Share

2. Permintaan Kedua

Part 2 Permintaan Kedua

Calia menatap sang putra yang pulas dalam tidurnya di ranjang pasien. Dengan berbagai macam alat yang tersambung ke tubuh kecil dan rapuh tersebut. Ujung matanya memanas, tak tahan hanya mampu menyaksikan penderitaan sang putra. Tanpa mampu mengurangi sedikit pun rasa sakit tersebut.

Hatinya benar-benar terasa diperas, menyaksikan tubuh sekecil dan serapuh ini harus menanggung penderitaan yang begitu besar. Yang bahkan orang dewasa saja kesulitan untuk menanggungnya.

Air matanya kembali menetes, yang kemudian ia seka dengan punggung tangannya. Ia tidak boleh menangis di hadapan sang putra. Ia harus terlihat kuat. Lebih kuat dari siapa pun.

“Calia?” Panggilan lembut dari arah belakang menghentikan lamunannya. Merasakan pundaknya yang diremas pelan sebelum ia menoleh. “Aku sudah membawakanmu makanan. Makanlah. Aku yang akan berjaga di sini.”

Calia mengangguk, bangkit dari kursinya dan berjalan ke kursi, melihat kotak makanan yang dibawa sang kakak. Setelah mengisi perutnya, ia melihat jam di dinding yang sudah menunjukkan jam tujuh malam. Dalam waktu dua jam, ia harus berada di hotel.

“Caleb?”

“Hmm?” Caleb menoleh ke belakang.

“Bisakah malam ini kau berjaga di sini lagi?”

Caleb tak langsung menjawab. “Apakah Zsazsa rewel?”

Calia mengangguk, tak sepenuhnya berbohong. Dan ada banyak hal yang harus dilakukannya untuk perawatan Zayn yang lainnya. “Dia ingin melihat Zayn.”

Caleb pun mengangguk. “Ya, sepertinya kau juga butuh istirahat.”

“Besok pagi aku akan datang sebelum kau berangkat ke kantor.”

“Lakukan apa yang perlu kau lakukan, Calia. Sesekali aku bisa terlambat ke kantor.”

Calia memberikan seulas senyum tipisnya. Mengambil tasnya dan berjalan mendekati sang kakak. “Hubungi aku jika Zayn bangun dan mencariku.”

“Ya, tentu saja.” Caleb berdiri, memeluk Calia dan mendaratkan kecupan di kening. “Dia akan baik-baik saja.”

Calia mengangguk. “Aku pergi.”

Begitu keluar dari ruang perawatan Zayn, Calia langsung masuk ke dalam lift, menuju lantai 3 untuk melunasi semua pembayaran yang tertunda. Menggunakan kartu pemberian Lucius. Satu bebannya terangkat dengan mudah menggunakan kartu tersebut. Tapi … masih ada satu yang harus ia dapatkan dari Lucius.

Begitu menyelesaikan semuanya dan mengirim pesan pada Reno untuk bertemu besok siang, Calia mendapatkan taksi dan langsung pulang ke apartemennya. Menemui dua buah hatinya dan memastikan keduanya tidur dengan lelap sebelum meninggalkan mereka bersama Evelyn. Tetangga sebelah yang sering membantunya menjaga keduanya.

Dalam perjalanan menuju hotel, Calia singgah di salah satu butik. Mendapatkan pakaian yang layak untuk menyenangkan Lucius. Dan tepat jam sembilan, ia sudah berada di suite yang kemarin dipilih oleh Lucius.

Ruangan luas dan mewah itu sunyi, tak ada tanda-tanda keberadaan Lucius. Jadi Calia langsung ke membersihkan diri di kamar mandi. Menghilangkan semua bau rumah sakit dan debu yang masih menempel di tubuhnya.

