"Benarkah sudah cukup?" Sean melihat dirinya dan beberapa paper bag dan kantong plastik."Anda sudah sempurna dan bawaan kita juga sudah sesuai standar menu beberapa sarapan. Nyonya Emily dan tuan Axel bisa memilih sendiri nanti."Dia pasti suka. Aku membawa semua kesukaannya." Sean tersenyum menatap jajaran kantong itu.Pria dengan balutan kemeja putih itu mulai melangkah tegas. Dia ingin Emily teringat sepenggal kisah manis mereka berdua.Dulu, sebelum menikah. Mereka selalu sarapan satu meja. Dan pria itu yang menyajikan di atas piring Emily. Setiap saat dia terus menciptakan moment melayang hingga rasa yang dalam.Mobil melaju. Sean terus menatap arlojinya. "Cepat sedikit, Dario. Emily tidak bisa sarapan kesiangan."Dario menambah kecepatan.Sedang di rumah Emily. Dayana membuka pintu kulkas. "Ah, kita sampai lupa belanja. Gara-gara Sean pria pengacau itu, keseharian kita jadi kacau!" geramnya."Kenapa ngomel pagi-pagi?" Emily masuk ke dapur."Lihat, di kulkas kita hanya ada ro
"Di mana aku duduk, Emily?" Sean berharap bisa di sisi istrinya. Seperti dulu.Emily berkedip beberapa kali menatap depan. Dia melirik kursi kosong yang agak jauh darinya. Dulu, dia pasti akan duduk di sisi Sean ... dulu saat Sean menabur madu."Nggak lihat kalau kursi cuma sisa satu? Itu kursi David, beruntung dia nggak ada di sini," ketus Dayana.Kursi itu sebelah Dayana dan tidak sesuai keinginan Sean. Namun, tidak mungkin dia mau banyak minta. Dalam meja kotak ukuran sedang. Emily duduk di depan Dayana dan Sean di depan Axel, sebelah Dayana."Ma, kenapa hanya ada makanan seperti ini?" heran Axel tidak seperti biasanya.Sean juga mengerutkan dahi. Hanya ada sepiring nasi goreng dan roti selai beberapa helai."Karena beberapa hari ini ada pengacau, jadi Mamamu dan tante belum sempat pergi berbelanja. Kita makan seadanya." Dayana berkata sambil melirik Sean."Hanya ada segini dan ada orang numpang sarapan. Apa aku bisa kenyang? Bagaimana jika Mama kurang tenaga?" Axel menaikkan dua
Dalam lajuan mobil. Sean dan Emily duduk di kursi belakang. Emily sengaja duduk memojok sampai pembatas pintu.Sedang Sean duduk melebarkan kaki agar memperpendek jarak dengan istrinya."Bisakah lebih cepat!" seru Emily tanpa menoleh. Karena dia tahu jika Sean terus menatapnya. Wajahnya sudah memerah. Cemas, gelisah, takut, semua bercampur. Wanita itu meremas bajunya.Dario, asisten setia. Dia sengaja melambatkan lajuan. Emily adalah bos. Jelas tidak masalah datang terlambat.Sean tersenyum lebar. Tidak ada Axel, kali ini dia bisa bergerak lebih luas."Kamu tidak mau menghadap ke sini, Emily? Enam tahun tidak bertemu, bisa saja wajahku berbeda jauh," goda Sean."Bicaralah, apa saja yang belum kamu katakan. Semuanya! Jangan sampai ada sisa. Setelah itu aku tidak mau mendengar apa pun lagi." Emily berkata tanpa menoleh."Aku sudah tidak ada hubungan apa pun dengan Felisha. Kami-""Bicara yang lain. Aku tidak tertarik dengan hal itu!"Sean menarik nafas. "Saat kamu dikabarkan pergi wakt
