Kamar kita? Emily gusar melihat ekspresi Sean yang menatapnya dengan senyuman."Ini kamar kita yang sudah aku siapkan sejak lama. Lihat, foto pernikahan kita! Aku pajang dengan bingkai indah. Kalau aku lihat .... Kamu semakin cantik, Emily." Sean menatap foto dan Emily secara bergantian.Emily memalingkan wajah. Dia menyembunyikan desiran rasa. "Sudah malam. Aku mau tidur sendiri. Di tempat ini pasti banyak kamar. Antarkan aku ke kamar tamu saja. Kamar ini bisa kamu pakai."Sean kecewa, tapi dia tersenyum. Pria itu berdiri di depan Emily. "Tidurlah. Aku hanya akan menjagamu di dekat sini.""Dekat?" tanya Emily. Sedekat apa yang dimaksud Sean.Sean menoleh pada sofa panjang. "Sedekat sana." Menunjuk dengan sorot mata. Mata Emily membelalak. "Aku bisa tidur dengan Axel." Wanita itu masih menolak. Hatinya gelisah dengan campuran rasa. Namun, ada besitan rasa senang atas sikap Sean."Aku sudah mengunci kamar ini. Tidurlah, sebelum aku mengikis jarak dekat kita malam ini." Sean menaikkan a
Sean tidak menunggu di depan ruang rawat. Pria itu ada di ruang khusus yang sudah disiapkan anak buahnya. "Benny menyerang sejak Tuan besar menduduki kursi kepemimpinan. Hanya saja, tindakannya belum se-agresif sekarang. Saat ini, dia terus menyelidiki soal Anda dan orang terdekat."Sean memilih membahas masalah pekerjaan dari pada berdiri di depan ruang itu."Yang aku tidak suka. Dia menyerang orang sekitarku. Ingin membuatku hidup tanpa ketenangan dengan memercikkan api antara aku dan Emily.""Perusahaan nona Dayana sudah stabil. Semua berjalan lancar sesuai perkiraan Anda. Hanya saja ... sepertinya kedekatan nyonya dan sahabatnya akan lebih sulit. Keluarga nona Dayana menyambut dingin pada nyonya."Sean menghela nafas. "Biarkan saja. Itu akanlebih baik untuk mereka saat ini.""Kerja sama kita dengan perusahaan Tuan David juga terjalin dengan baik. Ehm ... kenapa tidak mengatakan jika Andalah pemegang saham dominan perusahaan itu? Tuan David pasti akan berubah pikiran soal Anda. Dan
"Aaa ...!!" teriak Axel ketakutan. Dia memegang erat Sean dan Emily."Tuan!" teriak Dario. Dia hendak mendekat, tapi tidak ada waktu lagi. Pria itu membungkuk dengan melindungi bagian depan."Akh!!" Sean memekik jerit. Dia menekan rahang kuat. Sambaran api menyulut punggungnya."Argh!!" Serpihan mobil menyayat punggungnya. Seketika darah mengalir membasahi punggung panas itu."Sean!" pekik Emily, masih dalam dekapan Sean. Dia sesak. Ketakutan merambat cepat ke setiap lorong jiwanya. Pikirannya seolah terhenti terkena sentakan dentuman hebat. Dadanya makin sesak ... teriakan histeris hampir meledak .... Namun, dekapan Sean pelan mengurai ketakutan yang hampir membalutnya. Emily menghirup ketenangan dalam dekapan itu.Air mata wanita itu telah berderai. Emily memeluk punggung Axel sangat erat. Anak itu dalam pelukan dua lapis. Sean dan Emily.Dentuman besar terlewat. Kini api berkobar diterpa angin. Untung saja mereka ada di jalan agak sepi, jadi tidak ada korban lain. "Tuan! Anda baik
