Sean tiba di luar negeri."Tuan!" Dario menarik tangan Sean. Atasannya itu hampir menabrak seseorang di bandara."Oh." Sean mengusap wajahnya. Sekian menit dia telah keluar dari pikiran sadarnya."Anda baik-baik saja?" heran Dario. Saat atasannya seperti itu, hanya ada kemungkinan pikirannya mengarah Emily."Bisakah kita di sini sehari saja? Sungguh aku sangat ingin kembali sekarang. Sepertinya aku lebih ingin tetap bersama anak istriku dari pada mendapat investor ini." Sean mendesah berat."Kita sudah berada di sini. Tapi, saya bisa atur jadwal penerbangan kembali tercepat dan membatalkan pertemuan. Saya yakin Anda akan punya solusi lain nanti."Sean menggeleng. "Aku harus profesional dan bertanggung jawab pada jabatanku. Kita ke hotel!" Dia harus menekan rasa rindu dan keinginan bersama yang begitu kuat. Bayangan candaan Emily dan Axel terus melekat di hati dan pikirannya. Sangat candu.Sean dan Dario berjalan beriringan."Tuan, apa Anda merasakan sesuatu? Pria tegap berkacamata di
"Kapan aku akan masuk permainannya? Aku sudah sangat siap." Felisha sudah memoles wajahnya tebal. Meski hanya berbalut lingerie dan jubah tipis."Setelah menunggu kabar dari kami. Selama menunggu kabar, Anda harus ada di gazebo bawah memakai pakaian yang kami siapkan, Nona.""Ah, bukankah nanti aku langsung naik di ranjang? Bagaimana kerjaan kalian? Tidak profesional! Apa aku akan naik ke ranjang dengan dress murahan seperti ini?""Saat ini sisi Tuan Sean telah mengawasi Anda. Jadi lebih baik ikuti aturan main kami."Felisha mendesis geram. "Aku sangat malas memakai pakaian ini! Kalian harus tanggung jawab jika tubuhku ruam-ruam karena dress murahan ini!" Wanita itu kembali mengganti pakaian.Sedang Sean telah tiba di hotel. Dia sudah dijemput oleh bawahan calon investor itu. Mereka di bawa ke lantai 20."Tuan kami sedang menyelesaikan urusan penting. Silahkan Anda menunggu.""Memangnya urusan kami tidak penting!" Dario meradang, siapa yang terima penyambutan seperti itu."Seberapa ma
Nyeri .... Sebuah kelembutan itu ternyata hanya sembilu yang akhirnya mengoyak hati. Luka lama itu kini menganga kembali. Sangat perih .... Sean telah menabur garam pada luka itu."Akh! Ah ha ha ha ha!" Emily memegang dadanya yang sangat perih. Meremas kuat, merutuki dirinya yang disangka bodoh."Sean .... Nuranimu benar-benar telah lenyap! Aku menyesal .... Sangat menyesal, terjerat kepalsuanmu dua kali. Dan tidak ada ketiga kalinya!" Dada Emily sesak, bak oksigen tak mampu menelisip pada rongga parunya.Kaki Emily tak mampu menopang raga. Dia luruh di lantai kamarnya. Air matanya trus berderai. Terisak! Dia kini meringkuk memeluk lututnya yang menekuk. Menyandarkan kepalanya di cela lutut. Hanya bisa menangis untuk menumpahkan letupan rasa kecewa amat dalam."Tega kamu, Sean. Tega!" Emily sesegukan. Rasanya lebih dari sekedar sakit hati dibohongi. Banyak rasa yang terkumpul jadi satu di dadanya. Candaan dan perhatian selama ini, membuat sakit itu makin perih. Bahkan ... menghabiskan
Sean tiba di bandara tanah air. Dia melangkah panjang dan setengah berlari."Mana mobilnya, Dario? Lamban sekali!" kesal Sean. Dengan menghentak nafas kuat."Itu mereka!" Dario menunjuk mobil sedan hitam yang melaju ke arahnya.Sean masuk tanpa menunggu pintu mobil dibukakan. Gemuruh dadanya ingin segera bertemu Emily."Langsung ke rumah papa!" seru Sean. Dia ingin mengejar keberadaan istrinya.Dario hanya berani mengarahkan ekor matanya. Dia bingung mencari solusi, bahkan tidak bisa merangkai kata memberi penjelasan detail. Karena Evan, tuan besarnya bertindak sangat tegas.Sean duduk gusar dengan kaki terus bergerak, jari-jarinya menari di atas paha. "Dario, ambil alih kemudi atau aku saja yang menyetir! Kenapa lamban sekali?!""Ini sudah sangat cepat, Tuan. Kita akan tiba sekitar 30 menit lagi.""Haish!" Sean menyugar kasar rambutnya sambil menghentak punggung di sandaran kursi.Hening. Namun, Sean bisa mendengar detak jantung ketakutannya. Nafasnya terus menderu dengan tatapan ke
