"Aku juga harus tahu soal kasus Emily. Ingat, meski Emily sudah memberimu kesempatan, tapi aku tetap akan mengawasimu! Aku dan David adalah orang yang wajib tahu soal Emily." Dayana menaikkan alisnya."Kalian boleh membahasnya lain kali. Silahkan datang ke kantorku nanti. Karena kalian memang berhak tahu. Aku tidak akan menutupinya dari kalian," ucap Sean pada David dan Dayana. Dia melirik Axel. Sang ayah itu tidak mau dada anaknya bergejolak jika tahu alur kasus kecelakaan. Bisa jadi, dengan sifat Axel yang over protektif pada ibunya, akan bertindak ceroboh dan gegabah saat mengetahui beberapa terduga."Kami paham." David paham maksud Sean Sean tersenyum menatap anaknya. "Hey, kenapa diam saja? Apa makanan restoran ini tidak sesuai seleramu? Hem ... papa tahu. Makanan terenak memang masakan Mamamu. Favorit papa adalah buatan istriku. Tapi, kamu tidak boleh pulang dengan perut kosong. Mau papa suapi?" Axel diam menatap sorot mata teduh ayahnya. Dia ingin menangis karena lidahnya san
Sean berdiri menatap Emily dengan satu tangannya menekan kunci otomatis.Sangat manis. Emily melipat bibirnya dengan senyum sipu. Dia menunduk tak berani menatap Sean. Tangannya terus meremas di bawah.Sean terus mendekat hingga kini berdiri saling berhadapan. "Kamu masih malu padaku? Aku suamimu, bukan pacarmu." Sean menyapu rambut Emily.Emily memegang dua sisi kemeja Sean dan menggerak-gerakkan pelan. Dia terus tersenyum."Sayang, Emily sayang." Sean memegang dagu Emily dan menaikkan agar menatapnya.Emily tersenyum, dia menatap malu wajah Sean. Seperti Emily saat dulu digoda Sean. "Hem .... Kenapa kamu seperti ini? A-aku mau mandi dulu. Siapa yang mau mandi duluan?""Bisakah aku mengulang malam pertama kita? Aku ingin ...." Sean tidak mau merusak suasana dengan cerita kelam.Raut wajah Emily seketika berbeda, tapi tetap ada senyum tipis. Ingatan malam pertama dengan tangis kepiluan. Malam pengakuan Sean akan skema menipu hatinya terulas kembali, tapi Emily tepis sekuatnya.Sean m
"Tuan Benny membuat tim khusus dalam rencana nona Felisha. Mereka mengambil beberapa orang setianya dari markas. Tanpa memberitahu Anda, Bos. Apa Tuan Benny mulai ragu pada Anda? Bahkan skema serangan pada Sean tidak meminta dari Anda," jelas tangan kanan Blade.Di roof top markasnya. Blade menikmati taburan bintang dengan minuman penghilang kesadaran. Pria itu menghembus nafas panjang."Biarkan saja. Aku akan lihat sejauh mana mereka akan berhasil! Tetap awasi pergerakan tim itu. Jangan sampai kita kalah langkah!" Blade menyesap minumannya."Baik, saya tetap akan berada di belakang Anda. Apa pun yang terjadi. Meski anak buah kita hanya sebagian yang bisa dipercaya.""Bertahanlah. Mungkin tidak akan lama lagi." Blade menatap tajam satu titik bintang. Bibirnya tersenyum tipis, seolah miris menatap dirinya sendiri."Saya tidak berani bertanya, kenapa Anda berbuat sejauh ini. Resiko sangat besar, bahkan nyawa Anda bisa berada di ujung tombak."Blade terkekeh. "Siapa yang mau menawar nyawa
Di sekolah Axel.'Mereka datang lagi. Jika anaknya seperti itu, maka ayahnya pasti sangat payah! Untung papaku keren. Heh, bukan gaya kami!' batin Axel saat melihat anak orang kaya mendekat."Axel, kata papaku kamu belum bilang sama papamu kalau aku berteman denganmu."Axel tersenyum miring. "Aku nggak butuh teman sepertimu. Cari saja teman yang lain. Papaku menyuruh untuk belajar di tempat ini, bukan cari anak buah! Lagian, bodyguard-ku udah banyak!"Anak itu mengepal kuat, dia disuruh sang ayah untuk mendekati anak pengusaha hebat itu."Axel, aku punya mainan baru. Ini edisi terbatas. Aku memesannya lumayan lama, tapi kamu boleh memilikinya." Anak lain mendekat dengan cara lain.Axel menghela nafas panjang. Dia berdiri dengan dua tangan masuk saku. "Sehebat itukah papaku, sampai kalian yang masih kecil terkagum? Dengar, kalau kalian tertarik dengan papaku, datang padanya dan minta uang yang banyak. Tapi, jika ingin berteman denganku? Sayang sekali aku nggak tertarik!" Anak itu pergi