"Insting saya yakin jika itu dia. Hanya saja belum paham tujuannya. Apa dia mempertimbangkan hubungan baik dengan Anda di masa lalu? Jadi membuat pengecualian dalam penyerangan pada Anda."Sean mendesah berat. Blade! Dia belum bisa mengungkapkan teka-teki motif pria itu. "Apa dia menerima undangan makan malamku?""Tidak, Tuan. Dia menolak tegas. Tapi, anak buah kita yang nekat masuk ke sarang mereka keluar tanpa luka sedikit pun."Sean menautkan dua tangannya di depan. "Aku akan cari cara sendiri.""Tender itu hanya jebakan untuk kita. Benny dan pemilik proyek telah bekerja sama terlebih dahulu.""Sudah kuduga. Aku tidak peduli dengan tender rendahan seperti itu. Bagaimana soal anak buah kita yang jadi pecundang?"Dario menarik nafas dalam-dalam. "Maaf, Tuan. Saya sangat ceroboh. Mereka penyusup yang sangat terlatih. Hanya saja dimungkinkan bukan dalam kendali Blade.""Aku ingin ke markas sebentar!" Sean memikirkan Emily, tapi dia harus kembali setelah semua selesai.Dario mengganggu
Dua hati masih menyimpan rasa yang disemat kuat pada dinding hati terdalam. Magnet itu masih sangat kuat. Hanya saja, masih ada sekat kuat yang harus Sean robohkan."Emily ...." Pelan Sean memajukan wajahnya pada wajah Emily. Tatapannya semakin dalam pada pasang manik mata itu.Sekian jarak lagi ... sangat dekat. Nafas Sean sangat terasa menerpa wajah Emily. Wanita itu menggenggam tangan kuat. Dia menahan nafas sekian detik. Jantungnya berdegup kencang.Sean semakin mengikis jarak.Mata Emily kini membulat dengan getaran di dadanya. Hanya sekian inchi lagi. Wanita itu sangat gugup.Sean meremas sisi ranjang. Dia melihat reaksi Emily begitu tegang seolah ketakutan. Pria itu menahan diri."Tidurlah. Aku akan menjagamu sampai terlelap." Sean menarik wajahnya dan mendorong bahu Emily agar berbaring. Lalu, tersenyum lebar dan nekat mengecup kening istrinya.Emily terpaku, dia tak mampu bergerak. Kali ini dia menutup mata merasakan kecupan itu hingga dalam hatinya. Darahnya mendesir. Dia m
'Apa yang terjadi di dalam? Jangan sampai Axel terlalu dekat dengan Sean. Apa Sean sedang mendekati Axel dan ingin mengambilnya dariku? Tidak boleh. Aku belum bisa percaya pada kebaikan Sean!' Berbagai pikiran berkecamuk di benak Emily. 'Aku harus masuk. Aku takut Axel terjerat rayuan Sean!' Emily meremas tangannya.Wanita itu masuk setelah pintu dibuka salah satu bawahan."Axel, apa yang kamu lakukan di si-" seru Emily begitu saja saat masuk. Namun, seketika matanya membulat melihat apa yang sedang mereka lakukan.Sean tersenyum tipis. Dia yakin dua tercintanya akan peduli padanya."Ma! Untung Mama datang. Lihat, aku disuruh pria ini untuk mengganti perban. Bagaimana kalau aku salah menempel?" Axel sedang memegang perban anti air.Emily menatap Sean dan pria itu hanya tersenyum lebar."Di rumah ini ada perawat. Jangan mau dibodohi olehnya!" Emily kesal, dia menarik Axel dari sini Sean."Tapi-" ucap Axel tercekat. Anak itu cemas.Sean mendesah. "Aku tidak biasa dipegang wanita lain.