"Bisakah kamu bersikap jantan? Maaf, saat ini kita bertemu bukan atas nama bisnis. Jadi tidak ada penghormatan untuk pria sepertimu!" kesal Erlan.Sean dan Erlan duduk di kursi khusus pengunjung. Emily dan Dayana malas mengurus keduanya."Kamu lihat, Sean dengan percaya diri menunjukkan kesombongannya di wilayah orang. Dasar tuan angkuh!" Dayana menatap geram."Biarkan saja. Asal Sean tidak membuat masalah saja aku sudah tenang." Emily berbalik dan masuk ke ruangannya.Sean hanya diam tak menanggapi. Dia fokus pada layar ponsel membaca banyak laporan. Bibirnya tersenyum tipis, seolah sedang menunggu detik-detik menegangkan."Apa kamu tidak dengar? Heh! Sangat lucu, sudah jelas kekuasaanmu tak berguna di depan Emily. Kenapa masih berlagak pongah!" Erlan tersenyum sinis."Tidak berguna katamu? Hem ... kita buktikan saja sebentar lagi!" Sean menoleh sebentar dengan menajamkan sorot matanya.Tidak sampai hitungan puluhan menit. Ponsel Erlan berbunyi, sang ayah memanggil. Dia langsung meng
"Itu mereka. Bos bilang jangan sampai mereka mati. Tapi harus sekarat." Sebuah mobil melaju kencang menyalip mobil para pengawal bayangan Sean di sekitar Emily.Mobil itu berhenti mendadak di depan mobil Emily."Mama!" teriak Axel.Emily membanting stir dan menabrak pohon."Axel!" Emily merentangkan tangannya di depan kepala Axel. Dia cepat menginjak rem sangat kuat.Mobil Emily seketika ringset dan asap mengepul di bagian depan. Dua nyawa belum jelas keadaannya. Darah mengalir begitu saja melumuri wajah Axel dan Emily.Mobil yang membuat provokasi langsung melesat cepat dan dalam pengejaran anak buah Sean."Sayang! Axel, Emily!" teriak Sean meraung. Dia membuka kuat pintu mobil Emily.Matanya berkaca bertumpuk cairan. Dia bergetar mengangkat tubuh Emily yang berlumur darah. Wanita itu lemas tak berdaya.Hati Sean bagai disayat pedang tajam melihat Axel yang diangkat Dario. Dia semakin bergetar menatap tubuh mungil itu.Mobil melaju."Cepat!" teriak Sean pada anak buahnya yang memegan
"Sean, kamu benar-benar gila!" seru Dayana geram. Dia maju dan ingin menarik Sean.Akan tetapi, wanita dengan pakaian perawat itu mengambil suntikan dari kantong depannya dan siap menancapkan ke tangan Axel.Dayana langsung maju dan ingin menahan wanita itu. Dia menarik bahu wanita itu. "Jangan berani kamu!"Wanita itu langsung memutar tangan Dayana dan mendorong kuat."Akh! Axel, Sean!" teriak Dayana.Sedang Sean yang masih berkelahi dengan pria itu menatap nyalang. Dia hempas pria itu sampai terbentur tembok."Argh!" teriak pria itu.Lalu, cepat Sean melompat dan menarik wanita itu."Cari mati, Kalian!" teriak Sean. Dia menghempas keras wanita itu hingga tersungkur di lantai."Akh!" jerit wanita itu.Pria yang tersungkur sudah bangun dan langsung menyerang Sean kembali."Yaakk!" Pria itu melayangkan pukulan.Set. Set. Sean dapat menghindarinya."Brengsek!" Sean menangkis tangan pria itu dan memutarnya. Lalu, dia injak satu kakinya."Argh!" jerit pria itu.Dario dan beberapa anak bu
"Axel!" Sean gusar. Dia tak tahu harus bagaimana.Bayangan saat sebuah mobil melesat cepat di depan dan mobilnya menabrak pohon terulas jelas. Mata Axel membelalak, nafasnya tersengal berat dan kejang-kejang. "Mama!""Axel!" Dayana ingin menyentuh Axel, tapi ditepis Sean."Sayang, tenang, Axel. Papa di sini. Tidak ada yang akan menyakiti kalian lagi." Sean membungkuk dan memeluk anaknya. Dia ketakutan melihat anaknya.Dokter dan perawat datang."Sebaiknya Anda semua keluar. Dokter akan melakukan