"Blade? Kenapa bisa ada di pihak musuh?" Mata Sean nanar. Pria yang disebut Dario adalah teman dekatnya. Hanya saja sudah lama tidak bertemu."Saya juga tercengang, Tuan. Dan apa rencana Anda?" Sean menarik nafas sambil meremas rambutnya. "Pasti ada sesuatu yang tidak beres. Tidak mungkin dia tidak mengenali targetnya. Apa yang terjadi padanya?""Anda sudah beberapa tahun tidak berjumpa. Banyak hal yang terjadi dan telah berubah. Bisa saja Blade yang Anda kenal dulu dan yang sekarang itu berbeda."Brama menghentak nafasnya. "Orang yang ada di baliknya pasti sangat memahamiku. Hingga memanfaatkan orang-orang di sekitarku untuk menyerang.""Dari penelusuran anak buah kita, Blade sering berkunjung ke tempat bermain golf dan tempat itu adalah milik Benny. Orang yang selama ini selalu kalah satu langkah dengan Anda.""Aku paham sekarang. Suruh mereka mengawasi Benny dan Blade. Kita harus membuat rencana sempurna untuk mengakhiri mereka. Juga memastikan bagaimana Blade bisa terperangkap di
"Emily. Aku datang." Erlan tersenyum dan hendak maju."Jaga batasanmu! Dan enyahlah!" Sean mencekal dan meremas tangan Erlan. Dia mendorong Erlan kuat agar keluar dari ruangan itu. Pria itu tak akan memberi celah sedikit pun pada Erlan."Maaf, aku tidak akan mundur. Emily istrimu, tapi dia tidak menganggapmu suaminya. Jadi, jangan terlalu percaya diri dulu. Dia harus mendapat kebahagiaan. Dan itu tidak ada datang darimu, Tuan Geraldo!" Erlan tak mau segan lagi. Dia berusaha bertahan di sana."Sean! Dia datang untuk Emily. Sebaiknya kamu tanya Emily dulu jika mau mengusir Erlan." David berdiri di sisi Erlan dan menepis tangan Sean."Mama!" teriak Axel memecah keributan.Sean menghempas pegangannya. "Kita lihat saja nanti. Kuman sepertimu tidak akan bertahan lama!" Pria itu cepat ke brankar Axel saat melihat anaknya ingin turun menghampiri ibunya.Emily juga sudah siap turun menjemput anaknya."Hish. Apa yang kalian lakukan?! Jika seperti itu, kapan akan membaik?" Sean menahan Emily aga
"Jika kamu memang tidak suka. Boleh dibuang. Papa tidak menerima pengembalian barang." Sean menatap lembut Axel sambil mengangguk."Orang kaya mudah sekali buang barang. Dia nggak pernah menghargai nilai barang itu bagi orang lain," ucap Axel.Sean mengangkat bahunya. "Barang itu sudah papa berikan padamu. Jika dibuang berarti kamu yang membuangnya.""Licik!" kesal Axel. Matanya membulat.Sean tidak menjawab, dia mengambil dua kotak bubur yang Dario bawa."Kamu makan, Emily. Biar aku yang suapi Axel." Sean menyodorkan kotak di pangkuan Emily.Emily menatap dua kotak itu, lalu sebentar melirik raut wajah Sean. Perlakuan itu menyentuh hatinya, tapi Emily tepis sekuatnya.Sedang Axel menelan ludah menatap kotak itu. Dia lapar. Malas makan menu rumah sakit dan punya Erlan. Entah kenapa, Axel ingin makan makanan dari Sean."Hey, nggak lihat kalau di nakas ada jatah makan. Sok gaya mau perhatian. Dan sudah ada punya Erlan. Axel aja nggak mau!" seru Dayana. Dia memilih mundur menjadi penikmat