Axel merasa jika David juga semakin aneh. Sejak kemarin menyuruh untuk bersama Sean. Meski kurang sependapat, tapi anak itu sangat mempercayai apa yang David katakan.[Aneh, apa pria itu melakukan sesuatu pada Om. Menekan atau mengancam? Sampai Om sekarang percaya padanya?][Om hanya mengatakan hal paling benar saat ini. Kamu belum cukup mengerti masalah yang terjadi pada orang dewasa di sekitarmu. Tetap di sana dan ikuti saran Sean!]Axel mendesah. Mengikuti apa kata Sean? Axel lebih tertarik untuk berdebat.[Tablet yang dia berikan nggak aku pakai buat bertukar pesan. Aku yakin, benda pintar itu telah disadap.][Kamu cukup pintar untuk bertahan saat ini di sisi Sean. Ingat, jangan ceroboh! Sean nggak akan mudah kamu tembus.][Aku tahu. Tapi ingin segera tahu kebenaran itu. Pria itu semakin bersikap baik pada kami. Kemarin, dia bahkan berkorban besar untuk kami. Apa seperti itu termasuk orang jahat? Aku sangat ragu, Om. Bantu aku memikirkan sesuatu!][Tunggu saja. Sean akan segera me
Sean gusar dan takut. Dia menarik Felisha menjauh dari mobil itu.'Sean, inikah alasanmu buru-buru ingin pergi? Karena wanita itu sedang menunggumu? Dan membolehkan kami ikut? Kamu sengaja, ingin mempertegas situasi? Hah! Seperti biasa .... Kamu lembut dalam berkata dan bersikap, tapi kamu menyiapkan belati untuk menusuk hati kami!' batin Emily miris. Dadanya sesak. Dia menatap Sean dan wanita itu, hanya ada nyeri karena sayatan di hatinya.Axel mengepal kuat. 'Ini yang sengaja ingin kamu perlihatkan, Pria jahat?! Untung saja aku ikut pergi. Kamu nggak akan lagi bisa menyembunyikan kebusukan dari kami! Tunggu saja. Aku pastikan, kamu nggak akan bisa bersama wanita yang menyakiti Mamaku itu!'' geram Axel dalam hati."Axel, kita turun sebentar lagi." Emily belum siap membaur dengan masalah besarnya. Dan praduganya, luka masa lalu akan terkulik."Bagaimana kalau aku panggil taksi saja. Kita pergi ke tempat bermain. Atau bertemu om David dan tante cerewet?" Axel mengeluarkan tablet-nya."
"Sean! Bangun, Sean!""Akhh! Perutku sakit sekali ....""Sayang ....""Mama! Papa ...."Gaduh suara roda brankar membuat ngilu. Tiga pasien kini masuk dalam ruang tindakan. Dua pasien yang duduk di kursi depan telah ditutup kain putih."Apa yang terjadi pada anakku?!" Evan memegang dadanya."Pa, tenang. Jangan sampai papa lemah. Anak dan cucu kita pasti akan baik-baik saja!" Martha memegang dua bahu Evan dari belakang.Evan tak mampu lagi menopang raga. Dia lemas dalam dekapan sang istri."Panggil dokter!" teriak Martha.Tangisan pecah. Bahkan Blade gemetar melihat darah di dua tangannya. Kepalanya terus menggeleng. "Tidak! Tidak mungkin!"Dario diam mematung menatap pintu ruang tindakan. Hanya air mata tanpa isakan yang bisa mengungkap betapa takutnya dia sekarang.Rumah sakit itu seketika jadi perbincangan panas publik. Apalagi yang sedang sekarat adalah satu keluarga pengusaha hebat dan pemilik restoran yang terbakar."Tolong jangan berhenti dan lemah. Kumohon kita harus tetap kuat