pemeriksaan," ucap salah satu perawat.David menarik Dayana agar keluar, tapi wanita itu ragu dan teringat kejadian kemarin."Aku tidak akan keluar. Kalian periksa dan aku akan mengawasi!" tegas Sean. Dia takut kejadian kemarin terulang lagi."Kita keluar, Sean sudah ada di sini." Kini Dayana mengajak David keluar.Sean menatap jeli pada setiap gerakan dokter. Mereka memberikan suntikan dan Axel kembali tenang."Kenapa anakku seperti itu?" Sean menatap tajam sang dokter.Dokter itu menelan sal
Danaya duduk bersandar di bahu David. "Lihat, dia sangat aneh," bisik Dayana melihat Sean."Memang aneh, dan harus aku pastikan!" David menatap tajam sikap Sean. Dia mulai ragu soal keyakinannya selama ini."Memastikan apa lagi?" bingung Dayana."Nanti kamu akan tahu."Sean duduk di sisi brankar Emily. Dia tersenyum tipis melihat istrinya tampak tenang. Pria itu mengecup kening Emily pelan, lalu menarik selimut sampai dada."Hish, jaga sikapmu! Emily akan marah kamu mencuri kecupan keningnya," seru Dayana."Kenapa masih ada wanita bodoh?" Sean beralih ke sisi brankar Axel."Jangan pencitraan! Aku nggak akan terharu dengan semua sikap anehmu." Dayana mendesis.Sean juga mengecup kening anaknya. Mengusap kepala Axel pelan. "Hey, Tampan. Aku sudah merindukan omelanmu. Kapan kamu mau memarahiku lagi?" Sean menarik selimut Axel."Kami nggak akan pergi selama kamu masih di sini. Dan akan terus mengawasimu, Pria aneh. Aku pastikan akan membuka topengmu nanti. Dasar, bermuka dua!" ketus Daya
"Sean! Bangun, Sean!""Akhh! Perutku sakit sekali ....""Sayang ....""Mama! Papa ...."Gaduh suara roda brankar membuat ngilu. Tiga pasien kini masuk dalam ruang tindakan. Dua pasien yang duduk di kursi depan telah ditutup kain putih."Apa yang terjadi pada anakku?!" Evan memegang dadanya."Pa, tenang. Jangan sampai papa lemah. Anak dan cucu kita pasti akan baik-baik saja!" Martha memegang dua bahu Evan dari belakang.Evan tak mampu lagi menopang raga. Dia lemas dalam dekapan sang istri."Panggil dokter!" teriak Martha.Tangisan pecah. Bahkan Blade gemetar melihat darah di dua tangannya. Kepalanya terus menggeleng. "Tidak! Tidak mungkin!"Dario diam mematung menatap pintu ruang tindakan. Hanya air mata tanpa isakan yang bisa mengungkap betapa takutnya dia sekarang.Rumah sakit itu seketika jadi perbincangan panas publik. Apalagi yang sedang sekarat adalah satu keluarga pengusaha hebat dan pemilik restoran yang terbakar."Tolong jangan berhenti dan lemah. Kumohon kita harus tetap kuat
"Hancurkan dia! Beraninya mengusik bisnis yang sudah aku jalankan bertahun-tahun. Dia memang cari mati. Aku mau besok dengar kabar kalau semua keluarga Geraldo lenyap!" teriak Benny."Tapi, Bos-"Bugh! Kepalan kuat membuat satu anak buah tersungkur dengan bibir berdarah."Ada yang ingin aku habisi di sini?" Mata Benny nyalang buas."Maaf, Bos. Kami akan berangkat sekarang!"Tak ada lagi yang berani melawan Benny. Dia bak singa yang didesak wilayah kekuasaannya. Mengaum dan menggila. Matanya nyalang siap menghabisi lawannya.Di ruangan itu masih tersisa Erlan dan Biantara."Jika kalian tidak mau kalah, maka hanguskan musuh. Jangan sampai ada musuh yang tersisa. Kita harus jadi raja di raja. Jangan sampai ada yang berani setara pada kita!" bentak Benny.Erlan meremas tangannya. Dia malah terbesit wajah David. Semua kata-kata David terngiang jelas. "Tuan, saya tidak tahu lagi harus bagaimana." Ada rasa jenuh dan sesal kala ini. Dia tak menyangka jika harus melangkah sejauh itu. Apa bisa