Memang sebuah keajaiban. Anak istrinya melewati kecelakaan dan hanya mendapat luka ringan. Namun, setelah melihat cara mobil musuh mengecoh. Sean semakin penasaran dengan tujuan musuh. Apa dia masih bisa dikatakan teman? "Kamu lacak alamat IP itu. Aku berharap sesuai dugaanku."****David duduk di sisi brankar Axel."Aku mau tetap di sini, Om. Misiku masih banyak. Aku semakin penasaran dengan pria aneh itu. Harus bertemu dengan kakekku dulu baru kembali ke perbatasan kota," bisik Axel."Hem, aku tahu. Om nggak usah bingung cari alasan membawamu kemari. Sekarang tinggal bagaimana caramu bertahan di kota ini. Mama dan Tante cantikmu pasti akan protes," bisik David."Dia nggak cantik, Om. Tapi cerewet! Mamaku baru cantik.""Terserah. Sepertinya hari ini kamu akan keluar rumah sakit. Om akan bantu semampunya.""Ok, dan satu lagi. Bagaimana soal tablet baru itu, apa pria itu menaruh program aneh, pelacak, atau hal bahaya lain?""Aman. Kamu bisa pakai. Dia pasti sedang berusaha menjadi aya
"Apa pun akan kulakukan untuk membawa orang tercintaku kembali!" Sean menatap sayu Emily."Ma, sepertinya kita nggak ada pilihan lain saat ini. Kita coba ikuti dia sambil menunggu Om David bergerak," bisik Axel.Emily mendesah berat. "Aku akan mengikuti ke mana saja kamu membawa mereka!" Dayana menatap tajam."Satu hal yang hampir terlupakan. Orang tuamu sudah mendapat kabar, jika anak kesayangan mereka yang jarang pulang kini ada di ibu kota. Mereka sedang menunggumu. Jangan membuat mereka terlalu lama menunggu." Sean berkata datar."Haish! Dasar manusia licik! Aku akan mencabik-cabikmu nanti. Orang tuaku nggak pernah protes saat aku bersama Emily. Pasti ada pria jahat yang meracuni pikiran mereka.""Bukan meracuni, tapi menyadarkan. Tidak baik seorang wanita berkeliaran terlalu lama jauh dari pengawasan orang tua. Bukankah aku sangat perhatian?" Sean tersenyum kecut.Axel membolakan mata melihat tingkah ayahnya."Terus saja berkilah. Alasan itu nggak bisa membuatku pergi dari sisi
Axel meremas kepalan tangan saat melihat kamarnya. Sesuai dengan apa yang dia inginkan selama ini. Ada meja komputer, peralatan game mahal. Game edukasi di sisi lain. Ranjang desain manly, bukan mobil atau yang lainnya seperti layaknya anak kecil. Ada rak lumayan tinggi baginya yang berisi jajaran buku tertata rapi. Hiasan dinding bukan gambar kartun."Apa Anda suka, Tuan muda Axel?""Hem. Lumayan juga seleranya.""Saya lega. Ini semua diatur dalam pengawasan Tuan Sean. Tuan sudah menyiapkan jauh hari untuk Tuan muda Axel."Axel tertegun. "Jika dia mengaku sebagai ayahku, lantas kemana kakek nenekku? Kenapa nggak ada yang datang dan mengaku sebagai mereka? Kebenaran semakin diragukan!""Anda salah, Tuan muda Axel. Tuan Sean hanya belum mengatur waktu yang tepat. Tuan dan Nyonya besar pasti sangat senang jika bertemu dengan Anda.""Kita buktikan saja nanti." Axel menaikkan dua bahunya."Silahkan Anda istirahat.""Ehm, apa ini rumah yang dulu Mamaku tempati?" Dario tersenyum tipis. Tan
Kamar kita? Emily gusar melihat ekspresi Sean yang menatapnya dengan senyuman."Ini kamar kita yang sudah aku siapkan sejak lama. Lihat, foto pernikahan kita! Aku pajang dengan bingkai indah. Kalau aku lihat .... Kamu semakin cantik, Emily." Sean menatap foto dan Emily secara bergantian.Emily memalingkan wajah. Dia menyembunyikan desiran rasa. "Sudah malam. Aku mau tidur sendiri. Di tempat ini pasti banyak kamar. Antarkan aku ke kamar tamu saja. Kamar ini bisa kamu pakai."Sean kecewa, tapi