Sean tiba di bandara tanah air. Dia melangkah panjang dan setengah berlari."Mana mobilnya, Dario? Lamban sekali!" kesal Sean. Dengan menghentak nafas kuat."Itu mereka!" Dario menunjuk mobil sedan hitam yang melaju ke arahnya.Sean masuk tanpa menunggu pintu mobil dibukakan. Gemuruh dadanya ingin segera bertemu Emily."Langsung ke rumah papa!" seru Sean. Dia ingin mengejar keberadaan istrinya.Dario hanya berani mengarahkan ekor matanya. Dia bingung mencari solusi, bahkan tidak bisa merangkai kata memberi penjelasan detail. Karena Evan, tuan besarnya bertindak sangat tegas.Sean duduk gusar dengan kaki terus bergerak, jari-jarinya menari di atas paha. "Dario, ambil alih kemudi atau aku saja yang menyetir! Kenapa lamban sekali?!""Ini sudah sangat cepat, Tuan. Kita akan tiba sekitar 30 menit lagi.""Haish!" Sean menyugar kasar rambutnya sambil menghentak punggung di sandaran kursi.Hening. Namun, Sean bisa mendengar detak jantung ketakutannya. Nafasnya terus menderu dengan tatapan ke
"Ma, gimana kalau aku hubungi papa agar cepat pulang dan menyusul kita kemari?" Axel sengaja melempar tanya seperti itu. Dia ingin memastikan lebih akurat reaksi ibunya.Emily menarik nafas dalam-dalam. Dia menyapu kelopak matanya sambil berbalik. Wanita itu juga berusaha keras menarik dua ujung bibir. "Jangan ganggu papamu. Dia sedang sibuk!"Axel membolakan matanya. "Ehm .... Om David? Tante Dayana? Mereka harus tahu kalau kita ada di tempat ini, bukan? Dan harus menyusul kemari. Tempat ini sangat cocok untuk berlibur dan bermain rame-rame." Anak itu berlagak tidak tahu jika ibunya sedang sedih. "Istirahatlah. Besok kamu akan lihat sekolah barunya. Lingkungan sekolah daerah ini sangat nyaman. Kamu nggak akan ketemu sama anak orang kaya yang angkuh. Itu sangat baik untukmu."Axel memainkan dagunya dengan jari. "Pindah sekolah lagi. Aku kira hanya singgah sementara waktu? Dan papa akan menyusul nanti. Terus kita main di tempat ini, pasti seru banget. Aku lihat ada yang naik kuda di s
Blade menatap sorot matanya pada cermin. "Kami telah menemukan keberadaan istri teman Anda, Bos. Anak buah tuan Sean itu mungkin bodoh, mereka takut sama tuan besarnya yang tegas." Seorang pria berdiri di sisi Blade sambil mengancing lengan kemeja Blade."Dan saat kami duduk berdekatan dengan anak buah tuan Sean di restoran, mereka bilang takut jika tuan besarnya itu marah, lalu keberadaan nyonya dan tuan mudanya dipindah lebih jauh."Blade menghela nafas. "Sean tidak sebodoh itu. Kita lihat saja nanti. Dia tidak mungkin kehilangan akal untuk menemukan istri dan anaknya. Serahkan data lokasinya. Aku akan mengurus sisanya nanti. Bagaimana soal jal4ng itu? Benny bisa jadi akan menyelamatkannya.""Felisha dibawa anak buah tuan Sean. Tebakan Anda benar, bos Benny tidak tinggal diam. Bawahan kita melihat mobil tim lain melintas di sekitar anak buah tuan Sean.""Biarkan saja wanita itu lepas. Jika sampai tidak lepas, maka masalah akan semakin panjang. Benny akan menggunakan cara lain untuk
