"Di mana aku duduk, Emily?" Sean berharap bisa di sisi istrinya. Seperti dulu.Emily berkedip beberapa kali menatap depan. Dia melirik kursi kosong yang agak jauh darinya. Dulu, dia pasti akan duduk di sisi Sean ... dulu saat Sean menabur madu."Nggak lihat kalau kursi cuma sisa satu? Itu kursi David, beruntung dia nggak ada di sini," ketus Dayana.Kursi itu sebelah Dayana dan tidak sesuai keinginan Sean. Namun, tidak mungkin dia mau banyak minta. Dalam meja kotak ukuran sedang. Emily duduk di depan Dayana dan Sean di depan Axel, sebelah Dayana."Ma, kenapa hanya ada makanan seperti ini?" heran Axel tidak seperti biasanya.Sean juga mengerutkan dahi. Hanya ada sepiring nasi goreng dan roti selai beberapa helai."Karena beberapa hari ini ada pengacau, jadi Mamamu dan tante belum sempat pergi berbelanja. Kita makan seadanya." Dayana berkata sambil melirik Sean."Hanya ada segini dan ada orang numpang sarapan. Apa aku bisa kenyang? Bagaimana jika Mama kurang tenaga?" Axel menaikkan dua
Dalam lajuan mobil. Sean dan Emily duduk di kursi belakang. Emily sengaja duduk memojok sampai pembatas pintu.Sedang Sean duduk melebarkan kaki agar memperpendek jarak dengan istrinya."Bisakah lebih cepat!" seru Emily tanpa menoleh. Karena dia tahu jika Sean terus menatapnya. Wajahnya sudah memerah. Cemas, gelisah, takut, semua bercampur. Wanita itu meremas bajunya.Dario, asisten setia. Dia sengaja melambatkan lajuan. Emily adalah bos. Jelas tidak masalah datang terlambat.Sean tersenyum lebar. Tidak ada Axel, kali ini dia bisa bergerak lebih luas."Kamu tidak mau menghadap ke sini, Emily? Enam tahun tidak bertemu, bisa saja wajahku berbeda jauh," goda Sean."Bicaralah, apa saja yang belum kamu katakan. Semuanya! Jangan sampai ada sisa. Setelah itu aku tidak mau mendengar apa pun lagi." Emily berkata tanpa menoleh."Aku sudah tidak ada hubungan apa pun dengan Felisha. Kami-""Bicara yang lain. Aku tidak tertarik dengan hal itu!"Sean menarik nafas. "Saat kamu dikabarkan pergi wakt
"Bisakah kamu bersikap jantan? Maaf, saat ini kita bertemu bukan atas nama bisnis. Jadi tidak ada penghormatan untuk pria sepertimu!" kesal Erlan.Sean dan Erlan duduk di kursi khusus pengunjung. Emily dan Dayana malas mengurus keduanya."Kamu lihat, Sean dengan percaya diri menunjukkan kesombongannya di wilayah orang. Dasar tuan angkuh!" Dayana menatap geram."Biarkan saja. Asal Sean tidak membuat masalah saja aku sudah tenang." Emily berbalik dan masuk ke ruangannya.Sean hanya diam tak menanggapi. Dia fokus pada layar ponsel membaca banyak laporan. Bibirnya tersenyum tipis, seolah sedang menunggu detik-detik menegangkan."Apa kamu tidak dengar? Heh! Sangat lucu, sudah jelas kekuasaanmu tak berguna di depan Emily. Kenapa masih berlagak pongah!" Erlan tersenyum sinis."Tidak berguna katamu? Hem ... kita buktikan saja sebentar lagi!" Sean menoleh sebentar dengan menajamkan sorot matanya.Tidak sampai hitungan puluhan menit. Ponsel Erlan berbunyi, sang ayah memanggil. Dia langsung meng
"Itu mereka. Bos bilang jangan sampai mereka mati. Tapi harus sekarat." Sebuah mobil melaju kencang menyalip mobil para pengawal bayangan Sean di sekitar Emily.Mobil itu berhenti mendadak di depan mobil Emily."Mama!" teriak Axel.Emily membanting stir dan menabrak pohon."Axel!" Emily merentangkan tangannya di depan kepala Axel. Dia cepat menginjak rem sangat kuat.Mobil Emily seketika ringset dan asap mengepul di bagian depan. Dua nyawa belum jelas keadaannya. Darah mengalir begitu saja melumuri wajah Axel dan Emily.Mobil yang membuat provokasi langsung melesat cepat dan dalam pengejaran anak buah Sean."Sayang! Axel, Emily!" teriak Sean meraung. Dia membuka kuat pintu mobil Emily.Matanya berkaca bertumpuk cairan. Dia bergetar mengangkat tubuh Emily yang berlumur darah. Wanita itu lemas tak berdaya.Hati Sean bagai disayat pedang tajam melihat Axel yang diangkat Dario. Dia semakin bergetar menatap tubuh mungil itu.Mobil melaju."Cepat!" teriak Sean pada anak buahnya yang memegan