"Sangat kebetulan!"Blade menaruh pisau di salah satu tangannya. Motor itu melaju sangat kencang. Dia mengarahkan pisau di bahu Sean sambil sedikit menyerempet. Dengan posisi lutut Blade agak terbuka, mendorong menendang kuat kaki Sean. Tampak terpental, tapi bukan karena terserempet."Argh!" pekik Sean."Papa!" teriak Axel. Anak itu berlari."Sean!" Emily langsung berlari.Sean terpental tidak jauh. Dia terguling di pinggir jalan. Rungu Sean tetap fokus pada seruan kebanggaan anaknya, tapi matanya tajam menatap motor yang melesat jauh.'Blade! Apa ini?' batin Sean. Dia memegang bahunya yang mengucur darah."Siapkan mobil!" teriak Dario.Dalam lajuan mobil. Sean duduk di belakang. Dua sisinya ada Axel dan Emily yang menangis cemas."Sean, Mana aja yang sakit? Tangan, kaki? Mana lagi?" Emily menekan bahu Sean yang mengalirkan darah.Sean mengecup kening istrinya. "Jangan menangis."Sean kini menatap Axel. "Papa baik-baik saja. Lihat, hanya luka kecil.""Pa. Maafin Axel. Ini salahku. Ha
Felisha mengelus perutnya yang rata. "Akhirnya, aku nggak jadi membencimu! Kamu akan jadi anak Sean sebentar lagi. Nggak sia-sia aku dapat benih. Entah punya siapa!" Wanita itu tertawa lepas."Sean .... Sean. Mana bisa kamu bahagia semudah itu setelah sengaja mencampakkan wanita yang sangat setia dan mencintaimu! Kamu harus dipaksa menyadari siapa yang lebih layak!"Felisha melanjutkan packing. Dia akan berangkat hari ini. Semua hotel dan pergerakannya akan diatur oleh anak buah Benny.***Pagi di kediaman Sean."Kita akan sarapan di kamar ini, agar Papa nggak perlu turun." Emily membawa nampan menata di meja. Ada satu maid yang membantunya."Papa curang! Aku akan mengalahkanmu sebentar lagi!" Axel masih fokus pada layar dengan tawa kecil.Dua pria tampan beda usia duduk bersandar di headboard dengan bahu berhimpit."Terima kekalahanmu, Axel. Jangan mimpi menang dari papa!" Sean masih asik bermain game. Senyum itu tak lepas dari bibirnya."Tidak mungkin aku kalah dari pak tua!" Axel m
Sean tiba di luar negeri."Tuan!" Dario menarik tangan Sean. Atasannya itu hampir menabrak seseorang di bandara."Oh." Sean mengusap wajahnya. Sekian menit dia telah keluar dari pikiran sadarnya."Anda baik-baik saja?" heran Dario. Saat atasannya seperti itu, hanya ada kemungkinan pikirannya mengarah Emily."Bisakah kita di sini sehari saja? Sungguh aku sangat ingin kembali sekarang. Sepertinya aku lebih ingin tetap bersama anak istriku dari pada mendapat investor ini." Sean mendesah berat."Kita sudah berada di sini. Tapi, saya bisa atur jadwal penerbangan kembali tercepat dan membatalkan pertemuan. Saya yakin Anda akan punya solusi lain nanti."Sean menggeleng. "Aku harus profesional dan bertanggung jawab pada jabatanku. Kita ke hotel!" Dia harus menekan rasa rindu dan keinginan bersama yang begitu kuat. Bayangan candaan Emily dan Axel terus melekat di hati dan pikirannya. Sangat candu.Sean dan Dario berjalan beriringan."Tuan, apa Anda merasakan sesuatu? Pria tegap berkacamata di
"Kapan aku akan masuk permainannya? Aku sudah sangat siap." Felisha sudah memoles wajahnya tebal. Meski hanya berbalut lingerie dan jubah tipis."Setelah menunggu kabar dari kami. Selama menunggu kabar, Anda harus ada di gazebo bawah memakai pakaian yang kami siapkan, Nona.""Ah, bukankah nanti aku langsung naik di ranjang? Bagaimana kerjaan kalian? Tidak profesional! Apa aku akan naik ke ranjang dengan dress murahan seperti ini?""Saat ini sisi Tuan Sean telah mengawasi Anda. Jadi lebih baik ikuti aturan main kami."Felisha mendesis geram. "Aku sangat malas memakai pakaian ini! Kalian harus tanggung jawab jika tubuhku ruam-ruam karena dress murahan ini!" Wanita itu kembali mengganti pakaian.Sedang Sean telah tiba di hotel. Dia sudah dijemput oleh bawahan calon investor itu. Mereka di bawa ke lantai 20."Tuan kami sedang menyelesaikan urusan penting. Silahkan Anda menunggu.""Memangnya urusan kami tidak penting!" Dario meradang, siapa yang terima penyambutan seperti itu."Seberapa ma