Hampir pagi, Sean tiba di hotel pinggir kota. Dia sudah bilang jika akan langsung mencari ke beberapa titik yang diduga tempat Emily dan Axel. Namun, saat ini Sean dan Dario masih ada di basement hotel. Mereka belum turun."Biarlah, Tuan belum tidur sejak kemarin. Aku akan terima resikonya nanti." Dario bergumam dengan rasa gelisah. Dia duduk di kursi belakang bersama tuannya. Saat perjalanan, Sean tertidur karena terlalu lelah.Terlelapnya seorang Sean dengan membawa kegelisahan, ketakutan. Kecemasannya merasuk hingga bawah sadar.Dalam ruang gelap tanpa sekat.Sean berdiri di tengah ruang dengan sekat pekat. Dia menebar pandangan dan menemukan cahaya temaram. Ada dua siluet yang tampak di sisi temaram itu."Emily? Axel?" Dada Sean bergemuruh rasa rindu, gelisah, dan takut.Pria itu ingin melangkah cepat, tapi kakinya hanya bisa bergeser pelan. "Akh! Emily! Axel!" Mata Sean berkaca, dia takut mereka akan pergi.Terdengar tawa seolah anak istrinya sedang bercanda."Sayang, kita pergi
"Argh! Bagaimana kerja kalian. Bukankah tadi bilang area ini telah minimalisir?! Kenapa bisa seperti ini?! Bagaimana jika aku terlambat datang dan terjadi sesuatu pada anak istriku?!" teriak Sean. Dia menyugar rambutnya dengan hentakan nafas.Sean dan anak buahnya sangat geram. Mereka sudah melewati tiga pohon tumbang, dan sekarang masih harus berhenti karena pohon tumbang lagi. Mungkin di depan sana masih banyak rintangan disengaja."Tuan, tidak ada musuh yang bertebaran di sekitar sini. Hanya ada anak buah tuan besar yang bersembunyi di tempat agak jauh dan orang yang tadi hampir menabrak Anda," jelas anak buah."Apa perlu saya panggil polisi sekarang? Ini sudah masuk ancaman. Di sekitar sini pasti ada kamera, jadi akan ada barang bukti," kesal Dario."Mereka orang terlatih. Tidak ada bukti kamera dan saksi yang bisa kita bawa," jelas anak buah."Bodoh kalian semua! Jelas ini disengaja agar kita tidak tiba dengan cepat. Dan ini artinya anak istriku ada di depan sana! Cepat singkirkan
"Ini villa kosong sekitar sini. Menurut informasi tadi, villa ini dihuni seorang wanita dan anak kecil dengan penjagaan ketat.""Kenapa sepi?" Rasa takut menjalar kuat, mencengkram dinding hati Sean. Hingga pria itu memegang dadanya. Nyeri, belum sampai dia melewati pintu, tapi telah jelas jika dirinya kalah langkah.Dario gusar dengan rasa tidak nyaman. "Kalian masuk!" Tetap memberi perintah, meski sepertinya akan sia-sia.Mereka bisa masuk setelah menjelaskan pada penjaga rumah. Sean dan Dario berdiri di halaman villa.Selang beberapa saat."Maaf, Tuan. Mereka baru saja pergi." Bawahan menunduk.Mata Sean nanar menatap bangunan dua lantai itu. Dia hampir terhuyung karena goncangan jiwa dan pikiran. 'Emily ... Axel. Maafkan papa yang terlambat. Papa pasti akan segera menemukan kalian,' batin Sean."Maaf, Tuan. Kami terlalu bodoh. Malah mengikuti keberadaan anak buah tuan besar. Dan ternyata hanya jebakan untuk menjauhkan kita dari keberadaan Nyonya. Jika kami peka dan sedikit jeli, p
"Kuharap Papa adalah pria sejati. Pa, aku menunggumu." Axel menatap foto ayahnya di tablet.Sedang di kamar berbeda.Emily sedang meringkuk di bawah kucuran shower. Memekik jerit, Emily meremas kuat rambutnya. Airmata dibiarkan jatuh diantara buliran air shower."Akh!" Dia teringat vidio call waktu di luar negeri. Ingin melupakan, tapi malah mengulas jelas apa yang dilihatnya."Sean ...." Emily telah trauma dengan kebaikan palsu Sean, meski sangat merindukannya."Bisakah semua itu hanya bohong? Akh! Aku bodoh sekali. Jelas Sean memilih bersama Felisha, dari dulu sampai sekarang! Lantas, bagaimana soal pembatalan pertunangan? Apa itu skema kebohongan berencana agar papa mertua percaya pada tindakan Sean? Akh!"Nyeri .... Sakit sekali. Dada Emily semakin sesak. Dia menumpahkan rasa sesak dadanya saat di belakang Axel. "Axel!" Emily beranjak. Dia segera membersihkan diri.