"Sean, kamu benar-benar gila!" seru Dayana geram. Dia maju dan ingin menarik Sean.Akan tetapi, wanita dengan pakaian perawat itu mengambil suntikan dari kantong depannya dan siap menancapkan ke tangan Axel.Dayana langsung maju dan ingin menahan wanita itu. Dia menarik bahu wanita itu. "Jangan berani kamu!"Wanita itu langsung memutar tangan Dayana dan mendorong kuat."Akh! Axel, Sean!" teriak Dayana.Sedang Sean yang masih berkelahi dengan pria itu menatap nyalang. Dia hempas pria itu sampai terbentur tembok."Argh!" teriak pria itu.Lalu, cepat Sean melompat dan menarik wanita itu."Cari mati, Kalian!" teriak Sean. Dia menghempas keras wanita itu hingga tersungkur di lantai."Akh!" jerit wanita itu.Pria yang tersungkur sudah bangun dan langsung menyerang Sean kembali."Yaakk!" Pria itu melayangkan pukulan.Set. Set. Sean dapat menghindarinya."Brengsek!" Sean menangkis tangan pria itu dan memutarnya. Lalu, dia injak satu kakinya."Argh!" jerit pria itu.Dario dan beberapa anak bu
"Axel!" Sean gusar. Dia tak tahu harus bagaimana.Bayangan saat sebuah mobil melesat cepat di depan dan mobilnya menabrak pohon terulas jelas. Mata Axel membelalak, nafasnya tersengal berat dan kejang-kejang. "Mama!""Axel!" Dayana ingin menyentuh Axel, tapi ditepis Sean."Sayang, tenang, Axel. Papa di sini. Tidak ada yang akan menyakiti kalian lagi." Sean membungkuk dan memeluk anaknya. Dia ketakutan melihat anaknya.Dokter dan perawat datang."Sebaiknya Anda semua keluar. Dokter akan melakukan pemeriksaan," ucap salah satu perawat.David menarik Dayana agar keluar, tapi wanita itu ragu dan teringat kejadian kemarin."Aku tidak akan keluar. Kalian periksa dan aku akan mengawasi!" tegas Sean. Dia takut kejadian kemarin terulang lagi."Kita keluar, Sean sudah ada di sini." Kini Dayana mengajak David keluar.Sean menatap jeli pada setiap gerakan dokter. Mereka memberikan suntikan dan Axel kembali tenang."Kenapa anakku seperti itu?" Sean menatap tajam sang dokter.Dokter itu menelan sal
Danaya duduk bersandar di bahu David. "Lihat, dia sangat aneh," bisik Dayana melihat Sean."Memang aneh, dan harus aku pastikan!" David menatap tajam sikap Sean. Dia mulai ragu soal keyakinannya selama ini."Memastikan apa lagi?" bingung Dayana."Nanti kamu akan tahu."Sean duduk di sisi brankar Emily. Dia tersenyum tipis melihat istrinya tampak tenang. Pria itu mengecup kening Emily pelan, lalu menarik selimut sampai dada."Hish, jaga sikapmu! Emily akan marah kamu mencuri kecupan keningnya," seru Dayana."Kenapa masih ada wanita bodoh?" Sean beralih ke sisi brankar Axel."Jangan pencitraan! Aku nggak akan terharu dengan semua sikap anehmu." Dayana mendesis.Sean juga mengecup kening anaknya. Mengusap kepala Axel pelan. "Hey, Tampan. Aku sudah merindukan omelanmu. Kapan kamu mau memarahiku lagi?" Sean menarik selimut Axel."Kami nggak akan pergi selama kamu masih di sini. Dan akan terus mengawasimu, Pria aneh. Aku pastikan akan membuka topengmu nanti. Dasar, bermuka dua!" ketus Daya
"Di mana pun orang sakit harus berbaring sampai sembuh! Kenapa ada pasien yang keras kepala?" Sean mengangkat Emily pelan. Dia menatap depan menghindari tatapan Emily.Emily terdiam. Dengan sisa kekuatan otaknya, dia mencerna situasi itu. Terasa janggal. Aroma itu, mirip yang tadi dia hirup.Dayana sigap membawa botol infus. Dia berdiri di sekitar Emily tanpa protes akan aksi Sean. Sedang David memberi jalan.Sean membawa Emily di sisi brankar Axel, dia dudukan pelan. "Dia baik-baik saja.""Aku bisa jalan sendiri, nggak perlu mengangkatku!" lirih Emily, dia kesal. Namun, entah kesal karena apa. Hanya gumpalan kecewa.Emily mengusap wajah Axel. "Sayang, maafkan mama. Karena mama kamu jadi seperti ini." Wanita itu kembali menangis."Kamu tidak salah dan dia baik-baik saja!" Sean yang menyahut, dia tidak mau Emily terpuruk menyalahkan diri."Dari mana kamu tahu dia baik-baik saja. Sedang kamu baru saja datang?" Emily mengecup tangan kecil itu. Dia menggeram pada respon Sean yang lamban d