Dan ia terlonjak kaget ketika keluar dari kamar mandi dan Lucius sudah duduk di sofa. Seringai tersungging di ujung bibir pria itu, ketika mengamati penampilan Calia dari ujung kaki hingga ujung kepala. Rambut yang basah dengan beberapa bercak air yang masih menghiasi leher dan wajah.

“K-kau sudah datang?” lirih Calia dengan tergagap. Melihat pakaian santai yang dikenakan oleh Lucius. Sepertinya pria itu sudah pulang ke rumah karena tidak mengenakan setelan kerja.

Lucius bangkit berdiri, berjalan mendekati Calia dengan tanpa melepaskan pandangan dari kedua mata wanita itu yang mulau goyah karena tak takan dengan tatapan intensnya. “Dan sepertinya kau sudah siap,” gumamnya setelah berhenti di depan Calia. Tangannya terulur, menangkap ujung dagu Calia dan mendongakkan wajah wanita itu sebelum kemudian menurunkan kepalanya hingga di samping leher Calia. Mengendus aroma wangi yang menguas dari tubuh Calia. “Dan kau sangat harum,” bisiknya dengan suara yang memberat.

Wajah Lucius bergerak lebih tinggi, berhenti di telinga Calia dan langsung mendaratkan bibirnya di belakang daun telinga wanita itu.

Kedua kaki Calia melemah oleh sentuhan tersebut, membuat tubuhnya jatuh ke arah Lucius dan pinggangnya ditangkap oleh kedua tangan pria itu. Merapatkan tubuh keduanya.

Ciumannya merambat ke rahang dan menangkap bibir Calia. Menyesap rasa manis yang begitu dirindukannya. Menggigit bibir wanita itu hingga terbuka sebelum kemudian menyelipkan lidahnya ke dalam mulut Calia. Mengabsen barisan gigi yang rapi, berbagi napas dalam lumatan yang semakin memanas.

Mengerang pelan, Lucius mengangkat tubuh Calia yang sudah pasrah dan membaringkan wanita itu di tengah tempat tidur. Melucuti pakaian Calia dan dirinya sendiri, membiarkan keringat keduanya bercampur dalam panasnya hasrat dan gairahnya yang membakar mereka. Dalam panjangnya malam yang nikmat tersebut.

***

Calia tersentak kaget dengan suara pintu yang tertutup, memaksa kedua matanya terbuka dan sekali lagi dibuat terkejut mendengar suara alarm dari ponselnya yang sudah berdering. Ia meraih ponselnya dari meja di samping tempat tidur, melihat jam yang sudah menunjukkan pukul 7 pagi. Ia segera terbangun dan harus bergegas ke rumah sakit menggantikan Caleb. Saat itulah ia menyadari keberadaan Lucius yang berjalan menyeberangi ruangan dan sudah rapi dengan pakaian santai pria itu.

“Sepertinya kau terburu hendak pergi,” komentar Lucius berjalan memutari tempat tidur dan berhenti di samping meja. Mengambil jam tangan dan memasangnya di pergelangan tangan.

Calia mengamati tangan Lucius, pandangannya terpaku pada cincin yang terselip di jari manis pria itu. Dengan hujaman perasaan yang menyesakkan dada.

“Jadi, apa yang kau inginkan kali ini?” Lucius menoleh, pandangannya turun ke arah tangan Calia yang menahan selimut di dada demi menutupi ketelanjangan wanita itu. Tapi tak mampu menutup semua jejak gairah yang sudah ia tinggalkan di kulit leher dan lebih banyak di dada wanita itu. Ujung bibirnya menyeringai dengan penuh kepuasan.

Pertanyaan Lucius menyadarkan Calia dari hatinya yang patah, mengubur dalam-dalam perasaan tersebut sebelum kemudian memandang wajah Lucius. Sembari menguatkan hati. “Zayn. Dia sedang dirawat di rumah sakit.”