-Sedang di tempat lain.Mata Sean berkaca menatap pesan masuk. Tanpa membuat pertimbangan dia langsung paham jika i
Di tangga darurat."Kamu tanya anak buah kita, apa Axel sudah keluar kamar?" Sean semakin tidak sabar. Dia terus memainkan jarinya."Informasi 5 menit yang lalu, tuan muda belum keluar kamar."Sean mendesah berat. "Aku takut dia benar-benar kesulitan datang kemari? Atau Emily yang mulai curiga? Atau sulit lolos dari anak buah papa? Akh, dia harus bisa keluar, atau aku yang akan masuk ke sana!" Dia semakin kalut."Tuan muda sangat pintar, Anda tunggu sebentar lagi.""Aku akan bicara lagi pada papa nanti. Dia sangat keras kepala! Kenapa sangat ingin aku berpisah dengan istri dan anakku?" Sean meremas kepalan tangannya.Di kamar Emily."Ma, aku benar-benar bosan. Nasibku bahkan tidak jelas. Nggak sekolah, nggak ada kegiatan selama ini. Aku memang akan ikuti ke mana pun Mama pergi, tapi nggak bisa terus duduk berdiam diri. Bosen cuma main game aja." Axel menghempas diri di sofa. Tangannya melipat dengan wajah murung. Ekor matanya melirik reaksi wajah ibunya, berharap jurus itu bisa menemb
"Sean! Bangun, Sean!""Akhh! Perutku sakit sekali ....""Sayang ....""Mama! Papa ...."Gaduh suara roda brankar membuat ngilu. Tiga pasien kini masuk dalam ruang tindakan. Dua pasien yang duduk di kursi depan telah ditutup kain putih."Apa yang terjadi pada anakku?!" Evan memegang dadanya."Pa, tenang. Jangan sampai papa lemah. Anak dan cucu kita pasti akan baik-baik saja!" Martha memegang dua bahu Evan dari belakang.Evan tak mampu lagi menopang raga. Dia lemas dalam dekapan sang istri."Panggil dokter!" teriak Martha.Tangisan pecah. Bahkan Blade gemetar melihat darah di dua tangannya. Kepalanya terus menggeleng. "Tidak! Tidak mungkin!"Dario diam mematung menatap pintu ruang tindakan. Hanya air mata tanpa isakan yang bisa mengungkap betapa takutnya dia sekarang.Rumah sakit itu seketika jadi perbincangan panas publik. Apalagi yang sedang sekarat adalah satu keluarga pengusaha hebat dan pemilik restoran yang terbakar."Tolong jangan berhenti dan lemah. Kumohon kita harus tetap kuat
"Hancurkan dia! Beraninya mengusik bisnis yang sudah aku jalankan bertahun-tahun. Dia memang cari mati. Aku mau besok dengar kabar kalau semua keluarga Geraldo lenyap!" teriak Benny."Tapi, Bos-"Bugh! Kepalan kuat membuat satu anak buah tersungkur dengan bibir berdarah."Ada yang ingin aku habisi di sini?" Mata Benny nyalang buas."Maaf, Bos. Kami akan berangkat sekarang!"Tak ada lagi yang berani melawan Benny. Dia bak singa yang didesak wilayah kekuasaannya. Mengaum dan menggila. Matanya nyalang siap menghabisi lawannya.Di ruangan itu masih tersisa Erlan dan Biantara."Jika kalian tidak mau kalah, maka hanguskan musuh. Jangan sampai ada musuh yang tersisa. Kita harus jadi raja di raja. Jangan sampai ada yang berani setara pada kita!" bentak Benny.Erlan meremas tangannya. Dia malah terbesit wajah David. Semua kata-kata David terngiang jelas. "Tuan, saya tidak tahu lagi harus bagaimana." Ada rasa jenuh dan sesal kala ini. Dia tak menyangka jika harus melangkah sejauh itu. Apa bisa