"Hancurkan dia! Beraninya mengusik bisnis yang sudah aku jalankan bertahun-tahun. Dia memang cari mati. Aku mau besok dengar kabar kalau semua keluarga Geraldo lenyap!" teriak Benny."Tapi, Bos-"Bugh! Kepalan kuat membuat satu anak buah tersungkur dengan bibir berdarah."Ada yang ingin aku habisi di sini?" Mata Benny nyalang buas."Maaf, Bos. Kami akan berangkat sekarang!"Tak ada lagi yang berani melawan Benny. Dia bak singa yang didesak wilayah kekuasaannya. Mengaum dan menggila. Matanya nyalang siap menghabisi lawannya.Di ruangan itu masih tersisa Erlan dan Biantara."Jika kalian tidak mau kalah, maka hanguskan musuh. Jangan sampai ada musuh yang tersisa. Kita harus jadi raja di raja. Jangan sampai ada yang berani setara pada kita!" bentak Benny.Erlan meremas tangannya. Dia malah terbesit wajah David. Semua kata-kata David terngiang jelas. "Tuan, saya tidak tahu lagi harus bagaimana." Ada rasa jenuh dan sesal kala ini. Dia tak menyangka jika harus melangkah sejauh itu. Apa bisa
Ambulance langsung membawa Felisha ke rumah sakit. Wanita itu mengalami pendarahan hebat. Dulu, dia bertingkah seperti apa pun kandungannya baik-baik saja. Bahkan dia mencoba makan banyak pantangan orang hamil muda, tetap saja kandungan itu bertahan. Di saat Felisha mulai menerima dan merasa hanya anak yang dikandungnya satu-satunya harta dan masa depannya, anak itu malah merajuk.Dokter langsung melakukan tindakan. Felisha dimasukkan ke ruang operasi karena keadaan sangat darurat. Namun, tindakan dokter tak bisa menyelamatkan janin itu.---Di tempat lain."Beres, Bos. Bayi itu tidak akan menjadi masalah Anda di kemudian hari. Sekarang wanita itu belum sadar karena kondisinya terlalu lemah." Seorang pria menghubungi atasnya. Ya, atasannya adalah orang yang sangat takut dengan tingkah gila Felisha jika suatu hari nanti anak itu akan jadi senjata ancamannya.Biantara. Dia sangat paham dengan polah tingkah seorang Felisha dan bergerak cepat di awal.****"Kami tidak mau punya pimpinan c
Tak hanya raga. Hati ini luruh tak mampu menopang beratnya rasa. Bagaimana bisa dia melalui hal seberat itu sendirian? Bagaimana bisa aku marah saat dia berdiri saja tak mampu? "Sean ...." Emily terisak di pangkuan Sean."Emily sayang ...." Sean mengusap rambut istrinya dengan derai air mata. Pria kekar itu sesegukan hingga dadanya bergetar.Pelan Sean mendongakkan wajah Emily agar menatapnya. Lalu, dia seka air mata yang telah berani melinang di pipi kesayangannya itu."Sean ...." Emily menggeleng menatap wajah yang sangat dirindukannya."Tadi, aku baik-baik saja dan sekarang saat melihatmu, aku seperti sudah ingin pulang. Aku tak merasakan sakit sedikit pun."Emily sedikit mengangkat tubuhnya dan memeluk Sean. "Aku membencimu, Sayang. Sangat membencimu. Dosa apa aku sampai tidak tahu kalau suamiku menderita."Sean memeluk erat, sangat erat. "Aku memang harus menebus dosa. Aku tahu pantas untuk mendapat perhatianmu karena dulu aku-""Ssssttttt .... Karena aku mencintaimu."Hah! Sean
Tidak mungkin Sean merahasiakan semuanya dariku? Apa maksudnya? Apa aku tidak berhak tahu atau dia tak ingin aku khawatir? Emily memegang tembok agar tak luruh di lantai."David ...." Emily memegang dadanya dengan derai air mata.David cepat meraih tubuh Emily. "Aku akan membawamu ke atas. Nanti kuceritakan padamu. Tenang, jangan sampai Axel tahu."David mengangkat tubuh Emily dan membawa ke kamar, tanpa sepengetahuan Axel dan Dayana."Pelan-pelan. Tenangkan dirimu. Jangan lupa kamu sedang mengandung anak Sean saat ini." David meletakkan pelan Emily di atas ranjang.Emily menggeser pelan tubuhnya dan bersandar di headboard. Dia menyeka air matanya. Nafasnya sesak terisak.David duduk di sisi ranjang. Dia merangkup wajahnya seraya menghela nafas. "Maafkan aku, Emily."Emily menggeleng sambil tersedu. "Jangan suruh memaafkanmu sebelum aku tahu soal Sean. Vid, aku istrinya. Kenapa aku harus dilarang mengetahui soal keadaannya? Apa salahku?" Tangis wanita itu pecah.David mendecih sesal.