Ambulance langsung membawa Felisha ke rumah sakit. Wanita itu mengalami pendarahan hebat. Dulu, dia bertingkah seperti apa pun kandungannya baik-baik saja. Bahkan dia mencoba makan banyak pantangan orang hamil muda, tetap saja kandungan itu bertahan. Di saat Felisha mulai menerima dan merasa hanya anak yang dikandungnya satu-satunya harta dan masa depannya, anak itu malah merajuk.Dokter langsung melakukan tindakan. Felisha dimasukkan ke ruang operasi karena keadaan sangat darurat. Namun, tindakan dokter tak bisa menyelamatkan janin itu.---Di tempat lain."Beres, Bos. Bayi itu tidak akan menjadi masalah Anda di kemudian hari. Sekarang wanita itu belum sadar karena kondisinya terlalu lemah." Seorang pria menghubungi atasnya. Ya, atasannya adalah orang yang sangat takut dengan tingkah gila Felisha jika suatu hari nanti anak itu akan jadi senjata ancamannya.Biantara. Dia sangat paham dengan polah tingkah seorang Felisha dan bergerak cepat di awal.****"Kami tidak mau punya pimpinan c
Tak hanya raga. Hati ini luruh tak mampu menopang beratnya rasa. Bagaimana bisa dia melalui hal seberat itu sendirian? Bagaimana bisa aku marah saat dia berdiri saja tak mampu? "Sean ...." Emily terisak di pangkuan Sean."Emily sayang ...." Sean mengusap rambut istrinya dengan derai air mata. Pria kekar itu sesegukan hingga dadanya bergetar.Pelan Sean mendongakkan wajah Emily agar menatapnya. Lalu, dia seka air mata yang telah berani melinang di pipi kesayangannya itu."Sean ...." Emily menggeleng menatap wajah yang sangat dirindukannya."Tadi, aku baik-baik saja dan sekarang saat melihatmu, aku seperti sudah ingin pulang. Aku tak merasakan sakit sedikit pun."Emily sedikit mengangkat tubuhnya dan memeluk Sean. "Aku membencimu, Sayang. Sangat membencimu. Dosa apa aku sampai tidak tahu kalau suamiku menderita."Sean memeluk erat, sangat erat. "Aku memang harus menebus dosa. Aku tahu pantas untuk mendapat perhatianmu karena dulu aku-""Ssssttttt .... Karena aku mencintaimu."Hah! Sean
Tidak mungkin Sean merahasiakan semuanya dariku? Apa maksudnya? Apa aku tidak berhak tahu atau dia tak ingin aku khawatir? Emily memegang tembok agar tak luruh di lantai."David ...." Emily memegang dadanya dengan derai air mata.David cepat meraih tubuh Emily. "Aku akan membawamu ke atas. Nanti kuceritakan padamu. Tenang, jangan sampai Axel tahu."David mengangkat tubuh Emily dan membawa ke kamar, tanpa sepengetahuan Axel dan Dayana."Pelan-pelan. Tenangkan dirimu. Jangan lupa kamu sedang mengandung anak Sean saat ini." David meletakkan pelan Emily di atas ranjang.Emily menggeser pelan tubuhnya dan bersandar di headboard. Dia menyeka air matanya. Nafasnya sesak terisak.David duduk di sisi ranjang. Dia merangkup wajahnya seraya menghela nafas. "Maafkan aku, Emily."Emily menggeleng sambil tersedu. "Jangan suruh memaafkanmu sebelum aku tahu soal Sean. Vid, aku istrinya. Kenapa aku harus dilarang mengetahui soal keadaannya? Apa salahku?" Tangis wanita itu pecah.David mendecih sesal.