Ambulance langsung membawa Felisha ke rumah sakit. Wanita itu mengalami pendarahan hebat. Dulu, dia bertingkah seperti apa pun kandungannya baik-baik saja. Bahkan dia mencoba makan banyak pantangan orang hamil muda, tetap saja kandungan itu bertahan. Di saat Felisha mulai menerima dan merasa hanya anak yang dikandungnya satu-satunya harta dan masa depannya, anak itu malah merajuk.Dokter langsung melakukan tindakan. Felisha dimasukkan ke ruang operasi karena keadaan sangat darurat. Namun, tindakan dokter tak bisa menyelamatkan janin itu.---Di tempat lain."Beres, Bos. Bayi itu tidak akan menjadi masalah Anda di kemudian hari. Sekarang wanita itu belum sadar karena kondisinya terlalu lemah." Seorang pria menghubungi atasnya. Ya, atasannya adalah orang yang sangat takut dengan tingkah gila Felisha jika suatu hari nanti anak itu akan jadi senjata ancamannya.Biantara. Dia sangat paham dengan polah tingkah seorang Felisha dan bergerak cepat di awal.****"Kami tidak mau punya pimpinan c
Tak hanya raga. Hati ini luruh tak mampu menopang beratnya rasa. Bagaimana bisa dia melalui hal seberat itu sendirian? Bagaimana bisa aku marah saat dia berdiri saja tak mampu? "Sean ...." Emily terisak di pangkuan Sean."Emily sayang ...." Sean mengusap rambut istrinya dengan derai air mata. Pria kekar itu sesegukan hingga dadanya bergetar.Pelan Sean mendongakkan wajah Emily agar menatapnya. Lalu, dia seka air mata yang telah berani melinang di pipi kesayangannya itu."Sean ...." Emily menggeleng menatap wajah yang sangat dirindukannya."Tadi, aku baik-baik saja dan sekarang saat melihatmu, aku seperti sudah ingin pulang. Aku tak merasakan sakit sedikit pun."Emily sedikit mengangkat tubuhnya dan memeluk Sean. "Aku membencimu, Sayang. Sangat membencimu. Dosa apa aku sampai tidak tahu kalau suamiku menderita."Sean memeluk erat, sangat erat. "Aku memang harus menebus dosa. Aku tahu pantas untuk mendapat perhatianmu karena dulu aku-""Ssssttttt .... Karena aku mencintaimu."Hah! Sean
Tidak mungkin Sean merahasiakan semuanya dariku? Apa maksudnya? Apa aku tidak berhak tahu atau dia tak ingin aku khawatir? Emily memegang tembok agar tak luruh di lantai."David ...." Emily memegang dadanya dengan derai air mata.David cepat meraih tubuh Emily. "Aku akan membawamu ke atas. Nanti kuceritakan padamu. Tenang, jangan sampai Axel tahu."David mengangkat tubuh Emily dan membawa ke kamar, tanpa sepengetahuan Axel dan Dayana."Pelan-pelan. Tenangkan dirimu. Jangan lupa kamu sedang mengandung anak Sean saat ini." David meletakkan pelan Emily di atas ranjang.Emily menggeser pelan tubuhnya dan bersandar di headboard. Dia menyeka air matanya. Nafasnya sesak terisak.David duduk di sisi ranjang. Dia merangkup wajahnya seraya menghela nafas. "Maafkan aku, Emily."Emily menggeleng sambil tersedu. "Jangan suruh memaafkanmu sebelum aku tahu soal Sean. Vid, aku istrinya. Kenapa aku harus dilarang mengetahui soal keadaannya? Apa salahku?" Tangis wanita itu pecah.David mendecih sesal.