"Ma, gimana kalau aku hubungi papa agar cepat pulang dan menyusul kita kemari?" Axel sengaja melempar tanya seperti itu. Dia ingin memastikan lebih akurat reaksi ibunya.Emily menarik nafas dalam-dalam. Dia menyapu kelopak matanya sambil berbalik. Wanita itu juga berusaha keras menarik dua ujung bibir. "Jangan ganggu papamu. Dia sedang sibuk!"Axel membolakan matanya. "Ehm .... Om David? Tante Dayana? Mereka harus tahu kalau kita ada di tempat ini, bukan? Dan harus menyusul kemari. Tempat ini sangat cocok untuk berlibur dan bermain rame-rame." Anak itu berlagak tidak tahu jika ibunya sedang sedih. "Istirahatlah. Besok kamu akan lihat sekolah barunya. Lingkungan sekolah daerah ini sangat nyaman. Kamu nggak akan ketemu sama anak orang kaya yang angkuh. Itu sangat baik untukmu."Axel memainkan dagunya dengan jari. "Pindah sekolah lagi. Aku kira hanya singgah sementara waktu? Dan papa akan menyusul nanti. Terus kita main di tempat ini, pasti seru banget. Aku lihat ada yang naik kuda di s
Blade menatap sorot matanya pada cermin. "Kami telah menemukan keberadaan istri teman Anda, Bos. Anak buah tuan Sean itu mungkin bodoh, mereka takut sama tuan besarnya yang tegas." Seorang pria berdiri di sisi Blade sambil mengancing lengan kemeja Blade."Dan saat kami duduk berdekatan dengan anak buah tuan Sean di restoran, mereka bilang takut jika tuan besarnya itu marah, lalu keberadaan nyonya dan tuan mudanya dipindah lebih jauh."Blade menghela nafas. "Sean tidak sebodoh itu. Kita lihat saja nanti. Dia tidak mungkin kehilangan akal untuk menemukan istri dan anaknya. Serahkan data lokasinya. Aku akan mengurus sisanya nanti. Bagaimana soal jal4ng itu? Benny bisa jadi akan menyelamatkannya.""Felisha dibawa anak buah tuan Sean. Tebakan Anda benar, bos Benny tidak tinggal diam. Bawahan kita melihat mobil tim lain melintas di sekitar anak buah tuan Sean.""Biarkan saja wanita itu lepas. Jika sampai tidak lepas, maka masalah akan semakin panjang. Benny akan menggunakan cara lain untuk
Hampir pagi, Sean tiba di hotel pinggir kota. Dia sudah bilang jika akan langsung mencari ke beberapa titik yang diduga tempat Emily dan Axel. Namun, saat ini Sean dan Dario masih ada di basement hotel. Mereka belum turun."Biarlah, Tuan belum tidur sejak kemarin. Aku akan terima resikonya nanti." Dario bergumam dengan rasa gelisah. Dia duduk di kursi belakang bersama tuannya. Saat perjalanan, Sean tertidur karena terlalu lelah.Terlelapnya seorang Sean dengan membawa kegelisahan, ketakutan. Kecemasannya merasuk hingga bawah sadar.Dalam ruang gelap tanpa sekat.Sean berdiri di tengah ruang dengan sekat pekat. Dia menebar pandangan dan menemukan cahaya temaram. Ada dua siluet yang tampak di sisi temaram itu."Emily? Axel?" Dada Sean bergemuruh rasa rindu, gelisah, dan takut.Pria itu ingin melangkah cepat, tapi kakinya hanya bisa bergeser pelan. "Akh! Emily! Axel!" Mata Sean berkaca, dia takut mereka akan pergi.Terdengar tawa seolah anak istrinya sedang bercanda."Sayang, kita pergi
"Argh! Bagaimana kerja kalian. Bukankah tadi bilang area ini telah minimalisir?! Kenapa bisa seperti ini?! Bagaimana jika aku terlambat datang dan terjadi sesuatu pada anak istriku?!" teriak Sean. Dia menyugar rambutnya dengan hentakan nafas.Sean dan anak buahnya sangat geram. Mereka sudah melewati tiga pohon tumbang, dan sekarang masih harus berhenti karena pohon tumbang lagi. Mungkin di depan sana masih banyak rintangan disengaja."Tuan, tidak ada musuh yang bertebaran di sekitar sini. Hanya ada anak buah tuan besar yang bersembunyi di tempat agak jauh dan orang yang tadi hampir menabrak Anda," jelas anak buah."Apa perlu saya panggil polisi sekarang? Ini sudah masuk ancaman. Di sekitar sini pasti ada kamera, jadi akan ada barang bukti," kesal Dario."Mereka orang terlatih. Tidak ada bukti kamera dan saksi yang bisa kita bawa," jelas anak buah."Bodoh kalian semua! Jelas ini disengaja agar kita tidak tiba dengan cepat. Dan ini artinya anak istriku ada di depan sana! Cepat singkirkan