Di rumah sakit. Sean duduk dengan kepala bersandar. Dua tangannya terpaut di depan. Sebenarnya dia ingin mendekatkan wajahnya pada layar, tapi ...."Ingat, stay cool. Jangan sampai anakmu yang pintar dan sok tahu itu curiga. Tersenyum manis dan bicara seperlunya.""Aku tahu, Cerewet!" kesal Sean."Tuan sudah paham semuanya, Bawel!" Dario menajamkan sorot matanya pada Blade."Aku akan tekan tombol panggil. Kamu menyingkir dulu. Nanti muncul kalau Sean memberi kode!" Blade menggerakkan jari pada Dario, lalu mundur setelah panggilan itu tersambung.Sean meremas kepalan tangannya yang berkeringat. Jantungnya berdetak kian kencang. "Huuuufffff ...." Dia terus menghembus nafasnya panjang."Papa!" Layar itu mulai jelas tampak wajah Axel dan .... Emily di belakangnya. Mereka berdua duduk di atas brankar.Sean sebentar mendongak agar matanya bisa dikondisikan."Papa!" Kini wajah mereka jelas di layar masing-masing."Sayang .... Maaf, papa terlalu banyak urusan." Sean tersenyum lebar. Dia mena
Entah rasa apa yang harus diungkapkan. Air mata Dayana tak mau dibendung. Tanpa isakan."Sayang, .... Emily ...." Dayana memeluk David."Hah! Aku nggak nyangka akan datang berita seperti ini di tengah kepelikan mereka." David sedikit mendongak membuang nafas dari mulutnya.Sebuah kabar gembira dan seharusnya Sean yang duduk di depan sang dokter menjadi orang pertama yang mendengar kabar itu."Selamat, pasien Nyonya Emily positif hamil. Kondisi kehamilan masih sangat rentan karena baru memasuki trimester pertama. Jangan sampai kelelahan dan stress, agar tidak berdampak buruk pada kandungannya," jelas dokter."Jangan sampai ada yang tahu selain kami. Rahasiakan dari semuanya."---Di kamar rawat Emily."Aku akan mengumpat Om Blade. Aku yakin papa dilarang menggunakan ponsel olehnya. Oh tidak, bisa jadi Om Dario juga ikutan!" Axel sedang mencari sugesti baru untuk pikirannya agar kata-kata Erlan bisa lenyap semuanya.Emily tersenyum kaku. Anaknya saja bisa merasakan hal janggal, apalagi d
Emily duduk tegang. Di sisinya ada Axel memegang tangannya. Keduanya sama saling menguatkan dan berharap apa yang ada dalam dugaannya itu salah. "Ma, apa papa yang akan bicara? Kenapa belum ada suaranya sama sekali?" Anak itu menekan rahangnya. Gugup dan takut. Kata-kata Erlan berhasil membuat tekanan berat pada pikirannya.Emily berkedip beberapa kali dan mengambil nafas dalam-dalam. "Kita tunggu sebentar lagi. Pasti papa. Papa nggak akan ingkar janji." "Kenapa bukan panggilan video, Sayang. Seharusnya kita bisa sekalian lihat wajah Sean," protes Dayana."Benar yang dikatakan, Tante. Aku mau lihat wajah papa.""Ssssttttt ...." David meletakkan jari di depan bibirnya. Dia tak tahu lagi bagaimana cara mengelak permintaan mereka."Axel .... Emily ...." Suara Sean terdengar datar."Papa!" teriak Axel dengan mata lebar.Emily menghentak nafasnya sambil memegang dada. Akhirnya ... dia sangat lega mendengar suara Sean. 'Sean ...,' batinnya."Papa! Aku mau lihat wajahmu. Kenapa harus ngump
"Mama!" teriak Axel. Dia berlari ke arah ibunya.Hati dan pikiran yang selama ini ditekan kecemasan dan ketakutan kini tumbang sudah. Dia pingsan."Kita bawa ke dokter, Axel!" seru Dayana.David datang. "Apa yang terjadi?""Sayang, dia pingsan begitu saja."David langsung mengangkat Emily.Mobil melaju ke rumah sakit. Selang beberapa saat."Bagaimana keadaannya, Dok?""Kondisi lemah dan tekanan pikiran berat bisa jadi penyebab pasien pingsan. Tidak ada hal serius yang perlu dikhawatirkan."Emily kini dialihkan ke ruang rawat."Om, kapan mama akan bangun?" Axel terus menangis tanpa isakan di sisi brankar."Segera. Mamamu hanya kelelahan." David menepuk pelan punggung Axel."Papa, aku mau dengar soal papa, Om.""Axel, nanti kita bahas setelah mamamu baikan. Yakinlah kalau papamu baik-baik saja. Dan Om Erlan memang nggak suka i papamu. Dia pasti sengaja mengumbar hoax!" Dayana mengangguk.Axel mendesah berat. "Semoga benar yang dikatakan Tante.""Pasti benar!""Om akan keluar sebentar."