Di rumah sakit. Sean duduk dengan kepala bersandar. Dua tangannya terpaut di depan. Sebenarnya dia ingin mendekatkan wajahnya pada layar, tapi ...."Ingat, stay cool. Jangan sampai anakmu yang pintar dan sok tahu itu curiga. Tersenyum manis dan bicara seperlunya.""Aku tahu, Cerewet!" kesal Sean."Tuan sudah paham semuanya, Bawel!" Dario menajamkan sorot matanya pada Blade."Aku akan tekan tombol panggil. Kamu menyingkir dulu. Nanti muncul kalau Sean memberi kode!" Blade menggerakkan jari pada Dario, lalu mundur setelah panggilan itu tersambung.Sean meremas kepalan tangannya yang berkeringat. Jantungnya berdetak kian kencang. "Huuuufffff ...." Dia terus menghembus nafasnya panjang."Papa!" Layar itu mulai jelas tampak wajah Axel dan .... Emily di belakangnya. Mereka berdua duduk di atas brankar.Sean sebentar mendongak agar matanya bisa dikondisikan."Papa!" Kini wajah mereka jelas di layar masing-masing."Sayang .... Maaf, papa terlalu banyak urusan." Sean tersenyum lebar. Dia mena
Entah rasa apa yang harus diungkapkan. Air mata Dayana tak mau dibendung. Tanpa isakan."Sayang, .... Emily ...." Dayana memeluk David."Hah! Aku nggak nyangka akan datang berita seperti ini di tengah kepelikan mereka." David sedikit mendongak membuang nafas dari mulutnya.Sebuah kabar gembira dan seharusnya Sean yang duduk di depan sang dokter menjadi orang pertama yang mendengar kabar itu."Selamat, pasien Nyonya Emily positif hamil. Kondisi kehamilan masih sangat rentan karena baru memasuki trimester pertama. Jangan sampai kelelahan dan stress, agar tidak berdampak buruk pada kandungannya," jelas dokter."Jangan sampai ada yang tahu selain kami. Rahasiakan dari semuanya."---Di kamar rawat Emily."Aku akan mengumpat Om Blade. Aku yakin papa dilarang menggunakan ponsel olehnya. Oh tidak, bisa jadi Om Dario juga ikutan!" Axel sedang mencari sugesti baru untuk pikirannya agar kata-kata Erlan bisa lenyap semuanya.Emily tersenyum kaku. Anaknya saja bisa merasakan hal janggal, apalagi d
Emily duduk tegang. Di sisinya ada Axel memegang tangannya. Keduanya sama saling menguatkan dan berharap apa yang ada dalam dugaannya itu salah. "Ma, apa papa yang akan bicara? Kenapa belum ada suaranya sama sekali?" Anak itu menekan rahangnya. Gugup dan takut. Kata-kata Erlan berhasil membuat tekanan berat pada pikirannya.Emily berkedip beberapa kali dan mengambil nafas dalam-dalam. "Kita tunggu sebentar lagi. Pasti papa. Papa nggak akan ingkar janji." "Kenapa bukan panggilan video, Sayang. Seharusnya kita bisa sekalian lihat wajah Sean," protes Dayana."Benar yang dikatakan, Tante. Aku mau lihat wajah papa.""Ssssttttt ...." David meletakkan jari di depan bibirnya. Dia tak tahu lagi bagaimana cara mengelak permintaan mereka."Axel .... Emily ...." Suara Sean terdengar datar."Papa!" teriak Axel dengan mata lebar.Emily menghentak nafasnya sambil memegang dada. Akhirnya ... dia sangat lega mendengar suara Sean. 'Sean ...,' batinnya."Papa! Aku mau lihat wajahmu. Kenapa harus ngump
"Mama!" teriak Axel. Dia berlari ke arah ibunya.Hati dan pikiran yang selama ini ditekan kecemasan dan ketakutan kini tumbang sudah. Dia pingsan."Kita bawa ke dokter, Axel!" seru Dayana.David datang. "Apa yang terjadi?""Sayang, dia pingsan begitu saja."David langsung mengangkat Emily.Mobil melaju ke rumah sakit. Selang beberapa saat."Bagaimana keadaannya, Dok?""Kondisi lemah dan tekanan pikiran berat bisa jadi penyebab pasien pingsan. Tidak ada hal serius yang perlu dikhawatirkan."Emily kini dialihkan ke ruang rawat."Om, kapan mama akan bangun?" Axel terus menangis tanpa isakan di sisi brankar."Segera. Mamamu hanya kelelahan." David menepuk pelan punggung Axel."Papa, aku mau dengar soal papa, Om.""Axel, nanti kita bahas setelah mamamu baikan. Yakinlah kalau papamu baik-baik saja. Dan Om Erlan memang nggak suka i papamu. Dia pasti sengaja mengumbar hoax!" Dayana mengangguk.Axel mendesah berat. "Semoga benar yang dikatakan Tante.""Pasti benar!""Om akan keluar sebentar."