dia tersenyum. Pria itu berdiri di depan Emily. "Tidurlah. Aku hanya akan menjagamu di dekat sini.""Dekat?" tanya Emily. Sedekat apa yang dimaksud Sean.Sean menoleh pada sofa panjang. "Sedekat sana." Menunjuk dengan sorot mata. Mata Emily membelalak. "Aku bisa tidur dengan Axel." Wanita itu masih menolak. Hatinya gelisah dengan campuran rasa. Namun, ada besitan rasa senang atas sikap Sean."Aku sudah mengunci kamar ini. Tidurlah, sebelum aku mengikis jarak dekat kita malam ini." Sean menaikkan a
Sean tidak menunggu di depan ruang rawat. Pria itu ada di ruang khusus yang sudah disiapkan anak buahnya. "Benny menyerang sejak Tuan besar menduduki kursi kepemimpinan. Hanya saja, tindakannya belum se-agresif sekarang. Saat ini, dia terus menyelidiki soal Anda dan orang terdekat."Sean memilih membahas masalah pekerjaan dari pada berdiri di depan ruang itu."Yang aku tidak suka. Dia menyerang orang sekitarku. Ingin membuatku hidup tanpa ketenangan dengan memercikkan api antara aku dan Emily.""Perusahaan nona Dayana sudah stabil. Semua berjalan lancar sesuai perkiraan Anda. Hanya saja ... sepertinya kedekatan nyonya dan sahabatnya akan lebih sulit. Keluarga nona Dayana menyambut dingin pada nyonya."Sean menghela nafas. "Biarkan saja. Itu akanlebih baik untuk mereka saat ini.""Kerja sama kita dengan perusahaan Tuan David juga terjalin dengan baik. Ehm ... kenapa tidak mengatakan jika Andalah pemegang saham dominan perusahaan itu? Tuan David pasti akan berubah pikiran soal Anda. Dan
"Sean! Bangun, Sean!""Akhh! Perutku sakit sekali ....""Sayang ....""Mama! Papa ...."Gaduh suara roda brankar membuat ngilu. Tiga pasien kini masuk dalam ruang tindakan. Dua pasien yang duduk di kursi depan telah ditutup kain putih."Apa yang terjadi pada anakku?!" Evan memegang dadanya."Pa, tenang. Jangan sampai papa lemah. Anak dan cucu kita pasti akan baik-baik saja!" Martha memegang dua bahu Evan dari belakang.Evan tak mampu lagi menopang raga. Dia lemas dalam dekapan sang istri."Panggil dokter!" teriak Martha.Tangisan pecah. Bahkan Blade gemetar melihat darah di dua tangannya. Kepalanya terus menggeleng. "Tidak! Tidak mungkin!"Dario diam mematung menatap pintu ruang tindakan. Hanya air mata tanpa isakan yang bisa mengungkap betapa takutnya dia sekarang.Rumah sakit itu seketika jadi perbincangan panas publik. Apalagi yang sedang sekarat adalah satu keluarga pengusaha hebat dan pemilik restoran yang terbakar."Tolong jangan berhenti dan lemah. Kumohon kita harus tetap kuat
"Hancurkan dia! Beraninya mengusik bisnis yang sudah aku jalankan bertahun-tahun. Dia memang cari mati. Aku mau besok dengar kabar kalau semua keluarga Geraldo lenyap!" teriak Benny."Tapi, Bos-"Bugh! Kepalan kuat membuat satu anak buah tersungkur dengan bibir berdarah."Ada yang ingin aku habisi di sini?" Mata Benny nyalang buas."Maaf, Bos. Kami akan berangkat sekarang!"Tak ada lagi yang berani melawan Benny. Dia bak singa yang didesak wilayah kekuasaannya. Mengaum dan menggila. Matanya nyalang siap menghabisi lawannya.Di ruangan itu masih tersisa Erlan dan Biantara."Jika kalian tidak mau kalah, maka hanguskan musuh. Jangan sampai ada musuh yang tersisa. Kita harus jadi raja di raja. Jangan sampai ada yang berani setara pada kita!" bentak Benny.Erlan meremas tangannya. Dia malah terbesit wajah David. Semua kata-kata David terngiang jelas. "Tuan, saya tidak tahu lagi harus bagaimana." Ada rasa jenuh dan sesal kala ini. Dia tak menyangka jika harus melangkah sejauh itu. Apa bisa