Di rumah sakit. Sean duduk dengan kepala bersandar. Dua tangannya terpaut di depan. Sebenarnya dia ingin mendekatkan wajahnya pada layar, tapi ...."Ingat, stay cool. Jangan sampai anakmu yang pintar dan sok tahu itu curiga. Tersenyum manis dan bicara seperlunya.""Aku tahu, Cerewet!" kesal Sean."Tuan sudah paham semuanya, Bawel!" Dario menajamkan sorot matanya pada Blade."Aku akan tekan tombol panggil. Kamu menyingkir dulu. Nanti muncul kalau Sean memberi kode!" Blade menggerakkan jari pada Dario, lalu mundur setelah panggilan itu tersambung.Sean meremas kepalan tangannya yang berkeringat. Jantungnya berdetak kian kencang. "Huuuufffff ...." Dia terus menghembus nafasnya panjang."Papa!" Layar itu mulai jelas tampak wajah Axel dan .... Emily di belakangnya. Mereka berdua duduk di atas brankar.Sean sebentar mendongak agar matanya bisa dikondisikan."Papa!" Kini wajah mereka jelas di layar masing-masing."Sayang .... Maaf, papa terlalu banyak urusan." Sean tersenyum lebar. Dia mena
Entah rasa apa yang harus diungkapkan. Air mata Dayana tak mau dibendung. Tanpa isakan."Sayang, .... Emily ...." Dayana memeluk David."Hah! Aku nggak nyangka akan datang berita seperti ini di tengah kepelikan mereka." David sedikit mendongak membuang nafas dari mulutnya.Sebuah kabar gembira dan seharusnya Sean yang duduk di depan sang dokter menjadi orang pertama yang mendengar kabar itu."Selamat, pasien Nyonya Emily positif hamil. Kondisi kehamilan masih sangat rentan karena baru memasuki trimester pertama. Jangan sampai kelelahan dan stress, agar tidak berdampak buruk pada kandungannya," jelas dokter."Jangan sampai ada yang tahu selain kami. Rahasiakan dari semuanya."---Di kamar rawat Emily."Aku akan mengumpat Om Blade. Aku yakin papa dilarang menggunakan ponsel olehnya. Oh tidak, bisa jadi Om Dario juga ikutan!" Axel sedang mencari sugesti baru untuk pikirannya agar kata-kata Erlan bisa lenyap semuanya.Emily tersenyum kaku. Anaknya saja bisa merasakan hal janggal, apalagi d
Emily duduk tegang. Di sisinya ada Axel memegang tangannya. Keduanya sama saling menguatkan dan berharap apa yang ada dalam dugaannya itu salah. "Ma, apa papa yang akan bicara? Kenapa belum ada suaranya sama sekali?" Anak itu menekan rahangnya. Gugup dan takut. Kata-kata Erlan berhasil membuat tekanan berat pada pikirannya.Emily berkedip beberapa kali dan mengambil nafas dalam-dalam. "Kita tunggu sebentar lagi. Pasti papa. Papa nggak akan ingkar janji." "Kenapa bukan panggilan video, Sayang. Seharusnya kita bisa sekalian lihat wajah Sean," protes Dayana."Benar yang dikatakan, Tante. Aku mau lihat wajah papa.""Ssssttttt ...." David meletakkan jari di depan bibirnya. Dia tak tahu lagi bagaimana cara mengelak permintaan mereka."Axel .... Emily ...." Suara Sean terdengar datar."Papa!" teriak Axel dengan mata lebar.Emily menghentak nafasnya sambil memegang dada. Akhirnya ... dia sangat lega mendengar suara Sean. 'Sean ...,' batinnya."Papa! Aku mau lihat wajahmu. Kenapa harus ngump
"Mama!" teriak Axel. Dia berlari ke arah ibunya.Hati dan pikiran yang selama ini ditekan kecemasan dan ketakutan kini tumbang sudah. Dia pingsan."Kita bawa ke dokter, Axel!" seru Dayana.David datang. "Apa yang terjadi?""Sayang, dia pingsan begitu saja."David langsung mengangkat Emily.Mobil melaju ke rumah sakit. Selang beberapa saat."Bagaimana keadaannya, Dok?""Kondisi lemah dan tekanan pikiran berat bisa jadi penyebab pasien pingsan. Tidak ada hal serius yang perlu dikhawatirkan."Emily kini dialihkan ke ruang rawat."Om, kapan mama akan bangun?" Axel terus menangis tanpa isakan di sisi brankar."Segera. Mamamu hanya kelelahan." David menepuk pelan punggung Axel."Papa, aku mau dengar soal papa, Om.""Axel, nanti kita bahas setelah mamamu baikan. Yakinlah kalau papamu baik-baik saja. Dan Om Erlan memang nggak suka i papamu. Dia pasti sengaja mengumbar hoax!" Dayana mengangguk.Axel mendesah berat. "Semoga benar yang dikatakan Tante.""Pasti benar!""Om akan keluar sebentar."