Kening Lucius berkerut. Zayn? Apakah itu nama anak Calia? Atau pria yang membodohi Calia, hah? Ia lebih tak suka pilihan kedua meski pilihan pertama pun sama buruknya.

“Anakku. Umurnya 7 tahun.” Calia menjelaskan ketika menangkap kerut tanya di kedua alis Lucius. “D-dia menderita penyakit Leukimia sejak satu tahun yang lalu.”

Lucius terpaku, cukup lama. Amarah dan kebencian bergemuruh di dadanya, yang ditekannya kuat-kuat. Wajahnya berubah dingin. “Sepertinya kartu yang kuberikan padamu lebih dari cukup untuk membayar semuanya, kan?”

“Aku tak akan meminta lagi jika hanya itu yang kami butuhkan.”

Lucius menyeringai. “Dan apakah itu yang kau inginkan?”

“A-aku minta sumsum tulang belakangmu.” Calia mengucapkannya dengan napas yann tertahan. Bersama keberaniannya yang tersisa di antara keputus asaannya. Jika Lucius menolak, maka selesailah sudah.

Hening yang cukup lama.

“Aku?” dengus Lucius kemudian. “Kau tidak meminta pada orang yang salah?”

Calia menggeleng, dengan tanpa keraguan sedikit pun.

“Kenapa kau tidak meminta pada Lukas?” tanya Lucius dengan kasar.

Satu nama yang seketika membekukan kepucatan di wajah Calia.

“Aku menolaknya,” tolak Lucius dengan tegas. Bibirnya menipis tajam, menahan gemuruh amarah yang sama besarnya dengan hasratnya pada wanita itu tadi malam.

“Kau berjanji …”

“Bukan untuk yang satu ini.” Suara Lucius lebih keras, setengah membentak.

“Dia anakmu.”

Lucius sempat terpaku dengan pengakuan tersebut. Tetapi tentu saja ia tak akan mempercayainya. “Kau berbohong hanya untuk menyelamatkan hidupnya?” dengusnya.

“Tidak, Lucius.” Calia menggelengkan kepalanya dengan pilu.

“Kau pikir aku Lucius delapan tahun yang lalu yang begitu mudah kau tipu dengan kepolosanmu?”

Mata Calia terpejam. Air mata mengalir tanpa suara dengan kemarahan yang begitu kental dalam suara Lucius. “Aku tak pernah membohongimu. Sekarang atau delapan tahun yang lalu.”

Lucius menatap lebih dalam wajah Calia yang basah. Bukan oleh keringat, melainkan oleh air mata. Meyakinkan dirinya sendiri tak akan terbodohi oleh air mata itu lagi. “Hubungi aku jika kau sudah memutuskan pembayaran yang kau inginkan untuk malam ini.”

“Aku bukan pelacurmu!” jerit Calia dengan emosinya yang melonjak naik.

Lucius mendengus. “Ya, anggap saja malam ini kau melakukan kewajibanmu. Jadi aku tak punya kewajiban untuk memenuhi keinginan konyolmu yang satu itu untuk anakmu,” pungkasnya kemudian menyambar kunci mobil di nakas dan berjalan keluar. Membanting pintu dengan keras.

Sementara Calia, wanita itu menangis tersedu. Selesai sudah, semua usahanya sia-sia. Tak ada harapan lagi. Satu-satunya harapanya sudah raib.

‘Gugurkan kandunganmu atau enyah dari hidupku?’

‘Hanya itu pilihanmu!’

Suara Lucius kembali bergema di benaknya. Membuat tubuhnya yang meringkuk bergetar hebat. Patah hati dan hancur berkeping-keping. Seperti yang dirasakannya delapan tahun yang lalu.

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Tristhiawati Poetriee Tafsir
aduh mahal koin nya
goodnovel comment avatar
Meida Sitanggang
yang bilang gugurkan siapa ya?
goodnovel comment avatar
Ningsih Andi
trnyta dia adlh ayah kndungx
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status