Ambulance langsung membawa Felisha ke rumah sakit. Wanita itu mengalami pendarahan hebat. Dulu, dia bertingkah seperti apa pun kandungannya baik-baik saja. Bahkan dia mencoba makan banyak pantangan orang hamil muda, tetap saja kandungan itu bertahan. Di saat Felisha mulai menerima dan merasa hanya anak yang dikandungnya satu-satunya harta dan masa depannya, anak itu malah merajuk.Dokter langsung melakukan tindakan. Felisha dimasukkan ke ruang operasi karena keadaan sangat darurat. Namun, tindakan dokter tak bisa menyelamatkan janin itu.---Di tempat lain."Beres, Bos. Bayi itu tidak akan menjadi masalah Anda di kemudian hari. Sekarang wanita itu belum sadar karena kondisinya terlalu lemah." Seorang pria menghubungi atasnya. Ya, atasannya adalah orang yang sangat takut dengan tingkah gila Felisha jika suatu hari nanti anak itu akan jadi senjata ancamannya.Biantara. Dia sangat paham dengan polah tingkah seorang Felisha dan bergerak cepat di awal.****"Kami tidak mau punya pimpinan c
Tak hanya raga. Hati ini luruh tak mampu menopang beratnya rasa. Bagaimana bisa dia melalui hal seberat itu sendirian? Bagaimana bisa aku marah saat dia berdiri saja tak mampu? "Sean ...." Emily terisak di pangkuan Sean."Emily sayang ...." Sean mengusap rambut istrinya dengan derai air mata. Pria kekar itu sesegukan hingga dadanya bergetar.Pelan Sean mendongakkan wajah Emily agar menatapnya. Lalu, dia seka air mata yang telah berani melinang di pipi kesayangannya itu."Sean ...." Emily menggeleng menatap wajah yang sangat dirindukannya."Tadi, aku baik-baik saja dan sekarang saat melihatmu, aku seperti sudah ingin pulang. Aku tak merasakan sakit sedikit pun."Emily sedikit mengangkat tubuhnya dan memeluk Sean. "Aku membencimu, Sayang. Sangat membencimu. Dosa apa aku sampai tidak tahu kalau suamiku menderita."Sean memeluk erat, sangat erat. "Aku memang harus menebus dosa. Aku tahu pantas untuk mendapat perhatianmu karena dulu aku-""Ssssttttt .... Karena aku mencintaimu."Hah! Sean
Tidak mungkin Sean merahasiakan semuanya dariku? Apa maksudnya? Apa aku tidak berhak tahu atau dia tak ingin aku khawatir? Emily memegang tembok agar tak luruh di lantai."David ...." Emily memegang dadanya dengan derai air mata.David cepat meraih tubuh Emily. "Aku akan membawamu ke atas. Nanti kuceritakan padamu. Tenang, jangan sampai Axel tahu."David mengangkat tubuh Emily dan membawa ke kamar, tanpa sepengetahuan Axel dan Dayana."Pelan-pelan. Tenangkan dirimu. Jangan lupa kamu sedang mengandung anak Sean saat ini." David meletakkan pelan Emily di atas ranjang.Emily menggeser pelan tubuhnya dan bersandar di headboard. Dia menyeka air matanya. Nafasnya sesak terisak.David duduk di sisi ranjang. Dia merangkup wajahnya seraya menghela nafas. "Maafkan aku, Emily."Emily menggeleng sambil tersedu. "Jangan suruh memaafkanmu sebelum aku tahu soal Sean. Vid, aku istrinya. Kenapa aku harus dilarang mengetahui soal keadaannya? Apa salahku?" Tangis wanita itu pecah.David mendecih sesal.
