuh Emily. "Aku akan membawamu ke atas. Nanti kuceritakan padamu. Tenang, jangan sampai Axel tahu."David mengangkat tubuh Emily dan membawa ke kamar, tanpa sepengetahuan Axel dan Dayana."Pelan-pelan. Tenangkan dirimu. Jangan lupa kamu sedang mengandung anak Sean saat ini." David meletakkan pelan Emily di atas ranjang.Emily menggeser pelan tubuhnya dan bersandar di headboard. Dia menyeka air matanya. Nafasnya sesak terisak.David duduk di sisi ranjang. Dia merangkup wajahnya seraya menghela nafas. "Maafkan aku, Emily."Emily menggeleng sambil tersedu. "Jangan suruh memaafkanmu sebelum aku tahu soal Sean. Vid, aku istrinya. Kenapa aku harus dilarang mengetahui soal keadaannya? Apa salahku?" Tangis wanita itu pecah.David mendecih sesal.
Di rumah sakit. Sean duduk dengan kepala bersandar. Dua tangannya terpaut di depan. Sebenarnya dia ingin mendekatkan wajahnya pada layar, tapi ...."Ingat, stay cool. Jangan sampai anakmu yang pintar dan sok tahu itu curiga. Tersenyum manis dan bicara seperlunya.""Aku tahu, Cerewet!" kesal Sean."Tuan sudah paham semuanya, Bawel!" Dario menajamkan sorot matanya pada Blade."Aku akan tekan tombol panggil. Kamu menyingkir dulu. Nanti muncul kalau Sean memberi kode!" Blade menggerakkan jari pada Dario, lalu mundur setelah panggilan itu tersambung.Sean meremas kepalan tangannya yang berkeringat. Jantungnya berdetak kian kencang. "Huuuufffff ...." Dia terus menghembus nafasnya panjang."Papa!" Layar itu mulai jelas tampak wajah Axel dan .... Emily di belakangnya. Mereka berdua duduk di atas brankar.Sean sebentar mendongak agar matanya bisa dikondisikan."Papa!" Kini wajah mereka jelas di layar masing-masing."Sayang .... Maaf, papa terlalu banyak urusan." Sean tersenyum lebar. Dia mena
Entah rasa apa yang harus diungkapkan. Air mata Dayana tak mau dibendung. Tanpa isakan."Sayang, .... Emily ...." Dayana memeluk David."Hah! Aku nggak nyangka akan datang berita seperti ini di tengah kepelikan mereka." David sedikit mendongak membuang nafas dari mulutnya.Sebuah kabar gembira dan seharusnya Sean yang duduk di depan sang dokter menjadi orang pertama yang mendengar kabar itu."Selamat, pasien Nyonya Emily positif hamil. Kondisi kehamilan masih sangat rentan karena baru memasuki trimester pertama. Jangan sampai kelelahan dan stress, agar tidak berdampak buruk pada kandungannya," jelas dokter."Jangan sampai ada yang tahu selain kami. Rahasiakan dari semuanya."---Di kamar rawat Emily."Aku akan mengumpat Om Blade. Aku yakin papa dilarang menggunakan ponsel olehnya. Oh tidak, bisa jadi Om Dario juga ikutan!" Axel sedang mencari sugesti baru untuk pikirannya agar kata-kata Erlan bisa lenyap semuanya.Emily tersenyum kaku. Anaknya saja bisa merasakan hal janggal, apalagi d
Emily duduk tegang. Di sisinya ada Axel memegang tangannya. Keduanya sama saling menguatkan dan berharap apa yang ada dalam dugaannya itu salah. "Ma, apa papa yang akan bicara? Kenapa belum ada suaranya sama sekali?" Anak itu menekan rahangnya. Gugup dan takut. Kata-kata Erlan berhasil membuat tekanan berat pada pikirannya.Emily berkedip beberapa kali dan mengambil nafas dalam-dalam. "Kita tunggu sebentar lagi. Pasti papa. Papa nggak akan ingkar janji." "Kenapa bukan panggilan video, Sayang. Seharusnya kita bisa sekalian lihat wajah Sean," protes Dayana."Benar yang dikatakan, Tante. Aku mau lihat wajah papa.""Ssssttttt ...." David meletakkan jari di depan bibirnya. Dia tak tahu lagi bagaimana cara mengelak permintaan mereka."Axel .... Emily ...." Suara Sean terdengar datar."Papa!" teriak Axel dengan mata lebar.Emily menghentak nafasnya sambil memegang dada. Akhirnya ... dia sangat lega mendengar suara Sean. 'Sean ...,' batinnya."Papa! Aku mau lihat wajahmu. Kenapa harus ngump
"Mama!" teriak Axel. Dia berlari ke arah ibunya.Hati dan pikiran yang selama ini ditekan kecemasan dan ketakutan kini tumbang sudah. Dia pingsan."Kita bawa ke dokter, Axel!" seru Dayana.David datang. "Apa yang terjadi?""Sayang, dia pingsan begitu saja."David langsung mengangkat Emily.Mobil melaju ke rumah sakit. Selang beberapa saat."Bagaimana keadaannya, Dok?""Kondisi lemah dan tekanan pikiran berat bisa jadi penyebab pasien pingsan. Tidak ada hal serius yang perlu dikhawatirkan."Emily kini dialihkan ke ruang rawat."Om, kapan mama akan bangun?" Axel terus menangis tanpa isakan di sisi brankar."Segera. Mamamu hanya kelelahan." David menepuk pelan punggung Axel."Papa, aku mau dengar soal papa, Om.""Axel, nanti kita bahas setelah mamamu baikan. Yakinlah kalau papamu baik-baik saja. Dan Om Erlan memang nggak suka i papamu. Dia pasti sengaja mengumbar hoax!" Dayana mengangguk.Axel mendesah berat. "Semoga benar yang dikatakan Tante.""Pasti benar!""Om akan keluar sebentar."