Di rumah sakit. Sean duduk dengan kepala bersandar. Dua tangannya terpaut di depan. Sebenarnya dia ingin mendekatkan wajahnya pada layar, tapi ...."Ingat, stay cool. Jangan sampai anakmu yang pintar dan sok tahu itu curiga. Tersenyum manis dan bicara seperlunya.""Aku tahu, Cerewet!" kesal Sean."Tuan sudah paham semuanya, Bawel!" Dario menajamkan sorot matanya pada Blade."Aku akan tekan tombol panggil. Kamu menyingkir dulu. Nanti muncul kalau Sean memberi kode!" Blade menggerakkan jari pada Dario, lalu mundur setelah panggilan itu tersambung.Sean meremas kepalan tangannya yang berkeringat. Jantungnya berdetak kian kencang. "Huuuufffff ...." Dia terus menghembus nafasnya panjang."Papa!" Layar itu mulai jelas tampak wajah Axel dan .... Emily di belakangnya. Mereka berdua duduk di atas brankar.Sean sebentar mendongak agar matanya bisa dikondisikan."Papa!" Kini wajah mereka jelas di layar masing-masing."Sayang .... Maaf, papa terlalu banyak urusan." Sean tersenyum lebar. Dia mena
Entah rasa apa yang harus diungkapkan. Air mata Dayana tak mau dibendung. Tanpa isakan."Sayang, .... Emily ...." Dayana memeluk David."Hah! Aku nggak nyangka akan datang berita seperti ini di tengah kepelikan mereka." David sedikit mendongak membuang nafas dari mulutnya.Sebuah kabar gembira dan seharusnya Sean yang duduk di depan sang dokter menjadi orang pertama yang mendengar kabar itu."Selamat, pasien Nyonya Emily positif hamil. Kondisi kehamilan masih sangat rentan karena baru memasuki trimester pertama. Jangan sampai kelelahan dan stress, agar tidak berdampak buruk pada kandungannya," jelas dokter."Jangan sampai ada yang tahu selain kami. Rahasiakan dari semuanya."---Di kamar rawat Emily."Aku akan mengumpat Om Blade. Aku yakin papa dilarang menggunakan ponsel olehnya. Oh tidak, bisa jadi Om Dario juga ikutan!" Axel sedang mencari sugesti baru untuk pikirannya agar kata-kata Erlan bisa lenyap semuanya.Emily tersenyum kaku. Anaknya saja bisa merasakan hal janggal, apalagi d
Emily duduk tegang. Di sisinya ada Axel memegang tangannya. Keduanya sama saling menguatkan dan berharap apa yang ada dalam dugaannya itu salah. "Ma, apa papa yang akan bicara? Kenapa belum ada suaranya sama sekali?" Anak itu menekan rahangnya. Gugup dan takut. Kata-kata Erlan berhasil membuat tekanan berat pada pikirannya.Emily berkedip beberapa kali dan mengambil nafas dalam-dalam. "Kita tunggu sebentar lagi. Pasti papa. Papa nggak akan ingkar janji." "Kenapa bukan panggilan video, Sayang. Seharusnya kita bisa sekalian lihat wajah Sean," protes Dayana."Benar yang dikatakan, Tante. Aku mau lihat wajah papa.""Ssssttttt ...." David meletakkan jari di depan bibirnya. Dia tak tahu lagi bagaimana cara mengelak permintaan mereka."Axel .... Emily ...." Suara Sean terdengar datar."Papa!" teriak Axel dengan mata lebar.Emily menghentak nafasnya sambil memegang dada. Akhirnya ... dia sangat lega mendengar suara Sean. 'Sean ...,' batinnya."Papa! Aku mau lihat wajahmu. Kenapa harus ngump
"Mama!" teriak Axel. Dia berlari ke arah ibunya.Hati dan pikiran yang selama ini ditekan kecemasan dan ketakutan kini tumbang sudah. Dia pingsan."Kita bawa ke dokter, Axel!" seru Dayana.David datang. "Apa yang terjadi?""Sayang, dia pingsan begitu saja."David langsung mengangkat Emily.Mobil melaju ke rumah sakit. Selang beberapa saat."Bagaimana keadaannya, Dok?""Kondisi lemah dan tekanan pikiran berat bisa jadi penyebab pasien pingsan. Tidak ada hal serius yang perlu dikhawatirkan."Emily kini dialihkan ke ruang rawat."Om, kapan mama akan bangun?" Axel terus menangis tanpa isakan di sisi brankar."Segera. Mamamu hanya kelelahan." David menepuk pelan punggung Axel."Papa, aku mau dengar soal papa, Om.""Axel, nanti kita bahas setelah mamamu baikan. Yakinlah kalau papamu baik-baik saja. Dan Om Erlan memang nggak suka i papamu. Dia pasti sengaja mengumbar hoax!" Dayana mengangguk.Axel mendesah berat. "Semoga benar yang dikatakan Tante.""Pasti benar!""Om akan keluar sebentar."